“CARA
MENDENGARKAN JAZZ”
Oleh:
Michael Gunadi Widjaja
Artikel STACCATO (Desember 2012)
Membaca judul tulisan ini, mungkin ada,
dan bahkan mungkin banyak
pembaca yang akan bertanya:
“Waduuuhh… begitu rumitkah Jazz
sehingga harus ada
cara (khusus) untuk mendengarkannya?“
Mari kita
lihat kembali satu adagium yang
sangat terkenal dalam music Jazz. Bahwa Jazz
tak pernah dapat dimengerti, namun selalu dapat dinikmati. Bertolak dari
adagium ini, sepintas kita bisa memiliki persepsi bahwa Jazz memang sungguh
rumit, karena tak pernah dapat dimengerti. Namun jika kita mau sedikit bersusah
payah melakukan permenungan, mestinya kita sampai pada sebuah benang merah. Bahwa
Jazz tak pernah dapat dimengerti, karena memang TIDAK PERLU untuk dimengerti.
Jazz berbeda dengan Musik Klasik yang sangat mengandalkan script dan konsep yang terancang dalam komposisinya. Jazz dijiwai
oleh improvisasi, yang tak dapat dipungkiri, sekian persennya adalah jiwa
spontanitas. Dengan demikian, menikmati Jazz “hanya mungkin” dengan mendengarkan dan bukan sekedar mendengar. Mendengarkan
Jazz adalah sebuah ranah telaah tersendiri. Bukan karena kerumitannya, melainkan
karena ada unsur seni mendengarkan yang melekat kepadanya.
Mengawali
penjelajahan kita pada ranah mendengarkan Jazz, kita akan bertolak dan berpijak
pada Jazz sebagai sebuah pagelaran. Saya katakan pagelaran dan bukan
pertunjukan. Karena pada esensinya Jazz itu dipagelarkan bukan dipertunjukkan
apalagi dipertontonkan. Perlu dicatat, bahwa pemaknaan istilah ini mengandung
denotasi dan konotasi bahwa Jazz adalah sebuah musik seni. Sebuah musik yang
mengharuskan adanya bentuk apresiasi, apapun itu. Dan bukan sekedar tontonan sebagaimana
halnya dengan penyanyi yang sengaja mempertontonkan pusar dan bulu ketiaknya.
Dalam
pagelarannya, Jazz sejati, terutama pada masa awal populernya, tak ubahnya
seperti Music Folklore. Itulah
mengapa banyak kritikus dan kolomnis musik yang menengarai Jazz sebagai sebuah
bentuk music rakyat. Pagelaran Jazz sejati sangat mirip dengan pagelaran musik
rakyat yang sangat folkloristik di berbagai bangsa. Pagelaran Jazz mirip dengan
guyubnya gendhing yang pemain dan pengunjungnya berpadu dalam sebuah komunitas
dan saling merasa “gayeng” serta “nggandhem nyamleng”. Pagelaran Jazz
juga memiliki rasa akan pagelaran musik Flamenco
dengan gairah dan celoteh yang hot
dan bisa makin memanas. Orang sering mengira bahwa pertunjukan Jazz, ditilik
dari respon pengunjung, berbeda dengan pagelaran Musik Klasik. Dalam batas
tertentu, anggapan ini tidaklah salah. Namun perlu diketahui, pagelaran Opera
di Italia, suasananya sangat berbeda dengan suasana konser seorang Daniel Barenboim misalnya. Pengunjung Opera
di Italia bisa mendadak berteriak-teriak girang atau juga berteriak-teriak
memaki-maki jika misalnya sang soprano sedikit keliru menyanyikan libretto-nya.
Jazz sejati
diperdengarkan dengan mengikutsertakan respon pengunjungnya. Adalah lumrah, jika
dalam pagelaran Jazz ada celoteh yang bernuansa religius seperti: “Oh
God….Its Magnificent…God Bless The Sax Player….Hallelujah for Miles Davis…”
Atau saat mendengar Ballad Swing, pengunjung
memohon pengampunan dari yang Maha Kuasa dengan berceloteh: “God…give
me Your deep Mercy” sambil terisak-isak menangis. Jangan kaget dan
terkejut, jika dalam pagelaran Jazz tiba-tiba nyelonong sebuah celotehan yang “menjurus” aksi seksual seperti
(mohon dimaklumi, maaf): “Move it bitch, come on shake your xxxxxxxxx…”
atau juga saat mendengarkan alunan improvisasi dengan virtuositas tinggi
terdengar celoteh ”Ohhh my God….xxxxxxxx….. it haaaaarrrddd! Damn you !”
SONNY ROLLINS
Inti paparan
dalam paragraf tadi janganlah diartikan bahwa Jazz itu adalah adult material. Jazz untuk semua orang, bahkan
untuk anak-anak. Adapun celoteh yang “menjurus ke arah seks” harus ditempatkan
dalam status realita. Esensinya bukan pada celotehnya. Namun bahwa Jazz bisa
didengarkan dengan cara aktif, berupa respon yang spontan dari audiens nya. Dan
respon pengunjung ini sangat mempengaruhi improvisasi si performer. Saxophonist,
Sonny Rollins adalah maestro Jazz
yang sangat reaksioner terhadap respon dan celotehan pengunjung. Jika respon
pengunjung dirasa pas dengan lanskap musikalitasnya, seorang Sonny Rollins
mampu melakukan improvisasi secara total dan luar biasa dengan durasi hingga 40
menit non-stop! Ini setara dengan sebuah komposisi konserto pada era Mozart dan Beethoven.
