“BELAJAR JAZZ”
Artikel Staccato (September 2012)
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
KISAH SEORANG PENCINTA
JAZZ
Tulisan ini akan
diawali dengan kisah seorang pengusaha. Pengusaha yang juga seorang bapak. Kegemaran
utamanya adalah musik Jazz. Uang baginya bukan masalah. Bapak ini memiliki
koleksi CD Jazz yang jauh lebih lengkap dari diskografi radio yang 24 jam
siaran Jazz. Dia juga mengkoleksi buku-buku tentang Jazz, dari mulai riwayat
para pemusik Jazz sampai pada kliping artikel-artikel tentang Jazz - termasuk
artikel di Staccato…hehehehe… Tidak cukup sampai disitu, bapak ini juga mengkoleksi score musik Jazz meskipun dia sama
sekali tidak bisa memainkan instrumen musik satupun. Bahkan, segala
pernik-pernik Jazz pun dia kumpulkan - dari mulai stiker, gantungan kunci, kaos
(tidak termasuk bra penyanyi Jazz)…. Merasa masih kurang lengkap koleksinya, si
bapak sering memenangkan lelang alat musik yang bekas dipakai para pemusik Jazz
lokal maupun manca negara.
Kehidupan sehari-harinya
pun tak lepas dari Jazz. Di mobilnya selalu berbunyi alunan Jazz, di rumahnya home theatre selalu siap saji dengan
menu musik Jazz. Berbagai konser Jazz juga dia hadiri, termasuk harus jauh-jauh
terbang ke LA hanya untuk bersalaman dengan George Benson. Si bapak memiliki seorang anak yang berusia 6 tahun,
tampan seperti pianis Aryo Wicaksono. Menurut si bapak, anaknya sangat musikal
dan cerdas serta memiliki kemampuan multi
tasking. Anaknya itu bisa makan sambil nonton TV sambil mewarnai gambar
sekaligus main video games. Multi tasking kan…hehehehehe….Persoalan mulai muncul saat si bapak ingin
agar anaknya BELAJAR JAZZ.
Bapak yang
pengusaha tersebut bersikeras agar si anak belajar Jazz dan bukan musik yang
lain. Alasannya sangat masuk akal, bapak itu menganggap bahwa musik Jazz memiliki
nilai universal yang tinggi - dari mulai Presiden Amerika sampai gelandangan di
42nd Street dekat jembatan
New York, memainkan Jazz. Juga menurutnya Jazz adalah musik yang sangat sosial
- tidak congkak, tidak pongah, dan tidak dipenuhi orang yang sok tahu tentang
Bach dan Chopin. Menurutnya, Jazz memiliki spirit untuk berbagi, misalnya dalam
Jam Session;Dan juga mengembangkan
saling pengertian dan saling menghargai. Jazz juga mengedepankan rasa “bebas
yang bertanggung jawab” - Bukan bebas asal menjawab. Sampai disini nyata bahwa
si bapak memiliki apresiasi yang bagus akan musik Jazz. Wajar jika si bapak
ingin agar anaknya belajar Jazz, meskipun belum tentu si anak berminat pada
musik Jazz. Mengingat usia dan bisa saja lingkup teman-temannya, mungkin si
anak lebih suka menyanyi MARS DORAEMON ketimbang mendampingi bapaknya mendengar
Jazz, yang bagi si anak laksana seekor monster aneh.
Diajaknya si anak
untuk mendatangi sekolah musik yang punya nama…ooopppssss…maksudnya terkenal..gito loh…wkwkwkwkw….Sekolah musik
tersebut secara terang benderang memasang promo membuka (emang baju ya bisa dibuka) jurusan piano Jazz!!! Wow... Dengan
penuh harapan si bapak mulai berdialog dengan receptionist di sekolah tersebut.
Melihat penampilan si bapak yang sangat dandy dan perlente, tergopoh-gopoh sang
receptionist memanggil (dengan hormat) pemilik sekolah yang merangkap kepala
sekolah, administrasi dan juga tukang tagih school
fee (alasannya efisiensi).
