“THE AFTER 60”
Oleh:
Michael Gunadi Widjaja
(Artikel
Staccato April 2013)
“The After 60” adalah istilah yang terdapat dalam perkembangan musik
Jazz. Istilah The After 60 merujuk kepada sebuah periode waktu, yakni periode
setelah tahun 1960. Mengapa periode ini demikian penting hingga harus
dipaparkan secara khusus? Dan mengapa pula angkanya harus 60? Keramatkah angka
60? Juga dapat saja terbetik sebuah pertanyaan:”Lalu apa pentingnya bagi kita
jika kita tahu dan mengerti tentang hal-hal tersebut?” The After 60 oleh
beberapa musikolog, termasuk Prof.
Dieter Mack, seorang musikolog dari Freiburg Jerman, dapatlah dikatakan
sebagai sebuah TONGGAK. Tonggak yang sangat menentukan perkembangan Jazz itu
sendiri, sampai kepada bentuk yang kita kenal sekarang ini.
Pijakan awal kita
adalah pada sebuah genre Jazz yang dikenal sebagai FREE JAZZ. Dalam periode tahun 60-an, Free Jazz dapatlah dikatakan
sebagai “pucuk” atau ujung perkembangan Jazz saat itu. Oleh sebab itu,banyak
musikolog yang juga menggolongkan Free Jazz sebagai Jazz Avantgarde, karena
Free Jazz mengedepankan sebuah era (dalam hal ini adalah era tahun 60-an).
Dalam perannya sebagai Jazz Avantgarde, Free Jazz malah memperlihatkan
“taring”-nya. Musik-musik dalam Free Jazz lebih terasa sebagai musik seni. Ekspresi para pemusik kulit
hitam pun terdengar lebih total. Selain itu, Free Jazz juga menjalin hubungan
mesra dengan berbagai genre musik kontemporer yang tumbuh dan berkembang saat
itu.
Hubungan mesra antara Free Jazz dan musik kontemporer, membawa imbas pada strata sosial yang lebih luas. Kalangan kulit putih, yakni orang Eropa mulai mendapat “porsi” untuk bicara dalam ranah musik Jazz. Ada berbagai penafsiran mengenai hal ini. Namun yang penting adalah bahwa sejak tahun 1960, Jazz dikenal bukan lagi “semata” sebagai Black People Music, melainkan sudah menjadi bagian dari harta warisan budaya dunia. Inilah mengapa fenomena The After 60 layak mendapat perhatian utama dalam perkembangan musik Jazz.
Fenomena The
After 60 juga dengan sangat kental mewarnai hiruk-pikuk perkembangan Jazz, terutama
dalam materi musiknya. Free Jazz yang adalah pucuk dari The After 60, mengalami
perluasan makna. Free tidak semata-mata diartikan sebagai “bebas tanpa aturan”,
melainkan kebebasan dalam pemilihan materi musik. Dalam Musik Kontemporer, APAPUN
menjadi mungkin dijadikan materi musik. Telah diterangkan bahwa Free Jazz telah
menjalin hubungan mesra dengan Musik Kontemporer. Sebagai akibatnya, materi
musik dalam Jazz menjadi hampir tanpa batas. Hal ini menyertakan pula akibat
yang penuh pertanyaan:
Karena materi
musiknya hampir tanpa batas, dengan demikian struktur komposisi musiknya pun
menjadi TIDAK ADA. Sebetulnya, hal semacam ini merupakan akibat yang sangat
masuk bagi musik improvisatif semacam Jazz.
Yang menjadi agak
memusingkan adalah: Jika struktur musiknya tidak ada, lalu nilai keindahan atau
estetiknya diukur dengan apa? Dalam titik inilah The After 60 menyediakan
beberapa tawaran jawaban, yang seiring jalan dengan perkembangan Jazz itu
sendiri.
Ternyata meskipun
Free Jazz adalah pucuk dalam The After 60, gaya “Mainstream” atau Jazz baku, tidak pernah ditinggalkan. Bahkan Mainstream
Jazz bisa seiring jalan dengan Free Jazz. Inilah salah satu “kehebatan” yang
ada di The After 60. Gaya baku tidak menjadi kuno atau using, melainkan
mendapat vitalitas baru. Dan bahkan dapat terus bertahan sampai dekade 80-an
dan malahan 90-an. Hebatnya lagi, Mainstream Jazz malah makin bersifat
komersial. Industri musik berduyun-duyun merekam permainan pemusik-pemusik
dalam gaya Mainstream Jazz. Semua itu terjadi dalam sebuah kurun waktu, yakni
The After 60.
