Monday 26 August 2013

"MENUJU MASYARAKAT BEBAS BISING" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENUJU MASYARAKAT BEBAS BISING"
by: Michael Gunadi Widjaja


Disadari atau tidak, kita berada pada tatanan kehidupan sosial yang sangat mengagungkan Budaya Kasat Mata. Seringkali kita menjadi ribut bagaikan orang kebakaran jenggot, jika kebetulan kita melihat perempuan memakai kaos dengan belahan dada rendah ataupun celana dengan belahan pantat menyembul. Kita dan juga para pamong di pemerintahan akan merasa gerah dan geram jika melihat maraknya pengemis dan gelandangan di jalan-jalan protokol kita. Kita pun pasti akan membuat reaksi yang sungguh reaksioner terhadap apapun yang terlihat mata. Betapa mata telah memperoleh kemanjaan pada budaya yang berkembang dalam kehidupan sosial kita. Begitu memanjakannya kita pada mata, hingga tanpa sadar kita bersikap bahwa mata hanya boleh melakukan fungsinya untuk sesuatu yang baik, indah, layak, dan patut. Yang sayangnya seringkali terlampau subyektif sifatnya.

Di sisi yang lain kita sangat tidak sadar. Bahwa sebetulnya, dengan terlalu memanjakan mata, kita melupakan organ indra vital kita yang lainnya, yakni: telinga. Karena terlalu asyik memanjakan mata, kita tak sadar bahwa ada bahaya baru yang sedang mengancam dan mengintai kita. Bahaya tersebut hanya dapat ditengarai oleh telinga. Bahaya tersebut bahkan sudah merupakan sebuah koloni yang siap menjajah dan meluluh lantakkan daya persepsi otak kita: KEBISINGAN.


 
Setiap hari sebetulnya kita berhadapan dan dihadapkan pada kebisingan. Penyebabnya adalah produk teknologi dan lanskap lingkungan tempat tinggal kita. Anak-anak yang berteriak-teriak bermain bola sejak jam dua siang hingga menjelang Maghrib. Penjual roti dengan speaker jingle yang karena accu dinamonya rusak menimbulkan bunyi yang aneh dan memekakkan telinga. Alat penyedot debu. Bahkan volume dari televisi dan peralatan stereo kita. Juga tatkala tetangga kita mendatangkan mesin pengaduk semen dan gerinda metal untuk renovasi rumahnya. Dalam ambang tertentu semua itu dapat menjadi kebisingan. Sebuah bahaya yang terlanjur bersifat laten.

Keadaan ini diperparah dengan konstruksi bangunan publik yang sama sekali tak memikirkan hal akustik ruangan. Gedung kesenian di kota-kota dibangun dengan arsitektur fisik bangunan yang megah. Bermilyar rupiah, namun sama sekali tak memperhitungkan segi akustik. Sehingga jika ada pementasan teater atau musik dalam gedung tersebut, bunyi akan memantul dinding, plafon, dan lantai dengan pola tumpang tindih yang hasil akhirnya adalah ketidakjelasan ucapan atau artikulasi. Dan tentu saja, ini adalah sebuah kebisingan. Namun itulah budaya laku sosial kita selama ini. Semua demi keindahan yang dinikmati mata dan bukan untuk kenyamanan telinga.

Kebisingan memang telah menjadi sebuah bentuk polusi yang membahayakan. Orang sering lupa, bahwa kebisingan bukan hanya masalah telinga semata. Kebisingan dapat mempengaruhi fisik dan bahkan psikis seseorang. Bahaya yang ditimbulkan oleh kebisingan belakangan populer dengan sebutan “HELL OF DECIBELS” atau neraka desibel. Desibel adalah satuan untuk intensitas bunyi.


