"ART AND ARTIST"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato Article, December 2014
Jika kita
bicara dalam ranah Musik Populer, seperti ada hukum yang tidak tertulis, bahwa
rupa dan penampilan si artis jauh lebih penting dibanding musiknya. Apalagi
jika Musik Pop sudah berada dalam cengkeraman tangan-tangan gurita industri
musik. Kita tentu telah paham, bahwa sudah terlampau banyak artis yang populer
gara-gara penampilan dan video klip nya yang sensasional, namun sangat
memalukan apabila melakukan live
performance. Untuk mengatasi aib tersebut industri musik malahan belakangan
ini semakin cerdas. Mereka mempergunakan dubbing
dan lip sync. Agar kemampuan asli
dari si artis tetap terkemas. Jazz adalah musik dalam skopa semesta Musik Pop.
Meski JELAS Jazz bukanlah Pop, namun terminologi musik memasukkan Jazz sebagai
musik di LUAR Musik Klasik. Dan ditambah pula beberapa fakta yang mengukuhkan
bahwa Jazz memiliki akar dan popularitas dalam sebuah populasi tersendiri. Jika
memang Jazz ada dalam semesta Musik Pop atau Populer, akankah Jazz juga
mengalami fenomena ART AND ARTIST sebagaimana Musik Populer?
IMPLIKASI FENOMENA ART AND ARTIST
Fenomena art
and artist membawa beberapa implikasi. Salah satunya adalah pengidolaan si
artis. Bagi kalangan industri, pengidolaan artis adalah lahan uang. Bagi
beberapa golongan masyarakat, pengidolaan artis adalah sebuah upaya mencari
panutan. Kita tentu belum lupa bagaimana banyaknya anak muda di tanah air yang
mengidolakan kelompok SLANK. Ketika
ditanya, umumnya mereka lebih terinspirasi dengan kisah kehidupan para anggota
Slank, dibanding musiknya. Sikap agregatif kelompok masyarakat untuk hal
semacam ini jelas tidak dapat dikatakan salah. Masyarakat memiliki modusnya
sendiri akan sikap dan reaksi terhadap budaya tertentu. Sikap dan reaksi ini
tentu saja seiring jalan dengan pembangunan karakter yang dialami masyarakat
tersebut.
EFEK NEGATIF POPULARITAS SEORANG ARTIS
Art and
Artist sebagai fenomena, tidak semata dan tidak bertautan dengan popularitas. Art
and Artist juga bisa berubah menjadi sumpah serapah dan kebencian komunal yang
agregatif. Kita tentu masih ingat peristiwa yang dialami Ariel dan Luna Maya. Saat
itu masyarakat secara komunal SEOLAH LUPA pada musik Ariel dan keartisan Luna
Maya. Masyarakat menghakimi dan memvonis pribadi. Padahal jika masyarakat mau
sedikit "adil" tidak dapat dipungkiri, bahwa Musik Ariel adalah salah
satu bentuk yang turut menghidupkan dan menghidupi blantika industri musik di
tanah air.
ELLA FITZGERALD & LOUIS ARMSTRONG
FENOMENA ART AND ARTIST DALAM MUSIK JAZZ
Jazz sebagai
sebuah mazhab Musik Non Klasik sebetulnya mengalami juga fenomena Art and
Artist. Tentu saja rupa dan hiruk pikuknya berbeda dengan yang terjadi pada
genre Musik Pop. Awal pertumbuhan Jazz sama sekali jauh dari kesan glamour.
