Thursday, 5 December 2013

"ASPEK SOSIAL MUSIK JAZZ" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato Desember 2013)

"ASPEK SOSIAL MUSIK JAZZ"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato Desember 2013



Saya ingin mengawali artikel ini dengan sebuah pemberitahuan: bahwa komparasi atau perbandingan yang disertakan dalam artikel ini, sama sekali bukan untuk mengemukakan jenis musik tertentu lebih baik dari yang lain. Melainkan hanya sebagai ilustrasi paparan semata.

MUSIK KLASIK YANG ELITE & ARISTOKRAT
Jika seseorang mendengar istilah “Musik Klasik,” maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terlintas di benaknya sebuah sajian musik yang punya nilai kesulitan dalam memainkannya, sekaligus kesan elite dan aristokrat. Kesan elite dan aristokrat memang sudah melekat pada Musik Klasik sejak awal pertumbuhan dan perkembangannya. Revolusi Industri dan ditemukannya mesin uap, sempat menjadikan Musik Klasik sebagai sajian yang lebih “merakyat.” Namun landscape kompositorisnya tetap saja menuntut sebuah sikap apresiasi yang elitis. Misalnya saja keadaan ruang dengar yang mutlak perlu adanya keheningan yang hampir absolut. Keadaan demikian, setidaknya mencerminkan sebuah tuntutan penyesuaian aspek sosial, jika seseorang atau sebuah komunitas ingin mengapresiasi Musik Klasik, secara proporsional.

Berbeda dengan Musik Klasik, Musik Jazz sarat dengan aspek sosial. Dan justru aspek sosial inilah yang senantiasa mengiringi pertumbuhan dan perkembangan Musik Jazz. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Jazz dapat berkembang dikarenakan aspek sosial yang dikandungnya. Aspek sosial ini juga seberapa banyak berpengaruh terhadap munculnya beberapa aliran Musik Jazz. Dan tentu saja, aspek sosial akan mempengaruhi gagasan, teknik, dan komposisi Musik Jazz. Serta hendaknya tidak dilupakan pula pengaruhnya terhadap daya dan cara apresiasi.

Friday, 8 November 2013

MILES "JAZZ" DAVIS - Artikel Staccato November 2013 by: Michael Gunadi Widjaja

MILES "JAZZ" DAVIS
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato November 2013


Jika kita ingin bicara tentang Musik Jazz, belumlah lengkap dan afdol kiranya, jika kita tidak membicarakan MILES DAVIS. Sosok pembaharu Musik Jazz sekaligus legenda dan ikon Musik Jazz. Miles Davis adalah seorang pemain terompet, komposer, dan pemenang 9 kali Grammy Awards untuk musisi dan album Jazz terbaik dunia. Miles Davis bukan hanya sosok musisi dan komposer belaka, melainkan seseorang yang dengan sosok, karisma dan dedikasinya, telah memberikan sumbangsih luar biasa pada pertumbuhan dan perkembangan Musik Jazz. Membicarakan Miles Davis adalah sebuah permenungan napak tilas Musik Jazz, dalam langkah sebagai budaya umat manusia yang turut mewarnai jalannya peradaban dunia. Data yang tersaji dalam artikel ini semua saya ambil dari catatan kuliah saya semasa di Perth, Australia.

Saturday, 5 October 2013

"MISTERI BEDUG" by: Michael Gunadi Widjaja - Staccato October 2013

"MISTERI BEDUG"
by: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato (Oktober 2013)


Menyebut kata Bedug, segera tertaut dalam pikiran kita akan Adzan dan Idul Fitri. Dan memang bunyi bedug adalah pertanda waktu sembahyang bagi umat Islam dan bunyi bedug pun senantiasa menandai berakhirnya puasa Ramadhan dan dimulainya kemenangan manusia dalam fitrahnya. Pertautan bedug dan peribadatan agama Islam telah menapaki umur panjang. Berabad-abad bunyi bedug senantiasa menjadi tanda panggilan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk melakukan peribadatan. Di lain sisi, bunyi bedug juga merupakan satu misteri yang layak untuk ditatap secara tajam. Menguak makna, mengais pesan, dan mempermenungkan sebuah hakekat.

 sumber: unstage

Friday, 20 September 2013

"DARI JALANAN KE PENTAS DUNIA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"DARI JALANAN KE PENTAS DUNIA"
by: Michael Gunadi Widjaja

source: silverdisc

"Play - but with your heart, not with your head!"
A moving documentary about Venezuela's unique system of music education takes us from barrios to Caracas to the world's finest concert halls. It shows how Venezuelan visionary Jose Antonio Abreu has changed lives of hundreds of thousands children over the past three decades. Children from streets dominated by the gun battles of gang warfare are taken into music schools, given access to music and taught through the model of the symphony orchestra how to build a better society.

VENEZUELA adalah nama sebuah negara yang terletak di bagian selatan benua Amerika. Bagian selatan benua Amerika dikenal juga sebagai Amerika Latin. Sebagai sebuah negara, Venezuela memiliki sumber kekayaan alam yang besar dan potensial: minyak, tambang emas, dan juga sebagai penghasil berlian. Sebagian dari kita tentu masih ingat bahwa Venezule adalah sebuah negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries.)

Dalam beberapa hal, Venezuela memiliki kesamaan dengan Indonesia. Iklim cuacanya relatif mirip dengan negara kita, jenis kekayaan alampun banyak yang juga dimiliki Indonesia, tipikal karakteristik fisik penduduknya juga tak jauh beda dengan fisik kebanyakan masyarakat kita.

