Monday 19 August 2013

THE BEATLES: "WARNA DALAM BLANTIKA" - by: Michael Gunadi Widjaja

THE BEATLES:
"WARNA DALAM BLANTIKA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Ranah seni, ranah kehidupan itu sendiri, adalah blantika. Blantika yang harus ditapaki sepanjang keberadaan manusia. Napak tilas manusia pada blantikanya, senantiasa bertabur warna. Dunia menjadi gempar, gegap gempita, dan bahkan terbuai, terbius, terlena, saat empat pemuda dari Liverpool Inggris bermusik. Gaung spektakulernya kemudian melegenda sampai hari ini. THE BEATLES” - sebuah legenda blantika musik populer, ikon Musik Populer dunia. Dan bahkan sementara kalangan berani untuk berujar, jangan berbicara tentang Musik Pop tanpa menyebut The Beatles.

Sudah banyak literatur tentang kesuksesan The Beatles. Di Indonesia pun sudah teramat banyak literatur yang berkaitan dengan sosok figuratif, perjalanan karir, momen emas, hingga analisa rahasia sukses The Beatles. Yang agaknya tetap menjadi aktual adalah mempermenungkan The Beatles, untuk sampai pada sebuah semburat kesadaran bahwa sebetulnya senantiasa harus ada warna dalam blantika manapun yang kita arungi.


John Lennon, Paul Mc Cartney, Ringo Star, George Harrison - itulah The Beatles. Pada awal karirnya, The Beatles sebetulnya mengusung Musik Rock ‘n Roll. Dalam gaya Inggris, yang dalam musikologi dikenal sebagai Mersey Beat. Yang menjadikannya unik adalah bahwa The Beatles senantiasa melakukan eksperimen dalam musiknya dan ekperimen ini dilakukan oleh John Lennon dan Paul Mc Cartney. Bentuk eksperimennya adalah memberi warna baru dan juga warna yang memberi kesan nuansa berbeda pada musik Rock ‘n Roll aslinya. Upaya The Beatles ini, jika diaktualisasikan dalam kehidupan kita, adalah sebuah REFORMASI. Reformasi yang terukur, bukan reformasi yang penuh euphoria dan dilakukan secara demonstratif.

 The Beatles "When I Saw Her Standing There"

Tiang utama keberhasilan konsep musik The Beatles adalah kebersamaan. Bagaimana sebuah reformasi konsep hasil pemikiran John Lennon dan Paul Mc Cartney dikomunikasikan menjadi sebuah bahasa kelompok? Dan “bahasa kelompok” inilah yang menjadikan The Beatles memperoleh kegemilangan debut musikalnya. Paul Mc Cartney mengalami kegagalan dengan grup barunya yakni Wings. Yang bisa kita ambil pesannya adalah bahwa dalam melaksanakan sebuah konsep dibutuhkan kebersamaan yang solid dan komunikasi yang efektif. Tak ada tempat bagi arogansi hanya karena mayoritas atau keunggulan tertentu, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial.

Musik The Beatles pada awal karirnya kental oleh warna tradisionil. Simak saja misalnya nuansa tradisional India pada lagu Inner Light” dan “Nowhere Man” karya George Harrison. Agaknya ini mengingatkan kembali pada kita bahwa sesuatu yang bersifat tradisi senantiasa dapat tumbuh berdampingan dan bahkan memperkaya hal yang “modern.”

The Beatles in their costumes for their single
"Sargeant Pepper Lonely Heartclub Band"
 

Banyak juga musik The Beatles yang bersifat sangat liris. Diantaranya lagu seperti Michelle” dan “Sargeant Pepper Lonely Heartclub Band.” Jika kita sempat menyimak lirik lagu The Beatles yang seangkatan dengan kedua lagu tadi, kita akan berhadapan dengan teks tentang sesuatu yang berupa bayangan-bayangan terutama jika orang sedang berada dalam keadaan “fly” oleh karena narkoba. Terlepas dari sisi buruknya, hal ini adalah bukti totalitas The Beatles terhadap prinsip keseniannya. Jaman sekarang banyak orang yang mengaku total dan intens pada suatu prinsip, namun hanya berupa slogan kosong belaka. Tak banyak orang yang berani benar-benar menyublim dalam prinsip hidupnya dan konsekuen dengan “harga” yang harus dibayar.

John Lennon & Yoko Ono

Kegemilangan The Beatles, terutama dari segi musiknya, tidak dapat dipisahkan dari buah karya dua orang terdekatnya, yaitu: Yoko Ono yang adalah istri John Lennon dan George Martin, sang produser. Jarang orang yang mengetahui bahwa Yoko Ono adalah seorang seniman luar biasa. Yoko Ono adalah salah satu pelopor Fluxus and Happening Art” yang sampai sekarang paradigmanya dipakai mewarnai aksi-aksi demo di tanah air. 

Yoko Ono in the middle of performance
"Fluxus and Happening Art"

George Martin sendiri adalah pemusik klasik terkemuka. Dia adalah solis oboe pada berbagai orkestra. Pengaruh dua orang itulah salah satu sebab yang menjadikan The Beatles benar-benar bermusik dengan matang hingga melegenda. 

George Martin and The Beatles

Pesan moralnya adalah, bahwa untuk setiap hal “besar” senantiasa diperlukan “MAN BEHIND THE SCENE” - sosok dibalik layar yang adalah para ahli yang profesional dan berdedikasi di bidangnya. Agaknya sudah waktunya para pembuat keputusan kita memiliki orang-orang sedemikian. Andai telah memilikipun, tak berlebihan kiranya jika warna dalam blantika seperti telah dilakukan The Beatles, dipakai sebagai acuan dan cermin diri.

 John Lennon "IMAGINE" (HD)


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.