Bapak : “Mas, nanya, disini ada kursus piano Jazz ya?”
Pemilik sekolah :
“Ahaaa…betul, Pak..kami membuka jurusan piano Jazz.
Dengan guru yang kami pilih Pak “
Bapak :
“Apa seumuran anak saya gini bisa les piano Jazz, Mas?”
Pemilik sekolah :
“BISA!!!!”
(Melihat ada kesempatan emas, langsung saja
pemilik sekolah menjawab dengan tegas
dan lantang)
Jam berdetak, hari
berganti, minggu terlewati, bulan terlampaui… bahkan tahun pun tertapaki. Si
anak sudah berusia 9 tahun. Artinya dia sudah belajar yang dinamakan “piano Jazz”
selama tiga tahun. Namun yang selalu bapaknya dengar tak ubahnya dengan anak
partner businessnya yang belajar piano klasik. Etude, etude, etude, etude dan etude
serta latihan dexteritas jari yang membosankan. Tak ada itu ROUND MIDNIGHT. Tak
pernah terdengar lagunya Dave Brubeck, apalagi Miles Davis dan Oscar Peterson. Bapak
itupun sangat kecewa.
Kisah yang
panjang lebar luas dan dalam tadi memang sangat membosankan dan mungkin sama
sekali tak berguna untuk dibaca. Namun setidaknya kisah tadi memberi sekelumit
gambaran tentang BELAJAR JAZZ. Ada anomali di sini. Literatur mengatakan bahwa
pemusik Jazz terutama pada awal lahirnya Jazz adalah mereka-mereka yang miskin
kumuh dan “tidak makan” sekolahan. Mereka memainkan musik dengan passionate. Lalu kenapa orang jaman
sekarang yang “makan” sekolahan, difasilitasi tetap saja sulit dalam belajar Jazz.
KATEGORI PARA JAZZ MASTER
Sebetulnya, dalam
belajar Jazz kita perlu mengacu pada para pendekar Jazz/para Jazz Master.
Ada dua kategori Jazz
Master:
1. Mereka yang “dari sononya” sudah memiliki Jazz dalam sanubarinya. Yang termasuk golongan ini misalnya: Gitaris Wes Montgomery, Louis Armstrong.
1. Mereka yang “dari sononya” sudah memiliki Jazz dalam sanubarinya. Yang termasuk golongan ini misalnya: Gitaris Wes Montgomery, Louis Armstrong.
Louis Armstrong
Wes Montgomery
2. Mereka yang mengecap pendidikan sekolah untuk
kemudian main Jazz. Dalam golongan ini misalnya: Herbie Hancock, Chick
Corea, dan bahkan Oscar
Peterson.
Herbie Hancock
Untuk yang kategori
No. 1 jelas tidak mungkin kita tiru. Biarlah
mereka menjadi bukti kebesaran Tuhan dan tetap menjadi bagian dari legenda
dunia. Kita mengacu pada golongan No.2 Herbie Hancock misalnya, dia adalah
pemain piano klasik yang sangat matang dalam teknik maupun musikalitas. Begitu
juga dengan Chick Corea. Hingga kini, Chick Corea tetap menggunakan lagu-lagu
karya Bach untuk mengasah terus menerus teknik permainannya.
Chick Corea
Dari napak tilas
para master Jazz dapatlah kita tarik benang merah, bahwa belajar Jazz bukanlah
sebuah metode didaktik yang sekonyong-konyong dan instan. Seseorang, berapa pun
usianya, jika ingin belajar Jazz, terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan
dasar musik. Termasuk teknik-teknik dasar bagi keluwesan jari jemari ataupun
organ tubuh lainnya.
Musik senantiasa
memiliki dua aspek yang saling bermesraan, yaitu: aspek teknik dan aspek musikalitas.
