Monday, 1 September 2025
GURU MUSIK - by: Michael Gunadi | Staccato, September 2025
Thursday, 31 July 2025
Chopin Melanglang Buana - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2025
Ketika anda mendengar nama Chopin, salah satu hal yang terlintas di benak anda adalah POLANDIA. Tanah yang sangat dicintai dan dibanggakan Chopin. Lalu Anda akan bertanya, ngapain Chopin ke Inggris yang pada jaman itu tergolong jauh? Kisah kujungan Chopin ke Inggris merasa perlu diketengahkan karena sangat mirip dengan fenomena yang terjadi pada para guru musik terutama piano di tanah air. Mencermati kisah Chopin mungkin anda bisa menarik sedikit benang dari semburat realita salah seorang legenda Musik Klasik. Bahan dari kumpulan lecturer saya dan saya usahakan dengan bahasa yang formil, namun mudah dicerna.
Pada tanggal 16 Februari 1848, Chopin menggelar konser di Paris, tepatnya di Salle Pleyel bersama temannya,seorang pemain cello, Franchomme, dan pemain biola, Alard. Konser tersebut sukses besar dan ada rencana untuk konser berikutnya pada bulan Maret. Kemudian pada tanggal 23 Februari, revolusi meletus di jalan-jalan Paris. Monarki Juli yang dipimpin Raja Louis Philippe digulingkan, dan keluarga Kerajaan Perancis melarikan diri ke Inggris. Dunia Chopin hancur. Sebagian besar murid bangsawannya meninggalkan kota, acara musik terhenti, dan ia mendapati dirinya tanpa mata pencaharian. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan, dan dengan kesehatan yang terus menurun karena tuberkulosis stadium lanjut, situasi Chopin menjadi sangat menyedihkan.
Monday, 30 June 2025
SUMBER - by: Michael Gunadi | Staccato, July 2025
Siapapun yang belajar Musik Klasik, mengajar Musik Klasik atau mencintai Musik Klasik, mestinya, atau setidaknya sangat diharapkan, untuk memiliki pemahaman. Bahwa Musik Klasik adalah BUDAYA LITERER. Yakni kebudayaan, yang berwujud seni dan bersifat literatif atau menggunakan literasi atau bahan bacaan, dengan demikian harus tertulis. Ini yang membedakan Musik Klasik dengan Genre lainnya, Pop, Jazz, Rock, Traditional atau apapun genrenya. Di ranah tertulis inilah, para pelaku Musik Klasik, akan bergumul, bergelut dan berkutat dengan SUMBER. Sumber tertulis. Sumber ini menjadi penting mengingat dalam performansi Musik Klasik pertaruhannya adalah PRESISI. Ketepatan yang tak kenal kompromi, meski tetap ada ruang untuk kebebasan berekspresi.
Sumber, dalam batas tertentu, sangat menentukan kelayakan permainan seorang siswa Musik Klasik dan/atau para pemusik professional. Dalam ranah Pustaka Musik Klasik, dikenal tentu, sumber secara fisik dan Digital. Sumber fisik dan Digital ini memiliki editio typica atau sumber induk dan para musikolog biasa membaginya menjadi:
Edisi faksimili adalah salinan persis dari naskah asli komposer atau edisi awal sebuah karya. Edisi Faksimili sering kali merupakan reproduksi fotografi yang meniru ukuran, kertas, warna, penjilidan, dan kondisi fisik aslinya. Edisi Faksimili berguna bagi siswa, guru, dan peneliti yang mungkin tidak memiliki akses terhadap materi aslinya. Mereka dapat memperoleh gambaran tentang tempat kerja dan suasana kerja sang komposer, menunjukkan nuansa seperti penghapusan, koreksi, dan tempelan material. Istilah "faksimili" berasal dari frasa Latin fac simile yang berarti "membuat serupa". Penutur bahasa Inggris mulai menggunakan kata tersebut pada akhir tahun 1600-an.
Saturday, 31 May 2025
Menggagas Ruang Dialogis - by: Michael Gunadi | Staccato, June 2025
Kita sama-sama tahu bahwa jika musik dianggap sebagai produk budaya dan bentuk simbolik, maka musik tersebut merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. “Sebagai bunyi yang terorganisir, ia mengekspresikan aspek-aspek pengalaman individu dalam masyarakat.” Sebagai satu bentuk sajian pengalaman bersama atau komunal, musik memobilisasi dan menyatukan kelompok, berkontribusi pada gerakan mereka, khususnya saat musik dipakai untuk mengiringi perayaan dan ritual. Hal ini meletupkan gairah pada kekerasan dan pertarungan kehidupan itu sendiri, begitu juga dengan semangat dan emosi yang meluap-luap.
