"DI FACEBOOK PUN
ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Seorang teman
pernah berkata kepada saya: “Gun, dalam
hidup ini kita boleh melakukan apa saja…..namun kita harus siap membayarnya….” Rupanya
teman saya itu ingin memberi penekanan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang
seratus persen gratisan. Persis seperti ungkapan yang sering dilontarkan di
kalangan pebisnis: “Nothing is Free.” Tentu kita
memahami bahwa yang dimaksud “membayar” tidaklah selalu dengan menyerahkan
sejumlah uang dan/atau kertas berharga yang dipersamakan dengan uang. Dengan
kata lain, membayar dapat pula dimaknai sebagai adanya konsekuensi yang harus
ditanggung dan tertanggungkan dalam tiap tindakan kita.
Tindakan
kita, yang tentu termasuk konsekuensi yang menyertainya, berada dalam semesta
pembicaraan yang dikenal sebagai ranah sosialisasi. Dalam bersosialisasi, kita
menggunakan sarana dalam berbagai bentuk. Tentu tujuannya adalah memperlancar
dan meningkatkan mutu sosialisasi kita. Nampaknya upaya semacam itu pas dengan
kodrat manusiawi kita sebagai makhluk sosial. Diantara ragam sarana
sosialisasi, salah satu yang cukup populer adalah Social Networking - jejaring sosial. Dari sekian ragam jejaring
sosial, Facebook nampaknya sudah
cukup populer. Sebagaimana jejaring sosial yang lainnya, Facebook pun
menjunjung tinggi adagium saling terhubung dan saling berbagi. Adagium inilah yang
ternyata memiliki sisi yang nampaknya kurang disepahami oleh banyak orang.
Mendaftar
untuk bergabung dalam Facebook memang sesuatu yang gratis. Dalam artian tidak
ada sepeser nominal uangpun yang harus dibayarkan. Bagi sementara orang, gratis
ini disertai sikap boleh bertindak
semaunya. Karena gratis, banyak orang yang menjadi tidak peduli dengan
“kesehatan dan kesejukan” iklim sosialisasi di Facebook. Rupanya gratis membawa juga dampak yang kurang menguntungkan. Sebagaimana halnya sekolah
dengan BOS. Dengan biaya operasional sekolah yang gratis, tanggung jawab dan
kepedulian orang tua justru menjadi surut. Mungkin itulah memang esensi kehidupan:
tak ada kesempurnaan. Hal yang nampak menyenangkan pun bisa saja diikuti dengan
ketidaknyamanan.
Di Facebook
ada yang dinamakan UPDATE STATUS, yaitu kolom ungkapan tentang apa yang pada
kesesaatan tertentu kita rasakan dan/atau pikirkan. Orang bisa saja menulis di
status dengan kalimat semacam ini: “dingin-dingin enaknya makan apa ya...” Sebuah
kalimat yang biasa saja dan sungguh bersahaja. Orang pun dapat menuliskan kalimat
semacam ini pada statusnya: “Para seniman yang
punya hutang di warung depan gedung kesenian, harap melunasi hutangnya!” Kalimat
senada dan seirama dengan kalimat tersebut tentu sering juga kita jumpai di
status teman-teman kita.
Selintas
tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Sama sekali tidak ada nama yang
disebut dan juga tak ada institusi yang dikaitkan. Namun, Facebook membuka pula
ruang bagi komentar. Dalam ruang komentar itulah terjadi komunikasi bahasa
tulis. Dalam komunikasi tertulis itulah akhirnya, secara samar namun benderang
mulai ada nama dan institusi yang terduga. Dan karena Facebook bersifat
“terbuka” dengan sendirinya terbuka pulalah tentang siapa berhutang siapa.
Peristiwa
semacam itu adalah harga yang harus dibayar saat ber-facebook. Untuk dapat saling
terhubung dan saling berbagi, adakalanya harus dibayar dengan tersebarnya
sebuah perilaku, yang pasti akan membuat ketegangan relasi personal.
Bagi seorang
pecandu facebook, di kalangan saya disebut sebagai facebooker mania, berinteraksi
di facebook sudah menjadi gaya hidup. Para facebook mania malah beranggapan
bahwa berinteraksi di facebook adalah hal yang setara dengan berinteraksi dalam
bentuk relasi nyata. Padahal, banyak hal-hal yang tak mungkin tertuang dalam
facebook, yang adalah sebuah dunia maya. Nuansa kehangatan silaturahmi sambil
minum teh di sore hari. Jelas nuansa semacam ini tak mungkin ditransformasikan
ke dalam facebook. Memang bagi interkoneksi dengan jarak yang sangat berjauhan,
facebook sangatlah bermanfaat. Namun tetap saja aneh jika facebook dianggap
mampu menggantikan nuansa silaturahmi riil. Payahnya, banyak pada facebook
mania yang menganggap bahwa berinteraksi di facebook adalah setara dengan
sebuah sosialisasi riil. Dan inilah juga harga yang harus dibayar. Untuk dapat saling terhubung
dan saling berbagi, adakalanya harus dibayar dengan sebuah keterasingan yang
tak disadari.
Dari
kenyataan bahwa memang ada harga yang harus dibayar pada facebook, kita
semestinya perlu menggagas kembali pemaknaan adagium saling terhubung dan
saling berbagi. Esensi dari adagium tersebut adalah kebersamaan. Yang agaknya
senantiasa perlu disadari adalah, bahwa dalam kebersamaan pun senantiasa ada
daerah privasi. Kebersamaan tidaklah berarti orang harus membuka total dirinya
hingga tak lagi memiliki privasi. Kurang pas jika dalam jejaring sosial kita
menyentuh hal peka sehubungan privasi seseorang.
Jejaring
sosial semacam facebook adalah sebuah produk kemajuan teknologi. Optimalisasi
dan efisiensi penggunaannya sangat menguntungkan jika disertai kedewasaan. Jaman
sekarang banyak para cendekiawan yang memang cendekia namun kurang dewasa. Inipun
agaknya sebuah harga yang harus dibayar.
Related Article:
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.