Wednesday, 5 September 2012

"Belajar Jazz" - Artikel Staccato (September 2012)

“BELAJAR JAZZ”

Artikel Staccato (September 2012)
Oleh: Michael Gunadi Widjaja



KISAH SEORANG PENCINTA JAZZ

Tulisan ini akan diawali dengan kisah seorang pengusaha. Pengusaha yang juga seorang bapak. Kegemaran utamanya adalah musik Jazz. Uang baginya bukan masalah. Bapak ini memiliki koleksi CD Jazz yang jauh lebih lengkap dari diskografi radio yang 24 jam siaran Jazz. Dia juga mengkoleksi buku-buku tentang Jazz, dari mulai riwayat para pemusik Jazz sampai pada kliping artikel-artikel tentang Jazz - termasuk artikel di Staccato…hehehehe… Tidak cukup sampai disitu,  bapak ini juga mengkoleksi score musik Jazz meskipun dia sama sekali tidak bisa memainkan instrumen musik satupun. Bahkan, segala pernik-pernik Jazz pun dia kumpulkan - dari mulai stiker, gantungan kunci, kaos (tidak termasuk bra penyanyi Jazz)…. Merasa masih kurang lengkap koleksinya, si bapak sering memenangkan lelang alat musik yang bekas dipakai para pemusik Jazz lokal maupun manca negara.


Kehidupan sehari-harinya pun tak lepas dari Jazz. Di mobilnya selalu berbunyi alunan Jazz, di rumahnya home theatre selalu siap saji dengan menu musik Jazz. Berbagai konser Jazz juga dia hadiri, termasuk harus jauh-jauh terbang ke LA hanya untuk bersalaman dengan George Benson. Si bapak memiliki seorang anak yang berusia 6 tahun, tampan seperti pianis Aryo Wicaksono. Menurut si bapak, anaknya sangat musikal dan cerdas serta memiliki kemampuan multi tasking. Anaknya itu bisa makan sambil nonton TV sambil mewarnai gambar sekaligus main video games. Multi tasking kan…hehehehehe….Persoalan mulai muncul saat si bapak ingin agar anaknya BELAJAR JAZZ.

Bapak yang pengusaha tersebut bersikeras agar si anak belajar Jazz dan bukan musik yang lain. Alasannya sangat masuk akal, bapak itu menganggap bahwa musik Jazz memiliki nilai universal yang tinggi - dari mulai Presiden Amerika sampai gelandangan di 42nd Street dekat jembatan New York, memainkan Jazz. Juga menurutnya Jazz adalah musik yang sangat sosial - tidak congkak, tidak pongah, dan tidak dipenuhi orang yang sok tahu tentang Bach dan Chopin. Menurutnya, Jazz memiliki spirit untuk berbagi, misalnya dalam Jam Session;Dan juga mengembangkan saling pengertian dan saling menghargai. Jazz juga mengedepankan rasa “bebas yang bertanggung jawab” - Bukan bebas asal menjawab. Sampai disini nyata bahwa si bapak memiliki apresiasi yang bagus akan musik Jazz. Wajar jika si bapak ingin agar anaknya belajar Jazz, meskipun belum tentu si anak berminat pada musik Jazz. Mengingat usia dan bisa saja lingkup teman-temannya, mungkin si anak lebih suka menyanyi MARS DORAEMON ketimbang mendampingi bapaknya mendengar Jazz, yang bagi si anak laksana seekor monster aneh.

Diajaknya si anak untuk mendatangi sekolah musik yang punya nama…ooopppssss…maksudnya terkenal..gito loh…wkwkwkwkw….Sekolah musik tersebut secara terang benderang memasang promo membuka (emang baju ya bisa dibuka) jurusan piano Jazz!!! Wow... Dengan penuh harapan si bapak mulai berdialog dengan receptionist di sekolah tersebut. Melihat penampilan si bapak yang sangat dandy dan perlente, tergopoh-gopoh sang receptionist memanggil (dengan hormat) pemilik sekolah yang merangkap kepala sekolah, administrasi dan juga tukang tagih school fee (alasannya efisiensi).

Bapak                            : “Mas, nanya, disini ada kursus piano Jazz ya?”
Pemilik sekolah         : “Ahaaa…betul, Pak..kami membuka jurusan piano Jazz.
    Dengan guru  yang kami pilih Pak “
Bapak                           : “Apa seumuran anak saya gini bisa les piano Jazz, Mas?”
Pemilik sekolah         : “BISA!!!!”
 (Melihat ada kesempatan emas, langsung saja pemilik sekolah menjawab dengan   tegas dan lantang)

Jam berdetak, hari berganti, minggu terlewati, bulan terlampaui… bahkan tahun pun tertapaki. Si anak sudah berusia 9 tahun. Artinya dia sudah belajar yang dinamakan “piano Jazz” selama tiga tahun. Namun yang selalu bapaknya dengar tak ubahnya dengan anak partner businessnya yang belajar piano klasik. Etude, etude, etude, etude dan etude serta latihan dexteritas jari yang membosankan. Tak ada itu ROUND MIDNIGHT. Tak pernah terdengar lagunya Dave Brubeck, apalagi Miles Davis dan Oscar Peterson. Bapak itupun sangat kecewa.

Kisah yang panjang lebar luas dan dalam tadi memang sangat membosankan dan mungkin sama sekali tak berguna untuk dibaca. Namun setidaknya kisah tadi memberi sekelumit gambaran tentang BELAJAR JAZZ. Ada anomali di sini. Literatur mengatakan bahwa pemusik Jazz terutama pada awal lahirnya Jazz adalah mereka-mereka yang miskin kumuh dan “tidak makan” sekolahan. Mereka memainkan musik dengan passionate. Lalu kenapa orang jaman sekarang yang “makan” sekolahan, difasilitasi tetap saja sulit dalam belajar Jazz.

