"SISI KELAM MUSIK JAZZ"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, November 2014
MUSIK JAZZ SEBAGAI IKON
Sudah menjadi sebuah maklumat bagi publik yang berkecimpung
dalam ranah musik, bahwa Jazz adalah sebuah genre
musik yang sangat ikonik. Jazz dapat dikatakan sebagai ikon kebebasan dan pembebasan. Jazz juga sebuah ikon bagi jeritan jiwa yang terkungkung dan
termarjinalkan. Sebagai konsekuensinya, Jazz juga adalah sebuah ASA. Sebuah harapan bagi kesetaraan sosial yang bebas dari pengaruh rasisme. Hingga
hari ini, Jazz ternyata masih saja bergumul, bergelut, dan berkutat dengan
eksistensinya. Jazz masih saja memiliki sisi kelam yang nampaknya akan berkepanjangan
untuk terus menghantui. Sebagai sebuah bahasa musik universal, tentu saja Jazz
juga memberi imbas pada perkembangan musik di tanah air. Sisi kelam Jazz pun
mau tak mau, suka tak suka, turut menghantui perkembangan Jazz di tanah air.
Dalam esensinya, Jazz dapatlah
dikatakan satu-satunya musik komunal yang sangat terbuka, kenyal, dan dialogis.
Esensi inilah sebetulnya yang membuat Jazz layak untuk terus dikembangkan. Agar
unsur kultural dalam Jazz setidaknya mampu memberi andil, betapapun kecilnya, bagi
pembentukan karakter bangsa kita. Yang tentu tujuan akhirnya adalah persatuan
dan kesatuan yang relatif aman dari sengatan masalah sosial. Bertalian dengan
hal tersebut, artikel kali ini akan menatap tajamnya sisi kelam Musik Jazz. Terutama
keberadaannya di Amerika Serikat sebagai nenek moyangnya.
EKSISTENSI MUSIK JAZZ DI AMERIKA
Sampai hari hari ini, di USA, pemusik
Jazz terbagi dalam dua ras. Pemusik yang berkulit hitam, atau golongan Afro-Amerika
dan pemusik yang berkulit putih atau golongan Anglo Eropa. Pemusik berkulit
hitam, masih saja terus dieksploitasi dan dijadikan sekedar komoditi dagang
oleh industri rekaman, yang karena faktor modal usaha, didominasi oleh warga
kulit putih. Sangat jarang pemusik Jazz kulit hitam yang mendapat respek dan
apresiasi sebagaimana pemusik Klasik Eropa. Bahkan parahnya lagi, di USA,
budaya sinkretisme Afrika-Amerika yang menjadi basis budaya Jazz, cenderung
dipandang sebelah mata dan nyaris terabaikan karena diabaikan. Bentuk lebih ekstrem
lagi adalah, bahwa ada sebagian warga USA yang malahan menolak dengan tegas
sebuah fakta bahwa Jazz lahir, tumbuh, dan berkembangan dari warga kulit hitam.
RASISME DALAM MUSIK JAZZ
Era keemasan Jazz sebetulnya
terjadi di dekade 1920-an. Saat itu, industri rekaman sedang sangat marak.
Meski di satu sisi Musik Jazz mendapat kesempatan untuk menyebar dan tersebar, di
sisi lain, pemusik Jazz kulit hitam sama sekali tidak mendapat honor yang
layak. Dalam perbandingan dengan pemusik Musik Klasik Eropa. Saat itu, Jazz
adalah sebuah dagangan industri dan tidak diapresiasi sebagai musik seni.
Sebetulnya, musik, dalam hal
ini adalah Jazz, merupakan unsur utama dalam budaya Afro-Amerika. Namun budaya
Afro-Amerika tersebut dihadang dan nyaris terbantai oleh rasisme, hukum
segregasi, dan diskriminasi. Bukan hanya Musik Jazz, Musik Pop kulit hitam, termasuk
RAP pun dihadang momok yang sama. Meski demikian, Musik Jazz dalam alurnya
sebagai unsur budaya kulit hitam, tetap bertahan. Musik Jazz menjadi sebuah
ungkapan marah, jeritan jiwa, dan keinginan memberontak, namun dalam rupa
energi kreatif yang sangat positif.
