"MENELISIK SEJENAK PENDIDIKAN MUSIK DI SEKOLAH FORMAL"
by: Michael Gunadi Widjaja
PENGANTAR
Telah
diketahui, dimengerti, dan dipahami bahwa musik adalah bentuk seni olah bunyi. Semesta
pembicaraan musik adalah bunyi, dan olahan bunyi dalam musik melibatkan rasa, bahkan
karsa manusia yang paling dalam. Itulah mengapa musik bukan sekedar
pembelajaran dan/atau pelajaran ketrampilan mengolah bunyi. Musik adalah sebuah pendidikan. Di Indonesia, pendidikan masih sangat
didominasi jalur formal. Jalur formal yang dimaksud adalah sekolah formal di
bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. SD, SMP, SMA, Sekolah kejuruan
tidak termasuk dalam pembicaraan tulisan ini. Dengan demikian, pendidikan musik
pun semestinya memiliki intensitas terbesarnya di sekolah formal. Menelisik
sejenak keadaan pendidikan musik di sekolah formal, adalah upaya untuk
bercermin pada diri dan kesekitaran. Bercermin untuk dapat memaknai keberadaan
dan masa depan pendidikan musik. Cabang kesenian yang memiliki nilai
kemanusiaan dan kemampuan sebagai alat pemersatu dan bahkan pemecah konflik
bangsa-bangsa di dunia.
KEBERADAAN PENDIDIKAN MUSIK
Musik di
sekolah formal disajikan dalam bentuk bagian dari mata pelajaran kesenian. Bersama
dengan seni tari, seni teater, seni lukis, dan seni kriya. Tujuan pendidikan
musik di sekolah dijabarkan dalam KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP). Pelaksanaannya
diukur dengan sebuah STANDAR KOMPETENSI. Jika dilihat muatan KTSP dan fungsi
dari sekolah formal yang adalah sekolah umum, dapatlah dikatakan bahwa
pendidikan musik di sekolah formal bertujuan MENUMBUHKAN RASA CINTA TERHADAP
MUSIK. Adapun Tujuan yang sering didengang dengungkan, seperti misalnya
membekali siswa dengan pengetahuan bermain musik dan pengenalan alat musik
agaknya merupakan angan-angan yang masih jauh jangkauannya.
RASA CINTA TERHADAP MUSIK
Nampaknya
ada kekeliruan mendasar tentang interpretasi pada rasa cinta terhadap musik. Seorang
siswa dikatakan memiliki rasa cinta terhadap musik jika sendi-sendi dan aspek
musikal meresap dalam dirinya. Kehalusan rasa, estetis yamg kritis, kepedulian
nyata terhadap sebuah universalisme. Ditilik dari parameter tersebut menjadi
jelas kiranya jika untuk dapat memiliki rasa cinta terhadap musik, seseorang
tidak harus menjadi pemusik, bahkan tidak harus dapat memainkan alat musik. Di
Indonesia, perwujudan rasa cinta terhadap musik masih diselimuti kabut. Ambil
saja contoh tentang kelompok musik SLANK.
sumber: http://weslankers.blogspot.com/
Kita tahu
bahwa SLANK memiliki penggemar dengan jumlah yang luar biasa. Para fans Slank
bahkan dapat dikatakan sangat mengagumi dan bahkan dengan gempita
memproklamirkan diri sebagai SLANKERS, kaum SLANK. Persoalannya adalah, para
Slankers ini mencintai musik Slank ataukah cinta terhadap Slank sebagai sebuah
fenomena? Demikian juga para fans Dang Dut. Perlu dipertanyakan lagi, mana yang
mereka cintai: Musik Dang Dut nya ataukah hiruk pikuk fenomenanya? Harus diakui
bahwa masyarakat Indonesia lebih cinta dan jelas lebih tertarik dengan
ketenaran artis daripada cinta terhadap musik si artis. Keadaan sedemikian
sah-sah saja adanya. Hanya kita dapat menarik sebuah simpul bahwa telah terjadi
sebuah anomali persepsi komunal dalam tatanan sosial kita terhadap apresiasi sebuah
bentuk kesenian. Dan sekolah formal tentulah memiliki andil dalam
keadaan anomali sedemikian.