Penelitian institut terkemuka di Eropa terutama Institut Max Planck di Jerman, menyebutkan bahwa telinga manusia tidak akan tahan jika terus menerus mendengar bunyi dengan intensitas 70 dB. Padahal, kebisingan di sebuah mal di Jakarta berada pada kisaran 90 – 98 dB! Sebetulnya telinga hanyalah indera penangkap bunyi, yang melakukan kegiatan mendengarkan sebetulnya adalah otak kita. Bunyi yang ditangkap telinga diubah menjadi sinyal elektro kimia dan mengalir ke otak. Di otak inilah persepsi tentang mendengarkan diolah. Bisa dibayangkan betapa parahnya keadaan otak kita jika senantiasa diasup oleh bunyi dengan intensitas diluar ambang kemampuan telinga kita.

Fakta lain seputar bahaya kebisingan adalah bahwa sebetulnya telinga adalah dinamisator otak. Agar bisa berfungsi maksimal, otak membutuhkan 3.000.000 rangsangan dalam bentuk energi per detiknya, selama paling sedikit 4,5 jam. Dan ini yang penting, lebih dari 50% asupan energi otak diterima dari telinga. Bisa dibayangkan jika telinga mengalami gangguan fungsi akibat terus-menerus harus berhadapan dan dihadapkan pada kebisingan. Pastilah karena fungsi telinga terganggu,asupan energi ke otak akan terganggu juga. Efeknya adalah gangguan psikomotorik, fisik, dan juga jiwa.

Institut Max Planck di Jerman pernah mengumumkan hasil risetnya bahwa orang-orang yang bekerja di pabrik dengan kebisingan tinggi cenderung memiliki persoalan rumah tangga yang akut. Bahkan FBI (badan penyelidik federal Amerika) pernah berkesimpulan bahwa 30% masyarakat di kota besar yang bising memiliki kecenderunyan menjadi PSIKOPAT SOSIAL. Sepintas orang-orang ini terlihat waras dan normal. Namun hanya oleh satu sebab sepele, perilakunya dapat berubah menjadi ganas dan sadis. Nampaknya gejala demikianpun sudah mulai menghinggapi masyarakat Indonesia.


Menanggapi realita bahaya kebisingan, kita memang tak memiliki pilihan selain Menuju Masyarakat (yang) Bebas Bising. Sebagai sebuah komunitas, masyarakat bebas bising telah digagas oleh Slamet Abdul Syukur, seorang komponis musik kontemporer papan atas dunia. Tahun 2010 didirikanlah komunitas Masyarakat Bebas Bising (MBB) dengan mendapat dukungan dari Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Penggiat MBB adalah para dokter THT Indonesia, para pakar akustik, dan juga beberapa tokoh agama. Dalam salah satu rapat kerjanya, MBB menghadirkan Prof. Dr. Ir Soegijanto, pakar akustik bangunan dari ITB Bandung, yang menyampaikan makalah seputar mengatasi polusi kebisingan.


SLAMET ABDUL SJUKUR
(sumber: www.antarafoto.com)

Slamet Abdul Syukur dalam sebuah workshop polusi kebisingan

Kitapun sebetulnya juga sudah sampai pada saat untuk menuju masyarakat yang bebas bising. Paling tidak kita dapat mulai dari diri kita sendiri dan rumah tangga kita. Hal yang paling gampang adalah menyetel volume televisi dan stereo set kita pada level lebih rendah dari 50% gain volumenya. Juga memulai pola hidup yang sedikit memanjakan telinga, misalnya dengan memakai penutup telinga khususnya bagi bayi yang berada di lingkungan kita.

Kebisingan bukan masalah sederhana. kebisingan berkait erat dengan perilaku sosial budaya dan lingkungan. Ada cabang keilmuan yang khusus mengkaji hubungan antara bunyi di lingkungan dengan pencerapan inderawi serta pengaruhnya bagi fisik dan kejiwaan kita. Dikenal sebagai EKOLOGI AKUSTIK (Acoustic Ecology). Di tahun 2012 mendatang oleh MBB sudah dicanangkan seminar untuk menghadirkan para pakar ekologi akustik dari Universitas Indonesia (UI). Prinsip dari ekologi akustik adalah bahwa Tuhan menciptakan aneka bunyi sebagai sebuah “musik”. Bergantung pada bagaimana kita mengolah dan mempersepsikannya. Apakah kita mulai selektif atau membiarkan kebisingan menjajah otak kita?

ANOTHER LINK:

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.