Monday, 1 September 2025
GURU MUSIK - by: Michael Gunadi | Staccato, September 2025
Thursday, 31 July 2025
Chopin Melanglang Buana - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2025
Ketika anda mendengar nama Chopin, salah satu hal yang terlintas di benak anda adalah POLANDIA. Tanah yang sangat dicintai dan dibanggakan Chopin. Lalu Anda akan bertanya, ngapain Chopin ke Inggris yang pada jaman itu tergolong jauh? Kisah kujungan Chopin ke Inggris merasa perlu diketengahkan karena sangat mirip dengan fenomena yang terjadi pada para guru musik terutama piano di tanah air. Mencermati kisah Chopin mungkin anda bisa menarik sedikit benang dari semburat realita salah seorang legenda Musik Klasik. Bahan dari kumpulan lecturer saya dan saya usahakan dengan bahasa yang formil, namun mudah dicerna.
Pada tanggal 16 Februari 1848, Chopin menggelar konser di Paris, tepatnya di Salle Pleyel bersama temannya,seorang pemain cello, Franchomme, dan pemain biola, Alard. Konser tersebut sukses besar dan ada rencana untuk konser berikutnya pada bulan Maret. Kemudian pada tanggal 23 Februari, revolusi meletus di jalan-jalan Paris. Monarki Juli yang dipimpin Raja Louis Philippe digulingkan, dan keluarga Kerajaan Perancis melarikan diri ke Inggris. Dunia Chopin hancur. Sebagian besar murid bangsawannya meninggalkan kota, acara musik terhenti, dan ia mendapati dirinya tanpa mata pencaharian. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan, dan dengan kesehatan yang terus menurun karena tuberkulosis stadium lanjut, situasi Chopin menjadi sangat menyedihkan.
Monday, 30 June 2025
SUMBER - by: Michael Gunadi | Staccato, July 2025
Siapapun yang belajar Musik Klasik, mengajar Musik Klasik atau mencintai Musik Klasik, mestinya, atau setidaknya sangat diharapkan, untuk memiliki pemahaman. Bahwa Musik Klasik adalah BUDAYA LITERER. Yakni kebudayaan, yang berwujud seni dan bersifat literatif atau menggunakan literasi atau bahan bacaan, dengan demikian harus tertulis. Ini yang membedakan Musik Klasik dengan Genre lainnya, Pop, Jazz, Rock, Traditional atau apapun genrenya. Di ranah tertulis inilah, para pelaku Musik Klasik, akan bergumul, bergelut dan berkutat dengan SUMBER. Sumber tertulis. Sumber ini menjadi penting mengingat dalam performansi Musik Klasik pertaruhannya adalah PRESISI. Ketepatan yang tak kenal kompromi, meski tetap ada ruang untuk kebebasan berekspresi.
Sumber, dalam batas tertentu, sangat menentukan kelayakan permainan seorang siswa Musik Klasik dan/atau para pemusik professional. Dalam ranah Pustaka Musik Klasik, dikenal tentu, sumber secara fisik dan Digital. Sumber fisik dan Digital ini memiliki editio typica atau sumber induk dan para musikolog biasa membaginya menjadi:
Edisi faksimili adalah salinan persis dari naskah asli komposer atau edisi awal sebuah karya. Edisi Faksimili sering kali merupakan reproduksi fotografi yang meniru ukuran, kertas, warna, penjilidan, dan kondisi fisik aslinya. Edisi Faksimili berguna bagi siswa, guru, dan peneliti yang mungkin tidak memiliki akses terhadap materi aslinya. Mereka dapat memperoleh gambaran tentang tempat kerja dan suasana kerja sang komposer, menunjukkan nuansa seperti penghapusan, koreksi, dan tempelan material. Istilah "faksimili" berasal dari frasa Latin fac simile yang berarti "membuat serupa". Penutur bahasa Inggris mulai menggunakan kata tersebut pada akhir tahun 1600-an.
