"MUSIK JAZZ VS MUSIK KLASIK"
by: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato, September 2013
Judul artikel kali ini bisa saja dirasa
sangat provokatif - menghasut maupun membakar. Dan bagi sebagian orang sah-sah
saja menganggap judul tersebut sangat berlebihan. Dan memang, tidak pada
tempatnya jika Musik Jazz “dipertarungkan” dengan Musik Klasik. Dan “vs” pada
judul juga tidak saya maksudkan sebagai sebuah versus. Seperti layaknya
pertandingan tinju dan gulat, ”vs” atau versus dalam judul artikel ini adalah
sebuah komparasi pemahaman konsep. Dan tentu saja hasil akhirnya bukanlah mana
yang terbaik, melainkan pemahaman secara konseptual akan kedua genre musik
tersebut.
MUSIK KLASIK
Banyak diantara kita, yang secara
“mendengar” pasti akan dapat membedakan, mana yang Musik Klasik dan mana yang
Musik Jazz. Namun jika diminta untuk mendeskripsi dengan kata-kata, masih
teramat sangat banyak orang yang bingung. Padahal dalam batasan tertentu, pendeskripsian
dengan kata-kata adalah salah satu tolok ukur pemahaman seseorang akan sesuatu.
Secara sederhana, MUSIK KLASIK dimaknai sebagai:
“The
art music produced in, or rooted in, the traditions of Western liturgical and secular
music, encompassing a broad period from roughly the 11th century to present
times.
The
central norms of this tradition became codified between 1550 and 1900,
which
is known as the common practice period.”
Kutipan dari:
"Classical",
The Oxford Concise Dictionary of Music, ed. Michael Kennedy,
(Oxford, 2007), Oxford Reference Online.
Dari pembatasan popular tersebut, ada
beberapa unsur yang layak dicermati. Untuk sekedar membuat klasifikasi atau
penggolongan musik mana yang dapat dikatakan sebagai Musik Klasik.
- “Art music” atau Musik Seni.
Artinya musik industri sulit
untuk bisa dikatakan sebagai Musik Klasik. Art
music atau Musik Seni adalah karya musik yang diproses dengan konsep dan
ide serta teknik garapan yang “jelas.”
- “Western liturgical & secular music”
Artinya, Musik Klasik berakar
pada budaya dunia barat. Unsur budayanya adalah Musik Religi dan Musik Sekuler
atau non religi, termasuk Musik Rakyat yang menjadi tradisi.
- “Codified between ….”
Artinya, Musik Klasik adalah
seni bunyi yang bersifat sangat literer. Literatur atau sumber bacaannya sangat
jelas, karena Musik Klasik telah mengalami proses kodifikasi.
- “Common practice period”
Ada periodisasi atau rentang
era dalam konsepsi Musik Klasik, maupun dalam wujud realitanya.
MUSIK JAZZ
Kini kita akan menelisik sejenak, apa yang
disebut dengan Musik Jazz. Secara popular dan sangat sederhana, Jazz dapatlah
dimaknai sebagai:
“A music genre that originated at the beginning of the 20th century, arguably earlier, within the African-American communities of the Southern United States. Its roots lie in the adoption by African-Americans of European harmony and form, taking on those European elements and combining them into their existing African-based music. Its African musical basis is evident in its use of blue notes, improvisation, polyrhythms, syncopation and the swung note.”
kutipan dari:
Alyn
Shipton, A New History of Jazz, 2nd ed., Continuum, 2007, pp. 4–5
Per definisi jelas terbaca bahwa Musik
Jazz adalah genre musik yang muncul di awal abad ke-20, berbeda dengan Musik Klasik
yang jauh lebih tua. Sama dengan Musik Klasik, Musik Jazz juga memiliki akar
budaya dari sebuah tradisi. Jika Musik Klasik berakar pada budaya Eropa, maka Musik
Jazz berakar pada asimilasi kultural antara Amerika dan Afrika. Asimilasi ini
menjadikan Musik Jazz sangat unik, karena Musik Jazz menjadi sangat kaya dan
diperkaya - kaya oleh elemen kultur Musik Amerika, yang notabene senafas klasik
Eropa; juga kaya dan diperkaya oleh kultur Musik Afrika yang sangat rumit dan
spontan.
