"MENUJU MASYARAKAT BEBAS BISING"
by: Michael Gunadi Widjaja
Disadari
atau tidak, kita berada pada tatanan kehidupan sosial yang sangat mengagungkan Budaya Kasat Mata. Seringkali kita
menjadi ribut bagaikan orang kebakaran jenggot, jika kebetulan kita melihat
perempuan memakai kaos dengan belahan dada rendah ataupun celana dengan belahan
pantat menyembul. Kita dan juga para pamong di pemerintahan akan merasa gerah
dan geram jika melihat maraknya pengemis dan gelandangan di jalan-jalan
protokol kita. Kita pun pasti akan membuat reaksi yang sungguh reaksioner
terhadap apapun yang terlihat mata. Betapa mata telah memperoleh kemanjaan pada
budaya yang berkembang dalam kehidupan sosial kita. Begitu memanjakannya kita
pada mata, hingga tanpa sadar kita bersikap bahwa mata hanya boleh melakukan
fungsinya untuk sesuatu yang baik, indah, layak, dan patut. Yang sayangnya
seringkali terlampau subyektif sifatnya.
Di sisi yang
lain kita sangat tidak sadar. Bahwa sebetulnya, dengan terlalu memanjakan mata,
kita melupakan organ indra vital kita yang lainnya, yakni: telinga. Karena
terlalu asyik memanjakan mata, kita tak sadar bahwa ada bahaya baru yang sedang
mengancam dan mengintai kita. Bahaya tersebut hanya dapat ditengarai oleh
telinga. Bahaya tersebut bahkan sudah merupakan sebuah koloni yang siap
menjajah dan meluluh lantakkan daya persepsi otak kita: KEBISINGAN.
Setiap hari
sebetulnya kita berhadapan dan dihadapkan pada kebisingan. Penyebabnya adalah
produk teknologi dan lanskap lingkungan tempat tinggal kita. Anak-anak yang
berteriak-teriak bermain bola sejak jam dua siang hingga menjelang Maghrib. Penjual
roti dengan speaker jingle yang
karena accu dinamonya rusak menimbulkan bunyi yang aneh dan memekakkan telinga.
Alat penyedot debu. Bahkan volume dari televisi dan peralatan stereo kita. Juga
tatkala tetangga kita mendatangkan mesin pengaduk semen dan gerinda metal untuk
renovasi rumahnya. Dalam ambang tertentu semua itu dapat menjadi kebisingan. Sebuah
bahaya yang terlanjur bersifat laten.
Keadaan ini
diperparah dengan konstruksi bangunan publik yang sama sekali tak memikirkan
hal akustik ruangan. Gedung kesenian di kota-kota dibangun dengan arsitektur
fisik bangunan yang megah. Bermilyar rupiah, namun sama sekali tak
memperhitungkan segi akustik. Sehingga jika ada pementasan teater atau musik
dalam gedung tersebut, bunyi akan memantul dinding, plafon, dan lantai dengan
pola tumpang tindih yang hasil akhirnya adalah ketidakjelasan ucapan atau
artikulasi. Dan tentu saja, ini adalah sebuah kebisingan. Namun itulah budaya
laku sosial kita selama ini. Semua demi keindahan yang dinikmati mata dan bukan
untuk kenyamanan telinga.
Kebisingan
memang telah menjadi sebuah bentuk polusi yang membahayakan. Orang sering lupa,
bahwa kebisingan bukan hanya masalah telinga semata. Kebisingan dapat
mempengaruhi fisik dan bahkan psikis seseorang. Bahaya yang ditimbulkan oleh
kebisingan belakangan populer dengan sebutan “HELL OF DECIBELS” atau neraka
desibel. Desibel adalah satuan untuk intensitas bunyi.
Penelitian
institut terkemuka di Eropa terutama Institut
Max Planck di Jerman, menyebutkan bahwa telinga manusia tidak akan tahan
jika terus menerus mendengar bunyi dengan intensitas 70 dB. Padahal, kebisingan
di sebuah mal di Jakarta berada pada kisaran 90 – 98 dB! Sebetulnya telinga hanyalah
indera penangkap bunyi, yang melakukan kegiatan mendengarkan sebetulnya adalah
otak kita. Bunyi yang ditangkap telinga diubah menjadi sinyal elektro kimia dan
mengalir ke otak. Di otak inilah persepsi tentang mendengarkan diolah. Bisa
dibayangkan betapa parahnya keadaan otak kita jika senantiasa diasup oleh bunyi
dengan intensitas diluar ambang kemampuan telinga kita.
