Tuesday 9 April 2013

"THE AFTER 60" Artikel Staccato April 2013

“THE AFTER 60”
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
(Artikel Staccato April 2013)


“The After 60” adalah istilah yang terdapat dalam perkembangan musik Jazz. Istilah The After 60 merujuk kepada sebuah periode waktu, yakni periode setelah tahun 1960. Mengapa periode ini demikian penting hingga harus dipaparkan secara khusus? Dan mengapa pula angkanya harus 60? Keramatkah angka 60? Juga dapat saja terbetik sebuah pertanyaan:”Lalu apa pentingnya bagi kita jika kita tahu dan mengerti tentang hal-hal tersebut?” The After 60 oleh beberapa musikolog, termasuk Prof. Dieter Mack, seorang musikolog dari Freiburg Jerman, dapatlah dikatakan sebagai sebuah TONGGAK. Tonggak yang sangat menentukan perkembangan Jazz itu sendiri, sampai kepada bentuk yang kita kenal sekarang ini.

  
Pijakan awal kita adalah pada sebuah genre Jazz yang dikenal sebagai FREE JAZZ. Dalam periode tahun 60-an, Free Jazz dapatlah dikatakan sebagai “pucuk” atau ujung perkembangan Jazz saat itu. Oleh sebab itu,banyak musikolog yang juga menggolongkan Free Jazz sebagai Jazz Avantgarde, karena Free Jazz mengedepankan sebuah era (dalam hal ini adalah era tahun 60-an). Dalam perannya sebagai Jazz Avantgarde, Free Jazz malah memperlihatkan “taring”-nya. Musik-musik dalam Free Jazz lebih terasa sebagai musik seni. Ekspresi para pemusik kulit hitam pun terdengar lebih total. Selain itu, Free Jazz juga menjalin hubungan mesra dengan berbagai genre musik kontemporer yang tumbuh dan berkembang saat itu.

Hubungan mesra antara Free Jazz dan musik kontemporer, membawa imbas pada strata sosial yang lebih luas. Kalangan kulit putih, yakni orang Eropa mulai mendapat “porsi” untuk bicara dalam ranah musik Jazz. Ada berbagai penafsiran mengenai hal ini. Namun yang penting adalah bahwa sejak tahun 1960, Jazz dikenal bukan lagi “semata” sebagai Black People Music, melainkan sudah menjadi bagian dari harta warisan budaya dunia. Inilah mengapa fenomena The After 60 layak mendapat perhatian utama dalam perkembangan musik Jazz.

Fenomena The After 60 juga dengan sangat kental mewarnai hiruk-pikuk perkembangan Jazz, terutama dalam materi musiknya. Free Jazz yang adalah pucuk dari The After 60, mengalami perluasan makna. Free tidak semata-mata diartikan sebagai “bebas tanpa aturan”, melainkan kebebasan dalam pemilihan materi musik. Dalam Musik Kontemporer, APAPUN menjadi mungkin dijadikan materi musik. Telah diterangkan bahwa Free Jazz telah menjalin hubungan mesra dengan Musik Kontemporer. Sebagai akibatnya, materi musik dalam Jazz menjadi hampir tanpa batas. Hal ini menyertakan pula akibat yang penuh pertanyaan:

Karena materi musiknya hampir tanpa batas, dengan demikian struktur komposisi musiknya pun menjadi TIDAK ADA. Sebetulnya, hal semacam ini merupakan akibat yang sangat masuk bagi musik improvisatif semacam Jazz.

Yang menjadi agak memusingkan adalah: Jika struktur musiknya tidak ada, lalu nilai keindahan atau estetiknya diukur dengan apa? Dalam titik inilah The After 60 menyediakan beberapa tawaran jawaban, yang seiring jalan dengan perkembangan Jazz itu sendiri.


Ternyata meskipun Free Jazz adalah pucuk dalam The After 60, gaya “Mainstream” atau Jazz baku, tidak pernah ditinggalkan. Bahkan Mainstream Jazz bisa seiring jalan dengan Free Jazz. Inilah salah satu “kehebatan” yang ada di The After 60. Gaya baku tidak menjadi kuno atau using, melainkan mendapat vitalitas baru. Dan bahkan dapat terus bertahan sampai dekade 80-an dan malahan 90-an. Hebatnya lagi, Mainstream Jazz malah makin bersifat komersial. Industri musik berduyun-duyun merekam permainan pemusik-pemusik dalam gaya Mainstream Jazz. Semua itu terjadi dalam sebuah kurun waktu, yakni The After 60.

