Friday 7 November 2014

"SISI KELAM MUSIK JAZZ" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, November 2014)

"SISI KELAM MUSIK JAZZ"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, November 2014


MUSIK JAZZ SEBAGAI IKON
Sudah menjadi sebuah maklumat bagi publik yang berkecimpung dalam ranah musik, bahwa Jazz adalah sebuah genre musik yang sangat ikonik. Jazz dapat dikatakan sebagai ikon kebebasan dan pembebasan. Jazz juga sebuah ikon bagi jeritan jiwa yang terkungkung dan termarjinalkan. Sebagai konsekuensinya, Jazz juga adalah sebuah ASA. Sebuah harapan bagi kesetaraan sosial yang bebas dari pengaruh rasisme. Hingga hari ini, Jazz ternyata masih saja bergumul, bergelut, dan berkutat dengan eksistensinya. Jazz masih saja memiliki sisi kelam yang nampaknya akan berkepanjangan untuk terus menghantui. Sebagai sebuah bahasa musik universal, tentu saja Jazz juga memberi imbas pada perkembangan musik di tanah air. Sisi kelam Jazz pun mau tak mau, suka tak suka, turut menghantui perkembangan Jazz di tanah air.


ESENSI MUSIK JAZZ
Dalam esensinya, Jazz dapatlah dikatakan satu-satunya musik komunal yang sangat terbuka, kenyal, dan dialogis. Esensi inilah sebetulnya yang membuat Jazz layak untuk terus dikembangkan. Agar unsur kultural dalam Jazz setidaknya mampu memberi andil, betapapun kecilnya, bagi pembentukan karakter bangsa kita. Yang tentu tujuan akhirnya adalah persatuan dan kesatuan yang relatif aman dari sengatan masalah sosial. Bertalian dengan hal tersebut, artikel kali ini akan menatap tajamnya sisi kelam Musik Jazz. Terutama keberadaannya di Amerika Serikat sebagai nenek moyangnya.

EKSISTENSI MUSIK JAZZ DI AMERIKA
Sampai hari hari ini, di USA, pemusik Jazz terbagi dalam dua ras. Pemusik yang berkulit hitam, atau golongan Afro-Amerika dan pemusik yang berkulit putih atau golongan Anglo Eropa. Pemusik berkulit hitam, masih saja terus dieksploitasi dan dijadikan sekedar komoditi dagang oleh industri rekaman, yang karena faktor modal usaha, didominasi oleh warga kulit putih. Sangat jarang pemusik Jazz kulit hitam yang mendapat respek dan apresiasi sebagaimana pemusik Klasik Eropa. Bahkan parahnya lagi, di USA, budaya sinkretisme Afrika-Amerika yang menjadi basis budaya Jazz, cenderung dipandang sebelah mata dan nyaris terabaikan karena diabaikan. Bentuk lebih ekstrem lagi adalah, bahwa ada sebagian warga USA yang malahan menolak dengan tegas sebuah fakta bahwa Jazz lahir, tumbuh, dan berkembangan dari warga kulit hitam.


RASISME DALAM MUSIK JAZZ
Era keemasan Jazz sebetulnya terjadi di dekade 1920-an. Saat itu, industri rekaman sedang sangat marak. Meski di satu sisi Musik Jazz mendapat kesempatan untuk menyebar dan tersebar, di sisi lain, pemusik Jazz kulit hitam sama sekali tidak mendapat honor yang layak. Dalam perbandingan dengan pemusik Musik Klasik Eropa. Saat itu, Jazz adalah sebuah dagangan industri dan tidak diapresiasi sebagai musik seni.

Sebetulnya, musik, dalam hal ini adalah Jazz, merupakan unsur utama dalam budaya Afro-Amerika. Namun budaya Afro-Amerika tersebut dihadang dan nyaris terbantai oleh rasisme, hukum segregasi, dan diskriminasi. Bukan hanya Musik Jazz, Musik Pop kulit hitam, termasuk RAP pun dihadang momok yang sama. Meski demikian, Musik Jazz dalam alurnya sebagai unsur budaya kulit hitam, tetap bertahan. Musik Jazz menjadi sebuah ungkapan marah, jeritan jiwa, dan keinginan memberontak, namun dalam rupa energi kreatif yang sangat positif.