Singkatnya, hal ini mengungkapkan proses sosial dan politik yang, seperti pengamatan Jean Jacques Rousseau, seorang Filsuf Perancis, “mampu bertindak secara fisik pada tubuh.” Namun ciri-ciri ini juga terkadang menghadirkan satu teka-teki dalam ranah musik itu sendiri, yang seolah-olah tidak mau dan tidak mampu mengatakan apa pun. Hal ini tentu bertautan dengan Simbolisme dalam musik itu sendiri.
Meskipun semua aktivitas sosial dan budaya terdiri dari makna-makna yang menjadikan bahasa sebagai kode dan norma, yang dianggap sejak eranya Humboldt, kemudian Sapir dan Whorf sebagai penyebab utama terbentuknya masyarakat; musik, meskipun secara nyata bersifat sosial dan ekspresif, tampaknya tidak memiliki makna yang nyata akan kapasitas semantik untuk memenuhi dimensi aktif dan informasional dari sebuah pernyataan. Inilah paradoks dalam ekspresi musik: tanpa mengacu pada gambaran dunia yang terlihat, musik tetap mengungkapkan sesuatu tentang dunia, dan bebas dari ikatan referensial apa pun, bahasanya bergantung pada sesuatu selain dirinya sendiri, meski musik senantiasa mampu membahasakan dirinya sendiri.
Wednesday, 7 May 2025
"TAKUT AH!": SUARA HOROR - by: Michael Gunadi | Staccato, May 2025
Dalam dunia perfilman, hanya sedikit genre musik yang memiliki kekuatan untuk memikat penonton dan sekaligus membuat mereka gemetar. Salah satunya adalah musik film horor. Terlebih dahulu ada baiknya kita menelisik dengan sedikit agak cermat, apa sih yang membuat rasa takut itu muncul saat kita menonton film horor? Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap pengalaman ini, salah satu elemen yang sering diabaikan namun sangat diperlukan adalah musiknya.
Dalam dunia pembuatan film, tujuan utamanya adalah untuk melibatkan penonton pada tingkat emosional, dan untuk tujuan ini, tidak ada genre yang mencapai hal tersebut secara lebih intens daripada horor. Film horor dirancang untuk membangkitkan ketakutan dan ketegangan, yang bertujuan untuk meninggalkan dampak jangka panjang pada penonton, lama setelah kredit filmnya sudah diputar. Untuk mencapai hal ini, pembuat film harus mendalami psikologi ketakutan. Jadi, mari kita lihat apa itu psikologi rasa takut dan bagaimana musik horor memainkan peran penting di dalamnya.
Monday, 31 March 2025
"BUNUH": Menguak Misteri Kematian Para Musisi - by: Michael Gunadi | Staccato, April 2025
Waduuuh kok ngeri amat nih.. mosok kita bicara tentang bunuh sih?! Mosok kita bicara tentang bunuh bunuhan?! Ngeri serem takuut. Bunuh itu bisa sebagai istilah. Bisa sebagai perintah. Kegiatannya disebut membunuh. Bentuk pasifnya adalah dibunuh. Pelakunya disebut pembunuh. Memang, BUNUH terkesan mengerikan. Namun, kali ini kita akan menelisik kata tersebut. Bukankah: Music is Beyond The Words. Jadi mestinya musik memang mampu menguak dan menyeruak apapun. Tentu, termasuk BUNUH ini. Kita akan menelisik BUNUH dalam ranah musik untuk kemudian mengambil pelajaran. Siapa tahu bisa menjadikan hidup anda bertambah stress dan pusing serta tak happy.
5 Desember 1791. Si Genius Wolfgang Amadeus Mozart, meninggal. Kematiannya menimbulkan banyak spekulasi. Salah satu yang paling ramai adalah bahwa Mozart dibunuh. Siapa pembunuhnya? Kenapa pemusik, komposer jenius seperti dia dibunuh? Berbagai rumor beredar. Diantaranya adalah bahwa Mozart dibunuh oleh Salieri. Akibat persaingan “dagangan” komposisi. Tapi hal ini sangat tidak logis. Karena pada jaman Mozart pun, dagangan komposisi musik bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan dan membuat seseorang menjadi tajir. Mungkin status sosial. Komposer dan pemusik yang luar biasa bisa sangat dekat dengan kekuasaan. Tapi, Mozart sejatinya tidak begitu suka dengan aristokrasi bau-bau penguasa. Mozart lebih khusyuk berasyik masyuk dengan kebebasan dan keeksentrikannya. Kematian Mozart memang misterius. Semisterius kejeniusannya. Ia meninggalkan beberapa karya yang belum selesai. Termasuk Fantasia dalam D minor. Karya ini kemudian diselesaikan dengan hasil rekayasa untuk keperluan publikasi oleh August Eberhard Müller.