Jazz saat pertama kali tumbuh adalah bentuk musik hiburan di kedai kedai minum
orang kulit hitam yang sarat dengan diskriminasi rasial. Tentu dalam keadaan
seperti ini, sangat tidak mungkin mengidolakan artis Jazz. Louis Armstrong adalah seorang peniup trumpet yang secara teknik bermusik
tiupannya sangat salah dan mengerikan. Dengan vibrato yang oleh kalangan Musik
Klasik dilukiskan seperti orang sakit malaria yang sedang menggigil. Tampang
Louis Armstrong sendiri, cenderung funny,
humble, dan sama sekali sangat sulit untuk dikatakan tampan. Ada pula
vokalis Ella Fitzgerald - tambun, berbusana
seperti pembantu rumah tangga, dan sama sekali untuk ukuran orang waras, dia
tidak cantik dan tidak sexy. Dengan tokoh semacam Louis Armstrong dan Ella
Fitzgerald sangat jelas bahwa di awal pertumbuhannya, Jazz diapresiasi bukan
dari sisi keartisannya. Kala itu Jazz diapresiasi sebagai musik untuk
menyuarakan kepedihan nasib kulit hitam, dan juga menjadi katarsis, sekaligus
katalis untuk kehidupan yang relatif lebih baik.
KEHADIRAN PEMUSIK KULIT PUTIH DALAM MUSIK
JAZZ
Setelah
tumbuh, Musik Jazz tentu akan berkembang sebagai sebuah konsekuensi yang
alamiah. Dalam perkembangannya, Jazz mulai dirambah dan merambah ranah rekaman
musik dan juga media penyiaran publik yakni radio. Perkembangan ini diwarnai
juga secara pekat oleh keikutsertaan pemusik kulit putih. Saat masuk dalam
musik rekaman, sebetulnya Jazz sudah terimbas industrialisasi. Namun kultur
dasar di Amerika saat itu masih dapat memilah antara gemerlap sosok artis dan
sajian keartisannya. Meski demikian, ada perubahan signifikan yang terjadi. Para
pemusik Jazz mulai dituntut untuk dapat tampil full show sesuai kepatutan
industri dengan nilai jualnya. Kehadiran pemusik kulit putih memang sebetulnya
meningkatkan harkat dan martabat Musik Jazz. Meski tak dapat dipungkiri juga
membawa sisi kelam. Jazz masuk dalam tatanan sosialita yang mulai memandang
kelas kemapanan ekonomi. Secara faktual hal ini memunculkan fenomena Art and
Artist dalam wujud yang baru. Publik mulai mengedepankan seleranya.
Mereka yang mapan secara ekonomi mulai menggunakan sensor alamiahnya untuk menentukan musisi yang pas dan layak sesuai selera mereka. Benny Goodman seorang pemusik kulit putih yang berpendidikan musik, sangat dihormati. Lalu ada pula Glenn Miller, seorang pemain trombone dan orkestrator Jazz berkulit putih. Glenn Miller mencuat dalam era Jazz yang sudah berenang dalam ranah media penyiaran publik. Dibuat film berjudul THE GLENN MILLER STORY sebagai tribute atau penghormatan kiprahnya. Sangat berbeda dengan nasib Duke Ellington dan Thelonius Monk yang sama sama orkestrator Jazz. Duke Ellington memang dihormati. Thelonious Monk memang menjadi legenda Jazz. Tapi jika bicara soal Big Band, orang secara latah pasti lebih menunjuk Glenn Miller.
BENNY GOODMAN & GLENN MILLER
Mereka yang mapan secara ekonomi mulai menggunakan sensor alamiahnya untuk menentukan musisi yang pas dan layak sesuai selera mereka. Benny Goodman seorang pemusik kulit putih yang berpendidikan musik, sangat dihormati. Lalu ada pula Glenn Miller, seorang pemain trombone dan orkestrator Jazz berkulit putih. Glenn Miller mencuat dalam era Jazz yang sudah berenang dalam ranah media penyiaran publik. Dibuat film berjudul THE GLENN MILLER STORY sebagai tribute atau penghormatan kiprahnya. Sangat berbeda dengan nasib Duke Ellington dan Thelonius Monk yang sama sama orkestrator Jazz. Duke Ellington memang dihormati. Thelonious Monk memang menjadi legenda Jazz. Tapi jika bicara soal Big Band, orang secara latah pasti lebih menunjuk Glenn Miller.
