Saturday 29 December 2012

YANG UTAMA TENTANG PIANO DIGITAL


YANG UTAMA TENTANG PIANO DIGITAL




Terlebih dahulu dijawab pertanyaan sebagai berikut : MENGAPA ORANG MEMBUAT PIANO DIGITAL ?

Portabilitas
Orang jaman sekarang sangat sulit mendapatkan rumah tinggal ataupun ruang kerja yang luas.Tanah semakin terbatas dan semakin membubung tinggi harganya.Orang jaman sekarang tinggal dalam ruang yang relative tidak luas.Apartemen,Condominium,rumah mungil.Semua itu sangat tidak memungkinkan bagi kehadiran sebuah piano sejati.Baik itu Upright piano model,apalagi Grand Piano.Karena bunyi piano akan sangat memekakkan telinga dalam ruang sempit tersebut.Juga piano sejati memiliki bobot yang aduhai montoknya,sehingga nyaris tak mungkin dipindah-pindah dengan leluasa.

Price
Piano adalah primadona dalam musik.Piano sendiri secara fisik,sudah menjadi artefak seni.maka harganyapun wuuuiiiiihhhhh…membubung melangit melintir.Tidak pernah ada piano baru berharga jutaan !!! Termurah dan kelas abal-abal tambal sulam saja pasti di atas 20 jutaan.Bagi orang jaman sekarang,dimana persaingan profesi dan usaha demikian ketat,sangat riskan jika mengeluarkan puluhan juta.Kecuali jika si orang tersebut atau keluarganya benar-benar berminat untuk bermain piano.

Challenge
Kemajuan teknologi di jaman sekarang ini sungguh luar biasa.Orang dapat dengan gampang menimba dan mengasah selera musiknya.Orang bisa dengan gratis malahan menyaksikan rekaman pianis-pianis top dunia.Keadaan ini membuat tuntutan masyarakat terhadap kemampuan sang pianis,menjadi semakin tinggi.Konsekuensinya,seorang pianis jaman sekarang harus lebih sering latihan.Dimanapun,kapanpun.Termasuk dalam kamar hotel menjelang resital.Dan jelas,keadaan ini tidak dapat diakomodir oleh piano sejati.

Maka dibuatlah Piano Digital.Apa itu piano digital.

PIANO DIGITAL ADALAH MURNI PIANO,HANYA SAJA BEKERJA DENGAN SISTEM DIGITAL.DAN AGAR SISTEM DIGITAL DAPAT BEKERJA DIBUTUHKAN ARUS LISTRIK.

Piano digital BUKANLAH PIANO ELECTRIC,meski sama-sama membutuhkan arus listrik.Piano electric adalah sebuah instrument electronic yang bunyinya sama sekali tidak mirip secuilpun dengan piano sejati. Contoh piano electric yang paling popular adalah RHODES PIANO dan juga RHODES SUITCASE yang bisa dikemas seperti kopor.



Piano Digital vs intelligent keyboard
Orang sering mengatakan begini : “ Ah..beli keyboard saja.Toh kan jumlah tuts nya banyak juga..oktafnya sama kayak piano…trus juga bisa keras lembut tuh…”
Tidak sesederhana itu.Piano digital MUTLAK MENGGUNAKAN HAMMER ACTION !!! yakni mekanik seperti palu pemukul senar pada piano sejati.Sedangkan intelligent keyboard (juga synthesizer) tercanggih pun,tidak menggunakan hammer action.Melainkan menggunakan teknologi Touch Sensitivity.Mengapa  keyboard tidak pakai hammer action.Ingat…..keyboard memiliki aneka bunyi tiruan alat musik.Jika memakai hammer action,maka beberapa bunyi alat musik seperti Brass,akan sangat sulit dieksekusi.

Piano Digital vs Stage Piano
Contoh Stage Piano yang paling popular adalah ROLAND seri RD.Dalam stage piano banyak fitur yang diperlukan bagi keperluan show di panggung.Layar LCD yang terang,agar jika tampil penari bugil,dalam keadaan lampu temaram,si pianis masih bisa main piano.Juga adanya sequencer atau perekam frase musik.Ini diperlukan jika mendadak ada permintaan lagu yang menuntut keberadaan irama perkusif.Fitur-fitur demikian tidak ada dalam piano digital,karena ya memang tidak dibutuhkan.