Friday, 28 February 2025
HIKMAH BAGI SEORANG KOMPOSER - by: Michael Gunadi | Maret 2025
Kita akan bicara tentang HIKMAH dalam carut marutnya ranah musik. Hikmah ya. Bukan Hikmat. Ohhh beda ya,Pak? Ya. Sangat beda. Dalam KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA, hikmah diberi batasan leksikografi sebagai: hikmah/hik·mah/ n 1 kebijaksanaan (dari Allah): kita memohon -- dari Allah Swt.; 2 sakti; kesaktian: -- kata-kata; 3 arti atau makna yang dalam; manfaat: wejangan yang penuh --;berhikmah/ber·hik·mah/ v 1 berguna; bermanfaat; 2 memiliki kesaktian (kekuatan gaib dan sebagainya). Wah maknanya banyak dan luas banget yaaa. Gini lah. Kita ambil satu contoh mudah saja. Misal dalam kalimat: semua kejadian itu pasti ada hikmahnya. Dengan pemaknaan sebagaimana saripati kalimat semacam itulah kita akan menarik hikmah dalam ranah musik.
Perjalanan kita akan mulai dengan menjenguk JOHAN SEBASTIAN BACH. Seorang komposer yang sangat luar biasa. Lebih dari berbakat. Lebih dari Jenius. Bach mungkin adalah manusia penggubah musik paling hebat sepanjang napak tilas kehidupan manusia. Karya nya abadi karena memang begitu layak untuk diabadikan. Satu hal yang unik adalah, bahwa Bach semasa hidupnya bukanlah seorang Megastar. Hidupnya jauh dari Glamour. Jauh dari histeria puja puji massa seperti misalnya Franz Liszt. Bach sangat bersahaja. Profilnya juga tidak flamboyan sebagaimana misalnya Nicolo Paganini. Iya pun tidak elegante bergaya priyayi sebagaimana Mendelssohn. Bach juga bukan pemusik eksentrik sebagaimana Mozart. Bach biasa saja sebagai manusia.
Bach itu tidak macam-macam. Sepanjang hidupnya ia nyaris tak pernah jalan-jalan, healing-healing ke luar kota. Pakaiannya juga itu itu saja. Makanannya juga bolak-balik Apple Struddle dan makanan Jerman ndeso yang sederhana. Hidupnya dapat dikatakan tertib. Selain, tentu saja ini yang menarik, anaknya banyak. Benar-benar bukan Keluarga Berencana. Banyak orang yang heran dan tak habis pikir. Bagaimana bisa dengan anak segitu banyaknya, seorang Bach masih bisa menghasilkan komposisi musik yang luar biasa. Jawabannya: Gereja. Ya. Bach ini penggereja yang setia. Ia bukan Katolik namun seorang Kristen Protestan. Ya sebetulnya fakta semacam itu tidaklah penting. Namun ya, faktual hal hal semacam itu masih sering disebut dan dinyatakan. Gereja itulah yang berfungsi sebagai living studio bagi Bach. Ia bisa menyepi dan berkonsentrasi serta bereksperimen dengan ide musikalnya. Bebas merdeka dari gangguan hiruk pikuk kikuk anak–anaknya.
Saturday, 1 February 2025
MENJADI MODERN ITU HARUS - by: Michael Gunadi | Staccato, February 2025
Tapi sekarang, saat ini kita sebetulnya sudah sampai pada titik dimana sudah ada lebih banyak musik modern hebat yang ditulis dan direkam dibandingkan sebelumnya, dan yang dimaksud dengan “modern” terkadang adalah karya para komposer yang berasal dari tahun 1940-an. Lihatlah rata-rata program konser simfoni, pertunjukan lagu atau instrumen solo, atau repertoar gedung opera favorit di dunia zaman sekarang. Kita tidak akan menemukan banyak hal. Jikapun ada sesuatu yang diprogram, yang ditulis lebih kuno dari awal tahun 1930-an, hampir selalu mengarah pada hal yang sama: yakni musik tonal oleh para Great Masters.