Tuesday, 17 September 2013

"TEPUK TANGAN" - by: Michael Gunadi Widjaja

“TEPUK TANGAN”
by: Michael Gunadi Widjaja

source: sonofaparson

MAKNA TEPUK TANGAN
Bagi sebagian orang, tepuk tangan adalah peristiwa yang menjadi bagian dari gaya hidupnya. Tepuk tangan adalah kegiatan yang nampaknya memiliki banyak sisi untuk dimaknai. Bagi para seniman panggung, tepuk tangan adalah tanda kesuksesan pertunjukannya. Dan bagi seniman panggung, tepuk tangan adalah bagian dari gaya hidup yang direpresentasikan bagi citra sebuah kesuksesan pertunjukan. Disini tepuk tangan adalah salah satu parameternya. Bagi penggemar olah raga, penggemar pertunjukan dan mereka yang sering menonton konser musik, tepuk tangan juga adalah bagian dari gaya hidupnya. Gaya hidup yang salah satu cerminannya adalah ungkapan rasa puas atas bagi sesuatu yang telah dinikmatinya secara visual dan auditif. Para seminator, dan bahkan seorang Kepala Negara pun bisa saja menjadi akrab dengan tepuk tangan. Bagi para pembicara, termasuk seminator, dan juga para Kepala Negara, tepuk tangan adalah bentuk respon apresiatif publik bagi pemaparan visinya.

Thursday, 12 September 2013

"GENDHING PAK CHOKRO" - by: Michael Gunadi Widjaja

"GENDHING PAK CHOKRO"
by: Michael Gunadi Widjaja

source: 2bp blogspot

Sejak lama orang merasakan bahwa dunia setelah Perang Dunia II, berada dalam dikotomi. Sebuah tatanan yang mau tidak mau memunculkan dikotomi Superior dan Inferior. Superioritas memiliki tatanannya tersendiri dan kutub ini mengarah kepada negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Superioritas ini nampak nyata dalam sosio-kultural. Eropa dan Amerika begitu gencar dan fasih membuat trend gaya hidup dan popularitas budayanya. Di kutub yang lain, terdapat negara-negara seperti negara kita, yang masih dipeluk dan disetubuhi oleh kutub inferioritas - sebagai negara yang hanya terus menerus “sedang” berkembang, budayanya dikagumi, namun tetap kalah fasih berbicara di ajang dunia. Banyak faktor yang menyebabkan dikotomi semacam ini tetap berkembang. Muaranya berada pada kepedulian dan pencerahan pada diri kita sendiri untuk sampai pada suatu pemahaman bahwa kesejajaran, terutama dalam popularitas budaya, adalah hal yang harus diupayakan.

Nampaknya upaya untuk fasih membicarakan budaya sendiri pada ajang dunia, masih diliputi kabut keniscayaan. Masih harus menguak belantara yang menutup rasa cinta yang berwujud kepedulian terhadap budaya sendiri. Salah satu yang nampak nyata adalah yang terjadi pada ranah seni musik, khususnya Musik Tradisionil.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai sekedar telaah. Terhadap fenomena yang telah dialami seni Musik Tradisional Jawa. Gagasan dan muaranya adalah dengan sejenak menatap fenomena sebuah contoh kesenian, merajut kepedulian dengan semburat pencerahan pemahaman sampai pada pengejawantahan laku bangga akan budaya sendiri - sebuah syarat pokok agar seni dan budaya kita lebih fasih berbicara di ajang dunia.

Wednesday, 11 September 2013

"RASA BALI AROMA AMERIKA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"RASA BALI, AROMA AMERIKA"
by: Michael Gunadi Widjaja


Tak diragukan lagi jika pulau Bali adalah primadona dalam pariwisata Indonesia. Bali memang sarat unsur pendukung industri pariwisata. Dari mulai alamnya, adat istiadat hingga rupa-rupa hasil seni. Tak heran jika beberapa dekade silam. Bali malahan lebih populer dibanding Indonesia. Tentu kita belum lupa akan pertanyaan semacam: “Indonesia itu sebelah mananya Bali?” Pertanyaan yang mungkin menggelikan namun sempat populer dan memang demikianlah Bali - pesona eksotisme pada sebuah pulau Dewata.

Diantara sekian banyak pesona Bali, tentu salah satunya adalah hasil seni budaya. Seni tari, seni kriya, seni arsitektur tradisional, dan tentu saja GAMELAN BALI. Gamelan Bali adalah satu orkestra terpopuler di dunia. Bergandeng tangan dengan Javanese Gamelan. Jika kita sempat berkunjung ke Amerika Serikat, tidaklah sulit bagi kita untuk menemukan fakta bahwa gamelan Jawa dan Bali memiliki popularitas yang luar biasa dibanding musik tradisionil India, Cina, Jepang, Korea, dan kawasan Timur Tengah. Banyak faktor yang menjadikan gamelan Bali dan Jawa demikian populer di USA. Yang jelas adalah karena gamelan Bali dan Jawa memiliki keunikan, eksotisme, dan bahkan erotisme yang agung dan khas.

Monday, 9 September 2013

"SUARA DARI YANG TERGUSUR" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SUARA DARI YANG TERGUSUR"
by: Michael Gunadi Widjaja


Tergusur adalah tersisihkan. Tersisihkan dari sebuah semesta. Tergusur juga adalah terpinggirkan. Terpinggirkan peran dan keberadaannya dalam sebuah kesemestaan. Tergusur bisa juga menyertakan keadaan termarjinalkan, bahkan secara sosial tereliminasi. Salah satu penyebab esensial dari tergusur adalah bahwa peran, fungsi dan keberadaan sesuatu atau seseorang atau sekelompok orang, tersubstitusi/tergantikan. Baik oleh kepentingan-kepentingan tertentu, maupun secara alami dengan laju perkembangan jaman melalui intervensi teknologi.

