Sunday 29 July 2012

Artikel Audio Pro Juli 2012 "BASS MIXING"

"BASS MIXING"
Artikel Audio Pro Juli 2012 
by Michael Gunadi Widjaja

 


Dalam ranah audio pro, mixing dapat dikatakan sebagai sebuah upaya memberi nyawa pada hasil reproduksi bunyi. Dalam rantai proses rekaman maupun real time perfomance, mixing menjadi sebuah hal yang sangat esensial.

Untuk dapat melakukan mixing dengan layak, seorang sound engineer mengawalinya dengan menanamkan visi pada benaknya. Visi tentang bagaimana kehadiran bunyi hasil reproduksi. Apakah dengan puritas yang sangat presisi atau sepenuhnya berupa artifisial. Pada pelaksanaannya, mixing diberlakukan bagi semua elemen yang akan direproduksi. Tentu dalam hal ini termasuk juga bass atau bass guitar (elektrik).

Keberadaan bass dalam ranah musik modern kian hari kian menjadi sangat esensial. Bass bukan saja sebagi thesis pemberat dalam beat, namun juga dapat mengambil fungsi sebagi cantus firmus (lagu pokok); dan juga dapat memberi nuansa dan warna bagi komposisi musik secara utuh. Dari kenyataan ini, dapatlah dikatakan bahwa bass menuntut perlakuan yang lebih seksama jika ingin direproduksi. Tentu upaya ini akan melibatkan proses mixing, sebuah proses yang bertumpu pada visi dan skill.

Proses bass mixing akan sangat efektif jika didahului dengan sebuah pemahaman bahwa bass (bersama drums) adalah dasar pokok dalam rhythm section. Idealnya bunyi bass adalah punchy atau "nendang", biasanya dirasakan sebagai getaran di dada pendengar. Namun bunyi bass tidak boleh tambun. Bass harus tetap groovy agar dapat  melaksanakan fungsinya memperkaya irama. Dan yang sangat penting adalah bass dalam gelegarnya tidak menutupi bunyi piranti musik lainnya. Untuk menjaga agar bass tetap sebagai bass, dalam mixing kita membutuhkan piranti pembantu, yakni equalizer dan compressor. Proses ekualisasi bertujuan untuk menonjolkan karakter bass dan proses kompresi untuk menjaga rentang dinamika bass yang kadang bisa sangat luas.

PANORAMA

Hal esensial sebelum memixing bass adalah menentukan terlebih dahulu staging bunyi bass. Lazimnya bass menempati panorama sentral. Dalam artian, knob pan pot tetap di tengah. Memposisikan bass pada kanal kiri atau kanal saja, dalam beberapa kasus sangat mengganggu keberadaan hasil reproduksi secara keseluruhan. Faktor lain adalah panorama bunyi bass dalam hubungannya dengan equalizer dan compressor. Apakah akan diekualisasi dahulu ataukah dikompres baru kemudian diekualisasi. Ini bergantung pada visi sang sound engineer.

EKUALISASI

Hal penting dalam ekualisasi bass adalah filtering. Penyisiran dapat dilakukan pada frekuensi rendah terutama kisaran 40 Hz, karena dalam realitanya jarang sekali bass berdentum dalam jangkau frekuensi sedemikian rendahnya. Langkah berikutnya adalah sweeping terhadap frekuensi yang kita rasakan menghambat visi kita akan bunyi bass.

Pada gambar nampak sweeping pada frekuensi 128 Hz dan kisaran 185 Hz yang dipangkas. Dalam kasus tertentu, tidak selalu cut off pada kisaran frekuensi ini dapat menambah kejernihan dan punchy bunyi bass. Tentu hal ini sangat subyektif sifatnya dan sangat bergantung oada visi sang sound engineer.

KOMPRESI

Gambar mengilustrasikan status kompresi. Yang penting adalah memilih ratio kompresi, lazimnya untuk bass adalah 8:1. Jika pemain bass memiliki teknik yang baik, kompresi sangat tidak diperlukan. Karena hanya dengan jarinya, si pemain bass sudah mampu menghadirkan bunyi bass yang stabil dan rata. Termasuk mulus dalam gradasi dinamika.

