"JELAGA KERETA DI DAUN GUGUR"
by: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato April 2014
“Lho?! Mas Michael
sedang kasmaran ya? Kok judulnya kayak puisi?”
“Ah, untuk apa lah
kasmaran lagi? I’ve found my true Love!
Zaman sekarang ini yang
namanya kasmaran sudah bukan zamannya lagi.
Karena cinta zaman
sekarang sudah banyak direkayasa!“
INDUSTRIALISASI
MUSIK
Sebetulnya,
bukan cuma cinta yang di zaman sekarang ini penuh rekayasa. Hampir segala aspek
kehidupan zaman sekarang marak dengan rekayasa. Bahkan soal agama pun tidak luput
dari jamahan rekayasa. Kalau beragama saja sudah dijamah rekayasa, tentu budaya
pun akan digerayangi rekayasa. Akibatnya tentu, musik pun akan terekayasa. Demi
kepentingan bisnis, orang dengan seenaknya merekayasa musik, dengan mengatas
namakan industrialisasi. Jika hasilnya memiliki mudharat, tentu kita akan
mengacungi jempol. Namun jika hasilnya hanya sekedar berkoar dan duit semata, sebetulnya
secara moral kita ikut bertanggung jawab. Namun apa mau dikata, budaya
moralitas kita pun sudah direkayasa dan terekayasa.
INDUSTRIALISASI DALAM
MUSIK JAZZ
Dalam
semesta tentang rekayasa, Musik Jazz pun tak luput dari jamahan dan bahkan
perkosaan. Tak jarang orang merekayasa Jazz dengan menampilkan sajian yang
sebetulnya sama sekali tidak Jazz. Sebagai apologi nya dimunculkan istilah Pop
Jazzy, Jazzy Light, Jazzy easy listening, dan bahkan ada yang secara
sembrono mengklaim musiknya sebagai musik yang setengah Mainstream Jazz dan
setengah Pop.
Terhadap hal semacam ini, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Dan jangan pernah lupa, selalu ada adagium sinis yang berkembang subur dalam masyarakat di tanah air, seperti:
Terhadap hal semacam ini, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Dan jangan pernah lupa, selalu ada adagium sinis yang berkembang subur dalam masyarakat di tanah air, seperti:
“Ini kan musik. Mainin saja, ngapain ribet mikirin jenis dan
benarnya?
Kan cuma musik, keliru
juga gak bikin orang mati!”
Dalam
ranah Musik Jazz, kemungkinan rekayasa memang terbentang sangat luas. Dalam
kesejatian dirinya, Jazz adalah sebuah genre musik yang bebas dan terbuka. Keterbukaan
dan kebebasan inilah yang memberi celah bagi upaya rekayasa yang tidak pas. Akibatnya,
masyarakat dibuat rancu tentang forma Musik Jazz yang semestinya. Kerancuan ini
menimbulkan masalah pada daya dan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi
Musik Jazz. Akarnya kemudian meluas pada keberadaan Jazz itu sendiri dalam
strata sosial masyarakat kita.
IMPROVISASI DALAM MUSIK
JAZZ
Ditilik
dari kerangka performansinya, Musik Jazz, yang sifat hakikinya adalah bebas dan
terbuka, memiliki format: MAIN THEME –
IMPROVISATION – THEME (with variation.) Format tersebut berlaku di mana
saja Jazz dimainkan dan diperdengarkan dan siapa pun pemusiknya. Memandang
kerangka performansi Jazz, orang awam cenderung akan mengatakan bahwa bentuk
sajian Jazz sangat sederhana. Hanya sebuah tema, tema tersebut di improvisasi, kemudian
diulang lagi temanya yang seringkali disertai variasi.
Anggapan
tersebut sangat sah dan benar. Persoalannya, seringkali dalam tema, musisi Jazz
membuat kalimat musik yang seringkali kurang akrab bagi telinga orang
kebanyakan. Seringkali dengan harmoni yang colorful dan sangat kompleks. Konsekuensinya,
saat berimprovisasi, aliran nada nya pun menjadi sangat kompleks dan bahkan
rumit. Jadilah Jazz bagi sementara orang sebagai sebuah “nyanyian makhluk asing dari alam antah berantah.“
Keadaan semacam
ini tidak hanya menghantui masyarakat kita. Di Amerika sendiri, kesenjangan
apresiasi semacam itu sudah lama hadir. Bahkan seiring dengan tahap awal
perkembangan Jazz itu sendiri. Itulah sebabnya kemudian orang mencari alternatif,
agar Jazz tidak terdengar aneh. Melainkan masih dalam ambang batas bisa diapresiasi
oleh orang kebanyakan.