UNSUR
MUSIK JAZZ
- Blue note
Unsur utama Musik Jazz, yang
sekaligus adalah jiwa Jazz itu sendiri adalah: “Blue Note.” Blue note tidak sekedar scale atau tangganada. Blue note adalah warna khas, seperti cengkokan dalam Musik Gamelan Jawa.
- Improvisasi
- Poliritmik
Berbeda dengan Musik Klasik,
Musik Jazz memiliki pola irama yang tidak hanya semacam. Belum lagi ditambah
sistem metrik adiksi: 3/4 mendadak jadi 4/4, atau bahkan 5/4 yang mendadak bisa
saja dengan luwesnya menjadi 12/8. Hal demikian sebetulnya adalah sebuah konsekuensi
logis pada genre musik yang sudah mengalami peleburan dengan Musik Tradisi
etnik tertentu. Dalam Musik Etnik non barat, sudah sangat biasa adanya pola
ritmik yang adiktif.
- Swung note & syncopation
sumber: clemens theory
Dalam Musik Jazz, budaya
Afrika akan semakin nyata pada sinkopasi dan swung note. Pada Musik Eropa, sinkopasi lebih kepada penghidupan
karakter musik, Sedangkan dalam budaya Musik Jazz, sinkopasi adalah jati diri dari
Musik Jazz itu sendiri. Swung Note dapatlah
dipadankan sebagai not-not atau nada-nada yang “bergelayutan”. Nada bergelayutan
inilah yang merupakan ciri utama Musik Jazz sekaligus adalah esensi dari rasa
Jazz. Tanpa ada swung note, sajian
Musik Jazz akan terasa sangat hambar dan sangat tidak Jazz.
sumber: scaletrainer
sumber: vanwezel
KONSEP
DAN TEMA
DALAM MUSIK KLASIK DAN MUSIK JAZZ
Dari sisi kompositoris, mungkin sedikit
menarik untuk mengamati sekilas proses kreasi Musik Klasik dan Musik Jazz. Sebagai
sebuah budaya literer, komposisi Musik Klasik digarap secara terkonsep. Musik Jazz
juga terkonsep, namun harus tetap diingat bahwa Jazz bukanlah sebuah ranah
budaya literer. Garapan komposisi dalam ranah literer membutuhkan detail dan
alur garapan yang diupayakan menjadi sangat logis.
Tema dalam Musik Klasik bisa memiliki
durasi lama dan tentu sangat kompleks - terutama dalam segi format dan teknik
musikalitas. Sementara tema dalam Musik Jazz seringkali hanya sebuah melodi
satu jalur dan terdiri hanya beberapa bar saja. Lazimnya dilengkapi dengan simbol
akor. Simbol akor inipun bersifat sebagai usulan semata. Tema dalam Musik Jazz
memang singkat, karena jiwa dari Jazz adalah improvisasi. Jika temanya sudah
sedemikian panjang dan rumit, tentu akan sangat menyulitkan dan merepotkan
pemain Jazz untuk melakukan improvisasi.
Glenn Miller "In The Mood"
IMPROVISASI
DALAM MUSIK MUSIK KLASIK DAN MUSIK JAZZ
Satu hal yang sering menjadi buah bibir
dan sering disalah maknai adalah seputar IMPROVISASI.
Orang latah menganggap bahwa improvisasi
hanya ada pada Musik Jazz. Sementara Musik Klasik hanya seperti kerbau yang
tambun gembrot yang hanya bisa main sambil baca naskah. Improvisasi sebetulnya
adalah upaya untuk meng-improve atau
meningkatkan mutu tema sebuah musik. Apa yang ditingkatkan? Banyak! Melodinya
dipercantik, harmoninya diperkaya, tekniknya ditambah, bahkan nuansanya bisa
saja diubah. Musik Klasik sebetulnya sangat mengenal improvisasi. Bach, Mozart, Beethoven adalah para
pionir improvisasi pada jamannya.