Kita tentu masih ingat dengan sebuah benda yang disebut BEL (Bell: Bahasa Inggris.) Bagi siswa sekolah bel adalah sebuah tanda bagi sebuah kegiatan yang dikenal sebagai belajar. Bagi pengemudi becak, bel adalah klakson - salah satu safety tools dalam pekerjaannya. Bagi sapi atau kerbau pada pedati, bel adalah pelapang jalan. Bagi petugas pemadam kebakaran, bel adalah bunyi panggilan pengabdian. Pada institusi keagamaan seperti Gereja Katolik, bel adalah manifestasi waktu - sebuah fenomena yang keberadaannya tidak pernah mau berkompromi dengan manusia. Bel dalam bentuk lonceng Gereja bukan sekedar bunyi, melainkan SUARA PANGGILAN. Bahwa dalam rentang periode tertentu adalah saatnya untuk berdevosi, menyembah Sang Maha Esa.

Friday, 6 September 2013

"MUSIK JAZZ VS MUSIK KLASIK" - by: Michael Gunadi Widjaja (Artikel Staccato, Oktober 2013)

"MUSIK JAZZ VS MUSIK KLASIK"
by: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato, September 2013


Judul artikel kali ini bisa saja dirasa sangat provokatif - menghasut maupun membakar. Dan bagi sebagian orang sah-sah saja menganggap judul tersebut sangat berlebihan. Dan memang, tidak pada tempatnya jika Musik Jazz “dipertarungkan” dengan Musik Klasik. Dan “vs” pada judul juga tidak saya maksudkan sebagai sebuah versus. Seperti layaknya pertandingan tinju dan gulat, ”vs” atau versus dalam judul artikel ini adalah sebuah komparasi pemahaman konsep. Dan tentu saja hasil akhirnya bukanlah mana yang terbaik, melainkan pemahaman secara konseptual akan kedua genre musik tersebut.


MUSIK KLASIK
Banyak diantara kita, yang secara “mendengar” pasti akan dapat membedakan, mana yang Musik Klasik dan mana yang Musik Jazz. Namun jika diminta untuk mendeskripsi dengan kata-kata, masih teramat sangat banyak orang yang bingung. Padahal dalam batasan tertentu, pendeskripsian dengan kata-kata adalah salah satu tolok ukur pemahaman seseorang akan sesuatu.

Monday, 2 September 2013

"MUSIK KLASIK SEBAGAI HUMAN HERITAGE" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MUSIK KLASIK SEBAGAI HUMAN HERITAGE"
by: Michael Gunadi Widjaja


Sebelumnya, perlu saya berikan catatan pendefinisian istilah dalam tulisan ini.

Yang dimaksud Musik Klasik dalam tulisan ini adalah:
 
A. Karya musik dalam kurun periode 1750-1820
Periode ini sebagai kelanjutan dari periode BAROQUE pada periodisasi penciptaan seni. Termasuk dalam periode ini adalah simfoni-simfoni akbar gubahan Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, Tchaikovsky, dan masih banyak lagi.

B. Klasik dalam artian sebagai STILO atau gaya bermusik
Dalam skopa ini, materi musiknya bisa saja lagu dari kelompok SLANK. Hanya tata harmoni, pendekatan musikal, dan tata gramatika musiknya dibuat sesuai mazhab WIENER dan MANNHEIMER. Mazab ini adalah dua aliran utama dalam Musik Klasik (pembaca tak perlu pusing, cukup percaya saya, dan ikuti saja alur tulisan ini.)

Yang dimaksud dengan “HUMAN HERITAGE” adalah harta kekayaan umat manusia. Yang luhur, menembus setiap batas ras, kepercayaan, atau apapun. Tujuan akhirnya adalah agar manusia menjadi termuliakan. Tentu dalam artian sebagai mahluk ciptaan KhaliqNYA.

Friday, 30 August 2013

In Memoriam: "BEN PASARIBU" - by: Michael Gunadi Widjaja

In Memoriam: "BEN PASARIBU"
by: Michael Gunadi Widjaja

sumber: malaymusic

Orang kebanyakan hanya mengenal jenis musik seperti Klasik, Pop, Jazz, dan Rock. Belum banyak orang yang mengenal dengan apa yang disebut Musik Kontemporer. Musik Kontemporer memang bukanlah genre musik yang gemerlap. Musik Kontemporer senantiasa mengolah lakunya sendiri untuk senantiasa menjalankan sebuah pembaharuan. Itulah mengapa keberadaan Musik Kontemporer seolah “terasing” di tengah hingar bingar dan gegap gempita serta gemerlapnya jenis musik yang lain. Keadaan ini tidak saja terjadi di tanah air, di negara Eropa dan Amerika Serikat pun Musik Kontemporer harus menikmati kesunyiannya.

Musik Kontemporer secara popular dapat dimaknai sebagai musik yang mengedepani jaman. Untuk senantiasa mengedepani jaman itulah, Musik Kontemporer senantiasa mengupayakan hal baru. Baru dalam arti tata gramatika dan idiom bermusik, baru dalam konsep maupun baru dalam penggunaan ragam alat musik dan eksplorasi terhadap bunyi. Tautan dari pembaharuan ini adalah revitalisasi atau pemberian “daya hidup” yang baru bagi Musik Tradisi. Wujud nyatanya berupa garapan musik gendhing dengan tata komposisi Musik Barat atau gamelan yang diperlakukan tidak lagi sebagai sebuah ensembel, namun tiap piranti gamelan dapat berdiri sendiri - tentu dengan teknik permainan yang mengeksplorasi bunyi dengan cara baru.