Memixing bass pada hakikatnya sama seperti bermain bass itu sendiri. Beberapa sound engineer malah berlaku ekstrem dengan hanya memunculkan frekuensi rendah saja. Dan nyatanya dalam music industry belakangan ini, situasi ekstrem tsb. menjadi marak dan malah dapat menjadi semacam warna musikal yang baru.

Saturday 28 July 2012

IT'S CAPRICE ON GUITAR!!! (THE PAGANINI CAPRICE 24 ON CLASSICAL GUITAR)


IT'S CAPRICE ON GUITAR!!! 
(THE PAGANINI CAPRICE 24 ON CLASSICAL GUITAR)


Nicolo Paganini terkenal dan dikenal sebagai composer dan virtuoso biola. Paganini malahan orang pertama di dunia yang menggelar recital solo biola tanpa iringan.Hingga ada ungkapan bahwa jika Paganini memainkan biolanya,maka setan – setan di neraka pun akan ikut menari. 

Selain virtuositasnya yang “sangat tidak umum” dalam bermain biola, Paganini juga memiliki kegemaran memainkan gitar. Bahkan kegemarannya ityu sudah dapat dikatakan sebagai sebuah obsesi. Paganini berteman naik dengan Mauro Giuliani. Giuliani adalah seorang virtuoso gitar. Konon kabarnya mereka sering bertukar instrument sambil berkelakar. Sepanjang karirnya, Paganini juga membuat puluhan komposisi untuk gitar.


Salah satu karya Paganini yang terkenal bahkan melegenda adalah Caprice atau Capriccio no 24. Karya ini sebetulnya untuk biola solo tanpa pengiring.Namun sedemikian terkenalnya karya ini,sehingga orang mentranskripsi untuk instrument lain. Dari semua transkripsi, gitar klasiklah yang paling terkenal dan dikenal.Karena kedekatan passion Paganini pada gitar klasik.

Yang membuat Capriccio Paganini menjadi demikian tersohor adalah, struktur dan alur melodinya yang melodius, akordis dan familiar untuk diapresiasi. Dari sudut pandang classical guitar performance, Caprice 24 ini juga memiliki berbagai teknik dan musikalitas yang tak akan ada habisnya untuk diolah.

Secara structural, Capriccio 24 terdiri dari THEMA – VARIASI VARIASI dan CAUDAL atau ekor penutup.

Thema sangat akordis dan banyak digunakan not semi quaver. Tantangannya adalah bagaimana memainkan semi quaver dalam tempo lumayan cepat. Juga harus diperhatikan adanya “kebocoran” bunyi. Itulah sebabnya banyak gitaris papan atas memainkan bagian thema tidak pada first position. Karena jika pada first position maka nada E aka nada di dawai 1 yang tone colornya SANGAT TIDAK SAMA dengan dawai lainnya.

Variasi 1 adalah arpeggio dengan struktur inverted. Polanya 5 – 3 -1.Arpeggio ini dilakukan dengan triplet dan board position yang sangat jauh jangkauannya.

Variasi 2 sering dimainkan secara Harmonic Octaf. Namun banyak juga gitaris papan atas yang memainkan variasi 2 ini hanya sebagaimana konteksnya.

Berbagai variasi dalam Caprice 24 paganini, memiliki tingkat kesulitan dan musikalitas yang berbeda-beda. Secara musical, sebetulnya caprice ini hanya memakai progresi II V I dalam minor. nada-nadanya sangat akordis. Dexteritas nya juga sebetulnya tidaklah terlalu sulit. Hanya saja, memainkan Caprice 24 Paganini dalam transkripsinya untuk gitar klasik, selalu menyisakan pertanyaan:

AKAN DIBAWA KEMANA MUSIKNYA? 
APAKAH GITARISTIK  ATAUKAH BIOLINISTIIK (biolas banget).