DEFINISI MUSIK JAZZ
Sisi kelam Musik Jazz bermuara pada dampak sosial Musik Jazz. Untuk itu kita perlu bertolak ke belakang untuk menelisik kembali awal lahirnya Musik Jazz. Jazz lahir dari musik Afro-Amerika, dan termasuk di dalamnya adalah: Lagu untuk menemani kerja, Musik Rohani, dan musik komedi termasuk komedi satire* (Wheaton, 1994.) Akar budaya seperti demikian, dapat ditelisik dari Musik Tradisional Afrika yang kaya ritmik perkusif sera bersifat sangat spontan, juga adanya cengkok (bending) yang acapkali menyertai improvisasi (Dorsy, 2001.) Nampaknya gaya improvisatif lah yang kemudian di jaman sekarang sudah menjadi jiwa Musik Jazz secara utuh, meski sebetulnya elemen dam improvisasi itupun tak lekang oleh unsur tradisi.
*komedi satire: lelucon dengan sindiran yang pedih


Meski sudah lahir dan menyatakan keberadaannya, batasan tentang Musik Jazz masih pula beraneka ragam dan dari titik tumpu yang sangat beragam.

“It can be defined as a combination of improvisatory styles 
with western European form and harmony.”
In other words, despite Jazz’s African roots, it also has many European features,
such as composition, internal structure, and harmony.
Wheaton (1994)

Peretti (1992) states that Jazz obtained its musical identity from the African and European traditions.
Jazz music emerged out of “hot music” from New Orleans at the turn of the twentieth century
and some of the structures were inherited from Africa 
and passed down to blacks from slavery to freedom.
Dorsey (2001)

Jazz categories include Dixieland, Swing, Bop, Cool jazz, 
Hard bop, Free jazz, Third Stream, Jazz-Rock, and Fusion  
Wheaton (1994)


KELAHIRAN MUSIK BE BOP
Perlu diberi catatan tersendiri, bahwa bentuk Musik Jazz yang pertama kali diakui sebagai musik seni adalah BE BOP. Sebuah gaya bermusik yang bertumpu hampir sepenuhnya pada musik instrumental. Kelahiran Be Bop dibidani oleh pemusik-pemusik kulit hitam yang memiliki keseriusan dalam konsep dan ide. Mereka kemudian bereksperimen dengan konsep dan idenya dengan cara ber-jam session. Jam Session nya pun dilakukan saat larut malam, setelah semua pemusik bebas dari rutinitas pekerjaan dan juga tengah malam adalah saat “para boss“ kulit putih sudah terlelap. Pustaka Jazz, diantaranya Gerard (1998) memberi catatan bahwa dalam Be Bop lah pemusik kulit hitam sepenuhnya berkarya TANPA ADA CAMPUR TANGAN golongan kulit putih. Karena memang dalam jiwa dan esensinya, Be Bop sangat tidak mungkin untuk disusupi elemen musik Eropa, seperti misalnya dalam Swing Jazz.

JACK LESMANA
sumber: Java Jazz

PERKEMBANGAN MUSIK JAZZ DI INDONESIA
Agaknya akan menjadi menarik jika sekarang kita coba menilik dan menelisik Jazz di tanah air. Menurut beberapa literatur - yang mana belum teruji kesahihannya, ditulis bahwa Jazz masuk ke tanah air melalui pemusik-pemusik dari Filipina. Mereka, saat itu sebetulnya memainkan musik dansa dan hiburan. Sesekali disisipkan sajian Musik Jazz sejati. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak awal masuknya di tanah air, JAZZ TIDAK PERNAH HADIR UTUH SEBAGAI DIRINYA SENDIRI. Pengembang Jazz utama di tanah air juga bermain Jazz dengan terlebih dahulu belajar dan mendalami Musik Klasik Barat. Sebut saja misalnya Pianis Bubi Chen. Beliau belajar dan matang dalam piano klasik, kemudian ikut kursus Jazz tertulis bersertifikat dari USA. Jack Lesmana pun belajar dan matang dalam gitar klasik sebelum kemudian bermain Trombone dan Jazz guitar. Pemain Bass Jopie Chen (kakak Bubi Chen) pun melalui pendidikannya dengan Musik Klasik. Fakta ini dapat dimaknai sebagai: bahwa ada sebuah rentang periode dimana para pemusik kreatif tanah air, secara berani membuat lompatan besar. Bebas dari kungkungan dogma dan paradigm Musik Klasik Barat yang saat itu bagai gurita bertaring.

