Friday 22 June 2012

"Home Sweet Home for Jazz"


“HOME SWEET HOME FOR JAZZ”
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
(Komposer & Pekerja Musik)

Artikel Majalah STACCATO, edisi April 2012




JAVA JAZZ 2012 baru saja selesai berlangsung. Sebuah perhelatan akbar para insan Jazz international, di tengah hiruk pikuknya aneka produk musik industri.Yang menarik dalam Java Jazz 2012 ini adalah adanya tagline sebagai berikut: “WHERE JAZZ FINDS A HOME”. Tagline ini menjadi menarik karena setidaknya dapat memberitahukan pada kita tentang peta kesemestaan perkembangan musik Jazz di dunia dan tanah air. Sekaligus mencari gagasan baru tentang apa dan bagaimana kontribusi musik Jazz bagi tatanan kehidupan sosial masyarakat di masa mendatang. 


“WHERE JAZZ FINDS A HOME”. Kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai: Kala Jazz mendapatkan rumahnya. Rumah - sebuah ruang kehidupan yang semestinya menyenangkan dan menentramkan serta memungkinkan tiap penghuninya untuk memperkembangkan potensi dirinya. Pertanyaannya adalah, apakah diluar perhelatan semacam Java Jazz, Jazz telah mendapatkan rumahnya? 

Dalam realitanya, di tanah air, Jazz jelas kalah pamor dibanding musik industri seperti Pop dan Dangdut. Jazz juga seolah tercerabut dari ranahnya jika harus berhadapan dengan elitisme dan elegannya musik Klasik dan komunitasnya. Upaya penyebarluasan musik Jazz juga masih terpasung pada hal-hal klise, seperti siaran di radio. Komunitas Jazz memang nampaknya tumbuh dan berkembang. Hanya saja komunitas-komunitas tersebut masih terbata-bata untuk dapat membangun sebuah rumah untuk Jazz. Hambatannya seringkali macam-macam. Namun prinsipnya adalah belum adanya jalinan kesehatian antara komunitas penggemar Jazz dan para pebisnis yang notabene adalah motor penggerak event di lapangan. Jika demikian nampaknya memang mulai perlu dirintis sebuah upaya. Upaya untuk membangun sebuah rumah untuk musik Jazz. Agar Jazz dapat lebih lantang berbicara dan lebih nyata kontribusinya bagi tatanan sosial masyarakat. 


 

Musik Jazz adalah bagian yang sublim dari sebuah pernyataan ketertindasan. Saat budak kulit hitam saat itu ingin agar jeritan hidupnya didengar. Menggumuli Jazz semestinya membawa kita pada satu tingkat kepedulian. Kepedulian akan ketertindasan sesama dalam beragam bentuknya dan ketertindasan semacam inilah yang telah menyemburatkan sebuah pemaknaan estetik baru dalam ranah musik, yakni Jazz. 

Musik Jazz juga dikenal kenyal terhadap berbagai bentuk dan genre musik. Semenjak era Free Jazz dan Fusion, kekenyalan ini semakin nyata dan mengejawantah. Miles Davis dengan metrum adiktif dari musik tradisional Afrika. Jazz Afro Cuban, Chick Corea dengan konsep harmoni baru yang memperkawinkan musik tradisi ala Spanyol, hingga Indonesia All Star yang mengusung Gamelan Janger Bali di tahun 60-an dan kelompok semacam Krakatau dengan eksplorasi etniknya. Mereka sepertinya ingin berujar. bahwa Jazz adalah sebuah musik yang kenyal, supel, dan ramah hingga hampir tak ada kesenjangan komunikasi dengan unsur budaya yang lain. Memberikan rumah bagi musik Jazz sama maknanya dengan mengangkat harkat persamaan dalam komunikasi antar ragam budaya. Dan bukankah tanah air kita memiliki budaya yang sungguh sangat majemuk? 

Jiwa Jazz adalah improvisasi. Pengembangan dari improvisasi nampak dalam apa yang dikenal sebagai jam session. Jam session bukan semata unjuk kebolehan individual, melainkan sebuah wujud nyata komunikasi bathin yang sangat sublim dengan media bunyi. Jam session yang improvisatoris adalah sebuah bentuk dialog budaya, dialog bathin antar individu dalam sebuah kerangka estetis. Bukankah di zaman sekarang ini kita merasa bahwa ruang dialog sudah semakin terkikis dan yang ada hanyalah dialog semu dan kepura-puraan belaka?