Monday, 31 March 2025
"BUNUH": Menguak Misteri Kematian Para Musisi - by: Michael Gunadi | Staccato, April 2025
Waduuuh kok ngeri amat nih.. mosok kita bicara tentang bunuh sih?! Mosok kita bicara tentang bunuh bunuhan?! Ngeri serem takuut. Bunuh itu bisa sebagai istilah. Bisa sebagai perintah. Kegiatannya disebut membunuh. Bentuk pasifnya adalah dibunuh. Pelakunya disebut pembunuh. Memang, BUNUH terkesan mengerikan. Namun, kali ini kita akan menelisik kata tersebut. Bukankah: Music is Beyond The Words. Jadi mestinya musik memang mampu menguak dan menyeruak apapun. Tentu, termasuk BUNUH ini. Kita akan menelisik BUNUH dalam ranah musik untuk kemudian mengambil pelajaran. Siapa tahu bisa menjadikan hidup anda bertambah stress dan pusing serta tak happy.
5 Desember 1791. Si Genius Wolfgang Amadeus Mozart, meninggal. Kematiannya menimbulkan banyak spekulasi. Salah satu yang paling ramai adalah bahwa Mozart dibunuh. Siapa pembunuhnya? Kenapa pemusik, komposer jenius seperti dia dibunuh? Berbagai rumor beredar. Diantaranya adalah bahwa Mozart dibunuh oleh Salieri. Akibat persaingan “dagangan” komposisi. Tapi hal ini sangat tidak logis. Karena pada jaman Mozart pun, dagangan komposisi musik bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan dan membuat seseorang menjadi tajir. Mungkin status sosial. Komposer dan pemusik yang luar biasa bisa sangat dekat dengan kekuasaan. Tapi, Mozart sejatinya tidak begitu suka dengan aristokrasi bau-bau penguasa. Mozart lebih khusyuk berasyik masyuk dengan kebebasan dan keeksentrikannya. Kematian Mozart memang misterius. Semisterius kejeniusannya. Ia meninggalkan beberapa karya yang belum selesai. Termasuk Fantasia dalam D minor. Karya ini kemudian diselesaikan dengan hasil rekayasa untuk keperluan publikasi oleh August Eberhard Müller.
Friday, 28 February 2025
HIKMAH BAGI SEORANG KOMPOSER - by: Michael Gunadi | Maret 2025
Kita akan bicara tentang HIKMAH dalam carut marutnya ranah musik. Hikmah ya. Bukan Hikmat. Ohhh beda ya,Pak? Ya. Sangat beda. Dalam KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA, hikmah diberi batasan leksikografi sebagai: hikmah/hik·mah/ n 1 kebijaksanaan (dari Allah): kita memohon -- dari Allah Swt.; 2 sakti; kesaktian: -- kata-kata; 3 arti atau makna yang dalam; manfaat: wejangan yang penuh --;berhikmah/ber·hik·mah/ v 1 berguna; bermanfaat; 2 memiliki kesaktian (kekuatan gaib dan sebagainya). Wah maknanya banyak dan luas banget yaaa. Gini lah. Kita ambil satu contoh mudah saja. Misal dalam kalimat: semua kejadian itu pasti ada hikmahnya. Dengan pemaknaan sebagaimana saripati kalimat semacam itulah kita akan menarik hikmah dalam ranah musik.
Perjalanan kita akan mulai dengan menjenguk JOHAN SEBASTIAN BACH. Seorang komposer yang sangat luar biasa. Lebih dari berbakat. Lebih dari Jenius. Bach mungkin adalah manusia penggubah musik paling hebat sepanjang napak tilas kehidupan manusia. Karya nya abadi karena memang begitu layak untuk diabadikan. Satu hal yang unik adalah, bahwa Bach semasa hidupnya bukanlah seorang Megastar. Hidupnya jauh dari Glamour. Jauh dari histeria puja puji massa seperti misalnya Franz Liszt. Bach sangat bersahaja. Profilnya juga tidak flamboyan sebagaimana misalnya Nicolo Paganini. Iya pun tidak elegante bergaya priyayi sebagaimana Mendelssohn. Bach juga bukan pemusik eksentrik sebagaimana Mozart. Bach biasa saja sebagai manusia.
