Monday 8 December 2014

"ART AND ARTIST" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, December 2014)

"ART AND ARTIST"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato Article, December 2014


Jika kita bicara dalam ranah Musik Populer, seperti ada hukum yang tidak tertulis, bahwa rupa dan penampilan si artis jauh lebih penting dibanding musiknya. Apalagi jika Musik Pop sudah berada dalam cengkeraman tangan-tangan gurita industri musik. Kita tentu telah paham, bahwa sudah terlampau banyak artis yang populer gara-gara penampilan dan video klip nya yang sensasional, namun sangat memalukan apabila melakukan live performance. Untuk mengatasi aib tersebut industri musik malahan belakangan ini semakin cerdas. Mereka mempergunakan dubbing dan lip sync. Agar kemampuan asli dari si artis tetap terkemas. Jazz adalah musik dalam skopa semesta Musik Pop. Meski JELAS Jazz bukanlah Pop, namun terminologi musik memasukkan Jazz sebagai musik di LUAR Musik Klasik. Dan ditambah pula beberapa fakta yang mengukuhkan bahwa Jazz memiliki akar dan popularitas dalam sebuah populasi tersendiri. Jika memang Jazz ada dalam semesta Musik Pop atau Populer, akankah Jazz juga mengalami fenomena ART AND ARTIST sebagaimana Musik Populer?


IMPLIKASI FENOMENA ART AND ARTIST
Fenomena art and artist membawa beberapa implikasi. Salah satunya adalah pengidolaan si artis. Bagi kalangan industri, pengidolaan artis adalah lahan uang. Bagi beberapa golongan masyarakat, pengidolaan artis adalah sebuah upaya mencari panutan. Kita tentu belum lupa bagaimana banyaknya anak muda di tanah air yang mengidolakan kelompok SLANK. Ketika ditanya, umumnya mereka lebih terinspirasi dengan kisah kehidupan para anggota Slank, dibanding musiknya. Sikap agregatif kelompok masyarakat untuk hal semacam ini jelas tidak dapat dikatakan salah. Masyarakat memiliki modusnya sendiri akan sikap dan reaksi terhadap budaya tertentu. Sikap dan reaksi ini tentu saja seiring jalan dengan pembangunan karakter yang dialami masyarakat tersebut.

EFEK NEGATIF POPULARITAS SEORANG ARTIS
Art and Artist sebagai fenomena, tidak semata dan tidak bertautan dengan popularitas. Art and Artist juga bisa berubah menjadi sumpah serapah dan kebencian komunal yang agregatif. Kita tentu masih ingat peristiwa yang dialami Ariel dan Luna Maya. Saat itu masyarakat secara komunal SEOLAH LUPA pada musik Ariel dan keartisan Luna Maya. Masyarakat menghakimi dan memvonis pribadi. Padahal jika masyarakat mau sedikit "adil" tidak dapat dipungkiri, bahwa Musik Ariel adalah salah satu bentuk yang turut menghidupkan dan menghidupi blantika industri musik di tanah air.


ELLA FITZGERALD & LOUIS ARMSTRONG

FENOMENA ART AND ARTIST DALAM MUSIK JAZZ
Jazz sebagai sebuah mazhab Musik Non Klasik sebetulnya mengalami juga fenomena Art and Artist. Tentu saja rupa dan hiruk pikuknya berbeda dengan yang terjadi pada genre Musik Pop. Awal pertumbuhan Jazz sama sekali jauh dari kesan glamour. Jazz saat pertama kali tumbuh adalah bentuk musik hiburan di kedai kedai minum orang kulit hitam yang sarat dengan diskriminasi rasial. Tentu dalam keadaan seperti ini, sangat tidak mungkin mengidolakan artis Jazz. Louis Armstrong adalah seorang peniup trumpet yang secara teknik bermusik tiupannya sangat salah dan mengerikan. Dengan vibrato yang oleh kalangan Musik Klasik dilukiskan seperti orang sakit malaria yang sedang menggigil. Tampang Louis Armstrong sendiri, cenderung funny, humble, dan sama sekali sangat sulit untuk dikatakan tampan. Ada pula vokalis Ella Fitzgerald - tambun, berbusana seperti pembantu rumah tangga, dan sama sekali untuk ukuran orang waras, dia tidak cantik dan tidak sexy. Dengan tokoh semacam Louis Armstrong dan Ella Fitzgerald sangat jelas bahwa di awal pertumbuhannya, Jazz diapresiasi bukan dari sisi keartisannya. Kala itu Jazz diapresiasi sebagai musik untuk menyuarakan kepedihan nasib kulit hitam, dan juga menjadi katarsis, sekaligus katalis untuk kehidupan yang relatif lebih baik.