Sisi lain
cara mendengarkan Jazz adalah menikmati Jazz sebagai sebuah materi rekaman atau
recorded material dan bukan recording material. Jika anda masih
memiliki Long Play (LP) atau piring
hitam rekaman Jazz tahun 60-an, 70-an, bahkan 80-an, bisa dengan mudah
didengarkan bahwa nuansa puritas adalah hal yang terpenting. Merekam Jazz yang
ideal dilakukan dengan teknologi living
stereo, yang kala itu sangat popular. Apa tujuannya, semata adalah agar
aura spontanitas tidak hilang dalam hasil rekaman. Dan bagaimana desah nafas, gesekan
mouthpiece saxophone dapat hadir dan
terdengar detail. Ini untuk memacu kenikmatan mendengarkan Jazz sebagai musik, dalam
ranah esensialnya. Pada piring hitam tahun 60-an, sebuah situasi live recording merupakan keutamaan. The Blue Notes Band hampir selalu
menyajikan rekaman dengan mengikutsertakan celoteh pengunjung. Maksudnya tentu
agar penikmat jazz di rumah, dapat turut merasakan aura respon saat musik
tersebut disajikan. Demikian juga dengan rekaman Branford Marsalis Trio, selain merekam juga respon penonton, menyertakan
pula aba-aba atau clue diantara para
pemainnya. Rekaman Brandford Marsalis (adik trumpetis Wynton Marsalis) beberapa kali menyabet penghargaan rekaman Jazz
terbaik dari Voice of America.
Saya ingin
menuliskan pengalaman saya yang diharapkan
dapat memberi gambaran nyata tentang cara mendengarkan Jazz. Sekitar tahun 1995,
saat masih sangat ganteng..ooppss…saya
menjadi penyiar di radio milik Pemerintah Kota Tegal. Saya mengasuh apresiasi
Musik Jazz. Bahannya berupa kaset dari seorang kawan yang bekerja di VOA
Washington USA, seksi Indonesia. Pada siaran perdana, saya mengudarakan rekaman
“The Blue Note All Stars Live”
lengkap dengan celoteh pengunjung. Telepon di studio berdering tanpa henti, banyak
sekali yang menelepon. Mereka rame-rame
protes keras. Ungkapannya macam-macam, tapi intinya ada satu yang dapat
mewakili perasaan pendengar saat itu. Ungkapannya begini: “MAS GUNADI…ini siaran musik!!!!!! KAMI MAUNYA MUSIK!!!!! BUKAN MUSIK
PLUS ORANG NGOMONG!!!!“ Ada lagi, waktu itu, seorang ibu yang juga dokter menelepon
dan berkata begini: “Mas Gun…ihhh…jazz
nya sexy…kayak Mas Guuunnn….tapi saya jadi muntah-muntah karena ada orang ngomongnya…lain
kali cari yang pure music aja Mas..”*
(*catatan:
Semua komentar pendengar tersimpan dengan baik di arsip radio Pemerintah Kota
Tegal).
Dari reaksi
yang secara nyata saya alami, ada beberapa butir yang menarik untuk dicermati
sehubungan dengan cara mendengarkan Jazz. Yakni bahwa banyak orang
mempersepsikan hal mendengarkan Jazz sebagaimana layaknya mendengarkan Musik Klasik.
Menikmati alur lanskap sambil menguak rasa. Ini tidak salah. Hanya saja, Jazz
dalam esensinya bisa diapresiasi lebih dari sekedar menguak alur lanskap
kompositoris. Sah-sah saja jika kita mendengarkan Jazz sambil berfantasi. Bahkan
sampai pada fantasi sekitar sosok penyanyi super montok yang memamerkan bulu
ketiak dan belahan dadanya. Karena Jazz dalam kesejatiannya adalah manifestasi
rasa yang bebas namun terukur. Hal yang sangat sulit didapat dalam mendengarkan
Musik Klasik.
Satu hal lagi
yang membedakan cara mendengarkan Jazz dan Musik Klasik. Dalam Musik Klasik, mendengarkan
adalah proses mengolah rasa dari sebuah lanskap komposisi yang alurnya sudah
dikenalkan terlebih dahulu. Mozart Double
Concerto umpamanya. Siapapun pemainnya, formatnya tetap saja seperti itu. Alurnya
pun tetap sama. Orkes berbunyi menghantar thema, piano 1 solo, ditimpali piano
2, diteruskan pada alur dialog dengan orkes, dengan materi yang sama sepanjang
segala abad. Jazz tidak demikian. Lagu “Blusette” karya Toots Thielemans akan selalu berbeda. Bahkan
Blusette bisa berubah menjadi Dang
Dut yang bluessy Blusette, jika
improvisatornya mantan pemain Dang Dut misalnya.
Sebagai kata
penutup, dapatlah dikatakan bahwa, mendengarkan Jazz adalah larut dalam sebuah
pembaharuan tematik yang terus menerus dan tidak pernah sama. Justru karena
pembaharuan yang terus menerus inilah, Jazz tidak perlu dimengerti. Maka ikuti
saja, apresiasi, dan aktiflah mengambil peran, karena itulah esensi Jazz. Semua
adalah pelakon dan semua adalah pemusik dalam batasan kemandiriannya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.