PIANO: "TAK SEKEDAR HITAM PUTIH"
by: Michael Gunadi Widjaja
Dalam
menjalani kehidupan, kita seringkali berhadapan dengan aneka hal yang merupakan
dikotomi. Bahkan beberapa hal sudah seolah memiliki kodrat untuk ber“majemuk.”
Sebut saja misalnya: ada panas tentu ada dingin, ada kering tentu ada basah, dan
sejenisnya. Hampir semua fenomena penting dalam kehidupan tak lepas dari adanya
dikotomi. Bahkan untuk sementara orang, dikotomi merupakan suatu standarisasi
bagi penilaian akan eksistensi sesamanya. Orang kemudian mengenal sisi
kehidupan YANG HITAM DAN YANG PUTIH.
Hitam putih
sebagai sebiah dikotomi kehidupan tentu memiliki banyak relung permenungan. Dan
keberadaannya merambah juga dalam bidang eksistensi jati diri manusia yang
paling sublimatif, yakni: SENI. Orang
tentu akan segera terasosiasikan dengan sebuah instrumen musik saat mulai
merenung dan dihadapkan pada hitam dan putih: PIANO. Banyak hal yang bisa kita
permenungkan dari keberadaan sebuah piano. Tidak saja dari elementasi musikal,
namun banyak semburat makna yang akhirnya memancarkan pencerahan bahwa
sejatinya kehidupan itu tidaklah sekedar hitam dan putih belaka.
Bartolomeo Cristofori (Italia) & Pianoforte
Alat musik
piano memiliki nama resmi PIANO FORTE - kata dalam bahasa Italia yang artinya
LEMBUT KERAS. Dan memang piano adalah satu satunya alat musik yang memiliki
rentang dinamika paling luas. Dari mulai selembut mungkin atau pianissimo assai sampai dengan sekeras
mungkin atau fortissimo assai. Berbeda
dengan gitar yang cenderung hanya lembut saja atau alat musik tiup dari metal
seperti trumpet yang cenderung mengekspos diri secara “keras.
Piano yang kita kenal dewasa ini adalah hasil rancangan Bartolomeo Cristofori. Hasil rancangannya sebetulnya adalah menyempurnakan struktur mekanik alat musik cembalo. Tuts cembalo diperlengkapi dengan “palu” pemukul mekanik. Ini menjadikan bunyi piano berkesan montok bohay dan dengan anggun dapat mengalun memenuhi sebuah ruang dengan ukuran “besar.” Dari fakta ini nampak nyata, bahwa hitam putih pada tuts piano yang adalah sarana ekspresi bunyi memiliki sejarah dan perhitungan serta kreatifitas yang cemerlang. Salah satu semburat bahwa hitam dan putih sebetulnya tidak senantiasa sederhana.
The Evolution of Piano
Piano yang kita kenal dewasa ini adalah hasil rancangan Bartolomeo Cristofori. Hasil rancangannya sebetulnya adalah menyempurnakan struktur mekanik alat musik cembalo. Tuts cembalo diperlengkapi dengan “palu” pemukul mekanik. Ini menjadikan bunyi piano berkesan montok bohay dan dengan anggun dapat mengalun memenuhi sebuah ruang dengan ukuran “besar.” Dari fakta ini nampak nyata, bahwa hitam putih pada tuts piano yang adalah sarana ekspresi bunyi memiliki sejarah dan perhitungan serta kreatifitas yang cemerlang. Salah satu semburat bahwa hitam dan putih sebetulnya tidak senantiasa sederhana.
Dengan alat
musik piano, telah lahir sangat banyak karya musik fenomenal dalam perkembangan
peradaban manusia. Dan piano memang memiliki kemampuan adaptasi yang ajaib. Dari
mulai hanya memainkan akor untuk memandu suara penyanyi, sampai dengan
memainkan score orkestra yang sangat
rumit. Dan hampir semua komponis legendaris dunia pernah bercinta bergumul dan
bersetubuh dengan piano. Dari kenyataan ini kita agaknya bisa berujar, bahwa
sebetulnya ada banyak nuansa dan pemaknaan di balik dikotomi hitam dan putih
yang senantiasa memberi ruang dan membuka pintu kamarnya untuk dicumbu, digauli,
dan bahkan disetubuhi dengan sublimasi ruh dan taksu kesenian.
Musik piano
mencapai kulminasi keberadaannya dalam semua ciptaan Frederick Chopin, seorang komponis dan pianis asal Polandia. Chopin
memaknai piano betul-betul sebagai pengungkap jiwa yang brilian, bahkan melalui
komposisi Chopin piano menjadi juga benar-benar memiliki jiwa. Ada beberapa
fakta menarik bertolak dari komposisi piano karya Frederick Chopin. Berikut
adalah salah satu paparannya.
Bagi orang
yang sedang belajar piano, terutama di Indonesia, apabila mendapat lagu dengan
kunci nada C mereka akan melonjak gembira kegirangan, karena lagu dalam kunci C
berarti semua dibunyikan di tuts yang berwarna putih saja. Banyak orang tidak
sadar bahwa sebetulnya bermain hanya di tuts putih saja memiliki tingkat
kesulitan yang amat tinggi. Deretan tuts putih membentuk formasi dengan ketinggian
rata, sementara anatoni jari tangan kita tidaklah rata panjangnya. Chopin amat
menyadari keadaan anatomi semacam ini. Untuk itu komposisi Chopin yang rumit
dan kompleks seringkali juga dikombinasikan dengan kunci nada yang betul-betul
memiliki nilai ergonomis bagi penjarian, yakni: kombinasi antara tuts putih dan
hitam.
A. Rubinstein plays Chopin's Piano Concerto No. 2
Setelah
sekedar menghampirkan paparan tadi ke dalam otak kita, semestinya saat ini kita
setidaknya memiliki sebuah relung dalam sanubari kita. Bahwa memang di dunia
dan kehidupan itu sendiri terdapat dan didapati sisi hitam dan putih yang
dikotomis. Persoalannya, kita mestinya menyadari bahwa keberadaan sisi hitam
dan putih itu sendiri sarat makna dan sarat ruang permenungan serta ada
keniscayaan. Jadi jangan dengan mudahnya mencap si A adalah hitam jadi jelas
sesat, sebab senantiasa ada serabut dalam relung sanubari yang tak henti membisikkan
bahwa "aku tak selamanya aku seperti nampaknya."
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.