Friday 6 September 2013

"MUSIK JAZZ VS MUSIK KLASIK" - by: Michael Gunadi Widjaja (Artikel Staccato, Oktober 2013)

"MUSIK JAZZ VS MUSIK KLASIK"
by: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato, September 2013


Judul artikel kali ini bisa saja dirasa sangat provokatif - menghasut maupun membakar. Dan bagi sebagian orang sah-sah saja menganggap judul tersebut sangat berlebihan. Dan memang, tidak pada tempatnya jika Musik Jazz “dipertarungkan” dengan Musik Klasik. Dan “vs” pada judul juga tidak saya maksudkan sebagai sebuah versus. Seperti layaknya pertandingan tinju dan gulat, ”vs” atau versus dalam judul artikel ini adalah sebuah komparasi pemahaman konsep. Dan tentu saja hasil akhirnya bukanlah mana yang terbaik, melainkan pemahaman secara konseptual akan kedua genre musik tersebut.


MUSIK KLASIK
Banyak diantara kita, yang secara “mendengar” pasti akan dapat membedakan, mana yang Musik Klasik dan mana yang Musik Jazz. Namun jika diminta untuk mendeskripsi dengan kata-kata, masih teramat sangat banyak orang yang bingung. Padahal dalam batasan tertentu, pendeskripsian dengan kata-kata adalah salah satu tolok ukur pemahaman seseorang akan sesuatu.

Secara sederhana, MUSIK KLASIK dimaknai sebagai:

The art music produced in, or rooted in, the traditions of Western liturgical and secular music, encompassing a broad period from roughly the 11th century to present times.
The central norms of this tradition became codified between 1550 and 1900,
which is known as the common practice period.”

Kutipan dari:
"Classical", The Oxford Concise Dictionary of Music, ed. Michael Kennedy,
(Oxford, 2007), Oxford Reference Online.

Dari pembatasan popular tersebut, ada beberapa unsur yang layak dicermati. Untuk sekedar membuat klasifikasi atau penggolongan musik mana yang dapat dikatakan sebagai Musik Klasik.
  • “Art music” atau Musik Seni.
Artinya musik industri sulit untuk bisa dikatakan sebagai Musik Klasik. Art music atau Musik Seni adalah karya musik yang diproses dengan konsep dan ide serta teknik garapan yang “jelas.”
  • “Western liturgical & secular music”
Artinya, Musik Klasik berakar pada budaya dunia barat. Unsur budayanya adalah Musik Religi dan Musik Sekuler atau non religi, termasuk Musik Rakyat yang menjadi tradisi.
  • “Codified between ….”
Artinya, Musik Klasik adalah seni bunyi yang bersifat sangat literer. Literatur atau sumber bacaannya sangat jelas, karena Musik Klasik telah mengalami proses kodifikasi.
  • “Common practice period”
Ada periodisasi atau rentang era dalam konsepsi Musik Klasik, maupun dalam wujud realitanya.


MUSIK JAZZ

Kini kita akan menelisik sejenak, apa yang disebut dengan Musik Jazz. Secara popular dan sangat sederhana, Jazz dapatlah dimaknai sebagai:

“A music genre that originated at the beginning of the 20th century, arguably earlier,
within the African-American communities of the Southern United States. Its roots lie in the adoption by African-Americans of European harmony and form, taking on those European elements and combining them into their existing African-based music. Its African musical basis is evident in its use of blue notes, improvisation, polyrhythms, syncopation and the swung note.”

kutipan dari:
Alyn Shipton, A New History of Jazz, 2nd ed., Continuum, 2007, pp. 4–5

Per definisi jelas terbaca bahwa Musik Jazz adalah genre musik yang muncul di awal abad ke-20, berbeda dengan Musik Klasik yang jauh lebih tua. Sama dengan Musik Klasik, Musik Jazz juga memiliki akar budaya dari sebuah tradisi. Jika Musik Klasik berakar pada budaya Eropa, maka Musik Jazz berakar pada asimilasi kultural antara Amerika dan Afrika. Asimilasi ini menjadikan Musik Jazz sangat unik, karena Musik Jazz menjadi sangat kaya dan diperkaya - kaya oleh elemen kultur Musik Amerika, yang notabene senafas klasik Eropa; juga kaya dan diperkaya oleh kultur Musik Afrika yang sangat rumit dan spontan.