Nilai positif dari pertumbuhan Musik Kontemporer adalah hidupnya kembali Musik Tradisi. Musik Tradisi seolah mendapat “baju baru” untuk bersama-sama berbicara dengan sama lantang pada blantika musik dunia. Di Indonesia, ada tiga tokoh utama Musik Kontemporer: Sapto Rahardjo, Slamet Abdul Sjukur, dan Ben Pasaribu.

Thursday, 29 August 2013

"SEKILAS MUSIK KONTEMPORER DI INDONESIA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SEKILAS MUSIK KONTEMPORER 
DI INDONESIA"
by: Michael Gunadi Widjaja


Jika seseorang ditanya tentang jenis musik yang diketahuinya, hampir dapat dipastikan dia akan menyebut jenis-jenis musik seperti: Pop, Jazz, Klasik, Dang dut, dan Keroncong. Pendek kata, jenis musik yang memang akrab menjadi perbincangan masyarakat umum. Jarang orang menyebut jenis Musik Kontemporer. Dan memang begitulah keberadaan Musik Kontemporer: memiliki kesejatian namun seolah “mengambil jarak” dari hiruk pikuk kesemestaan musik, khususnya Musik Industri.

Musik Kontemporer sebetulnya adalah musik yang con tempo(rary). Keberadaannya berpaut erat dengan mengalirnya waktu atau tempo. Itulah mengapa Musik Kontemporer sering juga disebut Musik Garda Depan (avantgarde), karena musik tersebut senantiasa mengedepani sebuah era. Musik kontemporer lazim juga menyandang sebutan new musik atau Musik Baru (namun bukan genre musik new age). Dikarenakan sebagai konsekuensi keberadaannya yang senantiasa mengedepani sebuah era, Musik Kontemporer “dituntut” untuk menghadirkan sesuatu yang baru.

Beberapa orang sering menganggap bahwa Musik Kontemporer adalah produk dari modernisasi atau salah satu pengejawantahan era modern. Sebetulnya, nilai kekontemporeran dalam musik sudah dikenal sejak jaman Johann Sebastian Bach. Pada jamannya, musik Bach sudah dianggap sebagai Musik Kontemporer. Komposisi musik Bach yang bagai air mengalir tanpa jeda, ditambah gaya kontrapung (alur bass dan melodi saling kontra membentuk aliran harmoni, merupakan sebuah komposisi yang jauh melampaui kelaziman saat itu. Untuk Musik Kontemporer sebagai sebuah genre musik yang mandiri, keberadaannya mulai marak setelah berakhirnya Perang Dunia II. 


Tuesday, 27 August 2013

"MENELISIK SEJENAK PENDIDIKAN MUSIK DI SEKOLAH FORMAL" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENELISIK SEJENAK PENDIDIKAN MUSIK DI SEKOLAH FORMAL"
by: Michael Gunadi Widjaja


PENGANTAR
Telah diketahui, dimengerti, dan dipahami bahwa musik adalah bentuk seni olah bunyi. Semesta pembicaraan musik adalah bunyi, dan olahan bunyi dalam musik melibatkan rasa, bahkan karsa manusia yang paling dalam. Itulah mengapa musik bukan sekedar pembelajaran dan/atau pelajaran ketrampilan mengolah bunyi. Musik adalah sebuah pendidikan. Di Indonesia, pendidikan masih sangat didominasi jalur formal. Jalur formal yang dimaksud adalah sekolah formal di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. SD, SMP, SMA, Sekolah kejuruan tidak termasuk dalam pembicaraan tulisan ini. Dengan demikian, pendidikan musik pun semestinya memiliki intensitas terbesarnya di sekolah formal. Menelisik sejenak keadaan pendidikan musik di sekolah formal, adalah upaya untuk bercermin pada diri dan kesekitaran. Bercermin untuk dapat memaknai keberadaan dan masa depan pendidikan musik. Cabang kesenian yang memiliki nilai kemanusiaan dan kemampuan sebagai alat pemersatu dan bahkan pemecah konflik bangsa-bangsa di dunia.

KEBERADAAN PENDIDIKAN MUSIK
Musik di sekolah formal disajikan dalam bentuk bagian dari mata pelajaran kesenian. Bersama dengan seni tari, seni teater, seni lukis, dan seni kriya. Tujuan pendidikan musik di sekolah dijabarkan dalam KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP). Pelaksanaannya diukur dengan sebuah STANDAR KOMPETENSI. Jika dilihat muatan KTSP dan fungsi dari sekolah formal yang adalah sekolah umum, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan musik di sekolah formal bertujuan MENUMBUHKAN RASA CINTA TERHADAP MUSIK. Adapun Tujuan yang sering didengang dengungkan, seperti misalnya membekali siswa dengan pengetahuan bermain musik dan pengenalan alat musik agaknya merupakan angan-angan yang masih jauh jangkauannya.