KEUTAMAAN
Piano digital adalah sebuah piano.Murni sebuah piano.Oleh sebab itulah,sebuah piano digital harus mampu memerankan fungsi piano sejati.Dalam artian,dapat memainkan semua genre musik.Dari mulai kelas Twinkly Twinkly Little Brat sampai karya Chopin,dan bahkan Gyorgy Ligetti sekalipun.Tuts piano digital harus sempurna.Tuts harus mampu mengakomodir dan diperkosa oleh gerakan jemari yang paling ekstrem sekalipun.Salah satunya adalah teknik REPEATED HAMMERING.

Yang saya saksikan sendiri adalah bahwa PIANO DIGITAL KAWAI MAMPU MENCAPAI TUNTUTAN sedemikian.Miss Jelia Megawati Heru,M.Mus.Edu pernah melakukan test langsung di pabrik KAWAI MUSIK INDONESIA dan terbukti Piano digital Kawai mampu di eksekusi untuk teknik repeated hammering.

Hal lain adalah,bahwa piano digital bekerja dengan teknik sampling.Bunyi piano sejati,direkam,kemudian oleh micro processor sample nya diubah dari analog menjadi digital.Kemampuan mensampling ini bergantung pada jumlah cacah sampling.Semakin tinggi nilai ambang rata-ratanya,bunyinya akan semakin mirip piano sejati.Pada piano digital kebanyakan,bunyi piano sejati yang direkam hanya pada bagian middle oktaf saja.SEMENTARA PADA PIANO DIGITAL KAWAI,SEMUA BUNYI TUTS PIANO SEJATI TAK ADA YANG TERLEWATKAN DIREKAM DAN DIPROSES SAMPLING.





The choice is yours..but DON’T FORGET THAT KAWAI IS THE FUTURE OF THE PIANO.


Tuesday 25 December 2012

CATATAN SEPUTAR CHRISTMAS CAROL


CATATAN SEPUTAR CHRISTMAS CAROL


SILENT NIGHT
Syair ditulis oleh Joseph Mohr dan lagu adalah komposisi Franz Gruber.Lagu ini memang diperuntukkan bagi perayaan Natal.Terjadi tatkala orgel Gereja setempat mendadak rusak dikrikitin tikus.Pater Joseph Mohr yang kebingungan secara tanpa sengaja mengeluarkan gulungan kertas lusuh dari saku jubahnya.berisi syair yang pernah ditulisnya.Kemudian dia menyerahkan syair tersebut kepada Franz Gruber,seorang guru SD yang juga pemain gitar,untuk digubah menjadi lagu.SILENT NIGHT pertama kali diperdengarkan pada 1818 di Gereja Santo Nicholas Obendorf.


ADESTE FIDELES
Ditulis pada abad 13 dan diperuntukkan sebagai HIMNE.Banyak simpang siur seputar siapa komposernya.Beberapa musikolog meyakini bahwa Himne ini digubah oleh JOHN FRANCIS WADE.Dan dipopulerkan oleh Gereja Katolik Inggris.


JINGLE BELLS
 Ditulis oleh James Lord Pierpont (1822–1893) dan pertama kali dipublikasikan dengan title "One Horse Open Sleigh" pada musim gugugr 1857. Jingle Bells lebih popular sebagai Lagu natal meskipun sebetulnya ditulis bagi perayaan syukur pada Thanksgiving Day.