PERMASALAHAN
Akar
permasalahan pendidikan musik di sekolah formal melekat pada kurikulumnya. Arah
pendidikan musik di sekolah formal sangat tidak jelas. Kita ambil contoh KTSP
pendidikan musik di SMP. Di SMP pendidikan musik diberikan satu kali dalam satu
minggu kegiatan belajar. Durasinya adalah dua jam pelajaran.
Standar kompetensi yang menyertai
KTSP merumuskan tiga hal pokok:
- Identifikasi ragam musik lokal, daerah, dan manca negara
- Aransemen sederhana pada materi musik yang diidentifikasi
- Mempagelarkan hasil aransemen tersebut
Tiga butir
standar kompetensi dalam KTSP seni musik untuk SMP tersebut, terutama butir ke-2, bagi siapa saja yang peduli pada musik pasti akan menjadi hal yang
mencengangkan. Sebuah aransemen, betapapun sederhananya menuntut pengetahuan
teoritik musik. Dan teori musik bukanlah sebuah bintang jatuh. Butuh proses
bertahun-tahun untuk memahami dan mampu mengaplikasi teori musik pada sebuah
aransemen. Untuk dapat mengaransemen, betapapun sederhananya, seseorang perlu
juga memiliki pengetahuan dasar yang matang tentang instrumentasi. Mungkinkah
ini dilakukan dalam sebuah sekolah formal? Hanya dengan dua jam seminggu? Dalam
sebuah kelas yang rata-rata diisi 40 siswa? Belum lagi keadaan ruang kelas dan
kelengkapan pendukungnya. Namun karena telah dicantumkan dalam KTSP, kemustahilan
semacam itu tetap saja berlangsung.
Dan hasil akhirnya adalah:
Bagi siswa
yang kebetulan “beruntung” dapat mengikuti kursus musik, hal demikian tidaklah
terlalu menjadi masalah. Tetapi bagaimana dengan mayoritas siswa yang tidak
berkesempatan mengikuti kursus musik, mereka tetap diberi nilai berdasarkan
kehadirannya dan persepsi subyektif guru akan apa yang dianggap sebagai
“ketertarikan” siswa pada pelajaran musik? Sebuah tindakan yang tentu sangat
jauh dari tujuan untuk memupuk rasa cinta terhadap musik.
Hal lain
yang juga adalah konsekuensi dari dicantumkannya kegiatan mengaransir dalam KTSP musik, adalah
mau tidak mau suka ataupun tidak, guru dituntut memberi dasar teori musik. Dengan
jam pelajaran yang terbatas, terpaksa teori dasar musik disajikan dengan apa
adanya. Mulai dari tangga nada, interval, akor sampai cara menyusun akor. Semuanya
disajikan layaknya materi eksakta yang tanpa kompromi. Akibatnya, siswa tidak
memliki persepsi bahwa musik adalah ungkapan jiwa. Melainkan siswa terlanjur digiring persepsinya
bahwa musik tak ubahnya sebagai pelajaran menghafal yang menjemukan. Keadaan
sedemikian masih lebih diperparah lagi dengan bentuk test evaluasi sebagai
parameter penguasaan kurikulum, yang mau tidak mau juga akan membuat siswa
makin terpersepsikan lagi, bahwa musik adalah hafalan dan sangat menjemukan
serta menyiksa.
Lalu bagaimana dengan kegiatan
ekstra kurikuler?
Untuk
sekolah di kota-kota besar seperti Jakarta, kegiatan ekstra kurikuler musik
sekilas nampak sangat maju. Namun, keadaan itu hanya dialami oleh sekolah
“plus-plus.” Plus-plus dalam artian sekolah tersebut telah mampu memberi jam
tambahan bagi ekstra kurikuler secara tersistem dan rapi. Termasuk urusan makan
siang siswanya dan sekolah yang demikian jumlahnya sangat sedikit. Bahkan jika
kita berkeliling di kota-kota, di Jawa Tengah saja misalnya, akan terasa
mustahil untuk mengadakan jam tembahan ekstra kurikuler dengan tersistem rapi
seperti sekolah “plus plus” di ibukota.
Mungkin sebagian dari kita ada yang akan bertanya
demikian:
“Bagaimana dengan
siswa-siswa sekolah umum yang atas nama sekolahnya berhasil menjuarai lomba
jingle, lomba musik kreatif….apakah itu bukan bukti bahwa pendidikan musik di
sekolah umum telah berhasil?”