Monday, 26 August 2013

"MENUJU MASYARAKAT BEBAS BISING" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENUJU MASYARAKAT BEBAS BISING"
by: Michael Gunadi Widjaja


Disadari atau tidak, kita berada pada tatanan kehidupan sosial yang sangat mengagungkan Budaya Kasat Mata. Seringkali kita menjadi ribut bagaikan orang kebakaran jenggot, jika kebetulan kita melihat perempuan memakai kaos dengan belahan dada rendah ataupun celana dengan belahan pantat menyembul. Kita dan juga para pamong di pemerintahan akan merasa gerah dan geram jika melihat maraknya pengemis dan gelandangan di jalan-jalan protokol kita. Kita pun pasti akan membuat reaksi yang sungguh reaksioner terhadap apapun yang terlihat mata. Betapa mata telah memperoleh kemanjaan pada budaya yang berkembang dalam kehidupan sosial kita. Begitu memanjakannya kita pada mata, hingga tanpa sadar kita bersikap bahwa mata hanya boleh melakukan fungsinya untuk sesuatu yang baik, indah, layak, dan patut. Yang sayangnya seringkali terlampau subyektif sifatnya.

Di sisi yang lain kita sangat tidak sadar. Bahwa sebetulnya, dengan terlalu memanjakan mata, kita melupakan organ indra vital kita yang lainnya, yakni: telinga. Karena terlalu asyik memanjakan mata, kita tak sadar bahwa ada bahaya baru yang sedang mengancam dan mengintai kita. Bahaya tersebut hanya dapat ditengarai oleh telinga. Bahaya tersebut bahkan sudah merupakan sebuah koloni yang siap menjajah dan meluluh lantakkan daya persepsi otak kita: KEBISINGAN.


"SAX" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SAX"
by: Michael Gunadi Widjaja


Hmmm... saya seorang pria yang pastinya sangat menikmati indahnya perempuan… ehem… 
Saya seorang pemusik. Imajinasi saya lebih banyak berawal dari musik. 
Seperti contohnya saat saya berpikir tentang saxophone, saya akan berimajinasi tentang ekpresi perempuan saat mereka mendengar suara saxophone atau memainkan alat musik ini… felling beauty and sexy! Really? No… No… No… 

Saya bukan salah menulis judul. 
Tulisan saya kali ini memang tentang SAX bukan SEX. 
Apa itu SAX? Bagaimana SAX? Siapa SAX? 
Mari kita mulai mengenalnya… sudah cukup saya bermain dengan imajinasi saya… :) 

Sax adalah nama panggilan akrab dari ADOLPHE SAX, sang penemu alat musik SAXOPHONE. Nama si penemu yang satu ini memang tidaklah setenar hasil temuannya, bahkan sangat jauh tenggelam dibanding artis musik yang memainkan alat temuannya. Jika kita sempat melancong ke New York, di kawasan 42nd street dekat On Broadway maupun Off Broadway, kita akan menemukan begitu banyak orang memainkan saxophone. Kepopuleran Saxophone terutama di kalangan masyarakat kulit hitam di AS setara dengan popularitas bola basket. Jelas popularitas sedemikian tak dimiliki Adolphe Sax sang penemu saxophone. Demikian juga jika kita bicara tentang artis pemain saxophone. Terutama yang demikian populer seperti Grover Washington Jr., Kenny G, Sadao Watanabe, dan legenda jazz saxophone seperti Ornette Coleman, dan John Coltrane. Adolphe Sax sama sekali tak sebanding dengan mereka dalam soal popularitas.


Thursday, 22 August 2013

"GAMELAN MENEMBUS MILENIUM" - by: Michael Gunadi Widjaja

"GAMELAN MENEMBUS MILLENIUM"
by: Michael Gunadi Widjaja


Seperangkat perkusi yang terbuat dari metal. Membentuk sebuah orkestrasi bunyi yang lengkap, kompleks, dan khas. Itulah Gamelan. Orkestra perkusi metal sebetulnya dikenal juga di Cina, Vietnam, Kamboja, dan juga Thailand. Daerah di Indonesia pun tak cuma satu yang mengenal orkes perkusi metal. Jawa barat, Jawa tengah, dan Bali. Namun istilah gamelan khusus diperuntukkan bagi orkes perkusi metal di Jawa Tengah dan Yogyakarta. 

Sejak abad ke-8 dan abad ke-9 gamelan telah ada dan dikenal. Seiring berjalannya waktu, gamelan seolah terpinggirkan oleh ekspansi Musik Barat. Gamelan menjadi orkestra bunyi yang asing bahkan di daerah asalnya. Generasi anak jaman lebih terpukau dengan Musik Barat yang kental oleh nuansa gemerlap industri musik. Dan gamelan pun tercitrakan hanya sebagai bentuk seni yang kuno, antik, asing, aneh, dan ketinggalan jaman. Tentu saja fenomena ini sangat menyedihkan, memilukan, dan memprihatinkan. Sebagai salah satu NATIONAL HERITAGE, gamelan mestinya dapat lebih banyak berbicara di kalangan generasi anak bangsa.



Wednesday, 21 August 2013

"MIXING GITAR KLASIK" (AudioPro Juli 2013) - by: Michael Gunadi Widjaja

"MIXING GITAR KLASIK"
(Artikel AudioPro Juli 2013)
by: Michael Gunadi Widjaja



Semesta pembicaraan dalam tulisan ini adalah dua istilah, yakni MIXING dan GITAR KLASIK. Yang dimaksud gitar klasik dalam tulisan ini adalah gitar akustik dengan dawai nylon. Gitar semacam ini ada yang akustik sejati, adapula yang akustik elektrik. Dalam arti terdapat sirkuit elektronik dalam body gitar - baik yang berfungsi sebagai pre amplifikasi, maupun yang berupa embedded microphone.