The First Noel
Judul aslinya adalah The First Nowell (sering ditulis sebagai The First Noël) adalah lagu tradisional Inggris yang kemudian menjadi “klasik”.,Banyak sejarawan music menganggap lagu ini berasal dari abad 18 atau lebih awal.Kata “NOEL” berasal dari bahasa Perancis yang maknanya adalah NATAL atau kelahiran.Pertama kali dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul Carol Ancient and Modern terbitan 1823
JOT TO THE WORLD
Syair nya adalah PSALM 98 dalam Kitab Suci Katolik.Sebetulnya syair lagu ini lebih bersifat memuliakan Yesus dalam penyelamatan dan kemuliaanNya ketimbang lagu kelahiran Juru Selamat.Musiknya adalah komposisi Lowell Mason pada tahun 1839.Namun banyak musikolog yang menganggap Lowell mason hanya mengadaptasi dari melodi karya Georg Friedrich Handel


Saturday 22 December 2012

TABEL ORNAMENTIK dari JOHANN SEBASTIAN BACH


TABEL ORNAMENTIK dari JOHANN SEBASTIAN BACH


Salah satu upaya untuk dapat memainkan musik Bach dengan pas,adalah memahami tata gramatik dan retorik musical nya.Bach sudah mewariskan semacam petunjuk bagi orang yang INGIN MEMUSIKKAN MUSIK BACH.Salah satu petunjuknya adalah TABEL ORNAMEN.Hal ini memang bukan satu-satunya pedoman dalam memainkan musik Bach.namun setidaknya satu masalah terselesaikan.yakni kita menjadi tahu pasti,sebetulnya apa yang Bach kehendaki dengan simbolisme ornament pada musiknya.


Tabel ornament berikut ini, adalah transkripsi yang terdapat dalam buku Wilhelm Clavier-Büchlein vor Friedemann Bach.Buku tersebut ditulis sendiri oleh Johann Sebastian Bach sebagai pedoman untuk pelajaran dan latihan keyboard putra sulungnya. (Naskah asli manuskrip Bach,saya sertakan sebagai sajian hasil scanner)


 Judul tabel dalam bahasa Jerman ,yang dapat dipadankan sebagai "Penjelasan tentang berbagai tanda ornamentik,dan petunjuk cara memainkan ornamen tertentu dengan benar."
 
Tabel tersebut terdiri dari dua jalur dengan dua system paranada.Jalur paranada yang atas adalah notasi penulisan.Sedangkan jalur di bawahnya adalah ilustrasi teknis pelaksanaannya.

Dalam transkripsi dipergunakan Treble Clef atau kunci G.Sementara manuskrip asli Bach mempergunakan kunci sopran.Kunci sopran marak digunakan para composer sekitar abad 18.Namun di jaman modern seperti sekarang ini,lebih lazim digunakan treble Clef.

Nampaknya perlu diberi catatan secara khusus dan diingatkan kembali,bahwa pelaksanaan ornamen sering bervariasi pada abad ke-18 dari negara ke negara dan dari komposer di tiap negara.jadi setidaknya kita memiliki sebuah patokan khusus tentang apa yang dimaksudkan Bach dalam ornamen musiknya.
Willard A,Palmer memberi penekanan bahwa tabel ornamentik Bach ini hanya berupa konfigurasi secara umum saja dan hanya bermanfaat sebagai contoh jika dibunyikan dalam tempo moderato.

Keberadaan tabel ornament dari Bach,tidak dengan sendirinya mengakhiri perdebatan tentang bagaimana musik Bach harus dimainkan.Hal yang paling controversial,dimunculkan oleh putra bach sendiri yakni Carl Philip Emmanuelle Bach atau CPE Bach.CPE Bach membuat essay tentang bagaimana musik ayahnya semestinya dimainkan.Essay tersebut memang berisi keterangan-keterangan.namun pada akhirnya,CPE Bach sampai pada kesimpulan bahwa musik Bach tidak perlu mendapat rekomendasi apapun untuk tetap sebagai musik Bach.Dan gaya permainan CPE Bach sangat berbeda dengan petunjuk warisan ayahnya.Meski demikian,para musikolog berpendapat : meski CPE Bach tidak sepenuhnya melafalkan retorika Bach,namun musik yang dibawakannya sudah sangat benar sebagai musik Bach.

Memang muaranya seakan mengalir pada passion.siapapun bach dan apapun gaya musik nya,telaah yang obyektif adalah dengan menggumuli retorika Bach melalui musikalitas yang passionate.

