Monday, 19 August 2013

"MENDUNG BELUM JUGA SIRNA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENDUNG BELUM JUGA SIRNA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Dunia kesenian di tanah air kita, nampaknya menampilkan sosoknya dalam dua wajah. Wajah yang pertama adalah wajah yang gemerlap, elok nan rupawan, wangi dan menggairahkan. Hal ini terjadi tatkala kita memandang dunia kesenian dari sosok para artis, selebriti dan para maestro. Lihat saja misalnya para ikon Musik Pop di tanah air: muda, paras rupawan, penghasilan dalam nilai puluhan bahkan ratusan juta, rumah yang elitis, mobil yang sporty, dan gaya hidup yang pasti membuat orang ingin mencecapnya. Atau juga para maestro seni kita yang menghasilkan karya musik dengan nilai rupiah yang tinggi, yang menghasilkan karya lukisan seharga milyaran, atau karya patung yang nilainya membuat decak kagum.

Memandang wajah dunia kesenian kita yang semacam itu, sebagian orang menganggap, bahwa para seniman tersebut layak mendapatkan segala yang ternikmati saat sekarang. Karena perjuangan mereka dahulu dipenuhi kegetiran. Ibarat berdarah-darah, merangkak dari lapisan nasib yang terbawah. Anggapan demikian sampai batas tertentu adalah tepat. Namun, banyak juga, bahkan amat banyak seniman yang tiba-tiba saja karirnya meroket secara instan, terutama di kalangan Musik Pop. Bayangkan, hanya mencipta lagu dengan akor sederhana, memetik gitar juga dengan teknik miskin, kok bisa mendadak memiliki mobil super mewah? Hal semacam ini dimungkinkan oleh adanya peran industri seni, dengan sentuhan tangan ajaibnya, dan sampai batas tertentu fenomena demikian adalah baik adanya.

Wajah dunia seni kita yang satu lagi sangat bertolak belakang dari wajah yang pertama. Wajah ini adalah pengejawantahan “seniman pekerja.” Mereka yang bekerja dalam kesenian namun tak sempat mengenyam popularitas dengan segala gemerlapnya. Bagi seniman pekerja, dunia kesenian adalah ladang batu cadas yang harus diberi gincu dengan karya. Yang harus digumuli dengan kecemasan akan penghasilan esok hari dan harus disetubuhi tidak dengan wewangian, namun dengan doa dan pengharapan serta keringat dan kerja keras.
 
Menyaksikan dua wajah dunia kesenian kita, segera kita tersadar bahwa ada jurang pemisah yang menganga lebar. Ada kesenjangan antara seniman yang artis dan seniman pekerja. Di kota besar, kesenjangannya tidaklah selebar di kota kecil. Di kota besar banyak “peluang” bagi seniman pekerja, tapi di kota kecil yang non ibukota propinsi, kesenjangan nampak sangat nyata. Semestinya, kesenjangan ini tidaklah se-dramatis seperti sekarang ini. Kesenian semestinya adalah sebuah bidang pekerjaan sebagaimana bidang pekerjaan profetik lainnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan kesenian belumlah menjadi bidang pekerjaan dengan masa depan yang pasti. Ada hal-hal krusial yang menjadikan “mendung belum juga sirna” bagi dunia kesenian di tanah air. Tinjauan umum yang selintas, menghantar kita kepada hal-hal berikut:

PERSEPSI YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT

Masyarakat pada umumnya menganganggap kesenian hanya sebagai objek turisme dan hiburan. Belum terpersepsikan bahwa kesenian adalah sebuah “kebutuhan” terutama dalam aktualisasi rasa estetis dan penyegaran bathin. Parahnya lagi, anggapan ini juga berkembang subur di kalangan birokrasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa prioritas utama pertunjukan tari tradisionil pada acara pemerintah kota, senantiasa lebih mengutamakan paras dan body penarinya. Esensi keindahan gerak tari tersebut menjadi prioritas nomor sekian. Demikian juga dengan penyanyi pada acara yang diadakan pemerintah kota misalnya. Paras penyanyi lebih diutamakan daripada kualitas vokal dan teknik menyanyi. Akar permasalahannya, agaknya terkait dengan: bidang prioritas pembangunan. Telah lama kesenian dikembangkan sebagai bagian dari pariwisata dan kebudayaan. Pola pengembangannya adalah pariwisata sebagai sebuah bentuk industri dengan fokus devisa. Kebudayaan pun dikembangkan dalam bentuk pelestarian seni tradisi dengan sedikit sekali menyertakan ruang apresiasi bagi bentuk kesenian yang lain. Kebijakan ini, terutama di kota kecil adalah timbulnya persepsi bahwa kesenian dianggap telah berkembang sejauh masih ada tontonan pertunjukan.

Pendidikan kesenian terutama di sekolah menengah belum memberi ruang yang cukup bagi daya apresiasi siswa. Kurikulum kesenian terutama di sekolah menengah umum terlalu sarat dengan muatan yang muluk-muluk. Misalnya siswa diberi tugas mengkomposisi tari atau musik, sedangkan urgensi seni yakni daya apresiasi sangat minim muatannya. Akibatnya, kesenian diperlakukan sebagaimana mata pelajaran eksakta dan sosial. Fenomena ini berdampak bahwa sejak usia sekolah, orang telah “dipaksa” memandang seni dari sudut pandang yang keliru.



UPAYA PEMERINTAH DAN SWASTA

Di tiap kota telah dibentuk DEWAN KESENIAN yang pembentukannya berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri dan disahkan oleh Walikota setempat. Dewan Kesenian di tiap kota pun belum mampu mengusir mendung dalam dunia kesenian. Salah satu kendalanya adalah hal klasik, yakni anggaran. Anggaran untuk Dewan Kesenian sangat kecil dibanding sektor lainnya. Agaknya untuk pemerintah kota, kesenian masih “kalah populer” dibanding perbaikan jembatan dan pengaspalan jalan.

Tidak dapat dipungkiri perusahaan swasta seperti produsen rokok dan minuman banyak berkiprah dalam dunia kesenian. Namun untuk daerah, kota kecil, peran swasta hanya terbatas pada penyelenggaraan event yang berhubungan dengan ikon produknya. Banyak memang festival dan lomba kesenian yang diadakan pihak swasta, namun tentu tak berkelanjutan dan hanya melulu sebagai sebuah event perhelatan belaka!

Sudah saatnya kita memandang dan menyikapi sebuah realita. Ada anggota masyarakat kita yang memilih profesinya dalam kesenian. Mereka memiliki potensi pengembangan yang baik. Mereka banyak terdapat di kota kecil dengan segala konsekuensi dari dampak sebuah dogma yang bernama pembangunan. Para seniman pekerja ini layak mendapat hak berupa kesempatan sebagaimana bidang profesi yang lain. Kesempatan berkembang tanpa harus menunggu keberuntungan semata untuk menjadi selebriti terkenal. Terlebih upaya yang sederhana adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa dunia kesenian tidak semata adalah panggung tontonan. Namun agaknya, mendung belum juga sirna...

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.