Fakta lain
seputar bahaya kebisingan adalah bahwa sebetulnya telinga adalah dinamisator
otak. Agar bisa berfungsi maksimal, otak membutuhkan 3.000.000 rangsangan dalam
bentuk energi per detiknya, selama paling sedikit 4,5 jam. Dan ini yang
penting, lebih dari 50% asupan energi otak diterima dari telinga. Bisa
dibayangkan jika telinga mengalami gangguan fungsi akibat terus-menerus harus
berhadapan dan dihadapkan pada kebisingan. Pastilah karena fungsi telinga
terganggu,asupan energi ke otak akan terganggu juga. Efeknya adalah gangguan psikomotorik,
fisik, dan juga jiwa.
Institut Max
Planck di Jerman pernah mengumumkan hasil risetnya bahwa orang-orang yang
bekerja di pabrik dengan kebisingan tinggi cenderung memiliki persoalan rumah
tangga yang akut. Bahkan FBI (badan penyelidik federal Amerika) pernah
berkesimpulan bahwa 30% masyarakat di kota besar yang bising memiliki
kecenderunyan menjadi PSIKOPAT SOSIAL. Sepintas orang-orang ini terlihat waras
dan normal. Namun hanya oleh satu sebab sepele, perilakunya dapat berubah
menjadi ganas dan sadis. Nampaknya gejala demikianpun sudah mulai menghinggapi
masyarakat Indonesia.
Menanggapi
realita bahaya kebisingan, kita memang tak memiliki pilihan selain Menuju
Masyarakat (yang) Bebas Bising. Sebagai sebuah komunitas, masyarakat bebas
bising telah digagas oleh Slamet Abdul
Syukur, seorang komponis musik kontemporer papan atas dunia. Tahun 2010
didirikanlah komunitas Masyarakat Bebas Bising (MBB) dengan mendapat dukungan
dari Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Penggiat MBB adalah para
dokter THT Indonesia, para pakar akustik, dan juga beberapa tokoh agama. Dalam
salah satu rapat kerjanya, MBB menghadirkan Prof. Dr. Ir Soegijanto, pakar akustik bangunan dari ITB Bandung, yang
menyampaikan makalah seputar mengatasi polusi kebisingan.
SLAMET ABDUL SJUKUR
(sumber: www.antarafoto.com)
Slamet Abdul
Syukur dalam sebuah workshop polusi kebisingan
Kitapun
sebetulnya juga sudah sampai pada saat untuk menuju masyarakat yang bebas
bising. Paling tidak kita dapat mulai dari diri kita sendiri dan rumah tangga
kita. Hal yang paling gampang adalah menyetel volume televisi dan stereo set
kita pada level lebih rendah dari 50% gain volumenya. Juga memulai pola hidup yang
sedikit memanjakan telinga, misalnya dengan memakai penutup telinga khususnya
bagi bayi yang berada di lingkungan kita.
Kebisingan
bukan masalah sederhana. kebisingan berkait erat dengan perilaku sosial budaya
dan lingkungan. Ada cabang keilmuan yang khusus mengkaji hubungan antara bunyi
di lingkungan dengan pencerapan inderawi serta pengaruhnya bagi fisik dan
kejiwaan kita. Dikenal sebagai EKOLOGI AKUSTIK (Acoustic Ecology). Di
tahun 2012 mendatang oleh MBB sudah dicanangkan seminar untuk menghadirkan para
pakar ekologi akustik dari Universitas Indonesia (UI). Prinsip dari ekologi
akustik adalah bahwa Tuhan menciptakan aneka bunyi sebagai sebuah “musik”. Bergantung
pada bagaimana kita mengolah dan mempersepsikannya. Apakah kita mulai selektif
atau membiarkan kebisingan menjajah otak kita?
ANOTHER LINK:
- Noise Thermometer
- Masyarakat Bebas Bising (official)
- Awal dari sebuah kampanye sosial masyarakat bebas bising
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.