Monday 10 December 2012

"ASA KEMBARA" on STACCATO December 2012

"ASA KEMBARA"
The Exotic Indonesian Solo Violin Composition
by Michael Gunadi Widjaja
on STACCATO (December 2012)



get the score: CLICK HERE

ASA KEMBARA is a piece for unaccompanied solo violin. 
It's made ​​to meet the wishes of Prof. Mathias Boegner
for the performance in Thailand (2011). 

Prof Mathias wanted a composition that is "new" 
with Indonesian atmosphere. 
 Because the piece for the unaccompanied solo violin 
from Indonesian composer is still rare.

ASA portray sound of wanderer of Asa or expectations, 
that longing for satisfaction. 
The instinct and desire that wanders after the wild lust, flirtation and pain.


The composition landscape of wanderer could be heard 
from the music that's written without bars. 
The odyssey of hope is not "constrained" by a certain meters. 

The primary material is the sound it selves. 
It sounds very dissonant tone and lots of clashes, 
because in the wanderings, 
a hope almost never resolved in an absolute harmony.
 
Hear "Asa Kembara" HERE
 

"Cara Mendengarkan Jazz" - Staccato Desember 2012



“CARA MENDENGARKAN JAZZ”
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel STACCATO (Desember 2012)


Membaca judul tulisan ini, mungkin ada, 
dan bahkan mungkin banyak pembaca yang akan bertanya: 
“Waduuuhh… begitu rumitkah Jazz 
sehingga harus ada cara (khusus) untuk mendengarkannya?“

Mari kita lihat kembali satu adagium yang sangat terkenal dalam music Jazz. Bahwa Jazz tak pernah dapat dimengerti, namun selalu dapat dinikmati. Bertolak dari adagium ini, sepintas kita bisa memiliki persepsi bahwa Jazz memang sungguh rumit, karena tak pernah dapat dimengerti. Namun jika kita mau sedikit bersusah payah melakukan permenungan, mestinya kita sampai pada sebuah benang merah. Bahwa Jazz tak pernah dapat dimengerti, karena memang TIDAK PERLU untuk dimengerti. Jazz berbeda dengan Musik Klasik yang sangat mengandalkan script dan konsep yang terancang dalam komposisinya. Jazz dijiwai oleh improvisasi, yang tak dapat dipungkiri, sekian persennya adalah jiwa spontanitas. Dengan demikian, menikmati Jazz “hanya mungkin” dengan mendengarkan dan bukan sekedar mendengar. Mendengarkan Jazz adalah sebuah ranah telaah tersendiri. Bukan karena kerumitannya, melainkan karena ada unsur seni mendengarkan yang melekat kepadanya.


Mengawali penjelajahan kita pada ranah mendengarkan Jazz, kita akan bertolak dan berpijak pada Jazz sebagai sebuah pagelaran. Saya katakan pagelaran dan bukan pertunjukan. Karena pada esensinya Jazz itu dipagelarkan bukan dipertunjukkan apalagi dipertontonkan. Perlu dicatat, bahwa pemaknaan istilah ini mengandung denotasi dan konotasi bahwa Jazz adalah sebuah musik seni. Sebuah musik yang mengharuskan adanya bentuk apresiasi, apapun itu. Dan bukan sekedar tontonan sebagaimana halnya dengan penyanyi yang sengaja mempertontonkan pusar dan bulu ketiaknya.

Dalam pagelarannya, Jazz sejati, terutama pada masa awal populernya, tak ubahnya seperti Music Folklore. Itulah mengapa banyak kritikus dan kolomnis musik yang menengarai Jazz sebagai sebuah bentuk music rakyat. Pagelaran Jazz sejati sangat mirip dengan pagelaran musik rakyat yang sangat folkloristik di berbagai bangsa. Pagelaran Jazz mirip dengan guyubnya gendhing yang pemain dan pengunjungnya berpadu dalam sebuah komunitas dan saling merasa “gayeng” serta “nggandhem nyamleng”. Pagelaran Jazz juga memiliki rasa akan pagelaran musik Flamenco dengan gairah dan celoteh yang hot dan bisa makin memanas. Orang sering mengira bahwa pertunjukan Jazz, ditilik dari respon pengunjung, berbeda dengan pagelaran Musik Klasik. Dalam batas tertentu, anggapan ini tidaklah salah. Namun perlu diketahui, pagelaran Opera di Italia, suasananya sangat berbeda dengan suasana konser seorang Daniel Barenboim misalnya. Pengunjung Opera di Italia bisa mendadak berteriak-teriak girang atau juga berteriak-teriak memaki-maki jika misalnya sang soprano sedikit keliru menyanyikan libretto-nya.