Yang membedakan improvisasi pada Musik Klasik
dan Musik Jazz adalah SPONTANITAS nya. Hal ini pun seyogyanya ditelisik dengan
mengacu pada music history. Jaman Bach,
improvisasi dilakukan spontan. Seketika dan saat itu juga atau real time. Kemudian improvisasi dalam
Musik Klasik mulai diwadahi dalam bentuk karya musik, yakni dimasukkan dalam
bagian CADENZA. Dalam Cadenza, solis dituntut untuk berimprovisasi spontan, seringkali
bisa berdurasi lama, dan memamerkan kemampuan tekniknya. Kemudian Mozart, mengeluarkan sebuah pernyataan
keras. Mozart mengatakan dan tegas menyatakan bahwa urusan mengisi cadenza adalah ranah komposisi. Ajang
bagi komposer. "Jadi para pemain, nggak
usah lah ikut-ikut bikin-bikin kalimat improvisasi!" Cukup improvisasi
dibuatkan komposer. Para pemain hanya tinggal memainkannya saja. Sejak saat
itu, tidak marak lagi improvisasi dalam Musik Klasik yang dilakukan pemain dan
secara spontan.
Bagaimana halnya dengan improvisasi dalam
Musik Jazz? Jiwa Jazz memang adalah improvisasi. Dalam ranah Musik Jazz
improvisasi dilakukan spontan dan real
time. Namun jika betul-betul kita cermati, hanya sedikit pemain Jazz yang
benar-benar mampu melakukan improvisasi secara spontan. Mereka adalah para
Jazzer seperti: Sonny Rollins, Miles
Davis, John Coltrane, Wes Montgomery, dan tentu saja Al Jarreau, Chick Corea dan si legenda George Benson. Para Jazzer lainnya melakukan improvisasi dengan
dikonsep terlebih dahulu. Dikonsep dalam artian, ditentukan dulu modus
tangganadanya. Pola arpeggio, kemudian
mana klimaks dan anti klimaksnya serta dilakukan penyesuaian antara musikalitas
dan teknik yang ingin dipertontonkan pada publik.
Dewasa ini timbul kecenderungan yang bagi
saya sangat menarik untuk dicermati dan disikapi. Jaman sekarang, sarana untuk
menulis score sudah sedemikian
canggihnya. Juga sarana untuk memainkan CD ataupun video. Orang bisa sangat
cermat menotasikan improvisasi pemain Jazz, dalam taraf yang sangat rumit
sekalipun. Dan notasi improvisasi tersebut dibukukan dan bisa diakses siapa
saja. Yang terjadilah adalah, orang bisa sangat santai bermain Jazz dengan
membaca score nya saja, tanpa perlu
repot-repot mengasah rasa untuk mampu
berbicara dalam improvisasi. Fenomena ini dikenal sebagai JAZZ LITERER atau Jazz yang ditulis. Tidak ada yang salah dengan
fenomena ini. Juga tidak ada yang jelek dengan kehadiran fasilitas semacam ini.
Jazz tetaplah akan menjadi Musik Jazz dan Musik Klasik tetap pada ranahnya.
Jika masih boleh, dapatlah dikatakan
bahwa dari paparan ini, sudah sangat tidak relevan lagi mengkotak-kotakkan
musik sebagai Klasik atau Jazz. Semua berakar kokoh pada ranah kodratinya. Dan
akhirnya memang musik ditentukan oleh rasa. Dan rasa itu adalah PASSION
pemusiknya.
Mantaappp
ReplyDeleteYang jelas kedua musik diatas jazz dan classical music jelas,untuk orang pintar,jenius tingkat tinggi dan orang kaya pastinya...aku hobi musik klasik karya beethoven,atau romantic karya chopin
ReplyDelete