Tuesday, 27 August 2013

"MENELISIK SEJENAK PENDIDIKAN MUSIK DI SEKOLAH FORMAL" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENELISIK SEJENAK PENDIDIKAN MUSIK DI SEKOLAH FORMAL"
by: Michael Gunadi Widjaja


PENGANTAR
Telah diketahui, dimengerti, dan dipahami bahwa musik adalah bentuk seni olah bunyi. Semesta pembicaraan musik adalah bunyi, dan olahan bunyi dalam musik melibatkan rasa, bahkan karsa manusia yang paling dalam. Itulah mengapa musik bukan sekedar pembelajaran dan/atau pelajaran ketrampilan mengolah bunyi. Musik adalah sebuah pendidikan. Di Indonesia, pendidikan masih sangat didominasi jalur formal. Jalur formal yang dimaksud adalah sekolah formal di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. SD, SMP, SMA, Sekolah kejuruan tidak termasuk dalam pembicaraan tulisan ini. Dengan demikian, pendidikan musik pun semestinya memiliki intensitas terbesarnya di sekolah formal. Menelisik sejenak keadaan pendidikan musik di sekolah formal, adalah upaya untuk bercermin pada diri dan kesekitaran. Bercermin untuk dapat memaknai keberadaan dan masa depan pendidikan musik. Cabang kesenian yang memiliki nilai kemanusiaan dan kemampuan sebagai alat pemersatu dan bahkan pemecah konflik bangsa-bangsa di dunia.

KEBERADAAN PENDIDIKAN MUSIK
Musik di sekolah formal disajikan dalam bentuk bagian dari mata pelajaran kesenian. Bersama dengan seni tari, seni teater, seni lukis, dan seni kriya. Tujuan pendidikan musik di sekolah dijabarkan dalam KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP). Pelaksanaannya diukur dengan sebuah STANDAR KOMPETENSI. Jika dilihat muatan KTSP dan fungsi dari sekolah formal yang adalah sekolah umum, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan musik di sekolah formal bertujuan MENUMBUHKAN RASA CINTA TERHADAP MUSIK. Adapun Tujuan yang sering didengang dengungkan, seperti misalnya membekali siswa dengan pengetahuan bermain musik dan pengenalan alat musik agaknya merupakan angan-angan yang masih jauh jangkauannya.

RASA CINTA TERHADAP MUSIK
Nampaknya ada kekeliruan mendasar tentang interpretasi pada rasa cinta terhadap musik. Seorang siswa dikatakan memiliki rasa cinta terhadap musik jika sendi-sendi dan aspek musikal meresap dalam dirinya. Kehalusan rasa, estetis yamg kritis, kepedulian nyata terhadap sebuah universalisme. Ditilik dari parameter tersebut menjadi jelas kiranya jika untuk dapat memiliki rasa cinta terhadap musik, seseorang tidak harus menjadi pemusik, bahkan tidak harus dapat memainkan alat musik. Di Indonesia, perwujudan rasa cinta terhadap musik masih diselimuti kabut. Ambil saja contoh tentang kelompok musik SLANK.


Kita tahu bahwa SLANK memiliki penggemar dengan jumlah yang luar biasa. Para fans Slank bahkan dapat dikatakan sangat mengagumi dan bahkan dengan gempita memproklamirkan diri sebagai SLANKERS, kaum SLANK. Persoalannya adalah, para Slankers ini mencintai musik Slank ataukah cinta terhadap Slank sebagai sebuah fenomena? Demikian juga para fans Dang Dut. Perlu dipertanyakan lagi, mana yang mereka cintai: Musik Dang Dut nya ataukah hiruk pikuk fenomenanya? Harus diakui bahwa masyarakat Indonesia lebih cinta dan jelas lebih tertarik dengan ketenaran artis daripada cinta terhadap musik si artis. Keadaan sedemikian sah-sah saja adanya. Hanya kita dapat menarik sebuah simpul bahwa telah terjadi sebuah anomali persepsi komunal dalam tatanan sosial kita terhadap apresiasi sebuah bentuk kesenian. Dan sekolah formal tentulah memiliki andil dalam keadaan anomali sedemikian.