Jazz sejati diperdengarkan dengan mengikutsertakan respon pengunjungnya. Adalah lumrah, jika dalam pagelaran Jazz ada celoteh yang bernuansa religius seperti: “Oh God….Its Magnificent…God Bless The Sax Player….Hallelujah for Miles Davis…” Atau saat mendengar Ballad Swing, pengunjung memohon pengampunan dari yang Maha Kuasa dengan berceloteh: “God…give me Your deep Mercy” sambil terisak-isak menangis. Jangan kaget dan terkejut, jika dalam pagelaran Jazz tiba-tiba nyelonong sebuah celotehan yang “menjurus” aksi seksual seperti (mohon dimaklumi, maaf): “Move it bitch, come on shake your xxxxxxxxx…” atau juga saat mendengarkan alunan improvisasi dengan virtuositas tinggi terdengar celoteh ”Ohhh my God….xxxxxxxx….. it haaaaarrrddd! Damn you !”

 
SONNY ROLLINS

Inti paparan dalam paragraf tadi janganlah diartikan bahwa Jazz itu adalah adult material. Jazz untuk semua orang, bahkan untuk anak-anak. Adapun celoteh yang “menjurus ke arah seks” harus ditempatkan dalam status realita. Esensinya bukan pada celotehnya. Namun bahwa Jazz bisa didengarkan dengan cara aktif, berupa respon yang spontan dari audiens nya. Dan respon pengunjung ini sangat mempengaruhi improvisasi si performer. Saxophonist, Sonny Rollins adalah maestro Jazz yang sangat reaksioner terhadap respon dan celotehan pengunjung. Jika respon pengunjung dirasa pas dengan lanskap musikalitasnya, seorang Sonny Rollins mampu melakukan improvisasi secara total dan luar biasa dengan durasi hingga 40 menit non-stop! Ini setara dengan sebuah komposisi konserto pada era Mozart dan Beethoven.


Sisi lain cara mendengarkan Jazz adalah menikmati Jazz sebagai sebuah materi rekaman atau recorded material dan bukan recording material. Jika anda masih memiliki Long Play (LP) atau piring hitam rekaman Jazz tahun 60-an, 70-an, bahkan 80-an, bisa dengan mudah didengarkan bahwa nuansa puritas adalah hal yang terpenting. Merekam Jazz yang ideal dilakukan dengan teknologi living stereo, yang kala itu sangat popular. Apa tujuannya, semata adalah agar aura spontanitas tidak hilang dalam hasil rekaman. Dan bagaimana desah nafas, gesekan mouthpiece saxophone dapat hadir dan terdengar detail. Ini untuk memacu kenikmatan mendengarkan Jazz sebagai musik, dalam ranah esensialnya. Pada piring hitam tahun 60-an, sebuah situasi live recording merupakan keutamaan. The Blue Notes Band hampir selalu menyajikan rekaman dengan mengikutsertakan celoteh pengunjung. Maksudnya tentu agar penikmat jazz di rumah, dapat turut merasakan aura respon saat musik tersebut disajikan. Demikian juga dengan rekaman Branford Marsalis Trio, selain merekam juga respon penonton, menyertakan pula aba-aba atau clue diantara para pemainnya. Rekaman Brandford Marsalis (adik trumpetis Wynton Marsalis) beberapa kali menyabet penghargaan rekaman Jazz terbaik dari Voice of America.

