Wednesday, 21 August 2013

"MIXING GITAR KLASIK" (AudioPro Juli 2013) - by: Michael Gunadi Widjaja

"MIXING GITAR KLASIK"
(Artikel AudioPro Juli 2013)
by: Michael Gunadi Widjaja



Semesta pembicaraan dalam tulisan ini adalah dua istilah, yakni MIXING dan GITAR KLASIK. Yang dimaksud gitar klasik dalam tulisan ini adalah gitar akustik dengan dawai nylon. Gitar semacam ini ada yang akustik sejati, adapula yang akustik elektrik. Dalam arti terdapat sirkuit elektronik dalam body gitar - baik yang berfungsi sebagai pre amplifikasi, maupun yang berupa embedded microphone.

Bunyi gitar klasik memiliki tantangan tersendiri dalam rangkaian proses mixing. Sebagaimana piranti akustik pada umumnya, gitar klasik memiliki kemungkinan bagi eksplorasi bunyi. Hasil eksplorasi bunyi tersebut berupa TONE COLOR atau warna bunyi. Tone color ini sangat berbeda dengan TIMBRE yang adalah bunyi asli si piranti. Tone color inilah yang nantinya dalam proses mixing, semestinya bisa terdengar dengan semestinya. Selain tone color, piranti akustik senantiasa menyertakan frekuensi harmonic dari sebuah nada yang dihasilkan. Frekuensi harmonic ini lah yang membuat bunyi piranti akustik terkesan lebih hidup. Lebih hidup dalam artian warm and thick, lebih hangat dan tebal. Parameter semacam ini memang bisa sangat subyektif. Namun seberapa pun subyektifitas membayangi, warm and thick pada akustik tetap akan terasa, apalagi jika dipersandingkan dengan piranti elektronik. Selain dua hal tersebut, yang membuat piranti akustik menjadi khas adalah bunyi material piranti itu sendiri. Misalnya gesekan jari pada dawai dan getaran body gitar saat dawai terpetik saat dipetik.


Hal-hal semacam itulah yang nantinya menjadi dasar dalam mixing. Mixing sendiri adalah salah satu proses dalam mata rantai proses rekaman atau RECORDING PROCESS. Dalam mixing bunyi bunyi dalam track yang terpisah, di mix. Bukan hanya dicampur, melainkan DICAMPUR PADU kan - Tercampur dan menjadi padu. Mixing adalah seni yang sekaligus science. Untuk dapat melakukan mixing dengan layak, seseorang perlu memiliki pengetahuan audio. Pengenalan dan fasih terhadap mixer nya, memiliki pengetahuan, dan rasa musikal. Jika salah satu saja terabaikan, hasil mixing akan hanya berupa campuran bunyi editan saja.

Hal penting yang selalu mengawali proses mixing adalah VISI. Visi ini sebetulnya sebuah pertanyaan, akan seperti apakah hasil akhir mixing. Apakah akan terfokus pada kemurnian bunyi asli piranti musik nya atau sepenuhnya berupa bunyi superfisial hasil kreasi? Apapun itu, proses mixing dilayakkan oleh faktor piranti musiknya juga microphone nya.

 

Saat akan memixing gitar klasik, ada baiknya dipastikan terlebih dahulu bahwa proses capturing audio memang telah berlangsung secara layak. Piranti gitar merupakan hal mutlak. Gitar klasik nya memang tidak harus berupa concert gitar seharga puluhan juta. Cukup bila gitar memiliki kemungkinan untuk dieksplor bunyinya. Sebab jika piranti gitarnya sudah sangat loyo, sebaik apapun teknik mixing nya, akan menghasilkan bunyi yang tumpul. Hal lain adalah microphone nya. Gitar memiliki rentang frekuensi yang luas. Dan jangan dilupakan, selalu ada bunyi dalam frekuensi harmonik nya. Di sisi lain, volume gitar sangat kecil dan akan menjadi tantangan tersendiri saat proses capturing. Microphone yang uni directional sudah cukup bisa diandalkan. Hanya saja respon frekuensi mic nya perlu dicermati dalam kurva Munson yang tertera dalam leaflet mic nya.


Sampai disini dapatlah dikatakan kita sudah memasuki langkah pertama proses mixing. Langkah berikutnya adalah menegaskan visi. Misalnya visi kita adalah hasil mixing yang murni reproduksi bunyi aslinya, maka perletakan mic menjadi faktor penting. Tentu kita membutuhkan lebih dari satu mic. Dalam sesi rekaman gitar klasik professional malahan dibutuhkan sampai enam mic. Pasangan mic ini untuk capturing nada, ambience ruang, dan detail permainan seperti gesekan jari dan getaran kayu body gitar. Pada recording software nya, keenam mic ini diletakkan dalam track-track yang terpisah. Satu hal yang sekilas remeh namun perlu dicermati adalah TRACK MANAGEMENT. Track harus diberi judul yang tegas namun singkat dan cepat diingat. Jika tidak, mixing kita akan membuang waktu hanya untuk menelisik kembali data capturing.

Proses mixing untuk gitar klasik sebetulnya sudah dimulai saat capturing. Berbeda misalnya dengan mixing untuk gitar listrik. Gitar listrik bisa dimixing setelah raw datanya, di capturing terlebih dahulu. Baru setelah termuat dalam track-track kita mix dari track-track tersebut. Berbeda dengan gitar klasik. Purity yang kita dapat diawali dengan sesi capturing. Karena hal-hal seperti ambience dan pernik-pernik lainnya seperti gesekan jari pada dawai, hanya optimal jika sejak awal kita proses.

Saat capturing, balance contour volume juga layak diperhatikan senantiasa. Gitar klasik dalam memainkan repertoire klasik, memiliki trancient dinamika yang tinggi. Jika tidak sejak capturing di antisipasi, maka proses mixing akan sangat tidak efisien dan lama.

Setalah proses capturing selesai, data yang tersimpan dalam tracks mulai diedit. Pada mixing gitar klasik, problem utama adalah saat bunyi gitar di-capture, pasti akan mensisakan harmonic yang tidak semuanya diperlukan. Bunyi gitar bisa menjadi tumpul atau dull, bisa juga menjadi sangat crispy, dan bisa juga bass nya sangat boomy. Tentu hal ini sangat tidak dikehendaki jika visi mixing kita adalah menghadirkan “kemurnian” bunyi gitar klasik. Upaya yang lazim dilakukan para sound engineering papan atas adalah memanipulasi equalizer dan sesedikit mungkin memanipulasi efek.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.