KATEGORI PARA JAZZ MASTER

Sebetulnya, dalam belajar Jazz kita perlu mengacu pada para pendekar Jazz/para Jazz Master.
Ada dua kategori Jazz Master:  

1. Mereka yang “dari sononya” sudah memiliki Jazz dalam sanubarinya. Yang termasuk golongan ini misalnya: Gitaris Wes Montgomery, Louis Armstrong
Louis Armstrong
Wes Montgomery
 
2. Mereka yang mengecap pendidikan sekolah untuk kemudian main Jazz. Dalam golongan ini misalnya: Herbie Hancock, Chick Corea, dan bahkan Oscar Peterson.

Herbie Hancock

Untuk yang kategori  No. 1 jelas tidak mungkin kita tiru. Biarlah mereka menjadi bukti kebesaran Tuhan dan tetap menjadi bagian dari legenda dunia. Kita mengacu pada golongan No.2 Herbie Hancock misalnya, dia adalah pemain piano klasik yang sangat matang dalam teknik maupun musikalitas. Begitu juga dengan Chick Corea. Hingga kini, Chick Corea tetap menggunakan lagu-lagu karya Bach untuk mengasah terus menerus teknik permainannya.

Chick Corea

Dari napak tilas para master Jazz dapatlah kita tarik benang merah, bahwa belajar Jazz bukanlah sebuah metode didaktik yang sekonyong-konyong dan instan. Seseorang, berapa pun usianya, jika ingin belajar Jazz, terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dasar musik. Termasuk teknik-teknik dasar bagi keluwesan jari jemari ataupun organ tubuh lainnya.

Musik senantiasa memiliki dua aspek yang saling bermesraan, yaitu: aspek teknik dan aspek musikalitas. Aspek teknik dalam musik Jazz tidak berbeda dengan aspek teknik musik Klasik. Ada latihan dexteritas, speed, accuracy, finger jump, sampai bagaimana mengolah tone yang colorful. Jadi semestinya, seseorang harus lulus tingkat lanjut (advanced) terlebih dahulu, jika dia ingin belajar Jazz dengan lancar dan menyenangkan. Yang membedakan Jazz dengan genre musik lain, dari sudut pandang belajar, adalah musikalitas dan bahwa Jazz memiliki ragam improvisasi yang sangat khas.

Aspek musikalitas dalam Jazz tidaklah hal yang bisa dipelajari dengan gampang. Jazz tidak seperti musik Klasik yang literer. Dalam musik Klasik, jika seseorang berhasil membunyikan teks secara persis seperti yang tertulis, dapatlah dikatakan orang tersebut sudah menghadirkan musik yang klasik. Lain halnya dengan Jazz - ada touch, feel, dan nuance yang membutuhkan sublimasi tinggi. Lagu “In The Mood” dari Glenn Miller misalnya, pada bagian awal secara teori memang berupa rangkaian semiquaver. Namun, dalam Jazz ada aksen-aksen tertentu yang menjadikan “In The Mood” sungguh Jazz dan aksen seperti ini tidak bisa dipelajari hanya dengan guru Jazz yang punya reputasi. Orang harus sublim di dalamnya. Dengan cara masuk dalam pergaulan komunitas Jazz ataupun sering mendengar Jazz.  


Saat saya belajar Jazz pada Alm. Jack Lesmana, saya dipinjami sekoper kaset. Dengan pesan agar didengar dan didengarkan sesering mungkin. Bukan untuk meniru kaset, melainkan agar nuansa dan touch, serta feel Jazz benar-benar merasuk dalam sanubari bahkan alam bawah sadar kita. Saya tahu persis bahwa Alm. pianis Bubbi Chen pun melakukan hal yang sama bagi muridnya.

IMPROVISASI

Berikutnya adalah improvisasi. Improvisasi Jazz sangat kompleks untuk dipelajari. Jazz improvisation bisa ditelaah secara metodik dan ilmiah. Namun hal itu sangat memusingkan, karena orang harus mengenal harmoni open-close terlebih dahulu. Baru kemudian diperkenalkan dengan konsep “Black Harmony” dan harmoni progresif. Barulah dia bisa mulai tertatih-tatih untuk ber-improvisasi, dan hal demikian sangat membutuhkan waktu panjang.

Banyak komposer menyadari bahwa menjadikan seseorang mampu ber-improvisasi adalah sebuah hal yang menuntut intensitas dan totalitas luar biasa. Itulah sebabnya, komposer seperti Christopher Norton, Mike Cornick memperkenalkan konsep “Jazz Literer”. Dalam Jazz literer, improvisasi tidak dilakukan spontan melainkan ditulis sepenuhnya. Daniel Barenboim pun main Jazz dengan konsep Jazz Literer. Daniel Barenboim adalah legenda musik Klasik, jadi rupanya agak aneh baginya jika melakukan sesuatu yang sifatnya spontan. Banyak kritik terhadap Jazz literer semacam ini. Para musikolog menganggap Jazz literer belum bisa disebut Jazz, karena improvisasinya bukan pengembangan potensi pemainnya melainkan sudah ditulis dan di plot oleh komposernya. Bagi saya pribadi, Jazz literer ok ok saja, sejauh rasa Jazz nya tetap terjaga.

Belajar Jazz adalah sebuah keniscayaan jika tidak dilatari dengan dasar musik yang mumpuni. Jadi, sebaiknya jika parents mengantar anaknya untuk belajar Jazz, teliti dahulu menu apa yang ada di sekolah musiknya. Karena jangan-jangan hanya tersedia menu Jazz-Jazz an belaka.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.