Jika kita memilih biolinistik,maka pendekatan teknis permainan gitar kita haruslah se boil;a mungkin. Terutama pergeseran oktaf yang sejajar harus seperti biola jika melakukan bow oktaf. Ini sulit dan menuntut sebuah color.

Pada esensinya, Caprice 24 paganini adalah sebuah kulminasi virtuositas. Dan uniknya, dilakukan dalam kerangka sebuah Capriccio, yang adalah music jenaka.

Berikut ini disajikan video Lie Jie, murid John William.
Aransemennya adalah versi gurunya. Sangan kompleks dan penuh explorasi teknik.


Berikutnya adalah arransemen sangat sederhana namun dilakukan
dengan frasering yang pas dan sangat passionate.


Saturday 21 July 2012

Mengenal Fuga (Bagian 3)


MENGENAL FUGA BACH
(Bagian 3)


Setelah bagian Exposition lengkap, dilanjutkan dengan bagian Development atau pengembangan. Sebelum mencapai bagian Development, sebuah fuga lazim di dahului dengan Episode. Secara popular, sebuah EPISODA pada prinsipnya adalah rangkaian imitasi berdasar motif dari subyek namun telah di fragmentasi.

Di dalam Development, materi subject dikembangkan. Cara pengembangannya, seringkali memakai teknik-teknik:
  • Inversi 
  • Retrograde (ditulis dari belakang ke depan). Misal sebuah subject terdiri dari nada C G E G A F D, maka Retrograde nya menjadi: F A G E G C 
  • Dimunuisi: Pengurangan nilai ritmik 
  • Augmentasi: Penambahan nilai ritmik
Berikut di paparkan langkah-langkah yang mestinya baik jika diikuti jika orang, atau siswa jurusan komposisi ingin mengarang Fuga ataupun menganalisis.
  • Pahami dulu, apakah Fuga tersebut terdiri dari Exposition, Development dan Conclusion. Sebab tak semua Fuga terdiri dari tiga bagian semacam itu. 
  • Tentukan akhir atau ending dari tiap bagian. Biasanya dilihat dari cadens harmoninya. Namun jangan sampai terjebak. Tidak setiap cadens merupakan akhir dari sebuah bagian. namun setiap bagian jelas dan selalu diakhiri dengan cadens. 
  • Cadens yang terdapat pada Fuga, lazimnya adalah cadens authentic ( V – I) Cadens yang sifatnya deceptive ( V – vi ) dan juga cadens plagal ( IV – I). Payahnya, cadens dalam Fuga sangat sulit ditelusur. Karena, jangan dilupakan, Fuga senantiasa memakai teknik garapan counter point yang berupa nada-nada yang terajut berkesinambungan. 
  • Pada bagian Exposition, tentukan dahulu mana subject nya. Jangan keliru dengan answer. Pada Fuga karya J.S Bach, nada bass hampir selalu merupakan answer dan bukan thema subyek. Ketika subyek sudah dijawab, dalam artian bunyi lain sudah memberi jawab pada thema subyek, maka selalu bunyi yang tadinya membawakan subyek, melanjutkan dengan counter subject. 
  • Pada bagian development, tetap dipakai counterpoint. Untuk memudahkan analisa, adalah baik jika dipahami bahwa aplikasi counterpoint dalam development bisa berwujud: Augmentation, Diminuition, melodic inversion, double counterpoint, pedal point, modulation, sekwensi dan bahkan canon. 
  • Secara khusus perlu diperhatikan tentang middle entry, atau tengahan. Middle entry dapat berwujud sebagai STRETTO. Stretto tercapai ketika bunyi 1 sedang membunyikan subyek, belum selesai, namun sudah dijawab bunyi yang lain.
Hal lain yang senantiasa layak diingat adalah bahwa Fuga TIDAK PERNAH tampil dengan urutan yang baku dan terurut. Jangan pernah mengira bahwa subyek hanya sekali saja di bagian depan. Tidak dan bukan demikian. Subyek bisa muncul kembali dan kembali lagi.