Perlu
dipaparkan sebuah kenyataan yang selalu terjadi di sekolah umum saat menghadapi
lomba musik. Senantiasa ada dua situasi klasik yang terus berulang dari waktu
ke waktu. Siswa yang mewakili sekolahnya adalah siswa yang telah mengikuti
kursus musik di luar intra kurikuler dan ekstra kurikuler. Mereka inilah yang
mewakili sekolahnya berkompetisi. Dipilih sekelompok siswa. Siswa yang terpilih
dilatih dengan sangat intens luar biasa tentang materi kompetisi. Hanya
terbatas pada materi kompetisi dan bukan tahapan teknik bermain musik. Hasilnya
mungkin saja bagus, namun tindakan ini identik dengan me“robot”kan siswa. Karena siswa hanya bisa mempertunjukkan materi
lomba saja dan sama sekali bukan mengenal musik.
APRESIASI TERHADAP MUSIK
Sekolah
formal adalah sekolah non kejuruan, bersifat umum. Dalam artian, sekolah formal
mempersiapkan siswanya bagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Konsekuensinya
adalah, begitu banyak muatan dalam kurikulum global sekolah formal. Bahkan
sementara kalangan sempat menyatakan bahwa muatan pelajaran dalam kurikulum
sekolah formal kita sudah terlampau gemuk. Jadi
mestinya LUPAKAN SAJA ANGAN ANGAN
UNTUK MEMBERI PENGETAHUAN BERMAIN MUSIK
bagi siswa sekolah formal! Arah KTSP diganti dengan arah yang jelas yakni APRESIASI TERHADAP MUSIK! Siswa tidak lagi diajar bermain
musik tetapi dididik untuk mengenal musik dalam bentuk kesejatiannya.
Prof. Dr. Dieter Mack (Germany)
Arah semacam
ini sebetulnya pernah digagas oleh IKIP BANDUNG bekerjasama dengan lembaga DAAD
JERMAN. Salah satu produk dari kerjasama tersebut adalah buku dan kaset-kaset
pendukung APRESIASI MUSIK POPULER UNTUK SMU karya dari Prof. Dr. Dieter Mack dan para dosen IKIP Bandung. Beliau adalah
wakil direktur departemen komposisi musik di sebuah universitas di Jerman. Beliau
juga seorang pakar gamelan Bali, dan sangat menguasai persoalan musik dan
pendidikan musik di Indonesia. Buku tersebut berisi keterangan lengkap tentang
berbagai genre Musik Populer dan contoh dalam bentuk kaset. Tanpa ada pelajaran
main instrumen dan teori musik yang teknis dan bertele-tele. Penyampaian seni
musik di sekolah umum dengan menggunakan buku semacam ini lebih masuk akal. Karena
menggugah minat siswa untuk mengapresiasi dan menghayati musik. Bentuk sajian
pelajarannya berupa kegiatan mendengarkan contoh-contoh musik dan memberi
komentar,yang tentu saja dibimbing dan di bantu guru kesenian. Jika metode
semacam ini yang dipergunakan, pihak departemen bisa menyediakan lebih banyak
contoh musik dengan cara menyediakan file yang bebas diunduh sseperti pengadaan
buku pelajaran elektronik.
cover buku
karya Prof. Dr. Dieter Mack dan tim IKIP Bandung
PENUTUP
Pendidikan
musik di sekolah formal untuk ke depan perlu dinyatakan dengan jelas arah dan
tujuan pencapaiannya. Hal yang paling masuk akal adalah dengan berfokus pada
upaya memupuk rasa cinta terhadap musik melalui peningkatan daya apresiasi. Dan
bukan dengan memberi pengetahuan serba sedikit tentang praktek bermusik yang malahan
akan menimbulkan kesan dan persepsi yang buruk terhadap musik itu sendiri.
Jika pun
nantinya pendidikan seni musik akan disajikan dalam bentuk pelajaran dan
pembelajaran yang mengutamakan apresiasi, masih harus dipikirkan bentuk tes
evaluasi dan standarisasinya. Namun apapun juga tantangannya sajian berupa
apresiasi nampaknya lebih dekat ke arah memupuk rasa cinta terhadap musik bagi
siswa di sekolah formal.
Thanks ya sob udah share .......................
ReplyDeletebisnistiket.co.id
Klo ada yg butuh buku Import 1&2 karangan Alm.Jack Lesmana..bs WA 0895 04071214
ReplyDelete