Monday, 10 December 2012

"Cara Mendengarkan Jazz" - Staccato Desember 2012



“CARA MENDENGARKAN JAZZ”
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel STACCATO (Desember 2012)


Membaca judul tulisan ini, mungkin ada, 
dan bahkan mungkin banyak pembaca yang akan bertanya: 
“Waduuuhh… begitu rumitkah Jazz 
sehingga harus ada cara (khusus) untuk mendengarkannya?“

Mari kita lihat kembali satu adagium yang sangat terkenal dalam music Jazz. Bahwa Jazz tak pernah dapat dimengerti, namun selalu dapat dinikmati. Bertolak dari adagium ini, sepintas kita bisa memiliki persepsi bahwa Jazz memang sungguh rumit, karena tak pernah dapat dimengerti. Namun jika kita mau sedikit bersusah payah melakukan permenungan, mestinya kita sampai pada sebuah benang merah. Bahwa Jazz tak pernah dapat dimengerti, karena memang TIDAK PERLU untuk dimengerti. Jazz berbeda dengan Musik Klasik yang sangat mengandalkan script dan konsep yang terancang dalam komposisinya. Jazz dijiwai oleh improvisasi, yang tak dapat dipungkiri, sekian persennya adalah jiwa spontanitas. Dengan demikian, menikmati Jazz “hanya mungkin” dengan mendengarkan dan bukan sekedar mendengar. Mendengarkan Jazz adalah sebuah ranah telaah tersendiri. Bukan karena kerumitannya, melainkan karena ada unsur seni mendengarkan yang melekat kepadanya.


Mengawali penjelajahan kita pada ranah mendengarkan Jazz, kita akan bertolak dan berpijak pada Jazz sebagai sebuah pagelaran. Saya katakan pagelaran dan bukan pertunjukan. Karena pada esensinya Jazz itu dipagelarkan bukan dipertunjukkan apalagi dipertontonkan. Perlu dicatat, bahwa pemaknaan istilah ini mengandung denotasi dan konotasi bahwa Jazz adalah sebuah musik seni. Sebuah musik yang mengharuskan adanya bentuk apresiasi, apapun itu. Dan bukan sekedar tontonan sebagaimana halnya dengan penyanyi yang sengaja mempertontonkan pusar dan bulu ketiaknya.

Dalam pagelarannya, Jazz sejati, terutama pada masa awal populernya, tak ubahnya seperti Music Folklore. Itulah mengapa banyak kritikus dan kolomnis musik yang menengarai Jazz sebagai sebuah bentuk music rakyat. Pagelaran Jazz sejati sangat mirip dengan pagelaran musik rakyat yang sangat folkloristik di berbagai bangsa. Pagelaran Jazz mirip dengan guyubnya gendhing yang pemain dan pengunjungnya berpadu dalam sebuah komunitas dan saling merasa “gayeng” serta “nggandhem nyamleng”. Pagelaran Jazz juga memiliki rasa akan pagelaran musik Flamenco dengan gairah dan celoteh yang hot dan bisa makin memanas. Orang sering mengira bahwa pertunjukan Jazz, ditilik dari respon pengunjung, berbeda dengan pagelaran Musik Klasik. Dalam batas tertentu, anggapan ini tidaklah salah. Namun perlu diketahui, pagelaran Opera di Italia, suasananya sangat berbeda dengan suasana konser seorang Daniel Barenboim misalnya. Pengunjung Opera di Italia bisa mendadak berteriak-teriak girang atau juga berteriak-teriak memaki-maki jika misalnya sang soprano sedikit keliru menyanyikan libretto-nya.

Jazz sejati diperdengarkan dengan mengikutsertakan respon pengunjungnya. Adalah lumrah, jika dalam pagelaran Jazz ada celoteh yang bernuansa religius seperti: “Oh God….Its Magnificent…God Bless The Sax Player….Hallelujah for Miles Davis…” Atau saat mendengar Ballad Swing, pengunjung memohon pengampunan dari yang Maha Kuasa dengan berceloteh: “God…give me Your deep Mercy” sambil terisak-isak menangis. Jangan kaget dan terkejut, jika dalam pagelaran Jazz tiba-tiba nyelonong sebuah celotehan yang “menjurus” aksi seksual seperti (mohon dimaklumi, maaf): “Move it bitch, come on shake your xxxxxxxxx…” atau juga saat mendengarkan alunan improvisasi dengan virtuositas tinggi terdengar celoteh ”Ohhh my God….xxxxxxxx….. it haaaaarrrddd! Damn you !”

 
SONNY ROLLINS

Inti paparan dalam paragraf tadi janganlah diartikan bahwa Jazz itu adalah adult material. Jazz untuk semua orang, bahkan untuk anak-anak. Adapun celoteh yang “menjurus ke arah seks” harus ditempatkan dalam status realita. Esensinya bukan pada celotehnya. Namun bahwa Jazz bisa didengarkan dengan cara aktif, berupa respon yang spontan dari audiens nya. Dan respon pengunjung ini sangat mempengaruhi improvisasi si performer. Saxophonist, Sonny Rollins adalah maestro Jazz yang sangat reaksioner terhadap respon dan celotehan pengunjung. Jika respon pengunjung dirasa pas dengan lanskap musikalitasnya, seorang Sonny Rollins mampu melakukan improvisasi secara total dan luar biasa dengan durasi hingga 40 menit non-stop! Ini setara dengan sebuah komposisi konserto pada era Mozart dan Beethoven.