Saya ingin menuliskan pengalaman saya yang  diharapkan dapat memberi gambaran nyata tentang cara mendengarkan Jazz. Sekitar tahun 1995, saat masih sangat ganteng..ooppss…saya menjadi penyiar di radio milik Pemerintah Kota Tegal. Saya mengasuh apresiasi Musik Jazz. Bahannya berupa kaset dari seorang kawan yang bekerja di VOA Washington USA, seksi Indonesia. Pada siaran perdana, saya mengudarakan rekaman “The Blue Note All Stars Live” lengkap dengan celoteh pengunjung. Telepon di studio berdering tanpa henti, banyak sekali yang menelepon. Mereka rame-rame protes keras. Ungkapannya macam-macam, tapi intinya ada satu yang dapat mewakili perasaan pendengar saat itu. Ungkapannya begini: “MAS GUNADI…ini siaran musik!!!!!! KAMI MAUNYA MUSIK!!!!! BUKAN MUSIK PLUS ORANG NGOMONG!!!!“ Ada lagi, waktu itu, seorang ibu yang juga dokter menelepon dan berkata begini: “Mas Gun…ihhh…jazz nya sexy…kayak Mas Guuunnn….tapi saya jadi muntah-muntah karena ada orang ngomongnya…lain kali  cari yang pure music aja Mas..”*
(*catatan: Semua komentar pendengar tersimpan dengan baik di arsip radio Pemerintah Kota Tegal).

Dari reaksi yang secara nyata saya alami, ada beberapa butir yang menarik untuk dicermati sehubungan dengan cara mendengarkan Jazz. Yakni bahwa banyak orang mempersepsikan hal mendengarkan Jazz sebagaimana layaknya mendengarkan Musik Klasik. Menikmati alur lanskap sambil menguak rasa. Ini tidak salah. Hanya saja, Jazz dalam esensinya bisa diapresiasi lebih dari sekedar menguak alur lanskap kompositoris. Sah-sah saja jika kita mendengarkan Jazz sambil berfantasi. Bahkan sampai pada fantasi sekitar sosok penyanyi super montok yang memamerkan bulu ketiak dan belahan dadanya. Karena Jazz dalam kesejatiannya adalah manifestasi rasa yang bebas namun terukur. Hal yang sangat sulit didapat dalam mendengarkan Musik Klasik.

Satu hal lagi yang membedakan cara mendengarkan Jazz dan Musik Klasik. Dalam Musik Klasik, mendengarkan adalah proses mengolah rasa dari sebuah lanskap komposisi yang alurnya sudah dikenalkan terlebih dahulu. Mozart Double Concerto umpamanya. Siapapun pemainnya, formatnya tetap saja seperti itu. Alurnya pun tetap sama. Orkes berbunyi menghantar thema, piano 1 solo, ditimpali piano 2, diteruskan pada alur dialog dengan orkes, dengan materi yang sama sepanjang segala abad. Jazz tidak demikian. Lagu “Blusette” karya Toots Thielemans akan selalu berbeda. Bahkan Blusette bisa berubah menjadi Dang Dut yang bluessy Blusette, jika improvisatornya mantan pemain Dang Dut misalnya.

Sebagai kata penutup, dapatlah dikatakan bahwa, mendengarkan Jazz adalah larut dalam sebuah pembaharuan tematik yang terus menerus dan tidak pernah sama. Justru karena pembaharuan yang terus menerus inilah, Jazz tidak perlu dimengerti. Maka ikuti saja, apresiasi, dan aktiflah mengambil peran, karena itulah esensi Jazz. Semua adalah pelakon dan semua adalah pemusik dalam batasan kemandiriannya.

Wednesday 5 December 2012

PENGANTAR INTERPRETASI PADA KARYA JOHANN SEBASTIAN BACH ( Bagian 3)


PENGANTAR INTERPRETASI PADA KARYA 
JOHANN SEBASTIAN BACH
(Bagian 3)


Berbekal penjelasan tentang cara bermain ornament,prinsip figurative bass dan voicing,meskipun berasal dari keterangan Bach sendiri,belumlah cukup untuk dapat menginterpretasi karya Bach. Ada elemen yang masih kurang sebagai sebuah pijakan interpretasi.Elemen-elemen tersebut adalah: Sopan santun, adat istiadat, dan sikap mental yang berlaku di masyarakat jaman Bach. Semua elemen tersebut perlu mendapat perhatian khusus, BUKAN HANYA sebagai telaah sejarah,melainkan untuk mengenali retorika dari karya Bach.

