"IMPRO"
Artikel STACCATO Juli 2012
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Saat orang mendengar pieces Jazz, tanpa harus mengadakan
penelaahan yang rumit, langsung dapat dikenali bahwa saat itu sedang
dikumandangkan pieces Jazz. Lalu apa
sebetulnya yang secara instingtif membuat orang langsung mengenali sebuah performance sebagai Jazz?
Beberapa orang
mengatakan bahwa “akor miring”
(disonan) lah yang menjadikan Jazz spontan dapat dikenali. Anggapan ini tak
sepenuhnya tepat. Jaman Dixieland dan juga masa-masa Louis Armstrong, Jazz hadir nyaris
tanpa harmoni disonan. Toh tetap saja
orang gampang mengenalinya sebagai Jazz. Ada lagi yang berujar bahwa sinkopasi
lah yang menjadikan Jazz spontan dikenali - anggapan ini dalam beberapa konteks
juga tidaklah pas. Sebab sinkopasi bukan monopoli dan bukan ciri monopolis Jazz.
Musik etnik bahkan seperti Jathilan Jawa
Tengah pun mengeksplorasi sinkop.
Dalam ranah studi
musik dikatakan bahwa jiwa Jazz adalah improvisasi. Pernyataan ini memang
benar, namun persoalannya adalah improvisasi yang bagaimana yang merupakan jiwa
sekaligus ciri utama musik Jazz. Sebab jangan sampai terlupa, di era J.S Bach pun improvisasi sudah
sedemikian maraknya. Menarik untuk diungkap sampai seberapa dalam peran
improvisasi bagi identitas Jazz. Karena setidaknya, permenungan mengenai hal
tersebut dapat menyemburatkan pemaknaan yang lebih dalam esensinya tentang
keberadaan Jazz itu sendiri.
Improvisasi, sering
disebut sebagai IMPRO saja. Saat saya berguru pada almarhum Jack Lesmana, beliau dengan arif
memberi pengantar pada pelajaran impro dengan berkata sebagai berikut: “Michael, perlu kamu pahami: nada-nada dalam
komposisi musik bisa lahir dalam hitungan menit, jam, hari, minggu, bulan -
bahkan bertahun-tahun. Tapi nada-nada dalam impro, hanya lahir dalam seper
sekian detik saja. Bahkan seringkali nada-nada tersebut hadir sebelum otak
sempat bekerja…”
Secara sederhana, impro
dalam Jazz sama lazimnya dengan impro dalam genre
musik lainnya: mengandalkan olahan rasa dan spontanitas. Tentu saja ada satu
faktor yang sangat menentukan bagi lahirnya sebuah impro, yakni TEKNIK
INSTRUMENTASI. Tanpa teknik bermain yang mumpuni, apa yang bisa dibuat untuk
berimprovisasi. Itulah mengapa pelajaran Jazz piano atau Jazz gitar pada tahap
awal, tak ubahnya seperti pelajaran musik klasik pada umumnya. Karena dasar
teknik sangat menentukan agar orang bisa berimprovisasi secara “baik”. ”Baik”
dalam artian sejalan senada seirama dengan passion-nya.
Impro dalam Jazz
dalam esensinya adalah to improve the theme phrase atau
meningkatkan frase temanya. Dan tentu, upaya peningkatan ini dilakukan secara
spontan. Belakangan banyak beredar buku-buku yang memuat pieces Jazz namun tanpa impro atau impro nya sudah sekalian
dituliskan. Seperti Jazz piano oleh Mike
Cornick, Pauline Hall dan, Robert
D.Vandall. Jadi impro dilakukan tak spontan lagi. Fenomena ini dilakukan
juga oleh maestro seperti Daniel
Barenboim. Ranah studi musik menyebut fenomena ini sebagai JAZZ LITERER atau Jazz yang di “tulis”.
Impro dalam Jazz
memiliki gaya dan musical approach
tersendiri dan sangat khas. Menjadi menarik saat kita menengok ke belakang
sejenak saat awal-awal Jazz menyatakan kelahirannya.Pianis Jazz masa awal,
seperti Art Tatum bukanlah seorang
yang mengenyam pendidikan akademik dalam musik. Secara naluri dan instingtif Art
Tatum memainkan frase melodi dengan menggabungkan identitas kulturalnya. Hal
ini menarik bagi para musikolog, antara lain Benny Goodman - sang master Jazz klarinet. Orang-orang seperti Benny
Goodman mencoba mengungkap “rahasia”. Apa yang menjadikan alur melodi yang
dimainkan pianis seperti Art Tatum dapat begitu unik dan sungguh orisinil.
Hasilnya adalah
sebuah studi. Bahwa senantiasa ada unsur improvisasi dalam alur frase melodi Jazz
dan ragam improvisasi ini ternyata merujuk pada CHURCH MODE atau tangga nada Gereja Roma Katolik kuno. Tangga nadanya
sendiri dikenal sebagai Tangganada Gregorian. Untuk menghormati Paus Gregorius yang mengumpulkan tangga
nada-tangga nada dalam modus yang sebetulnya adalah native culture atau budaya asli orang Yunani. Berbeda dengan tangga
nada Mayor dan Minor yang berporos sentral, dalam tangga nada Gregorian, semua nada dapat menjadi
poros bagi tangganada baru. Ada tujuh mode dalam tangga nada Gregorian, sbb:
CHURCH MODES
MODE
|
NAMA
|
NADA
|
I
|
Ionian
|
C D E
F G A B C
|
II
|
Dorian
|
D E F
G A B C D
|
III
|
Phrygian
|
E F G
A B C D E
|
IV
|
Lydian
|
F G A
B C D E F
|
V
|
Mixolydian
|
G A B
C D E F G
|
VI
|
Aeolian
|
A B C
D E F G A
|
VII
|
Locrian
|
B C D
E F G A B
|
Modus tersebut adalah
bahan baku bagi impro. Namun persoalannya adalah bagaimana modus-modus tersebut
diinteraksikan dengan tata harmoni yang juga memiliki aturannya tersendiri. Tentang
tata harmoni dalam hubungannya dengan impro(visasi), pernah ada joke begini: Kalau misalnya, pianonya membunyikan chord C, trus gitarnya membunyikan
chord G dalam waktu yang bersamaan, mungkin apa tidak ya? Orang yang
skeptis pasti langsung teriak-teriak kebakaran jenggot ”GILA!!! YA TIDAK MUNGKIN DONG !!! KAN FALS tuh”. Dalam Jazz hal
tersebut sangat mungkin dan malah bagus, sebab akor C dan G jika berbunyi
bersamaan akan menghasilkan akor CMaj7(9).
Sepintas, impro dan
konteksnya nampak sangat rumit. Dan kesemuanya itu harus dilakukan dalam sebuah
kesesaatan in the real time and spontaneos. Untuk mencapai hal ini, tidak
ada jalan lain selain sublim menjadi Jazz. Dan.ini membutuhkan waktu, proses,
dan jam terbang yang tinggi. Pada hakekatnya, Jazz menawarkan sebuah ekstase
rasa dalam ranah spontan yang tetap terukur.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.