Bach itu tidak macam-macam. Sepanjang hidupnya ia nyaris tak pernah jalan-jalan, healing-healing ke luar kota. Pakaiannya juga itu itu saja. Makanannya juga bolak-balik Apple Struddle dan makanan Jerman ndeso yang sederhana. Hidupnya dapat dikatakan tertib. Selain, tentu saja ini yang menarik, anaknya banyak. Benar-benar bukan Keluarga Berencana. Banyak orang yang heran dan tak habis pikir. Bagaimana bisa dengan anak segitu banyaknya, seorang Bach masih bisa menghasilkan komposisi musik yang luar biasa. Jawabannya: Gereja. Ya. Bach ini penggereja yang setia. Ia bukan Katolik namun seorang Kristen Protestan. Ya sebetulnya fakta semacam itu tidaklah penting. Namun ya, faktual hal hal semacam itu masih sering disebut dan dinyatakan. Gereja itulah yang berfungsi sebagai living studio bagi Bach. Ia bisa menyepi dan berkonsentrasi serta bereksperimen dengan ide musikalnya. Bebas merdeka dari gangguan hiruk pikuk kikuk anak–anaknya.
Saturday, 1 February 2025
MENJADI MODERN ITU HARUS - by: Michael Gunadi | Staccato, February 2025
Tapi sekarang, saat ini kita sebetulnya sudah sampai pada titik dimana sudah ada lebih banyak musik modern hebat yang ditulis dan direkam dibandingkan sebelumnya, dan yang dimaksud dengan “modern” terkadang adalah karya para komposer yang berasal dari tahun 1940-an. Lihatlah rata-rata program konser simfoni, pertunjukan lagu atau instrumen solo, atau repertoar gedung opera favorit di dunia zaman sekarang. Kita tidak akan menemukan banyak hal. Jikapun ada sesuatu yang diprogram, yang ditulis lebih kuno dari awal tahun 1930-an, hampir selalu mengarah pada hal yang sama: yakni musik tonal oleh para Great Masters.
Jika ada kebangkitan dalam dunia Musik Klasik, biasanya hal tersebut disebabkan oleh promosi beberapa komposer yang menulis musik yang lumayan indah dari pertengahan abad ke-18 hingga tahun 1930-an. Sebut saja semisal penemuan Florence B. Price. Peristiwanya merupakan anugerah bagi musisi klasik dan khususnya stasiun radio yang memutar Musik Klasik. Florence B. Price ini, dia menulis musik yang dibuat dengan baik namun impersonal, cantik dan menarik tetapi sejatinya tidak mengatakan apa-apa, dan yang paling menarik di sini adalah karena dia itu orang Afrika-Amerika, yang mana mereka dapat merasa nyaman dengan diri mereka sendiri dengan mempromosikannya, meskipun musiknya indah tapi tak mengandung “pesan” apapun.
Wednesday, 1 January 2025
SEKELUMIT - by: Michael Gunadi | Staccato, January 2025
Jika bicara soal Gamelan dari sudut pandang musik barat, tentu yang terbersit dalam benak secara langsung adalah karya Claude Debussy, dan tentu Leopold Godowsky. Bagi yang piknik nya lumayan jauh, bisa menyebut karya Lou Harrison dan Collin McPhee. Bagi yang sering piknik bisa ditambah dengan Jody Diamond atau malahan Gamelan X (yang sekarang entah gimana nasibnya). Lalu mungkin ada yang berceloteh. Bagaimana dengan Pak Sumarsam? Beliau sudah malang melintang dan lintang pukang mengajar dan mempopulerkan Gamelan di USA. Terus bagaimana juga dengan Mas Rahayu Supanggah. Mas Otto Bima Sidharta. Hmmm. Ya kenapa dengan beliau-beliau itu. Beliau-beliau tersebut sudah moksa dalam keabadian karyanya. Secara ritual. Kompositoris maupun atma nya. Tulisan ini mau mengetengahkan pernik yang mungkin terlewat tentang Gamelan. Dipersandingkan dengan budaya musik barat karena pembaca majalah ini didominasi oleh kaum piano dan musik budaya barat.