Jika ada kebangkitan dalam dunia Musik Klasik, biasanya hal tersebut disebabkan oleh promosi beberapa komposer yang menulis musik yang lumayan indah dari pertengahan abad ke-18 hingga tahun 1930-an. Sebut saja semisal penemuan Florence B. Price. Peristiwanya merupakan anugerah bagi musisi klasik dan khususnya stasiun radio yang memutar Musik Klasik. Florence B. Price ini, dia menulis musik yang dibuat dengan baik namun impersonal, cantik dan menarik tetapi sejatinya tidak mengatakan apa-apa, dan yang paling menarik di sini adalah karena dia itu orang Afrika-Amerika, yang mana mereka dapat merasa nyaman dengan diri mereka sendiri dengan mempromosikannya, meskipun musiknya indah tapi tak mengandung “pesan” apapun.
Wednesday, 1 January 2025
SEKELUMIT - by: Michael Gunadi | Staccato, January 2025
Jika bicara soal Gamelan dari sudut pandang musik barat, tentu yang terbersit dalam benak secara langsung adalah karya Claude Debussy, dan tentu Leopold Godowsky. Bagi yang piknik nya lumayan jauh, bisa menyebut karya Lou Harrison dan Collin McPhee. Bagi yang sering piknik bisa ditambah dengan Jody Diamond atau malahan Gamelan X (yang sekarang entah gimana nasibnya). Lalu mungkin ada yang berceloteh. Bagaimana dengan Pak Sumarsam? Beliau sudah malang melintang dan lintang pukang mengajar dan mempopulerkan Gamelan di USA. Terus bagaimana juga dengan Mas Rahayu Supanggah. Mas Otto Bima Sidharta. Hmmm. Ya kenapa dengan beliau-beliau itu. Beliau-beliau tersebut sudah moksa dalam keabadian karyanya. Secara ritual. Kompositoris maupun atma nya. Tulisan ini mau mengetengahkan pernik yang mungkin terlewat tentang Gamelan. Dipersandingkan dengan budaya musik barat karena pembaca majalah ini didominasi oleh kaum piano dan musik budaya barat.
Apa sih Gamelan itu? Orkestra nya Jawa. Seperangkat bebunyian yang terdiri dari piranti Idiofon, kendang, suling, terus terkadang ada juga alat musik berdawai semisal rebab, kecapi. Perangkat bebunyian ini bisa dimainkan antara 3 sampai 20-an manusia. Sejatinya, sejalan dengan napak tilas peradaban manusia, Gamelan juga memiliki sejarah napak tilas yang sangat panjang. Sebetulnya, Gamelan itu, bagi yang sempat mencermati ya, juga mengalami perkembangan. Banyak unsur-unsur budaya lain yang masuk dalam Gamelan. Sebut saja misalnya dari ragam budaya musik India, China, Persia, Eropa. Malahan sejak tahun 1990-an sudah ada karya komposisi Gamelan yang berbirama ¾ dan berirama Waltz. Tentu saja tak ketinggalan selusupan musik DangDut.
Sunday, 1 December 2024
PARA AMATIR HEBAT - by: Michael Gunadi | Staccato, December 2024
Jika anda mendengar musik karya Chopin, pasti hati nurani anda akan berkata bahwa ini adalah sebuah karya musik yang dikerjakan oleh seorang Professional. Professional dalam artian pekerjaan utamanya adalah sebagai pemusik. Dan memang. Chopin adalah seorang pemusik yang professional. Chopin sangat professional dan pakar dalam performansi piano. Chopin juga sangat pakar dan berkemampuan sangat professional dalam menggubah karya musik untuk piano. Semua karya musik Chopin menunjukkan hal tersebut. Bahkan Valse in A minor Op. posthumous yang sering diledek sebagai musik anak-anak grade 1, sebetulnya adalah sebuah komposisi karya musik piano yang sama sekali tidak sederhana.
Selain Chopin, Beethoven juga adalah pemusik dan komposer professional. Profesi utamanya adalah pemusik. Meski hidupnya miskin melarat, kemampuan dalam bermain piano dan menggubah musik sangatlah professional. Banyak kali Beethoven ditolak perempuan saat meminang, hanya karena Beethoven sangat miskin dan berpenghasilan tidak tetap. Beethoven pun sering berselisih paham dengan pihak penerbit karya-karyanya. Dalam rentang hidupnya, Beethoven hanya beberapa kali saja menggelar konser dengan menerima honorarium. Selebihnya, ya biasa. Dikemplang, wassalam dan panitianya alasan ini itu anu. Meski demikian, Beethoven tertera dalam sejarah sebagai The Professional Music Grand Master.