Yang kita alami sekarang ini adalah, kita “dipaksa” untuk mendengarkan Bach versi orang modern. Hal ini sama sekali tidaklah salah.Hanya saja,perlu ada upaya lebih mendalam untuk menilik gaya retorika Bach.Sehingga musiknya bukan hanya terdengar “merdu” belaka, melainkan sampai dapat menghadirkan apa yang tersirat dibalik lanskap kompositoris karya Bach.

Jadi persoalan mendasar kita adalah,kita disajikan karya Bach dalam dua versi.Versi asli dari jaman Bach, yang masih terus diupayakan untuk di rekonstruksi,dan versi orang jaman kita. Tentu juga dengan retorika orang modern.Retorika modern ini terlalu terpaku pada sensasi tentang kemerduan bunyi dan teknik permainan.Francois Couperin mengatakan demikian: “Pengalaman telah menunjukkan pada kita bahwa tangan terkuat dan mampu mengalirkan kecepatan bermain yang tinggi, bukanlah merupakan hasil terbaik untuk mengekspresikan semua sentiment“

Mengawali telaah kita tentang retorika Bach,ada baiknya dikutip kata pengantar yang diberikan Bach sendiri pada 1723 saat meluncurkan rangkaian INVENTIONS.Bach menuliskan begini: “Invention ditulis untuk mengajarkan kebenaran dalam bermain dan membantu murid untuk dapat menghasilkan nada yang bernyanyi (singing out)“ Bach sangat menghina para composer yang hanya mementingkan ketepatan penjarian dan senam jari.Bach menyebut mereka sebagai CLAVIER HUSAREN.

Sampai di sini, ada hal yang menarik.
Kita selama ini menganggap Invention Bach sebagai etude yang menitik beratkan gerakan sinkronisasi jari tangan kiri kanan dalam musik dua jalur. Ternyata, Bach sendiri bertujuan agar Invention nya lebih kearah produksi bunyi dan nada yang semanusiawi mungkin



Faktor lain yang seringkali cukup sensasional adalah masalah perbedaan instrument musik di jaman Bach dan jaman kita sekarang ini. Contoh yang paling signifikan adalah di seputar instrument organ. Nampaknya menarik mengutip pendapat seorang pakar organ dalam kaitannya dengan gaya retorika dan interpretasi musik karya Bach. Dia adalah Albert Schweitzer. Bagi Albert Scheweutzer, kemerduan musik Bach sangat terganggu pada organ modern.Organ di jaman Bach memiliki perbandingan main dan mix voice secara berimbang. Organ modern, memiliki kadar mix voice yang terlalu berlebihan. Demikian juga dengan situasi akustik gedung-gedung tempat pagelaran karya Bach.


Jadi intinya, jika Bach hendak di cari retorikanya, 
yang perlu kita lakukan sebetulnya adalah 
berani menyisihkan elemen-elemen yang oleh kita dianggap modern, 
namun sebetulnya tanpa kita sadari sudah menghilangkan esensi utama retorika Bach,
yakni KESEIMBANGAN DAN KEMURNIAN sebagaimana musik surgawi.

Monday 3 December 2012

Pengantar Interpretasi pada Karya Johann Sebastian Bach ( Bagian 2 )


Pengantar Interpretasi 
Karya Johann Sebastian Bach 
(Bagian ke-2)


Sebagai rujukan interpretasi karya Bach, para musikolog hampir selalu berpegangan pada buku WELL TEMPERED KLAVIER karya Bach.Yang seolah menjadi buku suci dan kunci pembuka bagi semua relung interpretasi karya Bach. Perhatian kita yang utama semestinya pada kata KLAVIER dalam judul buku.KLAVIER yang dimaksud merujuk pada ALAT MUSIK BER-PAPAN NADA. Dan ini jelas tidak melulu diperuntukkan piano. Bisa untuk harpsichord, orgel atau apapun yang berpapan nada. Dari aksioma ini, kita bisa mengatakan bahwa memang ada problem morfologis yang diakibatkan oleh rentang jaman, sehubungan dengan karakter instrument untuk membunyikan karya Bach.