PERMASALAHAN
Akar permasalahan pendidikan musik di sekolah formal melekat pada kurikulumnya. Arah pendidikan musik di sekolah formal sangat tidak jelas. Kita ambil contoh KTSP pendidikan musik di SMP. Di SMP pendidikan musik diberikan satu kali dalam satu minggu kegiatan belajar. Durasinya adalah dua jam pelajaran.

Standar kompetensi yang menyertai KTSP merumuskan tiga hal pokok:
  • Identifikasi ragam musik lokal, daerah, dan manca negara 
  • Aransemen sederhana pada materi musik yang diidentifikasi
  • Mempagelarkan hasil aransemen tersebut
Tiga butir standar kompetensi dalam KTSP seni musik untuk SMP tersebut, terutama butir ke-2, bagi siapa saja yang peduli pada musik pasti akan menjadi hal yang mencengangkan. Sebuah aransemen, betapapun sederhananya menuntut pengetahuan teoritik musik. Dan teori musik bukanlah sebuah bintang jatuh. Butuh proses bertahun-tahun untuk memahami dan mampu mengaplikasi teori musik pada sebuah aransemen. Untuk dapat mengaransemen, betapapun sederhananya, seseorang perlu juga memiliki pengetahuan dasar yang matang tentang instrumentasi. Mungkinkah ini dilakukan dalam sebuah sekolah formal? Hanya dengan dua jam seminggu? Dalam sebuah kelas yang rata-rata diisi 40 siswa? Belum lagi keadaan ruang kelas dan kelengkapan pendukungnya. Namun karena telah dicantumkan dalam KTSP, kemustahilan semacam itu tetap saja berlangsung.

Dan hasil akhirnya adalah:
Bagi siswa yang kebetulan “beruntung” dapat mengikuti kursus musik, hal demikian tidaklah terlalu menjadi masalah. Tetapi bagaimana dengan mayoritas siswa yang tidak berkesempatan mengikuti kursus musik, mereka tetap diberi nilai berdasarkan kehadirannya dan persepsi subyektif guru akan apa yang dianggap sebagai “ketertarikan” siswa pada pelajaran musik? Sebuah tindakan yang tentu sangat jauh dari tujuan untuk memupuk rasa cinta terhadap musik.

Hal lain yang juga adalah konsekuensi dari dicantumkannya kegiatan mengaransir dalam KTSP musik, adalah mau tidak mau suka ataupun tidak, guru dituntut memberi dasar teori musik. Dengan jam pelajaran yang terbatas, terpaksa teori dasar musik disajikan dengan apa adanya. Mulai dari tangga nada, interval, akor sampai cara menyusun akor. Semuanya disajikan layaknya materi eksakta yang tanpa kompromi. Akibatnya, siswa tidak memliki persepsi bahwa musik adalah ungkapan jiwa. Melainkan siswa terlanjur digiring persepsinya bahwa musik tak ubahnya sebagai pelajaran menghafal yang menjemukan. Keadaan sedemikian masih lebih diperparah lagi dengan bentuk test evaluasi sebagai parameter penguasaan kurikulum, yang mau tidak mau juga akan membuat siswa makin terpersepsikan lagi, bahwa musik adalah hafalan dan sangat menjemukan serta menyiksa.


Lalu bagaimana dengan kegiatan ekstra kurikuler?
Untuk sekolah di kota-kota besar seperti Jakarta, kegiatan ekstra kurikuler musik sekilas nampak sangat maju. Namun, keadaan itu hanya dialami oleh sekolah “plus-plus.” Plus-plus dalam artian sekolah tersebut telah mampu memberi jam tambahan bagi ekstra kurikuler secara tersistem dan rapi. Termasuk urusan makan siang siswanya dan sekolah yang demikian jumlahnya sangat sedikit. Bahkan jika kita berkeliling di kota-kota, di Jawa Tengah saja misalnya, akan terasa mustahil untuk mengadakan jam tembahan ekstra kurikuler dengan tersistem rapi seperti sekolah “plus plus” di ibukota.

Mungkin sebagian dari kita ada yang akan bertanya demikian:
“Bagaimana dengan siswa-siswa sekolah umum yang atas nama sekolahnya berhasil menjuarai lomba jingle, lomba musik kreatif….apakah itu bukan bukti bahwa pendidikan musik di sekolah umum telah berhasil?”