Friday 20 July 2012

Mengenal Fuga (Bagian 2)


MENGENAL FUGA BACH
(Bagian 2)


Fuga bukan saja merupakan teknik yang antik. Fuga tetap popular dan dipergunakan sampai hari ini. Dari sekian banyak composer, Johann Sebastian Bach dapat disebut sebagai “sang dewa Fuga”. Sebetulnya banyak juga composer legenda yang memakai teknik fuga, termasuk Mozart. Namun memang Bach lebih identik dengan Fuga.

Dalam bagian ke-1 kita telah bicara sekilas mengenai bagian pertama Fuga, yakni exposition atau pemaparan. Sekarang kita akan sejenak melihat bagian pertama secara outline.

Skema contoh saya ambil dari Wikipedia


Misal kita hendak memakai teknik komposisi Fuga untuk tiga suara manusia. Dalam hal ini Sopran, Alto dan Bass ,tanpa tenor. Dapat dilihat pada lajur kiri table. Ketiga suara tersebut akan berinteraksi dalam exposition (bagian ke-1 Fuga). Misal dalam EMPAT babak. Dalam Thema, Tengahan 1, Tengahan 2 dan Final. Nampak pada bagian kepala kolom.

Nampak pada tabel skema, setelah Thema selesai, bisa disisipi (tidak harus) episode. Demikian pula pada bagian antara tengahan 1 dan tengahan 2 (middle entry) bisa disisipi episode. Dengan demikian jangan dipersepsikan bahwa episode hanya sekali antara exposition dan development (bagian ke-2 Fuga) saja. Setelah final pun, masih bisa ditambahkan ekor atau Coda.

Sekarang mari kita baca tabel skema kita:
  • Sopran menyuarakan melodi Thema. Saat melagukan thema, disebut bahwa sopran sedang menyatakan Subyek. 
  • Setelah subyek selesai dinyatakan oleh sopran,maka alto segera menyusul dengan ANSWER atau jawaban. Jawaban atau Answer ini ada dua macam: Jika sama persis dengan subyek dan dalam kunci Dominan, disebut sebagai REAL ANSWER. Jika ada perubahan,meskipun kecil, maka disebut sebagai TONAL ANSWER. Termasuk jika jawaban itu dimainkan dalam kunci nada selain dominan dari si subyek. 
  • Saat alto menyuarakan jawaban atau answer,sopran tidak tinggal diam, melainkan menyuarakan Counter Subject. Counter subject sebetulnya serupa dengan Counter point. Hanya saja materi pada counter subject HARUS dipakai lagi ketika subyek dinyatakan kembali. Lihat keadaan table skema pada kolom 2nd middle entry. Jika materi music hanya dipakai sekali, maka dia bukan sebagai counter subject melainkan hanyalah counter point saja.

Thursday 19 July 2012

Mengenal Fuga (Bagian I )

MENGENAL FUGA BACH
(Bagian I )


Fuga adalah padanan bahasa Indonesia untuk FUGUE (baca: Fyug, English). Dalam komposisi musik, Fuga dapat dikatakan sebagai sebuah kulminasi teknik komposisi. Fuga sangat rumit dan bagi sebagian pemusik terutama siswa jurusan komposisi, Fuga adalah sebuah momok yang menakutkan. Paparan ini sekedar mengenalkan Fuga dengan pendekatan yang diusahakan “lebih bersahabat”. Paparan ini bersifat popular dan sama sekali bukan sebuah telaah ilmiah. Sumber pustaka tidak dicantumkan karena paparan ini adalah sebuah paparan dari hasil konklusi dan bukan sebuah term paper.
.
Apa gunanya mengenal Fuga? SAMA SEKALI TAK ADA GUNANYA! Hanya saja, dapat dikatakan bahwa Fuga adalah salah satu pencapaian tertinggi dalam teknik komposisi musik. Jadi yang gemar dan minat berkomposisi, adalah baik (meski tak berguna..hehehehe..) untuk mengenal Fuga.
Sebetulnya, Fuga adalah teknik komposisi. Dan bukan bentuk komposisi. Syarat berlakunya teknik Fuga adalah, bahwa komposisinya harus terdiri dari dua bunyi atau lebih. Fuga senantiasa diawali dengan THEMA, yang sering disebut SUBYEK. Subyek ini diwujudkan dengan sebuah Imitasi, yakni dimainkan dalam laras yang berbeda
.
Dalam perkembangannya, Fuga kemudian dimaknai tidak saja sebagai teknik komposisi melainkan juga terdapat makna derivative. Fuga dalam leksikon bahasa Inggris dipadankan dengan “kejar-kejaran”. Makna derivatifnya misalnya istilah FUGARE dalam bahasa Italia yang padanan maknanya adalah “mengejar”.