Apa sih Gamelan itu? Orkestra nya Jawa. Seperangkat bebunyian yang terdiri dari piranti Idiofon, kendang, suling, terus terkadang ada juga alat musik berdawai semisal rebab, kecapi. Perangkat bebunyian ini bisa dimainkan antara 3 sampai 20-an manusia. Sejatinya, sejalan dengan napak tilas peradaban manusia, Gamelan juga memiliki sejarah napak tilas yang sangat panjang. Sebetulnya, Gamelan itu, bagi yang sempat mencermati ya, juga mengalami perkembangan. Banyak unsur-unsur budaya lain yang masuk dalam Gamelan. Sebut saja misalnya dari ragam budaya musik India, China, Persia, Eropa. Malahan sejak tahun 1990-an sudah ada karya komposisi Gamelan yang berbirama ¾ dan berirama Waltz. Tentu saja tak ketinggalan selusupan musik DangDut.
Thursday, 1 August 2024
MISKIN - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2024
Jika kita mau jujur, dan melepaskan diri dari segala syakwasangka, harus kita akui bahwa Gitar Klasik adalah instrunen yang sering dianggap miskin. Tapi, jangan khawatur. Artikel ini tidak bercerita tentang gitar klasik. Hanya sepintas lintas kilas saja. Anggapan bahwa Gitar Klasik adalah miskin maupun ”miskin” (dalam tanda petik). Dapat dengan mudah kita amati pada institusi semacam Sekolah Musik dan/atau kursus-kursus musik. Tak dapat dipungkiri, Piano adalah instrumen musik yang paling digemari. Perbandingan siswa Piano dan Gitar Klasik dalam satu institusi pembelajaran musik, sangat menyolak. Siswa Gitar Klasik hampir tak pernah mencapai 10% dari jumlah siswa piano. Dan ini terjadi bukan saja di Indonesia.
Dan memang, rasa atau kesan miskin itu nampak jelas ketika kita menghadiri Konser Gitar Klasik. Satu panggung yang luas. Kemudian muncul seseorang menjinjing Gitar Klasik dan duduk. Ia nampak sangat kecil dan mini dibanding luasnya panggung Konser pada umumnya. Kesan miskin tersebut diperkuat dengan misalnya, Sang Gitaris sudah uzur, berjalan gontai, sedikit terbatuk batuk. Meskipun mainnya jago seperti Dewa Gitar Angkasa, tetap saja kesan miskin itu ada. Dan rupanya, sudah sejak dahulu, Gitar Klasik dianggap miskin.
Tuesday, 30 April 2024
Menilik Problem Kesehatan Bagi Pemusik | by: Michael Gunadi | Staccato, May 2024
Banyak orang, yang bisa saja dengan sinis, atau memang dengan ketulusan hati, mengatakan bahwa pemusik itu manusia yang hiduonya senang dan gembira. Kerjanya hanya bermusik, buat musik, nyanyi nyanyi, tampil ditepukin tangan. Ada lagi yang mengiyakan satu Quotes yang bunyinya: THERE IS NO HOLIDAY FOR MUSICIAN BECAUSE EVERYDAY IS HOLIDAY. Di lain sisi, ada juyga khalayak yang melontarkan cibiran. Entah apa maksudnya. Mereka ini seringkali berujar: Problem kesehatan pemusik ya stress. Sakit kepala, nggreges mriyang, karena bayar cicilan, bayar listrik gak kuat, anak-anak sekolah juga berat.