BUBI CHEN
sumber: Tempo

Di tanah air, Jazz mengalami masa kejayaan di era Presiden Soekarno. Beliau sangat apresiatif terhadap Musik Jazz disamping Musik Klasik Eropa. Presiden Soekarno paham betul bahwa Jazz adalah sebuah genre musik yang kenyal, yang dapat dengan relatif bebas dijadikan wahana bagi revitalisasi Musik Tradisi di tanah air. Ada sepenggal kisah menarik antara Soekarno dan Jack Lesmana. Jack Lesmana bernama asli Jack Lemmers. Oleh Presiden Soekarno, namanya diubah menjadi JAKA LESMANA, plus hadiah sebuah mobil VW mungil. Saat hijrah ke Australia, Jaka Lesmana berubah menjadi Jack Lesmana. Yang menarik adalah bahwa Soekarno juga menyadari sepenuhnya, Jazz bisa menjadi alternatif musik hiburan, sebagai “lawan” dari gaya The Beatles oleh Koes Plus yang kala itu dicap sebagai musik cengeng dan ngak ngik ngok.

Kejayaan Jazz di tanah air tidak berlangsung lama. Peralihan rezim politik dan prioritas skala pembangunan, menjadikan Jazz harus mampu menghidupi dirinya sendiri. Beberapa idealis Jazz membuat wahana untuk bertahan. Misalnya Indra Malaon yang mengkoleksi rekaman Jazz untuk kemudian diudarakan via radio. Juga juragan Bandung yang secara sangat berani mendirikan stasiun radio KLCBS yang full 24 jam bersiaran Jazz. Namun tangan-tangan gurita industri musik dengan persaingannya yang keras, menjadikan Jazz dan para pemusiknya memiliki sisi kelam. Event Jazz marak digelar, namun banyak pula promotor Jazz yang tak bertanggung jawab. Jarang ada promotor Jazz seperti Eugene Timothy alias Ireng Maulana yang konsekuen dan professional dalam mengelola manajemen pagelaran Jazz. Akibatnya, banyak pemusik Jazz yang sebetulnya hanya jadi bulan-bulanan industri musik. Beberapa diantaranya malah “melacurkan diri” dengan terseok-seok mengais sesuap nasi di jalur industri musik.


FENOMENA PENDIDIKAN MUSIK JAZZ
Dalam ranah pendidikan musik di tanah air, Jazz , menyiratkan fenomena yang sangat menarik. Beberapa institusi musik internasional di Indonesia sebetulnya sudah memasukkan Jazz sebagai silabus ujian kenaikan tingkat. Dalam ranah piano, ujian umumnya selalu menyertakan lagu yang bernuansa Jazz. Belum lagi secara khusus membuka jurusan kenaikan tingkat untuk piano Jazz. Namun, terutama dikota besar, sangat banyak orang tua yang sok tahu dan sok pintar. “Lho kok anak saya diajarin Jazz??!!! Jangan dong… Kalau mau Jazz sih sopir saya juga bias ngajarin!“ Ungkapan senada, kalau kita mau jujur, seringkali kita jumpai. Mereka, para orang tua yang semacam itu tidak kunjung sadar. Bahwa anaknya hidup dalam situasi jaman yang sangat aneh jika masih menggunakan metode kuno dan usang seperti Czerny, Heller, dan Duvernoy. Banyak etude dan latihan Jazz yang dapat memberi bekal keterampilan tidak kalah dengan buku-buku edisi Schirmer yang tua dan bau. Sejauh pendidiknya tahu betul cara mendidik musik, sangat tak masalah jika harus menggunakan metode, etude, dan latihan bernuansa Jazz.


Kaum muda di tanah air juga saya perhatikan memiliki fase aneh dalam apresiasinya. Kalau kita mau jujur, sangat banyak pemain gitar, keyboard, drum di kampung-kampung yang sesungguhnya merasa gengsinya naik jika dibilang mereka main Jazz. Mereka berusaha “memiring-miringkan” akor, maksudnya agar terdengar dissonant dan progressive. Sayangnya, mereka tak tahu sedikit pun tentang Jazz. Sarana internet sebetulnya sudah cukup marak, hanya barangkali berpulang pada sikap menyal generasi bangsa, yang mayoritas memiliki keengganan dan kepatuhan luar biasa sehingga takut dan segan menelusuri pengetahuan baru.

Sekelumit fakta yang telah dipaparkan memberi penyadaran bagi kita. Bahwa ada sisi kelam dalam Jazz. Meski Jazz sebagai bentuk seni saya yakin akan terus bertahan dan mempertahankan keberadaannya.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.