Thursday, 31 October 2024
SISI LAIN CHOPIN - by: Michael Gunadi | Staccato, November 2024
Lazimnya orang mengenal Chopin sebagai komposer piano. Banyak menganggap bahwa jika sudah bisa memainkan karya Chopin, maka seseorang menjadi berhak untuk disebut sebagai “bisa” main piano. Kata BISA berada dalam tanda petik, yang maksudnya adalah sangat relatif. Kenapa relatif? Karena untuk dapat memainkan musik Chopin, seseorang mestinya tak hanya berurusan dengan teknik semata. Melainkan kedalaman untuk tahu emosional karya nya dan juga mampu mengkaji secara inteligensia apa yang tersirat dibalik yang tersurat. Sebut saja misalnya TEMPO RUBATO yang menjadi salah satu ciri khas karya Chopin. Begitu banyak orang memainkan Walts karya Chopin dengan tempo yang strict. Persis seperti memainkan Waltz dari Johann Strauss. Beberapa lagi dengan sangat tolol dan bodoh memainkan Waltz Chopin dengan Phrasering atau pengkalimatan yang dipenggal dengan sesuka hatinya dengan dalih ia memainkan TEMPO RUBATO.
Bicara tentang Chopin, kita berbicara tentang satu pribadi yang sangat kompleks. Melafalkan namanya saja banyak yang salah. Orang dengan sok tahu dan sok ke Perancis Perancisan menyebutnya sebagai SYOPANG. Untunglah era internet memberi pencerahan yang luar biasa bagi orang sok tahu, koplak dan songong untuk melafalkan nama Chopin sebagai (Syopen, pen dilafalkan seperti pulpen). Selama hidupnya Chopin bukanlah seorang yang narsis. Ia tidak seperti Pianis Instagram masa kini yang gemar pamer sampai pakai topi kelinci, main Piano dengan menjungkir balikkan badan, pura pura menangis sedih haru di tengah capaian siswanya. Chopin adalah pribadi yang tertutup. Ia pemalu. Ia memainkan musik piano sebagai satu kebutuhan hidupnya dan sama sekali tidak mencita citakan dirinya untuk glamour sebagaimana pianis kagetan yang tenar lewat potongan Instagram.
Monday, 30 September 2024
KUSUT - by: Michael Gunadi | Staccato, October 2024
KUSUT
By: Michael Gunadi
Staccato, October 2024
Jika kita mau sedikit menaruh perhatian pada keadaan sekarang, tentu kita akan menyadari bahwa banyak, bahkan terbilang sangat banyak hal-hal KUSUT dalam ranah musik. Di segala sektornya. Baik pertunjukan, apresiasi, pembelajaran dan pendidikan musik sampai pada dokumentasi musik. Kusut. Penyebabnya macam macam dan mengurat akar sehingga memang kusut nyaris tak terurai. Beberapa orang yang mencoba peduli dengan keberadaan musik, tentu saja sudah berupaya dengan bercucuran keringat, menipiskan pundi-pundi dan bahkan tersok seok untuk mencoba mengurai kusutnya musik. Tak hanya Indonesia, namun merata di seluruh dunia. Apakah keadaan kusut ini mengganggu keberadaan musik? Begini. Orang berpikiran kusut tetap dapat berpikir. Orang muka kusut tetap bisa dapat jodoh. Persoalannya, yang seperti apakah yang didapat dengan kusutnya itu.
Di kota besar seperti Jakarta, pembelajaran musik sebetulnya kusut dan bahkan sangat kusut. Anak dan remaja kota besar seperti Jakarta, nyaris tak memiliki waktu untuk belajar musik. Jikapun masih ada yang les musik, mereka melakukan pengorbanan yang sesungguhnya luar biasa dan tentu layak diacungi jempol. Jadwal sekolahnya sendiri sudah tergolong padat. Ambil contoh saja SMA. Di seluruh Indonesia, siswa SMA itu bersekolah dari Senin sampai Jumat mulai jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Kapan dia bisa les musik?! Lhoooo kan Sabtu mereka libur, Pak... Eit jangan salah. Sabtu mereka full. Proyek kurikuler sekolah. Plus Bhakti sosial. Mulai dari acara bikin tugas film pendek sampai kegiatan keagamaan. Minggu? Hahaha. Satu-satunya hari untuk acara keluarga.