Selain Free Jazz, Mainstream Jazz (dengan vitalitas baru), The After 60 mengawali pula maraknya perkembangan Jazz Rock. Jazz Rock ini bisa dengan sangat supel menjalin hubungan asmara dengan Musik Pop. Hal ini disatu sisi sangat menguntungkan perkembangan Musik Jazz. Karena dari hasil hubungan asmara dengan Musik Pop, Jazz menjadi lebih pop(uler). Di sisi yang lain, hubungan asmara semacam ini juga mengakibatkan identitas asli Jazz semakin pudar, dan bahkan dapat dikatakan nyaris hilang. Hal ini mencapai puncaknya ketika muncul aliran FUSION JAZZ. Fusion Jazz laksana badai gurun pasir meluluh lantakkan identitas asli Jazz, terutama yang mati-matian dipelihara dalam Mainstream Jazz. Salah satu penyebabnya adalah berdirinya sebuah asosiasi pemusik Jazz, yakni GRP PRODUCTION. GRP production adalah asosiasi yang didirikan dan dimotori oleh Dave Grusin, seorang pianis Jazz yang sekolah dan sangat hebat, dan Larry Rosen, seorang pakar industri musik. GRP sendiri adalah singkatan dari Grusin Rosen Production. GRP ini bagai tangan gurita raksasa merangkul pemusik-pemusik Jazz yang hebat untuk membanjiri industri musik dengan Fusion Jazz. Beberapa nama yang bergabung dengan GRP Production, antara lain: Lee Ritenour (guitar), Omar Hakim (Drum), Diane Schuur (Vocal), Eric Marienthal (Saxophone).


Fusion Jazz pada intinya adalah fusi atau peleburan berbagai genre dan unsur musikal. Fusion Jazz masih tetap popular sampai sekarang karena bagi masyarakat umum terasa lebih “menarik”. Sampai dengan Fusion Jazz, dapatlah dikatakan bahwa The After 60 benar-benar tonggak sejarah periodisasi Jazz yang fenomenal.

Dari segi perkembangan materi musik, memang The After 60 merupakan lintasan mencuatnya Free Jazz. Namun apa yang dialami pemusik Free Jazz tidaklah segemilang perkembangan genre musiknya. Saxophonist John Coltrane, misalnya. Dia tidak lama menikmati kegemilangan eranya karena telah wafat. San Ra menjadi terkucil dan mengucilkan diri. Ornette Colemann juga acak-acakan dan jarang pentas. Terhadap situasi semacam ini, Ekkehart Jost, seorang kolumnis musik menulis demikian:

Kelanjutan karir musisi-musisi Free jazz terkemuka, memaparkan fakta yang menyedihkan. Namun fakta tersebut sama sekali bukanlah kegagalan ataupun kekurangan dalam konsep musiknya. Penyebab utamanya jelas adalah faktor sosial ekonomi. Hal ini karena Free Jazz (saat itu) harus dipasarkan di tengah-tengah keadaan masyarakat yang menganut ideologi kesuksesan materi (US Dollar).

Apa yang ditulis oleh Ekkehart Jost sebetulnya terjadi juga di Indonesia. Menjadi menarik untuk sedikit menatap apa imbas dari The After 60 bagi perkembangan Jazz di Indonesia. Dalam konsep bermusik, jelas The After 60 sangat terasa pengaruhnya di Indonesia. Diawali dengan The Indonesian All Stars (Jack Lesmana, Bubi Chen, Yopie Chen, Maryono, Beny Mustafa, dan Tony Scott) yang mencengangkan dunia dengan meramu Jazz dan musik etnik Indonesia khususnya Jawa dan Sunda. Yang kemudian berlanjut dengan Jazz Etnik yang diusung oleh Karimata dan Krakatau. Secara konseptual, The After 60 gaungnya dapat dikatakan sangat terasa juga di Indonesia. Namun dari sisi kehidupan pemusiknya, masih kalah jauh dengan pemusik pop yang dengan dasyatnya meroket mendadak kaya bergelimang materi.

Moment penting yang dihadirkan The After 60 sebetulnya adalah sebuah fenomena, bahwa Jazz sejak saat itu dapat dikatakan tidak lagi terkungkung secara sosial. Jazz seperti “punya sayap” untuk merambah dan dirambah oleh siapa saja. Konsekuensinya, jati diri Jazz sejati semakin pudar. Dan repotnya, hal sedemikian terus berlanjut hingga saat ini. Ambil saja contoh hajatan Jazz akbar di tanah air, Java Jazz misalnya. Sebagai sebuah event, Java Jazz sangat bagus. Bagus dalam artian melanjutkan apa yang sudah terjadi dalam The After 60. Yakni Jazz milik semua orang. Musisi dari berbagai bangsa hadir dan berlaga di sana. Penikmatnya pun dari kalangan yang sangat beragam. Anehnya, sulit bagi orang yang memperhatikan Jazz dengan seksama, untuk mengatakan bahwa Java Jazz itu sebuah pagelaran Jazz. Banyak bahkan teramat banyak penampil, yang sangat sulit dikatakan sebagai “membawakan Jazz”. Rupanya, benar seperti yang ditengaraikan oleh Ekkehart Jost, bahwa ada semacam dikotomi. Antara Ideologi bermusik dan situasi pasar dan agaknya ini adalah harga yang harus dibayar dalam rangkai fenomena The After 60.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.