Aspek teknik dalam musik Jazz tidak berbeda dengan aspek teknik musik Klasik.
Ada latihan dexteritas, speed, accuracy, finger jump, sampai bagaimana mengolah tone yang colorful. Jadi semestinya,
seseorang harus lulus tingkat lanjut (advanced)
terlebih dahulu, jika dia ingin belajar Jazz dengan lancar dan menyenangkan. Yang
membedakan Jazz dengan genre musik
lain, dari sudut pandang belajar, adalah musikalitas dan bahwa Jazz memiliki ragam
improvisasi yang sangat khas.
Aspek musikalitas
dalam Jazz tidaklah hal yang bisa dipelajari dengan gampang. Jazz tidak seperti
musik Klasik yang literer. Dalam musik Klasik, jika seseorang berhasil
membunyikan teks secara persis seperti yang tertulis, dapatlah dikatakan orang
tersebut sudah menghadirkan musik yang klasik. Lain halnya dengan Jazz - ada touch, feel, dan nuance yang
membutuhkan sublimasi tinggi. Lagu “In The Mood” dari Glenn Miller misalnya, pada bagian
awal secara teori memang berupa rangkaian semiquaver.
Namun, dalam Jazz ada aksen-aksen tertentu yang menjadikan “In The Mood” sungguh Jazz dan aksen seperti ini tidak bisa
dipelajari hanya dengan guru Jazz yang punya reputasi. Orang harus sublim di
dalamnya. Dengan cara masuk dalam pergaulan
komunitas Jazz ataupun sering mendengar Jazz.
Saat saya belajar Jazz pada
Alm. Jack Lesmana, saya dipinjami
sekoper kaset. Dengan pesan agar didengar dan didengarkan sesering mungkin. Bukan
untuk meniru kaset, melainkan agar nuansa dan touch, serta feel Jazz
benar-benar merasuk dalam sanubari bahkan alam bawah sadar kita. Saya tahu
persis bahwa Alm. pianis Bubbi Chen pun
melakukan hal yang sama bagi muridnya.
IMPROVISASI
Berikutnya adalah
improvisasi. Improvisasi Jazz sangat kompleks untuk dipelajari. Jazz
improvisation bisa ditelaah secara metodik dan ilmiah. Namun hal itu sangat
memusingkan, karena orang harus mengenal harmoni open-close terlebih dahulu. Baru kemudian diperkenalkan dengan
konsep “Black Harmony” dan harmoni progresif. Barulah dia bisa mulai
tertatih-tatih untuk ber-improvisasi, dan hal demikian sangat membutuhkan waktu
panjang.
Banyak komposer
menyadari bahwa menjadikan seseorang mampu ber-improvisasi adalah sebuah hal
yang menuntut intensitas dan totalitas luar biasa. Itulah sebabnya, komposer
seperti Christopher Norton, Mike Cornick
memperkenalkan konsep “Jazz Literer”. Dalam Jazz literer, improvisasi
tidak dilakukan spontan melainkan ditulis sepenuhnya. Daniel Barenboim pun main Jazz dengan konsep Jazz Literer. Daniel
Barenboim adalah legenda musik Klasik, jadi rupanya agak aneh baginya jika
melakukan sesuatu yang sifatnya spontan. Banyak kritik terhadap Jazz literer
semacam ini. Para musikolog menganggap Jazz literer belum bisa disebut Jazz, karena
improvisasinya bukan pengembangan potensi pemainnya melainkan sudah ditulis dan
di plot oleh komposernya. Bagi saya pribadi, Jazz literer ok ok saja, sejauh
rasa Jazz nya tetap terjaga.
Belajar Jazz
adalah sebuah keniscayaan jika tidak dilatari dengan dasar musik yang mumpuni. Jadi,
sebaiknya jika parents mengantar
anaknya untuk belajar Jazz, teliti dahulu menu apa yang ada di sekolah musiknya.
Karena jangan-jangan hanya tersedia menu Jazz-Jazz
an belaka.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.