DUKE ELLINGTON & THELONIUS MONK
PENGIDOLAAN ARTIS DALAM GAYA PERMAINAN MUSIK
JAZZ
Pengidolaan
artis sebetulnya terjadi juga dalam Musik Jazz. Hanya saja kita masih dapat
mengatakan bahwa fenomena Art and Artist dalam Jazz berlangsung dengan tetap
menekankan sisi keartisan dan bukan sosok artisnya semata. Salah satu contohnya
adalah dalam gaya permainan dan tone character. Banyak pemusik Jazz yang
mengidolakan gaya permainan gitaris Wes Montgomery. Memetik hanya dengan ibu jari kanan namun mampu menghasilkan
comping yang kompleks dan sound yang tebal serta hangat. Suara serak Louis
Armstrong juga menjadi idola. Kita tentu pernah mendengar dan melihat saat
pemusik Jazz tanah air Bill Saragih
dan Koes Hendratmo memperagakan
warna vokal serak dari Louis Armstrong. Scat and pluck gitaris George Benson, solo vokalnya dilakukan
secara DUAL dengan nada gitarnya. Toots
Thielemans melakukan pula teknik dual ini namun dengan siulan. Ben Johnson mengadaptasi teknik Benson.
Di tanah air gitaris Mus Mudjiono
melakukannya. Gebukan drum Gene Krupa
yang kasar juga menjadi idola. Teknik swap snare drum dari Buddy Rich juga tak hentinya menjadi idola dan panutan.
TREND SETTER DALAM MUSIK JAZZ
Terdapat
sebuah rangkaian menarik dari fenomena Art and Artist. Artis Musik Pop karena
dorongan dan kebutuhan industri, berlomba-lomba untuk membuat trend. Artis pop
sepertinya dibebani dengan sebuah "kewajiban" untuk menjadi Trend
Setter. Sampai hari ini masih banyak orang meniru dandanan busana dan rambut Elvis Presley. Juga rambut gimbal dan
atribut Reggae Jamaika dari Bob Marley.
Masih banyak pula yang terus berupaya untuk mengikuti trend yang pernah dibuat The Beatles.
Dalam Jazz, trend setter dan follower nyaris
tidak pernah terjadi. Mengapa?
Karena Jazz adalah musik komunal namun sangat menjunjung tinggi ciri khas individual. Dalam
improvisasi Jazz, ciri ungkapan individual sangatlah nyata. Seorang pemusik
Jazz sejati adalah orang yang dapat berbicara tentang dirinya sebagaimana
adanya melalui musiknya. Publik Pop akan bertepuk tangan riuh manakala ada
seorang penyanyi yang gaya dan vokalnya mirip Tom Jones atau Michael
Jackson. Publik Jazz malahan akan sangat tidak nyaman jika disuguhi
improvisasi dengan gaya dan ragam hasil tiruan.
NILAI PRESTIGIUS MUSIK JAZZ
Tidak dapat
dipungkiri, perkembangan Jazz seiring jalan dengan perkembangan dan dinamika
umat manusia. Jazz jaman sekarang telah mendapat tempat pentas yang sangat
prestisius. Panggung Jazz bukan lagi kedai minum kumuh, melainkan sebuah
Concert Hall yang bergengsi. Dalam taraf inilah fenomena Art and Artist kembali
berlaku. Prestiusnya gedung pertunjukan, membuat pemusik Jazz mau tidak mau
“mengikuti” hukum yang tidak tertulis tentang kepatutan dan tata nilai gengsi
dalam sebuah pertunjukan musik. Pagelaran JAZZ MASTER di CARNEGIE HALL 14 Juni
1994 misalnya. Semua pemusiknya berbusana tuxedo sebagaimana layaknya pemusik
orkes Musik Klasik. Sebagai pembawa acara, dipasang artis cantik sexy Vanessa William, yang sebetulnya
tidaklah terlalu piawai berolah Jazz. Melihat tampilan seperti itu, kita layak
berkomentar bahwa Jazz telah menerima konsekuensi perkembangannya. Bahwa pada
ujungnya, tampang wajah dan body akan berbicara.