Selain Free Jazz,
Mainstream Jazz (dengan vitalitas baru), The After 60 mengawali pula maraknya perkembangan
Jazz Rock. Jazz Rock ini bisa dengan sangat supel menjalin hubungan asmara
dengan Musik Pop. Hal ini disatu sisi sangat menguntungkan perkembangan Musik
Jazz. Karena dari hasil hubungan asmara dengan Musik Pop, Jazz menjadi lebih
pop(uler). Di sisi yang lain, hubungan asmara semacam ini juga mengakibatkan
identitas asli Jazz semakin pudar, dan bahkan dapat dikatakan nyaris hilang. Hal
ini mencapai puncaknya ketika muncul aliran FUSION JAZZ. Fusion Jazz laksana badai gurun pasir meluluh
lantakkan identitas asli Jazz, terutama yang mati-matian dipelihara dalam
Mainstream Jazz. Salah satu penyebabnya adalah berdirinya sebuah asosiasi
pemusik Jazz, yakni GRP PRODUCTION. GRP
production adalah asosiasi yang didirikan dan dimotori oleh Dave Grusin, seorang pianis Jazz yang
sekolah dan sangat hebat, dan Larry
Rosen, seorang pakar industri musik. GRP sendiri adalah singkatan dari
Grusin Rosen Production. GRP ini bagai tangan gurita raksasa merangkul
pemusik-pemusik Jazz yang hebat untuk membanjiri industri musik dengan Fusion
Jazz. Beberapa nama yang bergabung dengan GRP Production, antara lain: Lee Ritenour (guitar), Omar Hakim (Drum),
Diane Schuur (Vocal), Eric Marienthal (Saxophone).
Fusion Jazz pada
intinya adalah fusi atau peleburan berbagai genre dan unsur musikal. Fusion
Jazz masih tetap popular sampai sekarang karena bagi masyarakat umum terasa
lebih “menarik”. Sampai dengan Fusion Jazz, dapatlah dikatakan bahwa The After
60 benar-benar tonggak sejarah periodisasi Jazz yang fenomenal.
Dari segi
perkembangan materi musik, memang The After 60 merupakan lintasan mencuatnya
Free Jazz. Namun apa yang dialami pemusik Free Jazz tidaklah segemilang
perkembangan genre musiknya. Saxophonist
John Coltrane, misalnya. Dia tidak lama menikmati kegemilangan eranya
karena telah wafat. San Ra menjadi
terkucil dan mengucilkan diri. Ornette
Colemann juga acak-acakan dan jarang pentas. Terhadap situasi semacam ini, Ekkehart Jost, seorang kolumnis musik
menulis demikian:
Kelanjutan karir
musisi-musisi Free jazz terkemuka, memaparkan fakta yang menyedihkan. Namun
fakta tersebut sama sekali bukanlah kegagalan ataupun kekurangan dalam konsep
musiknya. Penyebab utamanya jelas adalah faktor sosial ekonomi. Hal ini karena
Free Jazz (saat itu) harus dipasarkan di tengah-tengah keadaan masyarakat yang
menganut ideologi kesuksesan materi (US Dollar).
Apa yang ditulis
oleh Ekkehart Jost sebetulnya terjadi juga di Indonesia. Menjadi menarik untuk
sedikit menatap apa imbas dari The After 60 bagi perkembangan Jazz di
Indonesia. Dalam konsep bermusik, jelas The After 60 sangat terasa pengaruhnya
di Indonesia. Diawali dengan The Indonesian All Stars (Jack Lesmana, Bubi
Chen, Yopie Chen, Maryono, Beny Mustafa, dan Tony Scott) yang
mencengangkan dunia dengan meramu Jazz dan musik etnik Indonesia khususnya Jawa
dan Sunda. Yang kemudian berlanjut dengan Jazz Etnik yang diusung oleh Karimata dan Krakatau. Secara
konseptual, The After 60 gaungnya dapat dikatakan sangat terasa juga di
Indonesia. Namun dari sisi kehidupan pemusiknya, masih kalah jauh dengan
pemusik pop yang dengan dasyatnya meroket mendadak kaya bergelimang materi.
Moment penting
yang dihadirkan The After 60 sebetulnya adalah sebuah fenomena, bahwa Jazz
sejak saat itu dapat dikatakan tidak lagi terkungkung secara sosial. Jazz
seperti “punya sayap” untuk merambah dan dirambah oleh siapa saja. Konsekuensinya,
jati diri Jazz sejati semakin pudar. Dan repotnya, hal sedemikian terus
berlanjut hingga saat ini. Ambil saja contoh hajatan Jazz akbar di tanah air, Java Jazz misalnya. Sebagai sebuah
event, Java Jazz sangat bagus. Bagus dalam artian melanjutkan apa yang sudah
terjadi dalam The After 60. Yakni Jazz milik semua orang. Musisi dari berbagai
bangsa hadir dan berlaga di sana. Penikmatnya pun dari kalangan yang sangat
beragam. Anehnya, sulit bagi orang yang memperhatikan Jazz dengan seksama, untuk
mengatakan bahwa Java Jazz itu sebuah pagelaran Jazz. Banyak bahkan teramat
banyak penampil, yang sangat sulit dikatakan sebagai “membawakan Jazz”. Rupanya,
benar seperti yang ditengaraikan oleh Ekkehart Jost, bahwa ada semacam
dikotomi. Antara Ideologi bermusik dan situasi pasar dan agaknya ini adalah
harga yang harus dibayar dalam rangkai fenomena The After 60.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.