Sebetulnya, pemusik adalah profesi. Dan sebagai sebuah profesi, tentu pemusik memiliki juga resiko profesi. Ada banyak resiko profesi yang dihadapi pemusik. Salah satunya adalah problem kesehatan. Problem kesehatan ini tak jarang dapat membawa kematian bagi si pemusik. Yang terhormat tentu saja mati di panggung pertunjukan pada saat tampil. Jika ini terjadi, dapat dikatakan seorang pemusik sudah purna tugas dengan mulya. Meski tentu hal ini pun bisa bersifat sangat relatif.
Sunday, 3 December 2023
WES - by: Michael Gunadi | Staccato, December 2023
Judul ini sama sekali bukan plesetan istilah WIS dalam bahasa Jawa yang artinya sudah. WES dalam judul ini adalah WES MONTGOMERY. Legenda Jazz Guitar yang juga influencer Musik Jazz yang tentu saja tanpa melalui Instagram. Seperti biasa, kaum sok tahu, sok ritis, belagu bergaya musisi top dengan sikap tidak peduli alla Cosmopolitan dan Metropolitan, akan bertanya: Apa untungnya tahu hal macam begini? Untuk apa juga kita tahu hal begini. Jawabannya seperti biasa. Tidak ada untungnya sama sekali. Apalagi dari sisi materi. Sama sekali tidak ada untungnya. Lho?! Ya.
Dan memang apa juga untungnya belajar Piano setengah mati. Meskipun misalnya anda juara dunia 29 kali, apakah ada untungnya dari sisi materi? Belum tentu dan bahkan TIDAK. Jawaban pertanyaan untuk apa adalah, tahu hal begini harapannya akan ada sedikit relung yang bisa menginspirasi kita semua. Agar hidup ini tidak makin sulit dan makin menderita dalam cacaruca carut marut dunia yang makin disruptif dan deseptif.
Sunday, 1 October 2023
GIG - by: Michael Gunadi | Staccato, October 2023
Seorang Gitaris perempuan yang hebat, namanya Ana Vidovic, asal Croatia, bilang bahwa jika ingin meniti karir sebagai Gitaris, syarat mutlaknya adalah memiliki cinta yang luar biasa pada Gitar dan dunianya. Pendapat ini tak hanya berlaku bagi Gitar, namun berlaku juga bagi setiap pemusik apapun instrumen musiknya, termasuk penyanyi.Kenapa harus ada rasa cinta yang luar biasa pada alat musik dan dunianya? Ya karena kehidupan sebagai pemusik itu sangat berat. Latihan berjam-jam tiap hari, manggungnya belum tentu setahun sekali. Manggung inilah yang sebetulnya menjadi inti pokok kehidupan seorang pemusik. Perform. As a Performance. Untuk apa? Ya tentu untuk cari nafkah. Dalam menjalani kehidupannya, seorang pemusik, yang hidup murni dari musik memiliki 2 jenis lahan penghasilan. Konser dan/atau Resital serta GIG.
Gig ini sebetulnya ya performance. Tampil. Manggung. Lalu apa bedanya dengan Konser dan/atau Resital? Begini. Konser itu penampilnya banyak. Resital penampilnya fokus satu atau dua saja. Baik Konser maupun Resital, mengusung idealisme pemusiknya. Jadi Konser/Resital biasanya akan disponsori sambil Jual Tiket. Dalam event semacam itu, Pemusik bebas main musik apapun yang dia suka dan dia hayati. Yang hadir ya mau tidak mau suka atau tidak suka “menikmati” sajian yang sudah dirancang si Pemusik bersama Team kreatifnya.