Bunyi gitar klasik memiliki tantangan tersendiri dalam rangkaian proses mixing. Sebagaimana piranti akustik pada umumnya, gitar klasik memiliki kemungkinan bagi eksplorasi bunyi. Hasil eksplorasi bunyi tersebut berupa TONE COLOR atau warna bunyi. Tone color ini sangat berbeda dengan TIMBRE yang adalah bunyi asli si piranti. Tone color inilah yang nantinya dalam proses mixing, semestinya bisa terdengar dengan semestinya. Selain tone color, piranti akustik senantiasa menyertakan frekuensi harmonic dari sebuah nada yang dihasilkan. Frekuensi harmonic ini lah yang membuat bunyi piranti akustik terkesan lebih hidup. Lebih hidup dalam artian warm and thick, lebih hangat dan tebal. Parameter semacam ini memang bisa sangat subyektif. Namun seberapa pun subyektifitas membayangi, warm and thick pada akustik tetap akan terasa, apalagi jika dipersandingkan dengan piranti elektronik. Selain dua hal tersebut, yang membuat piranti akustik menjadi khas adalah bunyi material piranti itu sendiri. Misalnya gesekan jari pada dawai dan getaran body gitar saat dawai terpetik saat dipetik.

Tuesday, 20 August 2013

PIANO: "TAK SEKEDAR HITAM PUTIH" - by: Michael Gunadi Widjaja

PIANO: "TAK SEKEDAR HITAM PUTIH"
by: Michael Gunadi Widjaja


Dalam menjalani kehidupan, kita seringkali berhadapan dengan aneka hal yang merupakan dikotomi. Bahkan beberapa hal sudah seolah memiliki kodrat untuk ber“majemuk.” Sebut saja misalnya: ada panas tentu ada dingin, ada kering tentu ada basah, dan sejenisnya. Hampir semua fenomena penting dalam kehidupan tak lepas dari adanya dikotomi. Bahkan untuk sementara orang, dikotomi merupakan suatu standarisasi bagi penilaian akan eksistensi sesamanya. Orang kemudian mengenal sisi kehidupan YANG HITAM DAN YANG PUTIH.

Hitam putih sebagai sebiah dikotomi kehidupan tentu memiliki banyak relung permenungan. Dan keberadaannya merambah juga dalam bidang eksistensi jati diri manusia yang paling sublimatif, yakni: SENI. Orang tentu akan segera terasosiasikan dengan sebuah instrumen musik saat mulai merenung dan dihadapkan pada hitam dan putih: PIANO. Banyak hal yang bisa kita permenungkan dari keberadaan sebuah piano. Tidak saja dari elementasi musikal, namun banyak semburat makna yang akhirnya memancarkan pencerahan bahwa sejatinya kehidupan itu tidaklah sekedar hitam dan putih belaka.

Monday, 19 August 2013

THE BEATLES: "WARNA DALAM BLANTIKA" - by: Michael Gunadi Widjaja

THE BEATLES:
"WARNA DALAM BLANTIKA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Ranah seni, ranah kehidupan itu sendiri, adalah blantika. Blantika yang harus ditapaki sepanjang keberadaan manusia. Napak tilas manusia pada blantikanya, senantiasa bertabur warna. Dunia menjadi gempar, gegap gempita, dan bahkan terbuai, terbius, terlena, saat empat pemuda dari Liverpool Inggris bermusik. Gaung spektakulernya kemudian melegenda sampai hari ini. THE BEATLES” - sebuah legenda blantika musik populer, ikon Musik Populer dunia. Dan bahkan sementara kalangan berani untuk berujar, jangan berbicara tentang Musik Pop tanpa menyebut The Beatles.

Sudah banyak literatur tentang kesuksesan The Beatles. Di Indonesia pun sudah teramat banyak literatur yang berkaitan dengan sosok figuratif, perjalanan karir, momen emas, hingga analisa rahasia sukses The Beatles. Yang agaknya tetap menjadi aktual adalah mempermenungkan The Beatles, untuk sampai pada sebuah semburat kesadaran bahwa sebetulnya senantiasa harus ada warna dalam blantika manapun yang kita arungi.


"MENDUNG BELUM JUGA SIRNA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENDUNG BELUM JUGA SIRNA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Dunia kesenian di tanah air kita, nampaknya menampilkan sosoknya dalam dua wajah. Wajah yang pertama adalah wajah yang gemerlap, elok nan rupawan, wangi dan menggairahkan. Hal ini terjadi tatkala kita memandang dunia kesenian dari sosok para artis, selebriti dan para maestro. Lihat saja misalnya para ikon Musik Pop di tanah air: muda, paras rupawan, penghasilan dalam nilai puluhan bahkan ratusan juta, rumah yang elitis, mobil yang sporty, dan gaya hidup yang pasti membuat orang ingin mencecapnya. Atau juga para maestro seni kita yang menghasilkan karya musik dengan nilai rupiah yang tinggi, yang menghasilkan karya lukisan seharga milyaran, atau karya patung yang nilainya membuat decak kagum.

Memandang wajah dunia kesenian kita yang semacam itu, sebagian orang menganggap, bahwa para seniman tersebut layak mendapatkan segala yang ternikmati saat sekarang. Karena perjuangan mereka dahulu dipenuhi kegetiran. Ibarat berdarah-darah, merangkak dari lapisan nasib yang terbawah. Anggapan demikian sampai batas tertentu adalah tepat. Namun, banyak juga, bahkan amat banyak seniman yang tiba-tiba saja karirnya meroket secara instan, terutama di kalangan Musik Pop. Bayangkan, hanya mencipta lagu dengan akor sederhana, memetik gitar juga dengan teknik miskin, kok bisa mendadak memiliki mobil super mewah? Hal semacam ini dimungkinkan oleh adanya peran industri seni, dengan sentuhan tangan ajaibnya, dan sampai batas tertentu fenomena demikian adalah baik adanya.