Sunday, 1 September 2024
VALUE - by: Michael Gunadi | Staccato, September 2024
Yang dimaksud Value dalam artikel ini adalah NILAI. Ya tentu nilai dalam hubungan mesranya dengan entitas seni, dalam ranah seni bunyi atau musik. Lalu kenapa tak dipergunakan istilah NILAI saja. Karena penulis khawatir akan terjadi kerancuan pemaknaan dengan Nilai sebagaimana halnya Nilai mata uang, nilai rapor pendidikan dan semacamnya. Nilai pada musik tak sekedar bicara angka. Namun cita rasa. Daya apresiasi. Gengsi dan aneka rupa variabel dan parameter yang terkadang bisa membuat kita tercengang dan bahkan ternganga nyaris tak percaya.
Kita akan mulai dari ART VALUE atau nilai seni pada umumnya. Ada satu pertanyaan klasik. Bagaimana sih cara memberi nilai pada sebuah karya seni. Value nya tentu berupa price. Dan price tentu bicara soal banyak entitas ekonomi. Satu lukisan misalnya. Berapa harga lukisan itu? Ada yang hanya ratusan ribu saja jika anda ingin mendapatkan lukisan dari pekerja lukisan. Namun tentu anda harus merogoh kocek sampai milyaran dan bahkan puluhan milyar jika anda punya minat terhadap karya seorang Maestro.
Thursday, 1 August 2024
MISKIN - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2024
Jika kita mau jujur, dan melepaskan diri dari segala syakwasangka, harus kita akui bahwa Gitar Klasik adalah instrunen yang sering dianggap miskin. Tapi, jangan khawatur. Artikel ini tidak bercerita tentang gitar klasik. Hanya sepintas lintas kilas saja. Anggapan bahwa Gitar Klasik adalah miskin maupun ”miskin” (dalam tanda petik). Dapat dengan mudah kita amati pada institusi semacam Sekolah Musik dan/atau kursus-kursus musik. Tak dapat dipungkiri, Piano adalah instrumen musik yang paling digemari. Perbandingan siswa Piano dan Gitar Klasik dalam satu institusi pembelajaran musik, sangat menyolak. Siswa Gitar Klasik hampir tak pernah mencapai 10% dari jumlah siswa piano. Dan ini terjadi bukan saja di Indonesia.
Dan memang, rasa atau kesan miskin itu nampak jelas ketika kita menghadiri Konser Gitar Klasik. Satu panggung yang luas. Kemudian muncul seseorang menjinjing Gitar Klasik dan duduk. Ia nampak sangat kecil dan mini dibanding luasnya panggung Konser pada umumnya. Kesan miskin tersebut diperkuat dengan misalnya, Sang Gitaris sudah uzur, berjalan gontai, sedikit terbatuk batuk. Meskipun mainnya jago seperti Dewa Gitar Angkasa, tetap saja kesan miskin itu ada. Dan rupanya, sudah sejak dahulu, Gitar Klasik dianggap miskin.
Sunday, 30 June 2024
UJI | by: Michael Gunadi | Staccato, July 2024
Dalam pembelajaran musik, belum tentu berupa pendidikan ya, karena bisa saja pengajarnya sama sekali tidak paham akan psikologi pendidikan, dikenal adanya evaluasi. Evaluasi pembelajaran musik ini status dan tarafnya berbeda dengan evaluasi sekolah umum. Dalam pembelajaran, atau ya sudahlah, pengajaran musik, evaluasi, terutama di kursusan musik dan/atau sekolah musik, sifatnya lebih kepada Progress Report. Dan Progress Report ini lebih kepada pertanggung jawaban terhadap parents yang dalam hiruk pikuk ini adalah BOSS. Yang membayar biaya pembelajaran musik. Jadi, karena Boss keluar duit dia harus dapat “laporan” dong, tentang progress atau kemajuan anaknya. Dalam Androgogi, atau terhadap Adult Learner, siswa dewasa, juga perlu ada laporan semacam itu. Karena bisa saja si suami atau si koko, si sugar daddy yang keluar duit.