UNSUR MUSIK JAZZ

  • Blue note
Unsur utama Musik Jazz, yang sekaligus adalah jiwa Jazz itu sendiri adalah: “Blue Note.” Blue note tidak sekedar scale atau tangganada. Blue note adalah warna khas, seperti cengkokan dalam Musik Gamelan Jawa.


sumber: wikimedia
  • Improvisasi
  • Poliritmik
Berbeda dengan Musik Klasik, Musik Jazz memiliki pola irama yang tidak hanya semacam. Belum lagi ditambah sistem metrik adiksi: 3/4 mendadak jadi 4/4, atau bahkan 5/4 yang mendadak bisa saja dengan luwesnya menjadi 12/8. Hal demikian sebetulnya adalah sebuah konsekuensi logis pada genre musik yang sudah mengalami peleburan dengan Musik Tradisi etnik tertentu. Dalam Musik Etnik non barat, sudah sangat biasa adanya pola ritmik yang adiktif.
  • Swung note & syncopation
 sumber: clemens theory

Dalam Musik Jazz, budaya Afrika akan semakin nyata pada sinkopasi dan swung note. Pada Musik Eropa, sinkopasi lebih kepada penghidupan karakter musik, Sedangkan dalam budaya Musik Jazz, sinkopasi adalah jati diri dari Musik Jazz itu sendiri. Swung Note dapatlah dipadankan sebagai not-not atau nada-nada yang “bergelayutan”. Nada bergelayutan inilah yang merupakan ciri utama Musik Jazz sekaligus adalah esensi dari rasa Jazz. Tanpa ada swung note, sajian Musik Jazz akan terasa sangat hambar dan sangat tidak Jazz.

 sumber: scaletrainer
  
sumber: vanwezel
 
KONSEP DAN TEMA 
DALAM MUSIK KLASIK DAN MUSIK JAZZ

Dari sisi kompositoris, mungkin sedikit menarik untuk mengamati sekilas proses kreasi Musik Klasik dan Musik Jazz. Sebagai sebuah budaya literer, komposisi Musik Klasik digarap secara terkonsep. Musik Jazz juga terkonsep, namun harus tetap diingat bahwa Jazz bukanlah sebuah ranah budaya literer. Garapan komposisi dalam ranah literer membutuhkan detail dan alur garapan yang diupayakan menjadi sangat logis.

Tema dalam Musik Klasik bisa memiliki durasi lama dan tentu sangat kompleks - terutama dalam segi format dan teknik musikalitas. Sementara tema dalam Musik Jazz seringkali hanya sebuah melodi satu jalur dan terdiri hanya beberapa bar saja. Lazimnya dilengkapi dengan simbol akor. Simbol akor inipun bersifat sebagai usulan semata. Tema dalam Musik Jazz memang singkat, karena jiwa dari Jazz adalah improvisasi. Jika temanya sudah sedemikian panjang dan rumit, tentu akan sangat menyulitkan dan merepotkan pemain Jazz untuk melakukan improvisasi.

Glenn Miller "In The Mood"

IMPROVISASI 
DALAM MUSIK MUSIK KLASIK DAN MUSIK JAZZ

Satu hal yang sering menjadi buah bibir dan sering disalah maknai adalah seputar IMPROVISASI. Orang latah menganggap bahwa improvisasi hanya ada pada Musik Jazz. Sementara Musik Klasik hanya seperti kerbau yang tambun gembrot yang hanya bisa main sambil baca naskah. Improvisasi sebetulnya adalah upaya untuk meng-improve atau meningkatkan mutu tema sebuah musik. Apa yang ditingkatkan? Banyak! Melodinya dipercantik, harmoninya diperkaya, tekniknya ditambah, bahkan nuansanya bisa saja diubah. Musik Klasik sebetulnya sangat mengenal improvisasi. Bach, Mozart, Beethoven adalah para pionir improvisasi pada jamannya.

