Tuesday 8 April 2014

"JELAGA KERETA DI DAUN GUGUR" - by: Michael Gunadi Widaja (Staccato April 2014)

"JELAGA KERETA DI DAUN GUGUR"
by: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato April 2014


“Lho?! Mas Michael sedang kasmaran ya? Kok judulnya kayak puisi?”

“Ah, untuk apa lah kasmaran lagi? I’ve found my true Love!
Zaman sekarang ini yang namanya kasmaran sudah bukan zamannya lagi.
Karena cinta zaman sekarang sudah banyak direkayasa!“

INDUSTRIALISASI MUSIK
Sebetulnya, bukan cuma cinta yang di zaman sekarang ini penuh rekayasa. Hampir segala aspek kehidupan zaman sekarang marak dengan rekayasa. Bahkan soal agama pun tidak luput dari jamahan rekayasa. Kalau beragama saja sudah dijamah rekayasa, tentu budaya pun akan digerayangi rekayasa. Akibatnya tentu, musik pun akan terekayasa. Demi kepentingan bisnis, orang dengan seenaknya merekayasa musik, dengan mengatas namakan industrialisasi. Jika hasilnya memiliki mudharat, tentu kita akan mengacungi jempol. Namun jika hasilnya hanya sekedar berkoar dan duit semata, sebetulnya secara moral kita ikut bertanggung jawab. Namun apa mau dikata, budaya moralitas kita pun sudah direkayasa dan terekayasa.

INDUSTRIALISASI DALAM MUSIK JAZZ
Dalam semesta tentang rekayasa, Musik Jazz pun tak luput dari jamahan dan bahkan perkosaan. Tak jarang orang merekayasa Jazz dengan menampilkan sajian yang sebetulnya sama sekali tidak Jazz. Sebagai apologi nya dimunculkan istilah Pop Jazzy, Jazzy Light, Jazzy easy listening, dan bahkan ada yang secara sembrono mengklaim musiknya sebagai musik yang setengah Mainstream Jazz dan setengah Pop

Terhadap hal semacam ini, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Dan jangan pernah lupa, selalu ada adagium sinis yang berkembang subur dalam masyarakat di tanah air, seperti:
“Ini kan musik.  Mainin saja, ngapain ribet mikirin jenis dan benarnya?
Kan cuma musik, keliru juga gak bikin orang mati!”


Dalam ranah Musik Jazz, kemungkinan rekayasa memang terbentang sangat luas. Dalam kesejatian dirinya, Jazz adalah sebuah genre musik yang bebas dan terbuka. Keterbukaan dan kebebasan inilah yang memberi celah bagi upaya rekayasa yang tidak pas. Akibatnya, masyarakat dibuat rancu tentang forma Musik Jazz yang semestinya. Kerancuan ini menimbulkan masalah pada daya dan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi Musik Jazz. Akarnya kemudian meluas pada keberadaan Jazz itu sendiri dalam strata sosial masyarakat kita.

IMPROVISASI DALAM MUSIK JAZZ
Ditilik dari kerangka performansinya, Musik Jazz, yang sifat hakikinya adalah bebas dan terbuka, memiliki format: MAIN THEME – IMPROVISATION – THEME (with variation.) Format tersebut berlaku di mana saja Jazz dimainkan dan diperdengarkan dan siapa pun pemusiknya. Memandang kerangka performansi Jazz, orang awam cenderung akan mengatakan bahwa bentuk sajian Jazz sangat sederhana. Hanya sebuah tema, tema tersebut di improvisasi, kemudian diulang lagi temanya yang seringkali disertai variasi. 

Anggapan tersebut sangat sah dan benar. Persoalannya, seringkali dalam tema, musisi Jazz membuat kalimat musik yang seringkali kurang akrab bagi telinga orang kebanyakan. Seringkali dengan harmoni yang colorful dan sangat kompleks. Konsekuensinya, saat berimprovisasi, aliran nada nya pun menjadi sangat kompleks dan bahkan rumit. Jadilah Jazz bagi sementara orang sebagai sebuah “nyanyian makhluk asing dari alam antah berantah.“ 

Keadaan semacam ini tidak hanya menghantui masyarakat kita. Di Amerika sendiri, kesenjangan apresiasi semacam itu sudah lama hadir. Bahkan seiring dengan tahap awal perkembangan Jazz itu sendiri. Itulah sebabnya kemudian orang mencari alternatif, agar Jazz tidak terdengar aneh. Melainkan masih dalam ambang batas bisa diapresiasi oleh orang kebanyakan.