Ada beberapa jenis Progress Report yang dilakukan kursusan dan/atau “sekolah” musik di Indonesia. Kata SEKOLAH diberi tanda kutip karena sekarang teramat banyak sekolah yang tidak punya kurikulum. Tidak paham beda kurikulum dan silabus itu apa. Hanya contek sana sini ambil mentah-mentah dari pihak lain. Tapi ya sudahlah. Bentuk Progress Report yang paling sederhana adalah berupa LAPORAN TERTULIS bagi parents. Persis seperti buku Rapor sekolah umum. Anaknya selama sekian waktu sudah bisa ini itu. Kekurangannya ini itu. Harapan ke depannya begini begitu. Kemudian ada lagi Konser. Baik Studio Konser yang biasanya si siswa main dengan jadwal yang tidak jelas, dihadapan staf Tata Usaha Sekolah, pakai celana pendek, kaos renang juga nggak apa-apa. Naaah, Parentsnya akan melihat, bahwa ini lho anak loe ini bisanya begini doang.
Friday, 31 May 2024
Masalah Klasik untuk Klasik - by: Michael Gunadi | Staccato, June 2024
Musik Klasik Telah Kehilangan Penonton: Benarkah? Mengapa? Kok bisa? Lalu bagaimana dengan Pagelaran di Monas dan Gedung Konser Kemayoran? Sebetulnya, ini adalah satu mata rantai masalah klasik yang berlaku untuk Musik Klasik. Sangat komplex dan ruwet. Selera, tempo dan timing pertunjukan, teknologi baru, dan media sosial, semuanya berperan dalam masalah klasik untuk Musik Klasik.
Tak dapat dipungkiri, bahwa Taylor Swift, K-pop, dan lainnya telah menarik perhatian penonton di seluruh dunia. Fans nya sampai berjumlah ratusan juta dan hal ini merupakan fenomena yang benar-benar menggemparkan dunia modern. Pada saat yang sama, jumlah penonton Musik Klasik telah mengalami penurunan selama beberapa dekade. Ada yang menduga, hal ini dipicu oleh kekhawatiran selama pandemi COVID, yang cenderung semakin membatasi jumlah penggemar. Anehnya, mengapa hal ini tak terjadi pada Blantika Musik Pop.
Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa konser orkestra dan kehadiran opera di Amerika Serikat menurun sebesar 30% dalam beberapa tahun terakhir. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, laporan Knight Foundation,yang tertuang dalam “Studi Segmentasi Konsumen Musik Klasik,” menemukan bahwa “hanya 10-15% orang Amerika memiliki keintiman dengan Musik Klasik.” Masalah ini, yang berkaitan dengan alasan fenomena ini, sejatinya rumit. Namun dasar fenomenanya itu sendiri, mencakup lanskap budaya modern dan teknologi yang membentuk kebiasaan konsumsi musik pada penonton di mana pun di dunia.
Tuesday, 30 April 2024
Menilik Problem Kesehatan Bagi Pemusik | by: Michael Gunadi | Staccato, May 2024
Banyak orang, yang bisa saja dengan sinis, atau memang dengan ketulusan hati, mengatakan bahwa pemusik itu manusia yang hiduonya senang dan gembira. Kerjanya hanya bermusik, buat musik, nyanyi nyanyi, tampil ditepukin tangan. Ada lagi yang mengiyakan satu Quotes yang bunyinya: THERE IS NO HOLIDAY FOR MUSICIAN BECAUSE EVERYDAY IS HOLIDAY. Di lain sisi, ada juyga khalayak yang melontarkan cibiran. Entah apa maksudnya. Mereka ini seringkali berujar: Problem kesehatan pemusik ya stress. Sakit kepala, nggreges mriyang, karena bayar cicilan, bayar listrik gak kuat, anak-anak sekolah juga berat.
Sebetulnya, pemusik adalah profesi. Dan sebagai sebuah profesi, tentu pemusik memiliki juga resiko profesi. Ada banyak resiko profesi yang dihadapi pemusik. Salah satunya adalah problem kesehatan. Problem kesehatan ini tak jarang dapat membawa kematian bagi si pemusik. Yang terhormat tentu saja mati di panggung pertunjukan pada saat tampil. Jika ini terjadi, dapat dikatakan seorang pemusik sudah purna tugas dengan mulya. Meski tentu hal ini pun bisa bersifat sangat relatif.
Sunday, 31 March 2024
POLITISASI MUSIK | by: Michael Gunadi | Staccato, April 2024
Apa sih Politisasi itu? Semua upaya untuk menjadikan satu hal menjadi bersifat Politis. Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang artinya negara. Dalam arti luas, politik itu sendiri adalah suatu aktivitas yang dibuat, dipelihara, dan di gunakan untuk masyarakat sebagai upaya untuk menegakkan peraturan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Terus, apa itu Musik? Secara gampang saja ya. Musik adalah SENI BUNYI.
