“HOME SWEET
HOME FOR JAZZ”
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
(Komposer & Pekerja Musik)
Artikel Majalah STACCATO, edisi April 2012
JAVA JAZZ 2012
baru saja selesai berlangsung. Sebuah perhelatan akbar para insan Jazz
international, di tengah hiruk pikuknya aneka produk musik industri.Yang
menarik dalam Java Jazz 2012 ini adalah adanya tagline sebagai berikut: “WHERE JAZZ FINDS A HOME”. Tagline ini menjadi menarik karena
setidaknya dapat memberitahukan pada kita tentang peta kesemestaan perkembangan
musik Jazz di dunia dan tanah air. Sekaligus mencari gagasan baru tentang apa dan
bagaimana kontribusi musik Jazz bagi tatanan kehidupan sosial masyarakat di
masa mendatang.
“WHERE JAZZ FINDS A HOME”. Kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai: Kala Jazz
mendapatkan rumahnya. Rumah - sebuah ruang kehidupan yang semestinya
menyenangkan dan menentramkan serta memungkinkan tiap penghuninya untuk
memperkembangkan potensi dirinya. Pertanyaannya adalah, apakah diluar
perhelatan semacam Java Jazz, Jazz telah mendapatkan rumahnya?
Dalam realitanya, di tanah
air, Jazz jelas kalah pamor dibanding musik industri seperti Pop dan Dangdut. Jazz
juga seolah tercerabut dari ranahnya jika harus berhadapan dengan elitisme dan
elegannya musik Klasik dan komunitasnya. Upaya penyebarluasan musik Jazz juga
masih terpasung pada hal-hal klise, seperti siaran di radio. Komunitas Jazz
memang nampaknya tumbuh dan berkembang. Hanya saja komunitas-komunitas tersebut
masih terbata-bata untuk dapat membangun sebuah rumah untuk Jazz. Hambatannya
seringkali macam-macam. Namun prinsipnya adalah belum adanya jalinan kesehatian
antara komunitas penggemar Jazz dan para pebisnis yang notabene adalah motor
penggerak event di lapangan. Jika
demikian nampaknya memang mulai perlu dirintis sebuah upaya. Upaya untuk membangun
sebuah rumah untuk musik Jazz. Agar Jazz dapat lebih lantang berbicara dan
lebih nyata kontribusinya bagi tatanan sosial masyarakat.
Musik Jazz adalah bagian yang
sublim dari sebuah pernyataan ketertindasan. Saat budak kulit hitam saat itu
ingin agar jeritan hidupnya didengar. Menggumuli Jazz semestinya membawa kita
pada satu tingkat kepedulian. Kepedulian akan ketertindasan sesama dalam
beragam bentuknya dan ketertindasan semacam inilah yang telah menyemburatkan
sebuah pemaknaan estetik baru dalam ranah musik, yakni Jazz.
Musik Jazz juga dikenal
kenyal terhadap berbagai bentuk dan genre
musik. Semenjak era Free Jazz dan Fusion, kekenyalan ini semakin nyata dan
mengejawantah. Miles Davis dengan
metrum adiktif dari musik tradisional Afrika. Jazz Afro Cuban, Chick Corea
dengan konsep harmoni baru yang memperkawinkan musik tradisi ala Spanyol, hingga
Indonesia All Star yang mengusung Gamelan
Janger Bali di tahun 60-an dan kelompok semacam Krakatau dengan eksplorasi
etniknya. Mereka sepertinya ingin berujar. bahwa Jazz adalah sebuah musik yang
kenyal, supel, dan ramah hingga hampir tak ada kesenjangan komunikasi dengan
unsur budaya yang lain. Memberikan rumah bagi musik Jazz sama maknanya dengan
mengangkat harkat persamaan dalam komunikasi antar ragam budaya. Dan bukankah
tanah air kita memiliki budaya yang sungguh sangat majemuk?
Jiwa Jazz adalah improvisasi.
Pengembangan dari improvisasi nampak dalam apa yang dikenal sebagai jam
session. Jam session bukan
semata unjuk kebolehan individual, melainkan sebuah wujud nyata komunikasi
bathin yang sangat sublim dengan media bunyi.
Jam session yang improvisatoris adalah sebuah bentuk dialog budaya, dialog
bathin antar individu dalam sebuah kerangka estetis. Bukankah di zaman sekarang
ini kita merasa bahwa ruang dialog sudah semakin terkikis dan yang ada hanyalah
dialog semu dan kepura-puraan belaka?
