Tuesday 20 August 2013

PIANO: "TAK SEKEDAR HITAM PUTIH" - by: Michael Gunadi Widjaja

PIANO: "TAK SEKEDAR HITAM PUTIH"
by: Michael Gunadi Widjaja


Dalam menjalani kehidupan, kita seringkali berhadapan dengan aneka hal yang merupakan dikotomi. Bahkan beberapa hal sudah seolah memiliki kodrat untuk ber“majemuk.” Sebut saja misalnya: ada panas tentu ada dingin, ada kering tentu ada basah, dan sejenisnya. Hampir semua fenomena penting dalam kehidupan tak lepas dari adanya dikotomi. Bahkan untuk sementara orang, dikotomi merupakan suatu standarisasi bagi penilaian akan eksistensi sesamanya. Orang kemudian mengenal sisi kehidupan YANG HITAM DAN YANG PUTIH.

Hitam putih sebagai sebiah dikotomi kehidupan tentu memiliki banyak relung permenungan. Dan keberadaannya merambah juga dalam bidang eksistensi jati diri manusia yang paling sublimatif, yakni: SENI. Orang tentu akan segera terasosiasikan dengan sebuah instrumen musik saat mulai merenung dan dihadapkan pada hitam dan putih: PIANO. Banyak hal yang bisa kita permenungkan dari keberadaan sebuah piano. Tidak saja dari elementasi musikal, namun banyak semburat makna yang akhirnya memancarkan pencerahan bahwa sejatinya kehidupan itu tidaklah sekedar hitam dan putih belaka.

 Bartolomeo Cristofori (Italia) & Pianoforte

Alat musik piano memiliki nama resmi PIANO FORTE - kata dalam bahasa Italia yang artinya LEMBUT KERAS. Dan memang piano adalah satu satunya alat musik yang memiliki rentang dinamika paling luas. Dari mulai selembut mungkin atau pianissimo assai sampai dengan sekeras mungkin atau fortissimo assai. Berbeda dengan gitar yang cenderung hanya lembut saja atau alat musik tiup dari metal seperti trumpet yang cenderung mengekspos diri secara “keras.

The Evolution of Piano

Piano yang kita kenal dewasa ini adalah hasil rancangan Bartolomeo Cristofori. Hasil rancangannya sebetulnya adalah menyempurnakan struktur mekanik alat musik cembalo. Tuts cembalo diperlengkapi dengan “palu” pemukul mekanik. Ini menjadikan bunyi piano berkesan montok bohay dan dengan anggun dapat mengalun memenuhi sebuah ruang dengan ukuran “besar.” Dari fakta ini nampak nyata, bahwa hitam putih pada tuts piano yang adalah sarana ekspresi bunyi memiliki sejarah dan perhitungan serta kreatifitas yang cemerlang. Salah satu semburat bahwa hitam dan putih sebetulnya tidak senantiasa sederhana.


Dengan alat musik piano, telah lahir sangat banyak karya musik fenomenal dalam perkembangan peradaban manusia. Dan piano memang memiliki kemampuan adaptasi yang ajaib. Dari mulai hanya memainkan akor untuk memandu suara penyanyi, sampai dengan memainkan score orkestra yang sangat rumit. Dan hampir semua komponis legendaris dunia pernah bercinta bergumul dan bersetubuh dengan piano. Dari kenyataan ini kita agaknya bisa berujar, bahwa sebetulnya ada banyak nuansa dan pemaknaan di balik dikotomi hitam dan putih yang senantiasa memberi ruang dan membuka pintu kamarnya untuk dicumbu, digauli, dan bahkan disetubuhi dengan sublimasi ruh dan taksu kesenian.


Musik piano mencapai kulminasi keberadaannya dalam semua ciptaan Frederick Chopin, seorang komponis dan pianis asal Polandia. Chopin memaknai piano betul-betul sebagai pengungkap jiwa yang brilian, bahkan melalui komposisi Chopin piano menjadi juga benar-benar memiliki jiwa. Ada beberapa fakta menarik bertolak dari komposisi piano karya Frederick Chopin. Berikut adalah salah satu paparannya.

Bagi orang yang sedang belajar piano, terutama di Indonesia, apabila mendapat lagu dengan kunci nada C mereka akan melonjak gembira kegirangan, karena lagu dalam kunci C berarti semua dibunyikan di tuts yang berwarna putih saja. Banyak orang tidak sadar bahwa sebetulnya bermain hanya di tuts putih saja memiliki tingkat kesulitan yang amat tinggi. Deretan tuts putih membentuk formasi dengan ketinggian rata, sementara anatoni jari tangan kita tidaklah rata panjangnya. Chopin amat menyadari keadaan anatomi semacam ini. Untuk itu komposisi Chopin yang rumit dan kompleks seringkali juga dikombinasikan dengan kunci nada yang betul-betul memiliki nilai ergonomis bagi penjarian, yakni: kombinasi antara tuts putih dan hitam.

A. Rubinstein plays Chopin's Piano Concerto No. 2

Setelah sekedar menghampirkan paparan tadi ke dalam otak kita, semestinya saat ini kita setidaknya memiliki sebuah relung dalam sanubari kita. Bahwa memang di dunia dan kehidupan itu sendiri terdapat dan didapati sisi hitam dan putih yang dikotomis. Persoalannya, kita mestinya menyadari bahwa keberadaan sisi hitam dan putih itu sendiri sarat makna dan sarat ruang permenungan serta ada keniscayaan. Jadi jangan dengan mudahnya mencap si A adalah hitam jadi jelas sesat, sebab senantiasa ada serabut dalam relung sanubari yang tak henti membisikkan bahwa "aku tak selamanya aku seperti nampaknya."

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.