NILAI JUAL MUSIK JAZZ VS IDEALISME
Tentu jika
Jazz tetap mau eksis dalam keberadaannya. Konser semacam ini jelas membutuhkan
sponsor dan sponsor dalam skala besar tentu akan bersinggungan dengan
Impressario dan keagenan tiap artis. Ini adalah sebuah kerja tim dalam skala
luar biasa besar. Kerja tim dalam takaran sedemikian, JELAS MEMBUTUHKAN ONGKOS
YANG TIDAK KECIL. Dan berbicara tentang ongkos, JELAS bahwa pihak sponsor dan
manajemen artis selalu menjalankan kalkulatornya. Dari sisi sponsor, sebuah pagelaran
musik adalah ajang promosi. Tidak berlebihan jika sponsor meminta banyak hal
yang PUNYA NILAI JUAL. Dan hal yang punya nilai jual tidak mampu dipayungi oleh
musik semata. Dibutuhkan gebyar, dibutuhkan tampang, dan dandanan yang menarik,
serta “mengundang”. Juga tentu saja gaya, cara bicara, dan paparan konsep yang
pastilah sepersekian persennya adalah atas “kepentingan” sponsor.
UPAYA MENGEMBANGKAN EKSISTENSI MUSIK JAZZ
Laju
perkembangan Musik Jazz, pasti akan berbenturan dengan kebutuhan agar Jazz
makin dapat dinikmati oleh komunitas yang lebih luas. Event Jazz harus semakin
sering digelar, jika Jazz tak ingin tenggelam dan dilupakan. Kemasan eventnya
pun harus bermacam-macam. Dari mulai gedung konser, pantai, kampus universitas,
sekolah menengah, bahkan sampai pengenalan Jazz pada usia anak. Untuk
memperluas publiknya, Jazz juga perlu mengaktualisasi diri. Caranya adalah
dengan menggelar FESTIVAL. Dalam festival, akan banyak artis yang tampil dan
tentu saja banyak pula tersaji gaya Jazz yang beragam. Repotnya lagi, ajang
Festival memerlukan sponsor. Jadi jangan heran jika ada festival Jazz yang
memasang seorang Carlos Santana
sebagai Megastar. Sangat sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa Carlos Santana
adalah pemusik Jazz. Tetapi itulah konsekuensi sebuah laju perkembangan mazhab
musik seperti Jazz.
Art and
Artist nampaknya akan selalu merayu dan mencumbu perkembangan musik. Mungkin
ada baiknya jika saya tampilkan beberapa opini dari media sehubungan dengan
Perayaan 58 Tahun Festival Jazz Monterey.
Agar setidaknya menjadi acuan bagi kita bagaimana menyikapi fenomena Art and
Artist dalam Musik Jazz.
“The
Monterey Jazz Festival has managed to reflect the vastness of jazz,
from its
most accessible and party-ambience-suitable
to at least relative abstraction
and outer limits."
– Josef
Woodard, allaboutjazz.com
“…we were
exposed to such a saturation of talent
just walking from venue to venue or
vendor to vendor,
that it felt
like our souls were getting over-full from a feast…”
– Walter Ryce, Monterey County Weekly
“…The Roots,
which in my eyes and ears was hands-down the finest,
most memorable performance
of not just this year,
but of the
last dozen years.
In fact, I can't recall another performance in my 30-plus
years
I have been
covering the festival that was
more exciting, energized, provocative, ear-opening,
more exciting, energized, provocative, ear-opening,
and yes,
controversial, than Saturday night's hour-long
set by this band of supremely
talented musicians.”
–Mac
McDonald, Monterey County Herald
ARTIS JUGA MANUSIA!
Dari semua
opini media, kita diajak untuk merefleksi diri. Bahwa seharusnya senantiasa ada
keseimbangan antara sorotan terhadap artis, musiknya, dan keartisannya. Yang
lebih utama adalah bahwa Artis BERBEDA
DENGAN SELEBRITI. Tidak semua artis adalah selebriti. Artis, apapun
pernak-pernik gemerlapnya adalah sosok
manusia biasa. Yang membagikan pengalaman dan teknik estetisnya serta sama
sekali bukan sebuah komoditi industri! Pola pikir semacam ini sangat perlu agar
kita dapat menapaki sebuah era yang dinamakan pembangunan manusia melalui
budaya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.