DEFINISI MUSIK JAZZ
Sisi kelam Musik Jazz bermuara
pada dampak sosial Musik Jazz. Untuk itu kita perlu bertolak ke belakang untuk
menelisik kembali awal lahirnya Musik Jazz. Jazz lahir dari musik Afro-Amerika,
dan termasuk di dalamnya adalah: Lagu untuk menemani kerja, Musik Rohani, dan
musik komedi termasuk komedi satire* (Wheaton,
1994.) Akar budaya seperti demikian, dapat ditelisik dari Musik Tradisional
Afrika yang kaya ritmik perkusif sera bersifat sangat spontan, juga adanya
cengkok (bending) yang acapkali menyertai improvisasi (Dorsy, 2001.) Nampaknya gaya improvisatif lah yang kemudian di
jaman sekarang sudah menjadi jiwa Musik Jazz secara utuh, meski sebetulnya
elemen dam improvisasi itupun tak lekang oleh unsur tradisi.
*komedi satire: lelucon dengan sindiran yang pedih
Meski sudah lahir dan
menyatakan keberadaannya, batasan tentang Musik Jazz masih pula beraneka ragam
dan dari titik tumpu yang sangat beragam.
“It can be defined as a combination of
improvisatory styles
with western European form and harmony.”
with western European form and harmony.”
In other words, despite Jazz’s African
roots, it also has many European features,
such as composition, internal structure, and
harmony.
Wheaton (1994)
Peretti (1992) states that Jazz obtained its musical identity from the African and
European traditions.
Jazz music emerged out of “hot music” from
New Orleans at the turn of the twentieth century
and some of the structures were inherited
from Africa
and passed down to blacks from slavery to freedom.
and passed down to blacks from slavery to freedom.
Dorsey (2001)
Jazz categories include Dixieland, Swing,
Bop, Cool jazz,
Hard bop, Free jazz, Third Stream, Jazz-Rock, and Fusion
Wheaton (1994)
Hard bop, Free jazz, Third Stream, Jazz-Rock, and Fusion
Wheaton (1994)
KELAHIRAN MUSIK BE BOP
Perlu diberi catatan
tersendiri, bahwa bentuk Musik Jazz yang pertama kali diakui sebagai musik seni
adalah BE BOP. Sebuah gaya bermusik yang bertumpu hampir sepenuhnya pada musik
instrumental. Kelahiran Be Bop dibidani oleh pemusik-pemusik kulit hitam yang
memiliki keseriusan dalam konsep dan ide. Mereka kemudian bereksperimen dengan
konsep dan idenya dengan cara ber-jam session. Jam Session nya pun dilakukan
saat larut malam, setelah semua pemusik bebas dari rutinitas pekerjaan dan juga
tengah malam adalah saat “para boss“ kulit putih sudah terlelap. Pustaka Jazz,
diantaranya Gerard (1998) memberi
catatan bahwa dalam Be Bop lah pemusik kulit hitam sepenuhnya berkarya TANPA
ADA CAMPUR TANGAN golongan kulit putih. Karena memang dalam jiwa dan esensinya,
Be Bop sangat tidak mungkin untuk disusupi elemen musik Eropa, seperti misalnya
dalam Swing Jazz.
PERKEMBANGAN MUSIK JAZZ DI INDONESIA
Agaknya akan menjadi menarik
jika sekarang kita coba menilik dan menelisik Jazz di tanah air. Menurut
beberapa literatur - yang mana belum
teruji kesahihannya, ditulis bahwa Jazz masuk ke tanah air melalui
pemusik-pemusik dari Filipina. Mereka, saat itu sebetulnya memainkan musik
dansa dan hiburan. Sesekali disisipkan sajian Musik Jazz sejati. Fakta ini
menunjukkan bahwa sejak awal masuknya di tanah air, JAZZ TIDAK PERNAH HADIR
UTUH SEBAGAI DIRINYA SENDIRI. Pengembang Jazz utama di tanah air juga bermain
Jazz dengan terlebih dahulu belajar dan mendalami Musik Klasik Barat. Sebut
saja misalnya Pianis Bubi Chen. Beliau
belajar dan matang dalam piano klasik, kemudian ikut kursus Jazz tertulis
bersertifikat dari USA. Jack Lesmana
pun belajar dan matang dalam gitar klasik sebelum kemudian bermain Trombone dan
Jazz guitar. Pemain Bass Jopie Chen
(kakak Bubi Chen) pun melalui pendidikannya dengan Musik Klasik. Fakta ini
dapat dimaknai sebagai: bahwa ada sebuah rentang periode dimana para pemusik
kreatif tanah air, secara berani membuat lompatan besar. Bebas dari kungkungan
dogma dan paradigm Musik Klasik Barat yang saat itu bagai gurita bertaring.
Di tanah air, Jazz mengalami
masa kejayaan di era Presiden Soekarno.
