"SIZE: IT DOESN'T MATTER!"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja

Kecil, acapkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang
inferior. Lemah, sangat remeh, kurang bermakna, dan bahkan sering pula dikonotasikan
sebagai hal yang “merendahkan” dan bahkan “memalukan” serta memilukan. Simak saja
ujaran seperti berikut ini: ”Ah, badannya
terlalu kecil untuk menjadi bintang bola basket…” atau juga ”wah, payah, anu suamiku ukurannya kecil…”
Di sisi yang
lain ada semacam rhetorika yang merupakan penghiburan bagi konotasi inferior
tentang kecil. Kita sering mendengar ungkapan seperti: “Kecil-kecil cabe rawit” atau juga celotehan semacam: “Biar
kecil, yang penting goyangannya.” Jadi rupanya, tepat juga adagium yang mengatakan “SIZE: IT DOESN’T MATTER!”
Konotasi
makna bukan sekedar persepsi individual. Sampai batas tertentu persepsi
individual dapat menjadi persepsi komunal. Dengan demikian, sangat mungkin
terjadi adanya persepsi publik bahwa yang kecil pasti inferior. Ini tentu tidak
sejalan dengan realita yang dihadapi orang jaman sekarang. Sebuah realita yang
sangat fatal jika hanya ditelaah secara dikotomis belaka. Nampaknya perlu ada
upaya menyemburtkan persepsi yang lebih baik dari sekedar dikotomi. Dan pencerahan
semacam ini dapat dimulai dengan memberi persepsi yang seimbang terhadap makna
sebuah kata.
Persepsi
makna kata yang seimbang, dapat dimulai dari ranah SENI. Sebuah ranah yang
mampu mensublimasi sampai pada tingkat subtilitasnya, dari semua kebutuhan dan
kehausan rasa dan karsa manusia. Musik sebagai cabang seni juga menjadi media
yang layak untuk menyeimbangkan persepsi guna mendapatkan pandangan menyeluruh
akan makna kata. Dengan daya afeksinya yang luar biasa, musik mampu mencerahkan
makna. Sebab jika sebuah kata hanya dimaknai secara picik, maka akan banyak akibat
yang ditanggung khalayak - khususnya mengenai kebijakan dalam tatanan hidup
bermasyarakat.
Jake Shimabukuro
