Sunday, 11 August 2013

"Di Facebook pun Ada Harga Yang Harus Dibayar" - by Michael Gunadi Widjaja

"DI FACEBOOK PUN 
ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Seorang teman pernah berkata kepada saya: “Gun, dalam hidup ini kita boleh melakukan apa saja…..namun kita harus siap membayarnya….” Rupanya teman saya itu ingin memberi penekanan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang seratus persen gratisan. Persis seperti ungkapan yang sering dilontarkan di kalangan pebisnis: Nothing is Free.” Tentu kita memahami bahwa yang dimaksud “membayar” tidaklah selalu dengan menyerahkan sejumlah uang dan/atau kertas berharga yang dipersamakan dengan uang. Dengan kata lain, membayar dapat pula dimaknai sebagai adanya konsekuensi yang harus ditanggung dan tertanggungkan dalam tiap tindakan kita.

Tindakan kita, yang tentu termasuk konsekuensi yang menyertainya, berada dalam semesta pembicaraan yang dikenal sebagai ranah sosialisasi. Dalam bersosialisasi, kita menggunakan sarana dalam berbagai bentuk. Tentu tujuannya adalah memperlancar dan meningkatkan mutu sosialisasi kita. Nampaknya upaya semacam itu pas dengan kodrat manusiawi kita sebagai makhluk sosial. Diantara ragam sarana sosialisasi, salah satu yang cukup populer adalah Social Networking - jejaring sosial. Dari sekian ragam jejaring sosial, Facebook nampaknya sudah cukup populer. Sebagaimana jejaring sosial yang lainnya, Facebook pun menjunjung tinggi adagium saling terhubung dan saling berbagi. Adagium inilah yang ternyata memiliki sisi yang nampaknya kurang disepahami oleh banyak orang.

Mendaftar untuk bergabung dalam Facebook memang sesuatu yang gratis. Dalam artian tidak ada sepeser nominal uangpun yang harus dibayarkan. Bagi sementara orang, gratis ini disertai sikap boleh bertindak semaunya. Karena gratis, banyak orang yang menjadi tidak peduli dengan “kesehatan dan kesejukan” iklim sosialisasi di Facebook. Rupanya gratis membawa juga dampak yang kurang menguntungkan. Sebagaimana halnya sekolah dengan BOS. Dengan biaya operasional sekolah yang gratis, tanggung jawab dan kepedulian orang tua justru menjadi surut. Mungkin itulah memang esensi kehidupan: tak ada kesempurnaan. Hal yang nampak menyenangkan pun bisa saja diikuti dengan ketidaknyamanan.


Di Facebook ada yang dinamakan UPDATE STATUS, yaitu kolom ungkapan tentang apa yang pada kesesaatan tertentu kita rasakan dan/atau pikirkan. Orang bisa saja menulis di status dengan kalimat semacam ini: dingin-dingin enaknya makan apa ya...” Sebuah kalimat yang biasa saja dan sungguh bersahaja. Orang pun dapat menuliskan kalimat semacam ini pada statusnya: Para seniman yang punya hutang di warung depan gedung kesenian, harap melunasi hutangnya!” Kalimat senada dan seirama dengan kalimat tersebut tentu sering juga kita jumpai di status teman-teman kita.

Selintas tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Sama sekali tidak ada nama yang disebut dan juga tak ada institusi yang dikaitkan. Namun, Facebook membuka pula ruang bagi komentar. Dalam ruang komentar itulah terjadi komunikasi bahasa tulis. Dalam komunikasi tertulis itulah akhirnya, secara samar namun benderang mulai ada nama dan institusi yang terduga. Dan karena Facebook bersifat “terbuka” dengan sendirinya terbuka pulalah tentang siapa berhutang siapa.

Peristiwa semacam itu adalah harga yang harus dibayar saat ber-facebook. Untuk dapat saling terhubung dan saling berbagi, adakalanya harus dibayar dengan tersebarnya sebuah perilaku, yang pasti akan membuat ketegangan relasi personal.


Bagi seorang pecandu facebook, di kalangan saya disebut sebagai facebooker mania, berinteraksi di facebook sudah menjadi gaya hidup. Para facebook mania malah beranggapan bahwa berinteraksi di facebook adalah hal yang setara dengan berinteraksi dalam bentuk relasi nyata. Padahal, banyak hal-hal yang tak mungkin tertuang dalam facebook, yang adalah sebuah dunia maya. Nuansa kehangatan silaturahmi sambil minum teh di sore hari. Jelas nuansa semacam ini tak mungkin ditransformasikan ke dalam facebook. Memang bagi interkoneksi dengan jarak yang sangat berjauhan, facebook sangatlah bermanfaat. Namun tetap saja aneh jika facebook dianggap mampu menggantikan nuansa silaturahmi riil. Payahnya, banyak pada facebook mania yang menganggap bahwa berinteraksi di facebook adalah setara dengan sebuah sosialisasi riil. Dan inilah juga harga yang harus dibayar. Untuk dapat saling terhubung dan saling berbagi, adakalanya harus dibayar dengan sebuah keterasingan yang tak disadari.


Dari kenyataan bahwa memang ada harga yang harus dibayar pada facebook, kita semestinya perlu menggagas kembali pemaknaan adagium saling terhubung dan saling berbagi. Esensi dari adagium tersebut adalah kebersamaan. Yang agaknya senantiasa perlu disadari adalah, bahwa dalam kebersamaan pun senantiasa ada daerah privasi. Kebersamaan tidaklah berarti orang harus membuka total dirinya hingga tak lagi memiliki privasi. Kurang pas jika dalam jejaring sosial kita menyentuh hal peka sehubungan privasi seseorang.

Jejaring sosial semacam facebook adalah sebuah produk kemajuan teknologi. Optimalisasi dan efisiensi penggunaannya sangat menguntungkan jika disertai kedewasaan. Jaman sekarang banyak para cendekiawan yang memang cendekia namun kurang dewasa. Inipun agaknya sebuah harga yang harus dibayar.

Related Article:

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.