KEHADIRAN PEMUSIK KULIT PUTIH DALAM MUSIK JAZZ
Setelah tumbuh, Musik Jazz tentu akan berkembang sebagai sebuah konsekuensi yang alamiah. Dalam perkembangannya, Jazz mulai dirambah dan merambah ranah rekaman musik dan juga media penyiaran publik yakni radio. Perkembangan ini diwarnai juga secara pekat oleh keikutsertaan pemusik kulit putih. Saat masuk dalam musik rekaman, sebetulnya Jazz sudah terimbas industrialisasi. Namun kultur dasar di Amerika saat itu masih dapat memilah antara gemerlap sosok artis dan sajian keartisannya. Meski demikian, ada perubahan signifikan yang terjadi. Para pemusik Jazz mulai dituntut untuk dapat tampil full show sesuai kepatutan industri dengan nilai jualnya. Kehadiran pemusik kulit putih memang sebetulnya meningkatkan harkat dan martabat Musik Jazz. Meski tak dapat dipungkiri juga membawa sisi kelam. Jazz masuk dalam tatanan sosialita yang mulai memandang kelas kemapanan ekonomi. Secara faktual hal ini memunculkan fenomena Art and Artist dalam wujud yang baru. Publik mulai mengedepankan seleranya. 


BENNY GOODMAN & GLENN MILLER

Mereka yang mapan secara ekonomi mulai menggunakan sensor alamiahnya untuk menentukan musisi yang pas dan layak sesuai selera mereka. Benny Goodman seorang pemusik kulit putih yang berpendidikan musik, sangat dihormati. Lalu ada pula Glenn Miller, seorang pemain trombone dan orkestrator Jazz berkulit putih. Glenn Miller mencuat dalam era Jazz yang sudah berenang dalam ranah media penyiaran publik. Dibuat film berjudul THE GLENN MILLER STORY sebagai tribute atau penghormatan kiprahnya. Sangat berbeda dengan nasib Duke Ellington dan Thelonius Monk yang sama sama orkestrator Jazz. Duke Ellington memang dihormati. Thelonious Monk memang menjadi legenda Jazz. Tapi jika bicara soal Big Band, orang secara latah pasti lebih menunjuk Glenn Miller.


DUKE ELLINGTON & THELONIUS MONK

PENGIDOLAAN ARTIS DALAM GAYA PERMAINAN MUSIK JAZZ
Pengidolaan artis sebetulnya terjadi juga dalam Musik Jazz. Hanya saja kita masih dapat mengatakan bahwa fenomena Art and Artist dalam Jazz berlangsung dengan tetap menekankan sisi keartisan dan bukan sosok artisnya semata. Salah satu contohnya adalah dalam gaya permainan dan tone character. Banyak pemusik Jazz yang mengidolakan gaya permainan gitaris Wes Montgomery. Memetik hanya dengan ibu jari kanan namun mampu menghasilkan comping yang kompleks dan sound yang tebal serta hangat. Suara serak Louis Armstrong juga menjadi idola. Kita tentu pernah mendengar dan melihat saat pemusik Jazz tanah air Bill Saragih dan Koes Hendratmo memperagakan warna vokal serak dari Louis Armstrong. Scat and pluck gitaris George Benson, solo vokalnya dilakukan secara DUAL dengan nada gitarnya. Toots Thielemans melakukan pula teknik dual ini namun dengan siulan. Ben Johnson mengadaptasi teknik Benson. Di tanah air gitaris Mus Mudjiono melakukannya. Gebukan drum Gene Krupa yang kasar juga menjadi idola. Teknik swap snare drum dari Buddy Rich juga tak hentinya menjadi idola dan panutan.



TREND SETTER DALAM MUSIK JAZZ
Terdapat sebuah rangkaian menarik dari fenomena Art and Artist. Artis Musik Pop karena dorongan dan kebutuhan industri, berlomba-lomba untuk membuat trend. Artis pop sepertinya dibebani dengan sebuah "kewajiban" untuk menjadi Trend Setter. Sampai hari ini masih banyak orang meniru dandanan busana dan rambut Elvis Presley. Juga rambut gimbal dan atribut Reggae Jamaika dari Bob Marley. Masih banyak pula yang terus berupaya untuk mengikuti trend yang pernah dibuat The Beatles.

Dalam Jazz, trend setter dan follower nyaris tidak pernah terjadi. Mengapa? Karena Jazz adalah musik komunal namun sangat menjunjung tinggi ciri khas individual. Dalam improvisasi Jazz, ciri ungkapan individual sangatlah nyata. Seorang pemusik Jazz sejati adalah orang yang dapat berbicara tentang dirinya sebagaimana adanya melalui musiknya. Publik Pop akan bertepuk tangan riuh manakala ada seorang penyanyi yang gaya dan vokalnya mirip Tom Jones atau Michael Jackson. Publik Jazz malahan akan sangat tidak nyaman jika disuguhi improvisasi dengan gaya dan ragam hasil tiruan.