THE LEGENDARY “AUTUMN
LEAVES”
Upaya
menjadikan Jazz lebih “familiar” diantaranya dilakukan dengan memilih lagu yang
melodius. Tentu bukan untuk direkayasa, melainkan tetap pada ranah Jazz dengan teknik serta musikalitas
yang pas. Diantara sekian banyak lagu, satu diantaranya adalah AUTUMN LEAVES. Autumn Leaves sudah
menjadi lagu Jazz standard. Dalam arti
dimainkan oleh teramat banyak pemusik Jazz di seluruh dunia, dan bahkan seolah
menjadi tolok ukur kepiawaian seorang pemusik Jazz. Banyak dan bahkan teramat
banyak pemusik yang tidak bosan-bosannya bersetubuh dan bercinta dengan alur
harmoni dan alur melodi Autumn Leaves dalam kemabukan improvisasi.
Aslinya,
Autumn Leaves adalah lagu karya Josef
Kosma. Kosma adalah composer berdarah campuran Perancis dan Hungaria. Syair
nya ditulis oleh Jacques Prevert
dari puisinya. Syair tersebut dalam bahasa Perancis, dan pada awalnya
diterjemahkan juga ke dalam bahasa tradisional Hungaria. Awalnya tentu, Autumn
Leaves sama sekali bukan Musik Jazz. Malahan adalah sebuah Musik Ballada yang
mendayu-dayu dan mengharu biru. Popularitas Autumn Leaves meledak ketika di
tahun 1946, Yves Montand
menjadikannya sebagai musik tema film “Les
Portes De La Nuit.”
Upaya
menjadikan Autumn Leaves sebagai Jazz, diawali oleh Nat King Cole. Nat King Cole saat itu menyanyikan Autumn Leaves
dengan iringan orchestra. Musiknya sama sekali tidak Jazz, namun nuansa vocal
dan pendekatan musikal dari Nat King Cole benar-benar black sensation dan Jazz.
Sukses Nat King Cole semakin gemerlap setelah di tahun 1956, dengan film
berjudul Autumn Leaves yang dibintangi oleh Joan Crawford. Dalam film tersebut,
Autumn Leaves dengan vocal Nat King Cole dijadikan tema musiknya.
Struktur
musik Autumn Leaves adalah A-A-B-C. Kesan
romantis ditimbulkan dengan dominasi progresi ii-V-I dan kadens V-I. Dalam
ranah Jazz, progresi dan kadens tersebut diwarnai dengan harmoni yang kompleks.
Progresi dan kadens nya sendiri, sebetulnya adalah kerangka dasar dalam
struktur Musik Jazz.
Autumn
Leaves adalah satu contoh lagu yang tidak Jazz, namun dengan rekayasa yang pas,
dapat menjadi sebuah standar, bahkan untuk ukuran Jazz modern sekalipun. Disisi
lain, orang mengenal sebuah lagu yang adalah memang sebuah komposisi untuk
Jazz. Namun melodi utamanya cukup bisa akrab dengan orang kebanyakan. Itulah TAKE THE A TRAIN.
TAKE THE A TRAIN
Take
The A Train adalah komposisi Jazz karya Billy
Strayhorn. Lagu ini pertama kali popular karena dijadikan musik pembuka
atau opening tune bagi penampilan orchestra pimpinan Duke Ellington. Demikian melekatnya Take The A Train dan orkestra
Ellington, sampai banyak kritikus musik yang menganggap bahwa lagu tersebut
adalah kolaborasi personal dan estetis antara Strayhorn dan Ellington.
Ide
garapan Take The A Train sangatlah sederhana. Berawal dari Strayhorn yang
diberi kerjaan dalam orkestra Ellington. Sehubungan dengan pekerjaannya
tersebut, suatu hari Strayhorn harus bepergian ke luar kota. Sampailah ia di
stasiun kreta bawah tanah yang dinamai Subway
A. Di stasiun itulah, Strayhorn melihat hiruk pikuk orang berkejaran
berlomba untuk dapat naik kereta. Hiruk pikuk orang mengejar kreta inilah yang
menjadi ide dasar garapan Strayhorn.
Struktur music Take The A Train:
Intro
(4 bars)
(4 bars)
A A B A
A A B A
Transition
(4 bars) with key change
(4 bars) with key change
A A B A
(the last A repeated
another two times and fading out)
Berikut adalah lirik dari Take The A Train yang menggambarkan
hal sederhana saja, yakni dramatisasi orang berebut kereta antar distrik di
Harlem, New York.
You must take the A
Train
To go to Sugar Hill way up in Harlem
If you miss the A
Train
You'll find you've
missed the quickest way to Harlem
Hurry, get on, now,
it's coming
Listen to those rails
a-thrumming (All Aboard!)
Get on the A Train
Soon you will be on
Sugar Hill in Harlem
Paparan tentang Jelaga
Kereta dan Daun Gugur, setidaknya menyadarkan kembali pada kita akan sifat
kekenyalan Musik Jazz. Dari lagu Ballad yang mendayu biru, dari ide tematik
sangat sederhana.Jazz dapat hadir dengan nuansa dan warna jati dirinya. Yang
penting kita tidak merekayasa Jazz yang menjurus pada sebuah perkosaan estetis
atas nama industrialisasi hiburan.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.