Tuesday 13 August 2013

"MAHASVARA" - by Michael Gunadi Widjaja

"MAHASVARA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Manusia dalam kodratnya adalah makhluk sosial - makhluk yang mengenal kehidupan komunal. Dalam komunitasnya, manusia akan bermasyarakat atau bersosialisasi dan mensosialisasikan dirinya. Untuk menjalankan kegiatan sosialisasinya manusia mutlak memerlukan komunikasi. Dan dalam melakukan komunikasi, manusia senantiasa melibatkan indrawinya. Yang utama adalah mata, mulut, dan telinga. Tentu juga otak dan apa yang dikenal sebagai perasaan.

Untuk dapat melakukan komunikasi dengan semestinya, manusia memerlukan konsepsi pemahaman akan materi yang sedang dikomunikasikan. Dan pemahaman ini sebetulnya sangat bergantung pada daya penerimaan indrawinya. Semestinya, untuk dapat memperoleh pemahaman, harus ada keseimbangan asupan terutama antara mata dan telinga. Sayangnya, di jaman sekarang kita sudah terlampau memanjakan mata dan secara tanpa sadar menganak-tirikan telinga.


Tengok saja misalnya pada sebuah pertunjukan musik. Orang lebih tertarik pada pinggul penyanyi, ketampanan pemain gitar, atraksi pamer ketiak, sembulan dada, dan goyang pantat dibandingkan dengan menikmati musiknya. Penyanyi bertubuh gembrot meski memiliki suara emas, pasti akan kalah pamor dengan penyanyi bersuara tokek namun lihai memamerkan ketiak. Ini sebuah fenomena bahwa kita lebih tertarik dengan sesuatu yang sifatnya visual/kasat mata dan jelas kita lebih memanjakan mata daripada telinga.

Rupanya mata memang sudah sedemikian memperoleh kemanjaan dari kehidupan manusia modern. Hubungan suami istri misalnya. Seorang suami akan merasa gembira melihat tubuh istrinya yang padat berisi, melihat istrinya berbelanja dan tersenyum. Suami akan menyimpulkan bahwa istrinya bahagia. Kesimpulan yang didapatnya melalui mata. Namun apakah bathin istrinya memang sebahagia yang kasat mata? Belum tentu. Namun, itulah hak “istimewa” mata dibanding telinga.

Mata untuk kebanyakan dari kita memang adalah “anak manja.” Sedemikian manjanya hingga mata juga memainkan kerling pada ranah politik. Perdebatan tentang status Sultan Jogja misalnya. Mau tidak mau dapat dimaknai sebagai hasil olah persepsi mata. Ada pihak yang melihat bahwa Jogja adalah sistem Monarki. Monarki secara an sich yang adalah sesuatu yang kasat mata. Kemudian persepsi melalui mata tersebut lebih termanjakan lagi dengan upaya melihat pula kemungkinan-kemungkinan dan pengandaian yang merupakan pengembangan dari kesan persepsi visual lewat mata. Bagaimana jika Sultan Jogja berkuasa hingga usia 90 tahun? Bagaimana pula jika Sultan berikutnya adalah bocah berumur 9 tahun?” Tanpa diimbangi upaya mencoba mendengar suara nurani masyarakat lokal.


Memang tidaklah salah jika kita memanjakan mata. Namun setidaknya, janganlah dengan memanjakan mata kemudian kita mengabaikan telinga. Secara normal, manusia dianugerahi Tuhan dua mata dan dua telinga. Permenungan kita tentu akan sampai pada sebuah konklusi bahwa semestinya ada perlakuan yang seimbang antara mata dan telinga.

Menggagas kembali peran telinga dalam masyarakat masa kini, pada esensinya adalah mengupayakan budaya mendengarkan. Telinga untuk mendengarkan dan bukan telinga yang hanya mampu mendengar saja. Mendengarkan adalah sebuah kejadian mendengar yang disertai upaya pemahaman. Saat fenomena ini akan dibudayakan, saatnya kita menilik pada MAHASVARA.

Dalam ranah Musik Kontemporer, Mahasvara dimaknai sebagai “THE DEEP SOUND” - suara, bukan bunyi, yang memiliki kedalaman yang transendensi atau dalam istilah bahasa Jawa diungkapkan sebagai Tatas Nembus Bawana. Mahasvara pernah menjadi tema utama dalam pertemuan Liga Komposer Asia pada 1999 (The 20th Festival and Conference Asia Composer League) yang meski telah satu dasawarsa lebih, masih layak untuk kita tengok kembali.


Mahasvara memiliki semesta pembicaraan tentang bagaimana menjadikan suara sampai pada tingkat yang transenden, menjadi materi musik. Langkah awalnya adalah meningkatkan peran serta kemampuan telinga. Upaya ini dilakukan dengan memberi porsi kemanjaan yang sama antara mata dan telinga. Malahan dalam beberapa keadaan, telinga mendapat perlakuan lebih termanjakan.

Upaya untuk dapat sublim dalam semesta Mahasvara salah satunya adalah dengan melatih kemampuan telinga. Mirip seperti laku masuk ke dalam keheningan hingga telinga dapat mendengar suara-suara sekitar dan dapat membedakan bermacam suara, serta bunyi di sekitar kita. Kemudian hasil pembedaan oleh telinga tersebut dikembangkan pada tahap mendengarkan - mulai dari suara dan bunyi di sekitar sampai pada suara dan bunyi yang terdapat dalam tubuh kita (nafas, detak jantung, bahkan aliran darah). Kegiatan semacam ini memang membutuhkan waktu dan ketekunan.


Untuk kehidupan yang dinamis seperti sekarang ini, dengan modernitas dan persaingan di segala bidang, agaknya upaya untuk masuk ke dalam semesta Mahasvara menjadi sesuatu yang harus dicapai dengan “kerja keras.” Namun jika kita menyempatkan diri untuk sedikit saja mencecap kesadaran tentang keberadaan kita, Mahasvara dapat menjadi sarana untuk perimbangan persepsi pemahaman tentang hal-hal yang kita hadapi dalam kehidupan ini.

Dengan semakin kompleksnya dinamika kehidupan, hal-hal yang kita hadapi juga semakin rumit. Tentu ini membutuhkan pemahaman, agar kita tidak tergagap dalam mengambil sikap. Pemahaman yang bukan sekedar pengertian namun sampai pada tahapan komprehensif. Mahasvara menyediakan wahana untuk sampai pada pemahaman semacam itu, agar kita tidak terjebak oleh fatamorgana mata dan juga agar kita tidak mendengar dengan mulut.  Mendengar dengan mulut??!! Asyik berbicara sendiri saat seseorang sedang memaparkan pendapatnya, yang mestinya kita cerna dengan pendengaran dan mengalami proses mendengarkan.

Yiruma "KISS THE RAIN"

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.