Wajah dunia seni kita yang satu lagi sangat bertolak belakang dari wajah yang pertama. Wajah ini adalah pengejawantahan “seniman pekerja.” Mereka yang bekerja dalam kesenian namun tak sempat mengenyam popularitas dengan segala gemerlapnya. Bagi seniman pekerja, dunia kesenian adalah ladang batu cadas yang harus diberi gincu dengan karya. Yang harus digumuli dengan kecemasan akan penghasilan esok hari dan harus disetubuhi tidak dengan wewangian, namun dengan doa dan pengharapan serta keringat dan kerja keras.

Sunday, 18 August 2013

"DAWAI CINTA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"DAWAI CINTA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja



Disini saya ingin menghantar pembaca untuk sejenak menikmati alunan biola yang cukup menghanyutkan emosi kita. Kita digiring pada rasa sedih, tetapi juga ada perasaan tenang yg menyentuh setiap relung terdalam hati kita. Satu kelembutan yg begitu lembut, satu keanggunan yg elegan... Inilah kesejatian alunan DAWAI-DAWAI BIOLA.

Ada satu ungkapan yang terkenal tentang cinta: “Love is a  many splendored things.” Cinta memang satu kata berjuta makna. Tak habis-habisnya orang berbicara tentang cinta. Tak bosan-bosannya cinta itu diobral. Dan seolah tak lekang dan tak pupus upaya orang untuk mencari lesejatian cinta. Tak jengah pula orang berulang-ulang mencoba memaknai cinta. Maka tak mengherankan, jika cinta kemudian memperoleh takhtanya dalam ranah yang merupakan pengejawantahan kulminasi cipta dan karsa manusia: SENI.

Sudah terlampau banyak seni bicara tentang cinta. Meski demikian makna cinta yang disemburatkan ranah seni seolah malah menjadi penyegar aroma cinta setiap insan di muka bumi ini. Tak terkecuali yang disemburatkan seni musik. Diantara beragam pengungkap cinta dalam ranah musik, salah satunya adalah dawai. Dawai yang senantiasa sarat permenungan. Dawai yang kadang banyak memunculkan kontroversi. Dan dawai yang adalah titian sanubari dalam memaknai sebuah karunia Ilahi yang agung - CINTA.


Saturday, 17 August 2013

"FENOMENA POPEYE" - by: Michael Gunadi Widjaja

"FENOMENA POPEYE"
by: Michael Gunadi Widjaja


Hampir dapat dipastikan banyak, bahkan teramat banyak orang telah mengenal POPEYE - tokoh animasi yang memang telah mendunia. Berpuluh tahun lamanya tokoh Popeye menghibur dan menyampaikan pesan moral. Penggemarnya beragam dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia. Di Indonesia, Popeye sudah hadir dalam bentuk film kartun semenjak TVRI masih menjadi satu-satunya stasiun televisi. Saat itu Popeye masih ditayangkan dalam rupa film hitam putih. Sampai hari ini Popeye tetap digemari dan Popeye hadir juga dalam aneka rupa: stiker, pola bordir, gambar cap pada gelas, kaos, tromol makan, kaos kaki, dan aneka pernak-pernik lainnya. Bahkan di Texas, terdapat monumen Popeye.


Friday, 16 August 2013

"ROMANZA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"ROMANZA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Romanza, sebuah kisah cinta. Dalam cinta memang terdapat berbagai rupa kisah. Tak sekedar asmara. Tak sekedar nafsu, juga tak sekedar kasih yang dalam tatanan kulminasinya seringkali menyisakan absurditas. Namun apapun formanya, cinta senantiasa menarik dan cinta selalu memiliki kisahnya sendiri.

Kisah cinta banyak dimanifestasikan manusia. Dari prosa yang liris sampai puisi cabul yang kering dan menjijikkan. Dari lagu cinta yang dinyanyikan dengan berteriak-teriak sampai karya masterpiece komposer legendaris. Juga dari mulai torehan gambar hati, angsa berciuman hingga ilustrasi persetubuhan yang liar yang panas.


Bagi penggemar musik gitar, ada sebuah romanza yang tentu telah akrab didengar. Hampir semua pemain gitar klasik di seluruh dunia memainkannya: “ROMANCE D’AMOUR” - sebuah musik cinta yang abadi. Sebagian orang mengatakan bahwa komposer Romance de Amor adalah Vincente Gomez. Sebagian lagi menganggapnya adalah anonim, tak dikenal, dan merupakan sebuah melodi yang folklorik. Apapun itu, yang pasti Romance De Amor pertama kali dipopulerkan oleh gitaris Narcisso Yepez. Saat itu Yepez memainkan Romance De Amor sebagai ilustrasi film.

Thursday, 15 August 2013

"SIZE: IT DOESN'T MATTER!" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SIZE: IT DOESN'T MATTER!"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Kecil, acapkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang inferior. Lemah, sangat remeh, kurang bermakna, dan bahkan sering pula dikonotasikan sebagai hal yang “merendahkan” dan bahkan “memalukan” serta memilukan. Simak saja ujaran seperti berikut ini: ”Ah, badannya terlalu kecil untuk menjadi bintang bola basket…” atau juga ”wah, payah, anu suamiku ukurannya kecil…”

Di sisi yang lain ada semacam rhetorika yang merupakan penghiburan bagi konotasi inferior tentang kecil. Kita sering mendengar ungkapan seperti: Kecil-kecil cabe rawit” atau juga celotehan semacam: Biar kecil, yang penting goyangannya.” Jadi rupanya, tepat juga adagium yang mengatakan “SIZE: IT DOESN’T MATTER!”