Sisi lain cara mendengarkan Jazz adalah menikmati Jazz sebagai sebuah materi rekaman atau recorded material dan bukan recording material. Jika anda masih memiliki Long Play (LP) atau piring hitam rekaman Jazz tahun 60-an, 70-an, bahkan 80-an, bisa dengan mudah didengarkan bahwa nuansa puritas adalah hal yang terpenting. Merekam Jazz yang ideal dilakukan dengan teknologi living stereo, yang kala itu sangat popular. Apa tujuannya, semata adalah agar aura spontanitas tidak hilang dalam hasil rekaman. Dan bagaimana desah nafas, gesekan mouthpiece saxophone dapat hadir dan terdengar detail. Ini untuk memacu kenikmatan mendengarkan Jazz sebagai musik, dalam ranah esensialnya. Pada piring hitam tahun 60-an, sebuah situasi live recording merupakan keutamaan. The Blue Notes Band hampir selalu menyajikan rekaman dengan mengikutsertakan celoteh pengunjung. Maksudnya tentu agar penikmat jazz di rumah, dapat turut merasakan aura respon saat musik tersebut disajikan. Demikian juga dengan rekaman Branford Marsalis Trio, selain merekam juga respon penonton, menyertakan pula aba-aba atau clue diantara para pemainnya. Rekaman Brandford Marsalis (adik trumpetis Wynton Marsalis) beberapa kali menyabet penghargaan rekaman Jazz terbaik dari Voice of America.

Saya ingin menuliskan pengalaman saya yang  diharapkan dapat memberi gambaran nyata tentang cara mendengarkan Jazz. Sekitar tahun 1995, saat masih sangat ganteng..ooppss…saya menjadi penyiar di radio milik Pemerintah Kota Tegal. Saya mengasuh apresiasi Musik Jazz. Bahannya berupa kaset dari seorang kawan yang bekerja di VOA Washington USA, seksi Indonesia. Pada siaran perdana, saya mengudarakan rekaman “The Blue Note All Stars Live” lengkap dengan celoteh pengunjung. Telepon di studio berdering tanpa henti, banyak sekali yang menelepon. Mereka rame-rame protes keras. Ungkapannya macam-macam, tapi intinya ada satu yang dapat mewakili perasaan pendengar saat itu. Ungkapannya begini: “MAS GUNADI…ini siaran musik!!!!!! KAMI MAUNYA MUSIK!!!!! BUKAN MUSIK PLUS ORANG NGOMONG!!!!“ Ada lagi, waktu itu, seorang ibu yang juga dokter menelepon dan berkata begini: “Mas Gun…ihhh…jazz nya sexy…kayak Mas Guuunnn….tapi saya jadi muntah-muntah karena ada orang ngomongnya…lain kali  cari yang pure music aja Mas..”*
(*catatan: Semua komentar pendengar tersimpan dengan baik di arsip radio Pemerintah Kota Tegal).

Dari reaksi yang secara nyata saya alami, ada beberapa butir yang menarik untuk dicermati sehubungan dengan cara mendengarkan Jazz. Yakni bahwa banyak orang mempersepsikan hal mendengarkan Jazz sebagaimana layaknya mendengarkan Musik Klasik. Menikmati alur lanskap sambil menguak rasa. Ini tidak salah. Hanya saja, Jazz dalam esensinya bisa diapresiasi lebih dari sekedar menguak alur lanskap kompositoris. Sah-sah saja jika kita mendengarkan Jazz sambil berfantasi. Bahkan sampai pada fantasi sekitar sosok penyanyi super montok yang memamerkan bulu ketiak dan belahan dadanya. Karena Jazz dalam kesejatiannya adalah manifestasi rasa yang bebas namun terukur. Hal yang sangat sulit didapat dalam mendengarkan Musik Klasik.

Satu hal lagi yang membedakan cara mendengarkan Jazz dan Musik Klasik. Dalam Musik Klasik, mendengarkan adalah proses mengolah rasa dari sebuah lanskap komposisi yang alurnya sudah dikenalkan terlebih dahulu. Mozart Double Concerto umpamanya. Siapapun pemainnya, formatnya tetap saja seperti itu. Alurnya pun tetap sama. Orkes berbunyi menghantar thema, piano 1 solo, ditimpali piano 2, diteruskan pada alur dialog dengan orkes, dengan materi yang sama sepanjang segala abad. Jazz tidak demikian. Lagu “Blusette” karya Toots Thielemans akan selalu berbeda. Bahkan Blusette bisa berubah menjadi Dang Dut yang bluessy Blusette, jika improvisatornya mantan pemain Dang Dut misalnya.

Sebagai kata penutup, dapatlah dikatakan bahwa, mendengarkan Jazz adalah larut dalam sebuah pembaharuan tematik yang terus menerus dan tidak pernah sama. Justru karena pembaharuan yang terus menerus inilah, Jazz tidak perlu dimengerti. Maka ikuti saja, apresiasi, dan aktiflah mengambil peran, karena itulah esensi Jazz. Semua adalah pelakon dan semua adalah pemusik dalam batasan kemandiriannya.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.