Beliau sangat apresiatif terhadap Musik Jazz disamping Musik Klasik Eropa. Presiden
Soekarno paham betul bahwa Jazz adalah sebuah genre musik yang kenyal, yang
dapat dengan relatif bebas dijadikan wahana bagi revitalisasi Musik Tradisi di tanah
air. Ada sepenggal kisah menarik antara Soekarno dan Jack Lesmana. Jack Lesmana
bernama asli Jack Lemmers. Oleh
Presiden Soekarno, namanya diubah menjadi JAKA
LESMANA, plus hadiah sebuah mobil VW mungil. Saat hijrah ke Australia, Jaka
Lesmana berubah menjadi Jack Lesmana. Yang menarik adalah bahwa Soekarno juga
menyadari sepenuhnya, Jazz bisa menjadi alternatif musik hiburan, sebagai
“lawan” dari gaya The Beatles oleh Koes Plus yang kala itu dicap sebagai
musik cengeng dan ngak ngik ngok.
Kejayaan Jazz di tanah air
tidak berlangsung lama. Peralihan rezim politik dan prioritas skala
pembangunan, menjadikan Jazz harus mampu menghidupi dirinya sendiri. Beberapa
idealis Jazz membuat wahana untuk bertahan. Misalnya Indra Malaon yang mengkoleksi rekaman Jazz untuk kemudian
diudarakan via radio. Juga juragan Bandung yang secara sangat berani mendirikan
stasiun radio KLCBS yang full 24 jam bersiaran Jazz. Namun tangan-tangan gurita
industri musik dengan persaingannya yang keras, menjadikan Jazz dan para
pemusiknya memiliki sisi kelam. Event Jazz marak digelar, namun banyak pula
promotor Jazz yang tak bertanggung jawab. Jarang ada promotor Jazz seperti Eugene Timothy alias Ireng Maulana yang konsekuen dan
professional dalam mengelola manajemen pagelaran Jazz. Akibatnya, banyak
pemusik Jazz yang sebetulnya hanya jadi bulan-bulanan industri musik. Beberapa
diantaranya malah “melacurkan diri”
dengan terseok-seok mengais sesuap nasi di jalur industri musik.
FENOMENA PENDIDIKAN MUSIK JAZZ
Dalam ranah pendidikan musik
di tanah air, Jazz , menyiratkan fenomena yang sangat menarik. Beberapa
institusi musik internasional di Indonesia sebetulnya sudah memasukkan Jazz
sebagai silabus ujian kenaikan tingkat. Dalam ranah piano, ujian umumnya selalu
menyertakan lagu yang bernuansa Jazz. Belum lagi secara khusus membuka jurusan
kenaikan tingkat untuk piano Jazz. Namun, terutama dikota besar, sangat banyak
orang tua yang sok tahu dan sok pintar. “Lho
kok anak saya diajarin Jazz??!!! Jangan dong… Kalau mau Jazz sih sopir saya
juga bias ngajarin!“ Ungkapan senada, kalau kita mau jujur, seringkali kita
jumpai. Mereka, para orang tua yang semacam itu tidak kunjung sadar. Bahwa
anaknya hidup dalam situasi jaman yang sangat aneh jika masih menggunakan metode
kuno dan usang seperti Czerny, Heller,
dan Duvernoy. Banyak etude dan
latihan Jazz yang dapat memberi bekal keterampilan tidak kalah dengan buku-buku
edisi Schirmer yang tua dan bau. Sejauh
pendidiknya tahu betul cara mendidik musik, sangat tak masalah jika harus
menggunakan metode, etude, dan latihan bernuansa Jazz.
Kaum muda di tanah air juga
saya perhatikan memiliki fase aneh dalam apresiasinya. Kalau kita mau jujur, sangat
banyak pemain gitar, keyboard, drum di kampung-kampung yang sesungguhnya merasa
gengsinya naik jika dibilang mereka main Jazz. Mereka berusaha “memiring-miringkan” akor, maksudnya
agar terdengar dissonant dan progressive. Sayangnya, mereka tak tahu
sedikit pun tentang Jazz. Sarana internet sebetulnya sudah cukup marak, hanya
barangkali berpulang pada sikap menyal generasi bangsa, yang mayoritas memiliki
keengganan dan kepatuhan luar biasa sehingga takut dan segan menelusuri
pengetahuan baru.
Sekelumit fakta yang telah
dipaparkan memberi penyadaran bagi kita. Bahwa ada sisi kelam dalam Jazz. Meski
Jazz sebagai bentuk seni saya yakin akan terus bertahan dan mempertahankan
keberadaannya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.