Konotasi makna bukan sekedar persepsi individual. Sampai batas tertentu persepsi individual dapat menjadi persepsi komunal. Dengan demikian, sangat mungkin terjadi adanya persepsi publik bahwa yang kecil pasti inferior. Ini tentu tidak sejalan dengan realita yang dihadapi orang jaman sekarang. Sebuah realita yang sangat fatal jika hanya ditelaah secara dikotomis belaka. Nampaknya perlu ada upaya menyemburtkan persepsi yang lebih baik dari sekedar dikotomi. Dan pencerahan semacam ini dapat dimulai dengan memberi persepsi yang seimbang terhadap makna sebuah kata.

Persepsi makna kata yang seimbang, dapat dimulai dari ranah SENI. Sebuah ranah yang mampu mensublimasi sampai pada tingkat subtilitasnya, dari semua kebutuhan dan kehausan rasa dan karsa manusia. Musik sebagai cabang seni juga menjadi media yang layak untuk menyeimbangkan persepsi guna mendapatkan pandangan menyeluruh akan makna kata. Dengan daya afeksinya yang luar biasa, musik mampu mencerahkan makna. Sebab jika sebuah kata hanya dimaknai secara picik, maka akan banyak akibat yang ditanggung khalayak - khususnya mengenai kebijakan dalam tatanan hidup bermasyarakat.

 Jake Shimabukuro

Tuesday, 13 August 2013

"MAHASVARA" - by Michael Gunadi Widjaja

"MAHASVARA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Manusia dalam kodratnya adalah makhluk sosial - makhluk yang mengenal kehidupan komunal. Dalam komunitasnya, manusia akan bermasyarakat atau bersosialisasi dan mensosialisasikan dirinya. Untuk menjalankan kegiatan sosialisasinya manusia mutlak memerlukan komunikasi. Dan dalam melakukan komunikasi, manusia senantiasa melibatkan indrawinya. Yang utama adalah mata, mulut, dan telinga. Tentu juga otak dan apa yang dikenal sebagai perasaan.

Untuk dapat melakukan komunikasi dengan semestinya, manusia memerlukan konsepsi pemahaman akan materi yang sedang dikomunikasikan. Dan pemahaman ini sebetulnya sangat bergantung pada daya penerimaan indrawinya. Semestinya, untuk dapat memperoleh pemahaman, harus ada keseimbangan asupan terutama antara mata dan telinga. Sayangnya, di jaman sekarang kita sudah terlampau memanjakan mata dan secara tanpa sadar menganak-tirikan telinga.


Sunday, 11 August 2013

"OASE BATHIN" - by Michael Gunadi Widjaja

"OASE BATHIN"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Dalam kajian filosofi, banyak digagas bahwa kehidupan manusia adakah sebuah pengembaraan. Pengembaraan dalam blantika kehidupan. Pengembaraan yang berupa sebuah perjalanan. Perjalanan dalam menapaki umur dunia. Dalam ungkapan yang berbeda, dapatlah disebut bahwa kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan musafir. Sebagai musafir, yang melakukan perjalanan menapaki umur dunia dengan aneka ragam fenomena yang dihadapi, manusia tentu dapat merasakan kekeringan, juga mengalami kehausan. Bukan saja haus dalam artian fisik, yang memang merupakan sebuah proses faal, namun juga kehausan makna dan gagasan serta nuansa bathiniahnya.

Di sisi lain, alam sebagai karunia Sang Ilahi menyediakan bermacam manfaat. Tentu diandaikan manusia dapat memanfaatkan semua yang ada di alam untuk penyelesaian “misi” musafirnya. Salah satu karunia Sang Ilahi yang berupa kekayaan alam, dan berperan besar bagi suksesnya misa peziarahan manusia di dunia adalah AIR.


"Di Facebook pun Ada Harga Yang Harus Dibayar" - by Michael Gunadi Widjaja

"DI FACEBOOK PUN 
ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Seorang teman pernah berkata kepada saya: “Gun, dalam hidup ini kita boleh melakukan apa saja…..namun kita harus siap membayarnya….” Rupanya teman saya itu ingin memberi penekanan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang seratus persen gratisan. Persis seperti ungkapan yang sering dilontarkan di kalangan pebisnis: Nothing is Free.” Tentu kita memahami bahwa yang dimaksud “membayar” tidaklah selalu dengan menyerahkan sejumlah uang dan/atau kertas berharga yang dipersamakan dengan uang. Dengan kata lain, membayar dapat pula dimaknai sebagai adanya konsekuensi yang harus ditanggung dan tertanggungkan dalam tiap tindakan kita.

Tindakan kita, yang tentu termasuk konsekuensi yang menyertainya, berada dalam semesta pembicaraan yang dikenal sebagai ranah sosialisasi. Dalam bersosialisasi, kita menggunakan sarana dalam berbagai bentuk. Tentu tujuannya adalah memperlancar dan meningkatkan mutu sosialisasi kita. Nampaknya upaya semacam itu pas dengan kodrat manusiawi kita sebagai makhluk sosial. Diantara ragam sarana sosialisasi, salah satu yang cukup populer adalah Social Networking - jejaring sosial. Dari sekian ragam jejaring sosial, Facebook nampaknya sudah cukup populer. Sebagaimana jejaring sosial yang lainnya, Facebook pun menjunjung tinggi adagium saling terhubung dan saling berbagi. Adagium inilah yang ternyata memiliki sisi yang nampaknya kurang disepahami oleh banyak orang.