Arthur Rubinstein, pernah memberikan catatan pada tiap-tiap lagu di buku Well Tempered Bach sehubungan dengan interpretasi. Misalnya saja, Fugue dalam B flat minor, diberi catatan oleh Rubinstein sebagai bunyi-bunyi dengan setting petani dengan gerobak yang berada di hamparan padang rumput. Cara interpretasi demikian sepintas agak aneh dan membingungkan. Karena, apa dasarnya Rubinstein bisa sampai pada setting petani, gerobak dan padang rumput? Dan rupanya, Rubinstein sendiri menyadari akan ke“aneh”an interpretasinya. Dia merujuk bahwa interpretasinya didasarkan pada kadar pengetahuaannya pada intrumen berpapan nada yang sudah kuno. Jadi Rubinstein mengikuti jejak Carl Philipp Emmanuelle Bach yang melakukan pendaftaran karakter bunyi yang paling mungkin bagi komposisi Bach.

Apa yang dilakukan Arthur Rubinstein boleh saja dikatakan sebagai sebuah kesia-siaan. Namun Rubinstein telah membuka sebuah lorong bagi sebuah cara menginterpretasi musik Bach. Terlepas dari interpretasinya yang agak aneh. Adagium yang dipegang Rubinstein adalah bahwa kita sangat tidak mungkin merekonstruksi permainan musisi di era Bach. Jadi, terobosan interpretasinya adalah dengan mendaftar aneka kemungkinan yang paling mungkin terhadap perwujudan bunyi karya Bach.

Problema tentang konstruksi dan rekonstruksi instrument dan permainan jaman Bach, mendapat pencerahan ketika mulai banyak ahli yang turut campur dalam ranah ini. Tersebutlah nama-nama seperti  Spitta, Dannreuther, Pirro, Seiffert, Fuller-Maitland, Shedlock. Apa sih yang sudah dilakukan para ahli ini? Mereka mengadakan studi pustaka manuskrip Bach, dan hasilnya adalah sebuah rangkuman paparan sebagai berikut:

Bahwa sebetulnya Bach telah menerangkan 
cara memainkan ornament pada musiknya. 
Hal ini oleh Bach sendiri dituangkan dalam buku kecil untuk clavier atau CLAVIERBUCHLEIN untuk anaknya, Wilhelm Fridemann Bach.

Penafsiran tentang pola Bass sebetulnya juga sudah tertuang dalam 
ANNA MAGDALENA NOTENBUCH.

Petunjuk teknik voicing atau pembagian suara dan bunyi 
juga sudah diterangkan Bach 
dalam buku pegangan siswa saat Bach menjabat Kapelmeister.

Dengan demikian, 
dapatlah dikatakan bahwa interpretasi secara teknik permainan, 
 telah terselesaikan. 
Yaitu dengan cara melakukan STUDI PUSTAKA.

Itu baru interpretasi dari teknik permainan. Hehehehe...


BAHAN-BAHAN RUJUKAN INTERPRETASI KARYA JS. BACH: 

1. The Interpretation of Bach's Works 

http://www.usc.edu/dept/polish_music/PMJ/issue/6.1.0/landowskabach.html

2. Bruhn, Siglind, 1951- J. S. Bach's Well-Tempered Clavier. 

In-depth Analysis and Interpretation.
http://www-personal.umich.edu/~siglind/text.htm

3. Fugues of the Well-Tempered Clavier
Johann Sebastian Bach: Forty-Four Fugues and Select Preludes

http://www2.nau.edu/tas3/wtc/wtc.html

4. Well-Tempered Clavier: Index of Contrapuntal Operations, Learning Objects, and Concepts http://www2.nau.edu/tas3/wtc/index.html