Perlu dipaparkan sebuah kenyataan yang selalu terjadi di sekolah umum saat menghadapi lomba musik. Senantiasa ada dua situasi klasik yang terus berulang dari waktu ke waktu. Siswa yang mewakili sekolahnya adalah siswa yang telah mengikuti kursus musik di luar intra kurikuler dan ekstra kurikuler. Mereka inilah yang mewakili sekolahnya berkompetisi. Dipilih sekelompok siswa. Siswa yang terpilih dilatih dengan sangat intens luar biasa tentang materi kompetisi. Hanya terbatas pada materi kompetisi dan bukan tahapan teknik bermain musik. Hasilnya mungkin saja bagus, namun tindakan ini identik dengan me“robot”kan siswa. Karena siswa hanya bisa mempertunjukkan materi lomba saja dan sama sekali bukan mengenal musik.

APRESIASI TERHADAP MUSIK
Sekolah formal adalah sekolah non kejuruan, bersifat umum. Dalam artian, sekolah formal mempersiapkan siswanya bagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah, begitu banyak muatan dalam kurikulum global sekolah formal. Bahkan sementara kalangan sempat menyatakan bahwa muatan pelajaran dalam kurikulum sekolah formal kita sudah terlampau gemuk. Jadi mestinya LUPAKAN SAJA ANGAN ANGAN UNTUK MEMBERI PENGETAHUAN BERMAIN MUSIK bagi siswa sekolah formal! Arah KTSP diganti dengan arah yang jelas yakni APRESIASI TERHADAP MUSIK! Siswa tidak lagi diajar bermain musik tetapi dididik untuk mengenal musik dalam bentuk kesejatiannya. 

Prof. Dr. Dieter Mack (Germany)

Arah semacam ini sebetulnya pernah digagas oleh IKIP BANDUNG bekerjasama dengan lembaga DAAD JERMAN. Salah satu produk dari kerjasama tersebut adalah buku dan kaset-kaset pendukung APRESIASI MUSIK POPULER UNTUK SMU karya dari Prof. Dr. Dieter Mack dan para dosen IKIP Bandung. Beliau adalah wakil direktur departemen komposisi musik di sebuah universitas di Jerman. Beliau juga seorang pakar gamelan Bali, dan sangat menguasai persoalan musik dan pendidikan musik di Indonesia. Buku tersebut berisi keterangan lengkap tentang berbagai genre Musik Populer dan contoh dalam bentuk kaset. Tanpa ada pelajaran main instrumen dan teori musik yang teknis dan bertele-tele. Penyampaian seni musik di sekolah umum dengan menggunakan buku semacam ini lebih masuk akal. Karena menggugah minat siswa untuk mengapresiasi dan menghayati musik. Bentuk sajian pelajarannya berupa kegiatan mendengarkan contoh-contoh musik dan memberi komentar,yang tentu saja dibimbing dan di bantu guru kesenian. Jika metode semacam ini yang dipergunakan, pihak departemen bisa menyediakan lebih banyak contoh musik dengan cara menyediakan file yang bebas diunduh sseperti pengadaan buku pelajaran elektronik.

cover buku karya Prof. Dr. Dieter Mack dan tim IKIP Bandung

PENUTUP
Pendidikan musik di sekolah formal untuk ke depan perlu dinyatakan dengan jelas arah dan tujuan pencapaiannya. Hal yang paling masuk akal adalah dengan berfokus pada upaya memupuk rasa cinta terhadap musik melalui peningkatan daya apresiasi. Dan bukan dengan memberi pengetahuan serba sedikit tentang praktek bermusik yang malahan akan menimbulkan kesan dan persepsi yang buruk terhadap musik itu sendiri.

Jika pun nantinya pendidikan seni musik akan disajikan dalam bentuk pelajaran dan pembelajaran yang mengutamakan apresiasi, masih harus dipikirkan bentuk tes evaluasi dan standarisasinya. Namun apapun juga tantangannya sajian berupa apresiasi nampaknya lebih dekat ke arah memupuk rasa cinta terhadap musik bagi siswa di sekolah formal.

2 comments:

  1. Thanks ya sob udah share .......................



    bisnistiket.co.id

    ReplyDelete
  2. Klo ada yg butuh buku Import 1&2 karangan Alm.Jack Lesmana..bs WA 0895 04071214

    ReplyDelete

Note: only a member of this blog may post a comment.