Yang membedakan improvisasi pada Musik Klasik dan Musik Jazz adalah SPONTANITAS nya. Hal ini pun seyogyanya ditelisik dengan mengacu pada music history. Jaman Bach, improvisasi dilakukan spontan. Seketika dan saat itu juga atau real time. Kemudian improvisasi dalam Musik Klasik mulai diwadahi dalam bentuk karya musik, yakni dimasukkan dalam bagian CADENZA. Dalam Cadenza, solis dituntut untuk berimprovisasi spontan, seringkali bisa berdurasi lama, dan memamerkan kemampuan tekniknya. Kemudian Mozart, mengeluarkan sebuah pernyataan keras. Mozart mengatakan dan tegas menyatakan bahwa urusan mengisi cadenza adalah ranah komposisi. Ajang bagi komposer. "Jadi para pemain, nggak usah lah ikut-ikut bikin-bikin kalimat improvisasi!" Cukup improvisasi dibuatkan komposer. Para pemain hanya tinggal memainkannya saja. Sejak saat itu, tidak marak lagi improvisasi dalam Musik Klasik yang dilakukan pemain dan secara spontan.

Bagaimana halnya dengan improvisasi dalam Musik Jazz? Jiwa Jazz memang adalah improvisasi. Dalam ranah Musik Jazz improvisasi dilakukan spontan dan real time. Namun jika betul-betul kita cermati, hanya sedikit pemain Jazz yang benar-benar mampu melakukan improvisasi secara spontan. Mereka adalah para Jazzer seperti: Sonny Rollins, Miles Davis, John Coltrane, Wes Montgomery, dan tentu saja Al Jarreau, Chick Corea dan si legenda George Benson. Para Jazzer lainnya melakukan improvisasi dengan dikonsep terlebih dahulu. Dikonsep dalam artian, ditentukan dulu modus tangganadanya. Pola arpeggio, kemudian mana klimaks dan anti klimaksnya serta dilakukan penyesuaian antara musikalitas dan teknik yang ingin dipertontonkan pada publik.

Dewasa ini timbul kecenderungan yang bagi saya sangat menarik untuk dicermati dan disikapi. Jaman sekarang, sarana untuk menulis score sudah sedemikian canggihnya. Juga sarana untuk memainkan CD ataupun video. Orang bisa sangat cermat menotasikan improvisasi pemain Jazz, dalam taraf yang sangat rumit sekalipun. Dan notasi improvisasi tersebut dibukukan dan bisa diakses siapa saja. Yang terjadilah adalah, orang bisa sangat santai bermain Jazz dengan membaca score nya saja, tanpa perlu repot-repot  mengasah rasa untuk mampu berbicara dalam improvisasi. Fenomena ini dikenal sebagai JAZZ LITERER atau Jazz yang ditulis. Tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Juga tidak ada yang jelek dengan kehadiran fasilitas semacam ini. Jazz tetaplah akan menjadi Musik Jazz dan Musik Klasik tetap pada ranahnya.

Jika masih boleh, dapatlah dikatakan bahwa dari paparan ini, sudah sangat tidak relevan lagi mengkotak-kotakkan musik sebagai Klasik atau Jazz. Semua berakar kokoh pada ranah kodratinya. Dan akhirnya memang musik ditentukan oleh rasa. Dan rasa itu adalah PASSION pemusiknya.


2 comments:

  1. Yang jelas kedua musik diatas jazz dan classical music jelas,untuk orang pintar,jenius tingkat tinggi dan orang kaya pastinya...aku hobi musik klasik karya beethoven,atau romantic karya chopin

    ReplyDelete

Note: only a member of this blog may post a comment.