Ruang dialog menjadi esensial
saat kita berada dalam sebuah realita sosial. Dalam pranata tatanan sosial yang
pluralis dan majemuk, sebagaimana tanah air kita. Penting untuk tetap
mengupayakan kesetaraan diantara pluralitas, agar setiap elemen dalam
masyarakat dapat setara sehingga suara nuraninya dapat terdengar jelas oleh
komunitas lainnya. Dan Jazz adalah wahana yang sangat pas untuk ruang dialog
semacam itu.
Kita tentu belum lupa ketika Dave Brubeck mengkomposisi “TAKE
FIVE” - Sebuah piece dengan
metrum 5/4 yang sangat tidak lazim. Metrum 5/4 tersebut berasal dari konsep RAGA pada musik India klasik. Melalui Take Five ini, Dave Brubeck mampu mengangkat khasanah musik India klasik
menuju pentas dunia. Agar musik tradisi mampu menyuarakan nuraninya dan dunia
mendengar serta menghargai kesetaraan wujud budaya.
Sama halnya ketika Stan Getz mengusung “DESAFINADO”
dalam Bossanova.Ada ruang terbuka.Untuk sebuah dialog budaya. Musik folkloric dari Brasil ini seolah
mendapat “baju baru” dalam balutan Bossanova.
Stan Getz menimpali dengan gaya improvisasi yang cool, dingin dan menyejukkan. Semburat
maknanya adalah, bahwa rumah untuk Jazz identik dengan sebuah kesejukan
bathiniah.
Dunia pun mengenal lagu “WATERMELON
MAN” karya Herbie Hancock
yang dipopulerkan oleh Mango Santamaria.
Esensi stilo atau gayanya adalah
sebuah pembauran budaya - dua budaya musik rakyat, yakni: musik rakyat Afrika
dan musik rakyat Cuba di Amerika Selatan. Forma seperti ini kemudian dikenal
sebagai JAZZ AFRO CUBAN. Yang dapat
kita permenungkan adalah, dua budaya - jika terpadu dalam ruang kesetaraan
dalam suasana dialogis akan melahirkan sebuah entensitas budaya baru yang tentunya
akan menjadi sangat estetis dan artistik, sebagai perwujudan pengembaraan rasa
manusia akan seni bunyi.
Seorang Eddie Harris mengarang lagu “The Exodus” - sebuah nomor Jazz R ’n B.
Di kemudian hari Jazz R ‘n B akan mempengaruhi munculnya Fusion
Jazz.Yang menarik disini adalah The
Exodus sebagai sebuah komposisi Jazz, meneriakkan keinginan untuk “MERDEKA!”
- sebuah teriakan akan kebebasan yang bermartabat dan teriakan tersebut
dilantunkan dengan indah tanpa bersifat gembar-gembor
dan merusak. Andai Jazz mendapatkan rumahnya, tentu semburat hal semacam ini
akan turut mewarnai keluhuran budi manusia.
Di belahan dunia yang lain
ada tokoh semacam John Coltrane dan Yusuf Lateef. Mereka melakukan dialog
antara esensi kebebasan kaum kulit hitam dan musik Timur Tengah. Musik Timur
Tengah yang kental muatan religi, melalui ruang dialogis, mampu pula untuk
menyuarakan hakekat di seputar realita sosial.
Yang menjadi masalah sekarang
adalah apa dan bagaimana upaya konkret untuk mewujudkan rumah bagi musik Jazz. A home yang bukan sekedar house bagi musik Jazz. Tentu upaya ini adalah
upaya jangka panjang yang lama berbelit, butuh intensitas dan malahan mungkin
tak pernah terwujud, terlebih untuk keadaan seperti di tanah air kita ini. Namun
setidaknya kita diingatkan akan beberapa hal, yakni bahwa masih ada genre musik yakni Jazz yang dapat
menyemburatkan nilai-nilai kemasyarakatan yang banyak mudharatnya. Nampaknya
ada baiknya jika sesekali kita, yang mungkin masih asing dengan musik Jazz, menyempatkan
diri untuk sekedar mendengar. Mendengar dan dengan niat tulus serta keterbukaan
hati berupaya menguak makna, sekecil apapun yang bisa kita tangkap. Bukankah
sebuah budaya akan tersublimasi menjadi kebudayaan jika insan komunitasnya
melakukan pemaknaan yang tiada hentinya?
So, let’s build a home for Jazz, not a
house but a real home sweet home for Jazz! Agar elemen kesejatian manusia kita sebagai bangsa
juga dapat turut tinggal dengan sejahtera dalam rumah tersebut.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.