"MAHASVARA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Manusia
dalam kodratnya adalah makhluk sosial - makhluk yang mengenal kehidupan
komunal. Dalam komunitasnya, manusia akan bermasyarakat atau bersosialisasi dan
mensosialisasikan dirinya. Untuk menjalankan kegiatan sosialisasinya manusia
mutlak memerlukan komunikasi. Dan dalam melakukan komunikasi, manusia
senantiasa melibatkan indrawinya. Yang utama adalah mata, mulut, dan telinga. Tentu
juga otak dan apa yang dikenal sebagai perasaan.
Untuk dapat
melakukan komunikasi dengan semestinya, manusia memerlukan konsepsi pemahaman
akan materi yang sedang dikomunikasikan. Dan pemahaman ini sebetulnya sangat
bergantung pada daya penerimaan indrawinya. Semestinya, untuk dapat memperoleh
pemahaman, harus ada keseimbangan asupan terutama antara mata dan telinga. Sayangnya, di
jaman sekarang kita sudah terlampau memanjakan mata dan secara tanpa sadar
menganak-tirikan telinga.
Tengok saja
misalnya pada sebuah pertunjukan musik. Orang lebih tertarik pada pinggul
penyanyi, ketampanan pemain gitar, atraksi pamer ketiak, sembulan dada, dan
goyang pantat dibandingkan dengan menikmati musiknya. Penyanyi bertubuh gembrot
meski memiliki suara emas, pasti akan kalah pamor dengan penyanyi bersuara
tokek namun lihai memamerkan ketiak. Ini sebuah fenomena bahwa kita lebih
tertarik dengan sesuatu yang sifatnya visual/kasat mata dan jelas kita lebih memanjakan mata daripada
telinga.
Rupanya mata
memang sudah sedemikian memperoleh kemanjaan dari kehidupan manusia modern. Hubungan
suami istri misalnya. Seorang suami akan merasa gembira melihat tubuh istrinya
yang padat berisi, melihat istrinya berbelanja dan tersenyum. Suami akan
menyimpulkan bahwa istrinya bahagia. Kesimpulan yang didapatnya melalui mata. Namun
apakah bathin istrinya memang sebahagia yang kasat mata? Belum tentu. Namun, itulah hak
“istimewa” mata dibanding telinga.
Mata untuk
kebanyakan dari kita memang adalah “anak manja.” Sedemikian manjanya hingga
mata juga memainkan kerling pada ranah politik. Perdebatan tentang status
Sultan Jogja misalnya. Mau tidak mau dapat dimaknai sebagai hasil olah persepsi
mata. Ada pihak yang melihat
bahwa Jogja adalah sistem Monarki. Monarki secara an sich yang adalah sesuatu yang kasat mata. Kemudian persepsi melalui mata
tersebut lebih termanjakan lagi dengan upaya melihat pula
kemungkinan-kemungkinan dan pengandaian yang merupakan pengembangan dari kesan
persepsi visual lewat mata. ”Bagaimana
jika Sultan Jogja berkuasa hingga usia 90 tahun? Bagaimana pula jika Sultan berikutnya adalah bocah berumur 9
tahun?” Tanpa
diimbangi upaya mencoba mendengar suara nurani masyarakat lokal.
Memang
tidaklah salah jika kita memanjakan mata. Namun setidaknya, janganlah dengan
memanjakan mata kemudian kita mengabaikan telinga. Secara normal, manusia
dianugerahi Tuhan dua mata dan dua telinga. Permenungan kita tentu akan sampai
pada sebuah konklusi bahwa semestinya ada perlakuan yang seimbang antara mata
dan telinga.
Menggagas kembali peran telinga dalam
masyarakat masa kini, pada esensinya adalah mengupayakan budaya mendengarkan.
Telinga untuk mendengarkan dan bukan telinga yang hanya mampu mendengar saja. Mendengarkan
adalah sebuah kejadian mendengar yang disertai upaya pemahaman. Saat fenomena ini akan dibudayakan, saatnya kita
menilik pada MAHASVARA.
Dalam ranah
Musik Kontemporer, Mahasvara dimaknai sebagai “THE DEEP SOUND” - suara, bukan bunyi, yang memiliki kedalaman yang
transendensi atau dalam istilah bahasa Jawa diungkapkan sebagai Tatas
Nembus Bawana. Mahasvara pernah menjadi tema utama dalam pertemuan Liga Komposer Asia pada 1999 (The 20th Festival and
Conference Asia Composer League) yang meski telah satu dasawarsa lebih, masih layak untuk kita
tengok kembali.
Mahasvara
memiliki semesta pembicaraan tentang bagaimana menjadikan suara sampai pada
tingkat yang transenden, menjadi materi musik. Langkah awalnya adalah
meningkatkan peran serta kemampuan telinga. Upaya ini dilakukan dengan memberi porsi kemanjaan yang sama antara mata
dan telinga. Malahan dalam beberapa keadaan, telinga mendapat perlakuan lebih
termanjakan.
Upaya untuk
dapat sublim dalam semesta Mahasvara salah satunya adalah dengan melatih
kemampuan telinga. Mirip seperti laku masuk ke dalam keheningan hingga telinga
dapat mendengar suara-suara sekitar dan dapat membedakan bermacam suara, serta
bunyi di sekitar kita. Kemudian hasil pembedaan oleh telinga tersebut dikembangkan
pada tahap mendengarkan - mulai dari suara dan bunyi di sekitar sampai pada
suara dan bunyi yang terdapat dalam tubuh kita (nafas, detak jantung, bahkan
aliran darah). Kegiatan semacam ini memang membutuhkan waktu dan ketekunan.
Untuk
kehidupan yang dinamis seperti sekarang ini, dengan modernitas dan persaingan
di segala bidang, agaknya upaya untuk masuk ke dalam semesta Mahasvara menjadi
sesuatu yang harus dicapai dengan “kerja keras.” Namun jika kita menyempatkan
diri untuk sedikit saja mencecap kesadaran tentang keberadaan kita, Mahasvara
dapat menjadi sarana untuk perimbangan persepsi pemahaman tentang hal-hal yang
kita hadapi dalam kehidupan ini.
Dengan
semakin kompleksnya dinamika kehidupan, hal-hal yang kita hadapi juga semakin
rumit. Tentu ini membutuhkan pemahaman, agar kita tidak tergagap dalam
mengambil sikap. Pemahaman yang bukan sekedar pengertian namun sampai pada
tahapan komprehensif. Mahasvara menyediakan wahana untuk sampai pada pemahaman
semacam itu, agar kita tidak terjebak oleh fatamorgana mata dan juga agar kita
tidak mendengar dengan mulut. Mendengar dengan mulut??!! Asyik berbicara
sendiri saat seseorang sedang memaparkan pendapatnya, yang mestinya kita cerna
dengan pendengaran dan mengalami proses mendengarkan.
Yiruma "KISS THE RAIN"
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.