Secara structural, Fuga terdiri dari tiga bagian
  • Exposition (Pemaparan)
  • Development (Pengembangan)
  • Recapitulation (Risalah)
Pada abad pertengahan, Fuga masih dipersamakan dengan teknik komposisi CANON. Mulai abad 17 barulah Fuga diasosiasikan dengan teknik Kontrapunktal atau Counterpoint.

Lanskap kompositoris Fuga, selalu diawali dengan THEMA. Thema ini biasanya pendek saja. Thema ini dianggap sebagai subyek atau “pelaku”. Subyek inilah yang merupakan materi bagian Exposition atau pemaparan. Jadi bagian 1 dari Fuga, yakni exposisi, isinya memaparkan thema.

Yang terjadi dalam bagian exposition adalah: Bunyi ke-1 menyatakan thema. Setelah bunyi ke-1 selesai menyatakan thema, disusul bunyi ke-2 menyatakan thema. Namun dalam laras atau pitch yang berbeda. Setelah bunyi ke-2 selesai menyatakan thema, disusul pernyataan thema oleh bunyi ke-3. Juga dalam laras berbeda. Jika semua bunyi sudah selesai menyatakan thema, maka dikatakan bahwa BAGIAN EXPOSITION SUDAH SELESAI DAN LENGKAP.
.
Paragraf di atas hanya menggambarkan alur yang terjadi dalam bagian pertama yakni exposition. Dalam kenyataannya, Fuga tidaklah sesederhana itu. Saat bunyi satu menyatakan thema, tetap saja ada progresi harmoni. Dan saat bunyi ke-2 menyatakan thema, bunyi ke-1 bukan cuma diam bengong saja. Melainkan memainkan fungsi mendukung pernyataan tematik bunyi ke-2. Dan bunyi ke-3, meskipun gilirannya setelah bunyi ke-2, bukan berarti menunggu diam dan bengong. Tetap saja ada peran tiap bunyi saat bunyi yang lain menyatakan thema. Dan inilah yang membuat sebuah Fuga sangat sulit dan rumit serta membuat sakit kepala jika harus menganalisa. Saya sendiri menghabiskan waktu lebih dari 3 tahun untuk bisa menghasilkan analisa Fuga yang representatif.
.
Setelah bagian exposition lengkap, Fuga akan mengalir pada bagian development. Sebelum menapak pada bagian development, seringkali dibunyikan terlebih dahulu sebuah frase penghubung. Frase penghubung ini disebut EPISODE. DISINILAH PERSOALAN ANALISA MULAI TIMBUL!!! wkwkwkwkwkw….karena seringkali kita jadi bingung dan pusing… Ini nih bagian episode, apa masih termasuk thema ya????…nah loe !!!! Ditambah lagi bahwa sifat Fuga BUKANLAH SEBUAH LANSKAP KOMPOSITORIS YANG MUTLAK. Kok bisa ??? ya bisa dong..bisa..wheeeeeekkkkk….