NILAI PRESTIGIUS MUSIK JAZZ
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan Jazz seiring jalan dengan perkembangan dan dinamika umat manusia. Jazz jaman sekarang telah mendapat tempat pentas yang sangat prestisius. Panggung Jazz bukan lagi kedai minum kumuh, melainkan sebuah Concert Hall yang bergengsi. Dalam taraf inilah fenomena Art and Artist kembali berlaku. Prestiusnya gedung pertunjukan, membuat pemusik Jazz mau tidak mau “mengikuti” hukum yang tidak tertulis tentang kepatutan dan tata nilai gengsi dalam sebuah pertunjukan musik. Pagelaran JAZZ MASTER di CARNEGIE HALL 14 Juni 1994 misalnya. Semua pemusiknya berbusana tuxedo sebagaimana layaknya pemusik orkes Musik Klasik. Sebagai pembawa acara, dipasang artis cantik sexy Vanessa William, yang sebetulnya tidaklah terlalu piawai berolah Jazz. Melihat tampilan seperti itu, kita layak berkomentar bahwa Jazz telah menerima konsekuensi perkembangannya. Bahwa pada ujungnya, tampang wajah dan body akan berbicara.



NILAI JUAL MUSIK JAZZ VS IDEALISME
Tentu jika Jazz tetap mau eksis dalam keberadaannya. Konser semacam ini jelas membutuhkan sponsor dan sponsor dalam skala besar tentu akan bersinggungan dengan Impressario dan keagenan tiap artis. Ini adalah sebuah kerja tim dalam skala luar biasa besar. Kerja tim dalam takaran sedemikian, JELAS MEMBUTUHKAN ONGKOS YANG TIDAK KECIL. Dan berbicara tentang ongkos, JELAS bahwa pihak sponsor dan manajemen artis selalu menjalankan kalkulatornya. Dari sisi sponsor, sebuah pagelaran musik adalah ajang promosi. Tidak berlebihan jika sponsor meminta banyak hal yang PUNYA NILAI JUAL. Dan hal yang punya nilai jual tidak mampu dipayungi oleh musik semata. Dibutuhkan gebyar, dibutuhkan tampang, dan dandanan yang menarik, serta “mengundang”. Juga tentu saja gaya, cara bicara, dan paparan konsep yang pastilah sepersekian persennya adalah atas “kepentingan” sponsor.

UPAYA MENGEMBANGKAN EKSISTENSI MUSIK JAZZ
Laju perkembangan Musik Jazz, pasti akan berbenturan dengan kebutuhan agar Jazz makin dapat dinikmati oleh komunitas yang lebih luas. Event Jazz harus semakin sering digelar, jika Jazz tak ingin tenggelam dan dilupakan. Kemasan eventnya pun harus bermacam-macam. Dari mulai gedung konser, pantai, kampus universitas, sekolah menengah, bahkan sampai pengenalan Jazz pada usia anak. Untuk memperluas publiknya, Jazz juga perlu mengaktualisasi diri. Caranya adalah dengan menggelar FESTIVAL. Dalam festival, akan banyak artis yang tampil dan tentu saja banyak pula tersaji gaya Jazz yang beragam. Repotnya lagi, ajang Festival memerlukan sponsor. Jadi jangan heran jika ada festival Jazz yang memasang seorang Carlos Santana sebagai Megastar. Sangat sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa Carlos Santana adalah pemusik Jazz. Tetapi itulah konsekuensi sebuah laju perkembangan mazhab musik seperti Jazz.



Art and Artist nampaknya akan selalu merayu dan mencumbu perkembangan musik. Mungkin ada baiknya jika saya tampilkan beberapa opini dari media sehubungan dengan Perayaan 58 Tahun Festival Jazz Monterey. Agar setidaknya menjadi acuan bagi kita bagaimana menyikapi fenomena Art and Artist dalam Musik Jazz.

“The Monterey Jazz Festival has managed to reflect the vastness of jazz,
from its most accessible and party-ambience-suitable 
to at least relative abstraction and outer limits." 
– Josef Woodard, allaboutjazz.com

“…we were exposed to such a saturation of talent 
just walking from venue to venue or vendor to vendor,
that it felt like our souls were getting over-full from a feast…”  
Walter Ryce, Monterey County Weekly

“…The Roots, which in my eyes and ears was hands-down the finest, 
most memorable performance of not just this year,
but of the last dozen years. 

In fact, I can't recall another performance in my 30-plus years
I have been covering the festival that was 
more exciting, energized, provocative, ear-opening,
and yes, controversial, than Saturday night's hour-long 
set by this band of supremely talented musicians.” 
–Mac McDonald, Monterey County Herald



ARTIS JUGA MANUSIA!
Dari semua opini media, kita diajak untuk merefleksi diri. Bahwa seharusnya senantiasa ada keseimbangan antara sorotan terhadap artis, musiknya, dan keartisannya. Yang lebih utama adalah bahwa Artis BERBEDA DENGAN SELEBRITI. Tidak semua artis adalah selebriti. Artis, apapun pernak-pernik gemerlapnya adalah sosok manusia biasa. Yang membagikan pengalaman dan teknik estetisnya serta sama sekali bukan sebuah komoditi industri! Pola pikir semacam ini sangat perlu agar kita dapat menapaki sebuah era yang dinamakan pembangunan manusia melalui budaya.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.