THE LEGENDARY “AUTUMN LEAVES”
Upaya menjadikan Jazz lebih “familiar” diantaranya dilakukan dengan memilih lagu yang melodius. Tentu bukan untuk direkayasa, melainkan tetap pada ranah Jazz dengan teknik serta musikalitas yang pas. Diantara sekian banyak lagu, satu diantaranya adalah AUTUMN LEAVES. Autumn Leaves sudah menjadi lagu Jazz standard. Dalam arti dimainkan oleh teramat banyak pemusik Jazz di seluruh dunia, dan bahkan seolah menjadi tolok ukur kepiawaian seorang pemusik Jazz. Banyak dan bahkan teramat banyak pemusik yang tidak bosan-bosannya bersetubuh dan bercinta dengan alur harmoni dan alur melodi Autumn Leaves dalam kemabukan improvisasi.


Aslinya, Autumn Leaves adalah lagu karya Josef Kosma. Kosma adalah composer berdarah campuran Perancis dan Hungaria. Syair nya ditulis oleh Jacques Prevert dari puisinya. Syair tersebut dalam bahasa Perancis, dan pada awalnya diterjemahkan juga ke dalam bahasa tradisional Hungaria. Awalnya tentu, Autumn Leaves sama sekali bukan Musik Jazz. Malahan adalah sebuah Musik Ballada yang mendayu-dayu dan mengharu biru. Popularitas Autumn Leaves meledak ketika di tahun 1946, Yves Montand menjadikannya sebagai musik tema film “Les Portes De La Nuit.”


Upaya menjadikan Autumn Leaves sebagai Jazz, diawali oleh Nat King Cole. Nat King Cole saat itu menyanyikan Autumn Leaves dengan iringan orchestra. Musiknya sama sekali tidak Jazz, namun nuansa vocal dan pendekatan musikal dari Nat King Cole benar-benar black sensation dan Jazz. Sukses Nat King Cole semakin gemerlap setelah di tahun 1956, dengan film berjudul Autumn Leaves yang dibintangi oleh Joan Crawford. Dalam film tersebut, Autumn Leaves dengan vocal Nat King Cole dijadikan tema musiknya.


Struktur musik Autumn Leaves adalah A-A-B-C. Kesan romantis ditimbulkan dengan dominasi progresi ii-V-I dan kadens V-I. Dalam ranah Jazz, progresi dan kadens tersebut diwarnai dengan harmoni yang kompleks. Progresi dan kadens nya sendiri, sebetulnya adalah kerangka dasar dalam struktur Musik Jazz. 

Autumn Leaves adalah satu contoh lagu yang tidak Jazz, namun dengan rekayasa yang pas, dapat menjadi sebuah standar, bahkan untuk ukuran Jazz modern sekalipun. Disisi lain, orang mengenal sebuah lagu yang adalah memang sebuah komposisi untuk Jazz. Namun melodi utamanya cukup bisa akrab dengan orang kebanyakan. Itulah TAKE THE A TRAIN.


TAKE THE A TRAIN
Take The A Train adalah komposisi Jazz karya Billy Strayhorn. Lagu ini pertama kali popular karena dijadikan musik pembuka atau opening tune bagi penampilan orchestra pimpinan Duke Ellington. Demikian melekatnya Take The A Train dan orkestra Ellington, sampai banyak kritikus musik yang menganggap bahwa lagu tersebut adalah kolaborasi personal dan estetis antara Strayhorn dan Ellington.

Ide garapan Take The A Train sangatlah sederhana. Berawal dari Strayhorn yang diberi kerjaan dalam orkestra Ellington. Sehubungan dengan pekerjaannya tersebut, suatu hari Strayhorn harus bepergian ke luar kota. Sampailah ia di stasiun kreta bawah tanah yang dinamai Subway A. Di stasiun itulah, Strayhorn melihat hiruk pikuk orang berkejaran berlomba untuk dapat naik kereta. Hiruk pikuk orang mengejar kreta inilah yang menjadi ide dasar garapan Strayhorn.


Struktur music Take The A Train:

Intro 
(4 bars)

A A B A
A A B A

Transition  
(4 bars) with key change

A A B A

(the last A repeated another two times and fading out)
Berikut adalah lirik dari Take The A Train yang menggambarkan hal sederhana saja, yakni dramatisasi orang berebut kereta antar distrik di Harlem, New York.

You must take the A Train
To go to Sugar Hill way up in Harlem
If you miss the A Train
You'll find you've missed the quickest way to Harlem

Hurry, get on, now, it's coming
Listen to those rails a-thrumming (All Aboard!)
Get on the A Train
Soon you will be on Sugar Hill in Harlem

Paparan tentang Jelaga Kereta dan Daun Gugur, setidaknya menyadarkan kembali pada kita akan sifat kekenyalan Musik Jazz. Dari lagu Ballad yang mendayu biru, dari ide tematik sangat sederhana.Jazz dapat hadir dengan nuansa dan warna jati dirinya. Yang penting kita tidak merekayasa Jazz yang menjurus pada sebuah perkosaan estetis atas nama industrialisasi hiburan.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.