Berikut saya rangkum semesta pembahasan dalam bagian pertama Fuga 
dalam diagram yang saya buat:

Wednesday 18 July 2012

PERNIK–PERNIK BIRAMA


PERNIK –PERNIK BIRAMA



Nada-nada dalam music mengalir dengan pulsa tertentu. Pulsa di sini merujuk pada ketukan yang teratur dan berulang ulang. Dalam ranah music teori (meminjam istilas Jelia Edu,M.Mus.Edu), pulsa ini ditengarai sebagai beat. Dalam music  contemporer (avant garde dalam segala relativitasnya) pulsa atau beat ini memiliki ranah tafsirnya sendiri. Namun dalam music yang “klasik” pulsa atau beat ini diwujudkan secara teratur dan berulang. Dari keteraturan pulsasi beat inilah kemudian dikonsepkan tentang time signature. Atau dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan tanda birama. Lalu kita semua mengenal tanda birama sebagaimana 2/4,3/4 atau 4/4. Dalam ranah music teori, tanda birama yang demikian, disebut sebagai simple time signature. Terdapat pula compound time signature atau birama majemuk. Contoh paling popular adalah 6/8.



Konsep dasar birama dijabarkan sebagai berikut: Dalam birama 2/4 misalnya. Ada 2 beat (bilangan pembilang) dan masing-masing beat diampu oleh not  quaver atau note value ¼ (bilangan penyebut). Dalam bahasa Indonesia,bilangan pecahan selalu terdiri dari pembilang (top) dan penyebut (bottom).

Dalam komposisi musik, time signature tak semata dinyatakan dengan tanda berupa bilangan pecahan. Melainkan juga disertai pengelompokan nada atau note grouping. Beberapa guru music menganggap note grouping ini sebagai cara penulisan belaka. Semata agar musik lebih mudah dibaca secara tekstual. Padahal, note grouping tidaklah sesederhana itu. Note grouping bisa merubah karakter dan bahkan artikulasi birama itu sendiri. Contoh aplikasinya adalah ¾ vs 6/8.



Banyak orang menganggap bahwa 6/8 adalah ¾ yang di dobel (double).Sehingga timbul pertanyaan aneh seperti ini misalnya: MANA LEBIH CEPAT, 3/4 atau 6/8? Dalam kasus tertentu memang 6/8 bisa dimainkan sebagai ¾. Namun, inti permasalahannya bukan demikian. Saatnyalah kita mendalami grouping the note.
6/8 memang adalah note 1/8 sebanyak 6 buah dalam satu birama.
Namun jangan lupa !!!!! 6/8 bisa saja di note group seperti ini:


Dan jika 6/8 di grouping (dikelompokkan) demikian, maka cara menghitungnya bukan lagi not 1/8 mendapat satu ketukan. Bukan. Melainkan dihitung dua dua atau count in two! Lho kok bisa????????? Ya bisa, karena ternyata music mengenal ALLA BREVE atau CUT TIME. Jadi Alla Breve itu bukan cuma nama lain untuk birama 2/2 melainkan sebuah konsep untuk cut time. Dalam kasus ¾ vs 6/8 setelah mengikut sertakan konsep Alla Breve, dapatlah dikatakan bahwa ¾ lebih terasa sebagai pertigaan sedangkan 6/8 lebih terasa sebagai perempatan.
Aplikasi dari pernik pernik birama tersebut dapat dilihat pada video berikut ini:


Video tersebut adalah TARANTELLA karya Pauline Hall dalam official video ABRSM. Dan Tarantella  merupakan salah satu lagu yang dapat dipilih untuk ujian ABRSM 2012. Lagu tersebut ber birama 6/8. Nampak dimainkan dengan sangat cepat. Jelas dengan speed setinggi itu, tidaklah mungkin jika 6/8 ditafsir sebagai one beat for one semi quaver. Karena ketukannya bisa sangat cepat dan kacau saking cepatnya.Yang terjadi adalah, dalam Tarantella ABRSM, 6/8 ditafsir sebagai Alla Breve 6/8. Atau 6/8 yang “terpangkas”. Sayangnya, ABRSM tak mencamtumkan Alla Breve pada 6/8. Jadi mestinya, sah saja jika Tarantella dimainkan lebih lambat karena siswa mengcounting dengan konsep dasar,yakni one beat for one semi quaver.

Music memang adalah bahasa symbol. Untuk dapat menyalurkan hasrat atau passion, simbolisme ini layak untuk dinyatakan dengan tegas dan konsekuen. Bukan sebagai sebuah tekstual yang dengan liar dan seenaknya dimainkan.