Saturday, 1 July 2023
DUNIA BILAH PIANO CHOPIN - by: Michael Gunadi | Staccato, July 2023
Dunia Bilah Piano. Sebuah dunia, satu ranah yang merupakan kulminasi kreatifitas seni bunyi melalui bilah alat musik piano. Mengapa piano? Ya karena piano adalah rajanya semua alat musik. Kemampuannya mengagumkan. Sedemikian mengagumkannya kemampuan piano, hingga layak mendapat tempat sebagai satu dunia tersendiri.
Bicara tentang dunia piano, orang akan segera terhubung dan terasosiasi dengan Frédéric Chopin. Dan memang, dunia Chopin adalah dunia bilah piano. Dunia auditif. Bagi kita manusia yang hidup pada zaman yang katanya modern ini, dunia pendengaran nyaris terlupakan. Orang zaman sekarang terlalu terbuai dengan budaya kasat mata atau visual, khususnya melalui sosial media seperti Instagram. Dunia pendengaran sejatinya adalah dunia tanpa batas. Seperti halnya kekhusyukan kita saat dalam doa. Pejamkan mata dan sejatinya melepas semua keterbatasan dunia kasat mata.
Saturday, 27 May 2023
SAAT - by: Michael Gunadi | Staccato, June 2023
Seorang guru gitar sedang gundah gulana, bingung lintang pukang. Dia bingung memainkan karya BACH PRELUDE dari Lute Suite BWV 998. Yang membuatnya bingung adalah bahwa di score nya sama sekali tak ada petunjuk seberapa cepat Prelude tersebut dimainkan. Karena dia produk jaman sekarang, mulailah ia mencari jawaban kegundahannya pada GOOGLE. Eeeee gak ketemu. Dia kemudian mencari contoh para Maestro. Dibukalah YOUTUBE. Di YouTube dia lihat permainan John Christopher William, Julian Bream, Andres Segovia, Juara-juara Kompetisi Gitar Dunia, semua memainkan Prelude Bach BWV 998 dengan sangat lambat.
Thursday, 2 March 2023
PUTUS ASA | by: Michael Gunadi | Staccato, March 2023
Banyak orang yang sudah tahu. Sudah maklum. Sudah pula mahfum. Bahwa kehidupan pemusik itu, termasuk pemain Musik Klasik, hanya gemerlap moncer berkilau di panggung saja. Setelah lampu panggung padam, hidupnya akan yaaa biasa-biasa saja. Bahkan berkekurangan secara finansial, kalau tidak mau dikatakan miskin. Yang dimaksud adalah pemusik murni ya. BUKAN SELEBRITI. Ada pemusik yang menjadi selebriti dan kaya raya luar biasa. Tapi itu bukan dari musik nya. Banyak hal lain. Seperti misalnya kelihaian promosi, tampang fisik yang menjual, sensasi sensasi kawin cerai prank prink prunk prenk prank dan sebagainya.
Membaca paragraf di atas, akan banyak orang mengatakan. Ahhh mosok sih pak. Tuh Pak Anu guru piano kaya raya pak. Kalo bukan dari keturunan, hmmm gak mungkin ya. Perkara punya rumah punya mobil itu sih pedagang asongan juga bisa. Dulu memang, zaman industri musik, termasuk Musik Klasik masih berkilau, banyak pemusik klasik yang kaya raya.
Herbert Von Karajan, sang Maestro Dirigen, punya kapal pesiar, pesawat pribadi, mobil balap mahal. Andres Segovia, sang Maestro ghithar klaziek juga punya villa di Spain yang megah mewah luar biasa dengan panorama lautan yang indah. Julian Bream juga main ghithar klaziek bisa punya kastil, hidup mewah bagai bangsawan. Ya tapi itu duluuu. Dahulu. Duluuu kala. Sekarang zaman sudah sangat berbeda.
Thursday, 1 December 2022
Erik Satie's Gymnopedie: "Karya Normal dari Si Upnormal" - by: Michael Gunadi | Staccato, December 2022
Mungkin, bisa jadi, Gymnopedie karya Erik Satie merupakan salah satu karya musik yang terpopuler. Begitu banyak pemusik memainkan karya ini. Begitu banyak instrumen musik, baik petik maupun perkusif yang terlibat berceloteh dan melagukan karya ini.