Ruang dialog menjadi esensial saat kita berada dalam sebuah realita sosial. Dalam pranata tatanan sosial yang pluralis dan majemuk, sebagaimana tanah air kita. Penting untuk tetap mengupayakan kesetaraan diantara pluralitas, agar setiap elemen dalam masyarakat dapat setara sehingga suara nuraninya dapat terdengar jelas oleh komunitas lainnya. Dan Jazz adalah wahana yang sangat pas untuk ruang dialog semacam itu. 

Kita tentu belum lupa ketika Dave Brubeck mengkomposisi “TAKE FIVE” - Sebuah piece dengan metrum 5/4 yang sangat tidak lazim. Metrum 5/4 tersebut berasal dari konsep RAGA pada musik India klasik. Melalui Take Five ini, Dave Brubeck mampu mengangkat khasanah musik India klasik menuju pentas dunia. Agar musik tradisi mampu menyuarakan nuraninya dan dunia mendengar serta menghargai kesetaraan wujud budaya. 

Sama halnya ketika Stan Getz mengusung “DESAFINADO” dalam Bossanova.Ada ruang terbuka.Untuk sebuah dialog budaya. Musik folkloric dari Brasil ini seolah mendapat “baju baru” dalam balutan Bossanova. Stan Getz menimpali dengan gaya improvisasi yang cool, dingin dan menyejukkan. Semburat maknanya adalah, bahwa rumah untuk Jazz identik dengan sebuah kesejukan bathiniah. 

Dunia pun mengenal lagu “WATERMELON MAN” karya Herbie Hancock yang dipopulerkan oleh Mango Santamaria. Esensi stilo atau gayanya adalah sebuah pembauran budaya - dua budaya musik rakyat, yakni: musik rakyat Afrika dan musik rakyat Cuba di Amerika Selatan. Forma seperti ini kemudian dikenal sebagai JAZZ AFRO CUBAN. Yang dapat kita permenungkan adalah, dua budaya - jika terpadu dalam ruang kesetaraan dalam suasana dialogis akan melahirkan sebuah entensitas budaya baru yang tentunya akan menjadi sangat estetis dan artistik, sebagai perwujudan pengembaraan rasa manusia akan seni bunyi. 

Seorang Eddie Harris mengarang lagu “The Exodus” - sebuah nomor Jazz R ’n B. Di kemudian hari Jazz R ‘n B akan mempengaruhi munculnya Fusion Jazz.Yang menarik disini adalah The Exodus sebagai sebuah komposisi Jazz, meneriakkan keinginan untuk “MERDEKA!” - sebuah teriakan akan kebebasan yang bermartabat dan teriakan tersebut dilantunkan dengan indah tanpa bersifat gembar-gembor dan merusak. Andai Jazz mendapatkan rumahnya, tentu semburat hal semacam ini akan turut mewarnai keluhuran budi manusia. 

Di belahan dunia yang lain ada tokoh semacam John Coltrane dan Yusuf Lateef. Mereka melakukan dialog antara esensi kebebasan kaum kulit hitam dan musik Timur Tengah. Musik Timur Tengah yang kental muatan religi, melalui ruang dialogis, mampu pula untuk menyuarakan hakekat di seputar realita sosial. 

Yang menjadi masalah sekarang adalah apa dan bagaimana upaya konkret untuk mewujudkan rumah bagi musik Jazz. A home yang bukan sekedar house bagi musik Jazz. Tentu upaya ini adalah upaya jangka panjang yang lama berbelit, butuh intensitas dan malahan mungkin tak pernah terwujud, terlebih untuk keadaan seperti di tanah air kita ini. Namun setidaknya kita diingatkan akan beberapa hal, yakni bahwa masih ada genre musik yakni Jazz yang dapat menyemburatkan nilai-nilai kemasyarakatan yang banyak mudharatnya. Nampaknya ada baiknya jika sesekali kita, yang mungkin masih asing dengan musik Jazz, menyempatkan diri untuk sekedar mendengar. Mendengar dan dengan niat tulus serta keterbukaan hati berupaya menguak makna, sekecil apapun yang bisa kita tangkap. Bukankah sebuah budaya akan tersublimasi menjadi kebudayaan jika insan komunitasnya melakukan pemaknaan yang tiada hentinya?

So, let’s build a home for Jazz, not a house but a real home sweet home for Jazz! Agar elemen kesejatian manusia kita sebagai bangsa juga dapat turut tinggal dengan sejahtera dalam rumah tersebut.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.