Jadi Politisasi Musik adalah upaya menjadikan seni bunyi menjadi bersifat politis. Perlu dicatat dan digaris bawahi, upaya tersebut dapat terencara secara TSM (Terstruktur Sistematik Masif) dapat pula terjadi secara alami dalam napak tilas musik pada peradaban manusia. Pertanyaan berikutnya adalah: “Lho kalau batasan Politik dan/atau Politisasi sebagaimana disebutkan di atas, ya berarti Politisasi Musik itu baik dong”. Ya mari kita bahas kupas dan kita lihat bagaimana duduk soalnya.
Wednesday, 28 February 2024
MAESTRO: Menghadirkan Bernstein di Layar Kaca | by: Michael Gunadi | Staccato, March 2024
“Lho, ini film kan, Pak?”. “Iya. Film”. “Kenapa layar kaca, Pak?!..Kenapa bukan layar lebar?!”. “Ya karena kita di Indonesia, film dengan konten seperti ini tidak mungkin tayang di layar lebar alias Bioskop”. Anda bisa menyaksikannya di Netflix. Dan memang, Maestro adalah sebuah film tentang Leonard Bernstein. Salah seorang dirigen paling akabar dalam peradaban estetika manusia.
Maestro sejatinya adalah film drama biografi produksi Amerika tahun 2023 yang berpusat pada hubungan asmara dan rumah tangga antara komposer Amerika Leonard Bernstein dan istrinya Felicia Montealegre.Film ini disutradarai oleh Bradley Cooper yang juga berperan sebagai Leonard Bernstein, dari skenario yang ditulisnya bersama Josh Singer. Tak kepalang tanggung, beberapa nama besar dalam perfilman dunia menjadi produser film ini, yakni Martin Scorsese, Cooper, Steven Spielberg, Kristie Macosko Krieger, Fred Berner, dan Amy Durning. Film ini dibintangi juga oleh Carey Mulligan sebagai Montealegre; Matt Bomer, Maya Hawke, dan Sarah Silverman yang tampil sebagai peran pendukung.
Thursday, 1 February 2024
KHAYAL | by: Michael Gunadi | Staccato, February 2024
Apa modal utama seseorang untuk menjadi seniman? DAYA KHAYAL. Seni apapun yang anda geluti dan tekuni, semuanya membutuhkan daya khayal atau imajinasi. Daya khayal ini merupakan satu energi positif yang mendorong kreatifitas anda. Meskipun anda berhadapan dengan sesuatu yang nyata, anda tetap membutuhkan khayal untuk menuangkannya dalam sebuah karya seni. Sebagai sebuah energi positif untuk berkreasi, khayal ini tentu baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan khayal, daya khayal dan berkhayal. Karena kesemuanya itu berbeda dengan halusinasi yang sampai pada batas tertentu bisa menjadi sangat berbahaya.
Khayal inilah yang menjadikan seni, apapun itu sebagai obyek telaah, bahan diskusi, sekaligus rona kehidupan yang tiada henti dan tiada pernah habis untuk dibicarakan. Dalam ranah Sastra misalnya. Samuel Beckett membuat karya WAITING FOR GODOT. Menunggu si Godot. Siapa Godot? Ternyata ia adalah tokoh khayal. Dan dalam naskah sampai akhir si Godot ini tak dimunculkan sama sekali. Hebatnya, daya khayal samuel Beckett juga mampu membuat pembacanya untuk juga berkhayal. Tentu tentang tokoh Godot ini. Pembaca dibuat berkhayal dengan liar tentang seperti apa tokoh Godot ini.
Dalam karya seni lukis juga khayal adalah daya hidup lukisan itu sendiri. Bahkan ketika seorang pelukis potret berhadapan dengan seorang model, ia tetap harus berkhayal. Ia harus mampu berimajinasi tentang seberapa dan bagaimana pencahayaan. Mana yang perlu diarsir dengan tebal dan mana yang hanya perlu sapuan saturasi sederhana. Hal semacam ini bukan semata masalah teknik melukis. Melainkan bagaimana mensublimasi teknik untuk memberi daya hidup pada lukisan itu sendiri. Dan tentu, meski obyeknya hidup dan terpampang di hadapannya, seorang pelukis potret perlu mengembangkan daya khayal misalnya untuk sedikit mengubah morfologi bibir. Memberi sentuhan pada pipi dan lain dan sebagainya.