Gymnopedie sebetulnya adalah tiga komposisi untuk piano yang dibuat Erik Satie pada 1888. Kata Gymnopedie berasal dari bahasa Yunani kuno yang merujuk pada satu festival dimana para lelaki lajang yang muda dan segar menari dengan telanjang bulat. Satie membuat karya ini setelah membaca sebuah novel karya Gustave Flaubert. Meski diilhami dari sebuah novel, hal ini menunjukkan adanya ketertarikan yang “upnormal” dari seorang Erik Satie.
Tuesday, 1 November 2022
LAHAN TERKEREMUS - by: Michael Gunadi | Staccato, November 2022
Pernah ada satu masa dimana musik mengalami kejayaan. Abad pertengahan dengan ditemukannya mesin uap, mulailah timbul industrialisasi. Industrialisasi ini membuat kelas baru dalam strata masyarakat di Eropa. Yakni kelas menengah dan boss-boss industri. Kelas menengah dan boss boss industri ini bisa lah ada uang. Di samping itu, industrialisasi merambah juga dunia musik. Alat musik yang tadinya diproduksi sebagai seni kerajinan tangan, saat itu mulai diproduksi secara pabrikan. Dalam skala industri. Sudah tentu harganya menjadi lebih terjangkau. Kelas menengah dan boss boss yang timbul secara kagetan, mampu beli. Akibatmya, musik bisa hadir di rumah rumah rakyat. Tidak melulu kaum bangsawan. Musik berjaya. Karena dinikmati dan dimainkan langsung oleh sangat banyak orang. Lahan musik luas membentang menghijau segar subur.
Friday, 1 July 2022
Menggelitiki Musik (Kritik Musik) - by: Michael Gunadi | Staccato, July 2022
KRITIK MUSIK
Sebagai seni yang dihadirkan pada khalayaknya, tentu, musik, tak elok jika berdiri dan sibuk dengan dirinya sendiri. Kehadiran musik dan keberadaan musik, membutuhkan respon dan impuls. Respon yang bukan saja berupa apresiasi ataupun kesaksian katarsis penikmatan alunan musik sebagai materi auditif, melainkan juga sanggahan, penolakan atau bahkan mungkin kutukan terhadap musik itu sendiri. Tanpa itu semua, musik menjadi sebuah entitas seni hanya mengalun tak tentu rimbanya dan tak tentu rima nya.
Untuk itu, dan oleh karena itulah, musik membutuhkan KRITIK. Sebuah kegiatan yang diberi batasan sebagai: kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dalam ranah musik, kritik sudah menjadi seni.
Seni yang usianya setua musik itu sendiri. Kritik musik sudah ada dan hadir, sejak zaman supremasi akal dalam tatanan peradaban Yunani kuno. Plato, seorang filsuf jaman Yunani kuno, memiliki quotes yang bunyinya begini: “Music gives soul to the universe and wings to the mind”. Sepintas, quotes Plato tersebut terkesan sebagai sebuah pernyataan. Namun jika kita cermati, sebetulnya Plato melemparkan sebuah kritik. Kritik terhadap musik. Yang diwujudkan dalam bentuk “pernyataan bersyarat” - conditional sentence, bahwa musik itu “harus” bisa membawa jiwa ke semesta dan memberi sayap bagi pikiran. Dengan kata lain, musik yang “tak seperti itu” belum bisa disebut sebagai musik.
Friday, 31 December 2021
Wanted: New Normal Music | by: Michael Gunadi | Staccato, January 2022
Pada tanggal 18 Agustus 2021, liputan6.com merilis sebuah berita yang sangat mengejutkan, yakni bahwa Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan: virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tidak akan hilang dalam waktu cepat. Mungkin butuh waktu 5-10 tahun lagi kita tetap hidup dengan virus Corona."Pandemi ini tidak akan hilang dengan cepat. Mungkin akan menjadi epidemi. Dan, kita harus hidup dengan mereka 5 tahun atau 10 tahun lagi," kata Budi dalam konferensi pers di YouTube Kemenkeu.
