Saturday 5 October 2013

"MISTERI BEDUG" by: Michael Gunadi Widjaja - Staccato October 2013

"MISTERI BEDUG"
by: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato (Oktober 2013)


Menyebut kata Bedug, segera tertaut dalam pikiran kita akan Adzan dan Idul Fitri. Dan memang bunyi bedug adalah pertanda waktu sembahyang bagi umat Islam dan bunyi bedug pun senantiasa menandai berakhirnya puasa Ramadhan dan dimulainya kemenangan manusia dalam fitrahnya. Pertautan bedug dan peribadatan agama Islam telah menapaki umur panjang. Berabad-abad bunyi bedug senantiasa menjadi tanda panggilan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk melakukan peribadatan. Di lain sisi, bunyi bedug juga merupakan satu misteri yang layak untuk ditatap secara tajam. Menguak makna, mengais pesan, dan mempermenungkan sebuah hakekat.

 sumber: unstage

ASAL MULA & FUNGSI BEDUG
Tidak terdapat catatan yang pasti darimana bedug berasal. Alur yang disepakati banyak orang, berujar bahwa bedug mulai di kenal di Jawa saat Laksamana Cheng Ho dari propinsi Yunnan di Cina, melakukan syiar agama Islam. Menurut alur tersebut, bedug telah lebih dahulu dikenal di daratan Cina oleh para Wali Sanga, bedug dijadikan sebuah unsur yang terpadu dalam ritual dan budaya yang Islami.

LAKSAMANA CHENG HO

WALISANGA
sumber: 1 bp blogspot

Bedug, tambur besar dengan membran dari kulit hewan, yang diletakkan pada sebuah penampang penyangga. Tambur besar dengan membran dari kulit hewan, juga dikenal oleh berbagai bangsa di dunia. Di Cina, India, Korea, dan Jepang. Di Jepang, bedug dikenal sebagai Taiko Drum, yang juga merupakan sebuah unsur dari kesenian, yang dikenal sebagai Kodo - The Heart Beat Drum. Apapun sebutannya, dan apapun akar budaya bangsa yang mengusungnya, fungsi bedug senantiasa lestari. Sebagai sebuah Tanda Berkumpul. Dalam ranah peribadatan maupun dalam ranah kemasyarakatan. Dalam ranah kemasyarakatan, fungsi bedug hampir mirip dengan kenthongan. Namun fungsi bedug sebagai tanda berkumpul dalam sebuah komunitas, saat ini sudah sirna. Pupus oleh SMS, BBM, pamflet, serta selebaran.

TAIKO 
 sumber: karinkaiser & zendeko

KATEGORI BEDUG
Dalam musikologi, bedug adalah alat musik perkusi - alat musik yang menghasilkan bunyi dengan cara dipukul. Dan memang bedug dibunyikan dengan sebuah pemukul yang disebut mallet. Bedug dikelompokkan ke dalam kategori membranophone. Alat musik bermembran sebagaimana drum set, kendang, bongo, conga, dan sejenisnya. Seni menabuh bedug juga mengalami perkembangan. Sama halnya dengan seni perkusi pada umumnya, tidak hanya bagian membran yang dieksploitasi bunyinya. Namun keseluruhan badan bedug dapat dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai penghasil bunyi dengan warna bunyi yang beraneka macam. Dengan demikian, bedug, dalam perkembangannya bukan sekedar membranophone, tetapi juga sebuah idiophone. Karena badannya dapat juga sebagai sumber bunyi. Seni permainan tambur besar bermembran, telah lama di kenal di nusantara. Meski tak mengistilahkan bedug, di beberapa daerah nusantara terdapat bentuk alat musik perkusi serupa bedug. Misalnya di Nias, daerah Mandailing, dan Minangkabau.

NILAI AFEKSI & FILOSOFI BEDUG
Sebagai sebuah alat musik, bedug memiliki nada. Meski dikarenakan sifat perkusifnya, tala nada yang dihasilkan bedug tidaklah sejelas alat musik piano misalnya. Warna bunyi atau timbre dari bedug cenderung tumpul jika dibandingkan warna bunyi perkusi yang lain, misalnya: kendang. Frekuensi bunyi bedug berada pada wilayah frekuensi bass. Dalam musik tradisionil, bunyi dalam frekuensi bass memiliki fungsi sebagai drona (Inggris: drone), yaitu tesis atau tekanan pemberat pada pola irama. Irama adalah pola ketukan yang berulang dengan pola tertentu dan pola-pola irama ini akan membentuk siklus. Pada musik tradisional, siklus pola irama tersebut bermuara pada drona. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa drona adalah penggambaran sebuah PUSAT KESEMESTAAN. Filosofi ini dapat dimaknai bahwa bunyi bedug adalah pengejawantahan dari suara Sang Ilahi, pusat semesta.

Mendengar bunyi bedug dapat dikatakan sebagai pengejawantahan mendengar suara Sang Ilahi. Bunyi yang bertalu-talu membentuk impresi adanya “panggilan” yang harus ditanggapi segera. Afeksinya adalah rasa keterpanggilan kita untuk segera tanggap akan panggilan tersebut. Fenomena semacam ini adalah sebuah misteri. Misteri tentang ketertarikan suatu rasa dengan bunyi. Misteri tentang afeksi jiwa menanggapi panggilan transenden dalam wujud bebunyian dan tentu saja misteri tentang esensi dari ke-Ilahian yang terwujud dalam bunyi.

Bunyi bedug dihasilkan dengan memukul membran dan membran ini memiliki bentuk sebuah lingkaran. Bidang geometri yang memiliki siklus sempurna - tak ada awal dan tanpa akhir. Morfologi ini juga sebuah misteri. Misteri tentang keberadaan Sang Ilahi yang adalah awal dan akhir itu sendiri. Semua terpampang dalam bentuk sebuah bedug.

INFINITE LINE OF SYMMETRY

Bidang yang berbentuk lingkaran juga menyimpan misteri tersendiri. Secara geometris, lingkaran terbentuk dari titik yang tak terhingga jumlahnya. Membran bedug berbentuk lingkaran. Dengan demikian, ada jumlah tak terhingga dari titik pada membran bedug. Titik-titik tersebut menjadi lokus pukulan mallet. Efeknya adalah sebetulnya ada nuansa warna bunyi yang juga tak terhingga. Meskipun ini bersifat mikro sehingga tidak serta merta dapat dengan gampang dicerna sebagai persepsi terhadap pendengaran. Filosofi psikoakustik macam ini juga menyuguhkan misteri, sebagaimana kuasa Ilahi yang juga tak terhingga. Ada pesan pengedepanan dari sifat “MAHA” pada Sang Ilahi, juga bahwa Tuhan, sebagai Sang Ilahi sering melakukan karya perbuatanNya secara mikro - tak kasat mata dan juga tidak gampang tercecap inderawi kita. Semua ini misteri dan bunyi bedug adalah representasinya.

sumber: wikimedia

Bedug adalah tetabuhan tambur besar. Esensinya adalah tanda, aba-aba, untuk kegiatan peribadatan dan juga salah satu bentuk komunikasi sosial. Perwujudan bunyinya mengandung misteri. Misteri yang jika dipermenungkan akan bermuara pada kesejatian yang hakiki - Tuhan yang Esa. Aktualisasinya adalah, “Akankah kita senantiasa membunyikan bedug secara bertalu-talu dalam lubuk hati sanubari kita, sebagai laku tanggap terhadap panggilan Yang Ilahi?”

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.