Sudah tentu, pernyataan Menkes tersebut merupakan sebuah Warning sekaligus juga arahan pada semua elemen masyarakat. Bahwa kita tidak bisa lagi hidup “bebas” seperti sebelum ada Pandemi Covid-19. dan setidaknya “belenggu” ini akan memasung kita untuk kurun waktu 5 sampai 10 Tahun. Warning Menkes tersebut tentu tidak pas jika kita tanggapi dengan kekhawatiran dan/atau ketakutan yang berlebihan. Akan lebih arif dan bijaksana jika Warning Menkes tersebut, kita respon dengan kewaspadaan sekaligus mencari terobosan dan rumusan. Akan bagaimanakah kehidupan kita di segala bidang, setidaknya untuk 5 sampai 10 tahun mendatang?
Saturday, 31 July 2021
MENANTANG - Duel Dalam Musik Klasik | by: Michael Gunadi | Staccato, August 2021
Zaman sekarang ini, dimana pandemi COVID-19 masih maharajalela, entah bagaimana dengan peta persaingan para pemusik. Saya rasa, persaingan tetap ada. Hanya saja, karena sudah sama-sama loyo, sama-sama cemas dan takut, pasarnya juga sepi, jadi persaingannya tak lagi frontal. Apalagi dalam masa pandemi, dipergunakan daring yang jelas berpeluang lebih kecil untuk konfrontasi persaingan secara frontal. Padahal, entah dari segi moral, konfrontasi persaingan yang terbuka sudah menjadi bagian dari napak tilas sejarah musik.
Kita tidak bisa mengatakan: “Oh, itu bagian dari sejarah Musik Klasik....” Tidak bisa. Karena saat konfrontasi terbuka itu terjadi, tak ada pengkotak-kotakan ini Musik Klasik, ini Musik Pop, ini Musik anu, ini Musik itu. Jadi ya konfrontasi terbuka dalam bentuk MENANTANG, dari sisi historis adalah bagian tak terpisahkan dari aroma dan napas perjalanan musik itu sendiri.
Dunia mencatat, bahwa “menantang”, tantang-tantangan di antara para pemusik (klasik), dapat dikatakan sudah sampai taraf yang mengerikan. Bahkan sudah mulai mempertaruhkan nyawa, berujung penjara, dan menimbulkan spekulasi serta skeptisisme di kalangan yang bahkan mengklaim dirinya sangat cinta musik. Hal yang mendasari “konfrontasi menantang” ada beberapa. Semuanya bisa bersifat subyektif ataupun juga ada nilai obyektifnya.
Monday, 31 May 2021
Generatio Speculativa - by: Michael Gunadi | Staccato, June 2021
APAKAH ANDA SUKA MUSIK?
Suatu ketika jika Anda ditanya, apakah Anda suka musik? Dan sebelum dituduh bahwa Anda orang yang kurang berbudaya, pasti tanpa pikir panjang Anda akan menjawab: “Ya, saya suka musik.” Kemudian bisa saja si penanya dengan agak kepo dan kurang ajar, bertanya lagi. Musik apa yang Anda suka. Sampai disini, jika Anda memiliki kecerdasan yang lumayan, maka dalam benak Anda akan berkecamuk berbagai pertimbangan.
Namun jika Anda kurang cerdas, agak seperti keledai, maka Anda akan secara spontan saja asal njeplak menyebutkan jenis musik yang “sering Anda nikmati” meski belum tentu Anda suka. Hal-hal semacam itu, acapkali terjadi dalam kehidupan kita. Dan dalam keadaan demikian, kita menjadi bagian dari generatio speculativa. Sadar ataupun tak sadar. Generasi yang sering berspekulasi.