"ASPEK SOSIAL MUSIK JAZZ"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato Desember 2013
Saya ingin mengawali artikel ini
dengan sebuah pemberitahuan: bahwa komparasi atau perbandingan yang
disertakan dalam artikel ini, sama sekali bukan untuk mengemukakan jenis musik
tertentu lebih baik dari yang lain. Melainkan hanya sebagai ilustrasi paparan
semata.
MUSIK KLASIK
YANG ELITE & ARISTOKRAT
Jika seseorang mendengar istilah
“Musik Klasik,” maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terlintas di benaknya
sebuah sajian musik yang punya nilai kesulitan dalam memainkannya, sekaligus
kesan elite dan aristokrat. Kesan elite dan aristokrat memang sudah melekat
pada Musik Klasik sejak awal pertumbuhan dan perkembangannya. Revolusi Industri
dan ditemukannya mesin uap, sempat menjadikan Musik Klasik sebagai sajian yang
lebih “merakyat.” Namun landscape kompositorisnya tetap saja menuntut sebuah
sikap apresiasi yang elitis. Misalnya saja keadaan ruang dengar yang mutlak
perlu adanya keheningan yang hampir absolut. Keadaan demikian, setidaknya
mencerminkan sebuah tuntutan penyesuaian aspek sosial, jika seseorang atau
sebuah komunitas ingin mengapresiasi Musik Klasik, secara proporsional.
Berbeda dengan Musik Klasik, Musik
Jazz sarat dengan aspek sosial. Dan justru aspek sosial inilah yang senantiasa
mengiringi pertumbuhan dan perkembangan Musik Jazz. Maka tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa Jazz dapat berkembang dikarenakan aspek sosial yang
dikandungnya. Aspek sosial ini juga seberapa banyak berpengaruh terhadap
munculnya beberapa aliran Musik Jazz. Dan tentu saja, aspek sosial akan
mempengaruhi gagasan, teknik, dan komposisi Musik Jazz. Serta hendaknya tidak
dilupakan pula pengaruhnya terhadap daya dan cara apresiasi.
JAZZ ADALAH
MUSIK YANG BERAKAR DARI KAUM MARJINAL
Akar budaya Musik Jazz adalah sebuah
ketertindasan. Sebuah keterpurukan. Sebuah keadaan membelenggu dengan masa
depan yang hampir tidak ada. Maka tak berlebihan jika Jazz dikatakan sebagai “Suara
dari yang tergusur“. Akar
budaya marjinal ini menjadikan Musik Jazz mengusung tema yang bersahaja saja. TEMA yang bersahaja, sebetulnya juga
dimiliki oleh Musik Pop. Namun dalam Jazz, tema sederhana tersebut diolah
menjadi sebuah dialog elementer sebuah kultur. Hal ini bisa kita jumpai dalam Musik
Blues, yang merupakan cikal bakal dari Musik Jazz. Dalam Blues, terdapat asking and answering phrase, frase tanya
jawab antara si pelantun lagu dengan audiens nya. Dan seringkali tanya jawab
ini berpusat pada tema sederhana, seperti langkah kaki seorang gadis, ajakan
kencan pertama, sampai hanya sebatas sosok tua main gitar. Dan hal semacam ini
terus berkembang sampai pada bentuk Jazz yang lazim kita kenal.
Dalam pertunjukan Musik Jazz yang
sejati, senantiasa ada DIALOG. Bisa
saja muncul dalam bentuk celotehan dari audiens. Celotehan tentang kemampuan
teknik permainan si musisi. Celotehan tentang goyangan badan si vokalis. Dan
bisa juga celotehan tentang syair lagunya. Dalam pertunjukan Jazz sejati, celotehan
ini bisa sangat spontan, tergantung dari pola pemikiran dan situasi strata sosial
audiensnya. Spontanitas celoteh sebagai tanggapan materi sajian, sangat tidak
mungkin didapatkan dalam pertunjukan Musik Klasik. Dalam Musik Pop, sering pula
terdapat reaksi spontan dari audiens terhadap performer. Namun dalam Musik Pop,
respon spontan tersebut lebih mengarah pada sensasi idola dan sama sekali tidak
berwujud dialogis.
MARJINALITAS
YANG MENUMBUHKAN CIRI MUSIKAL
Bahwa akar budaya Musik Jazz adalah
sebuah marjinalitas. Sebuah keterpinggiran dan keterpurukan. Kaum Negro yang
dibelenggu dan dibudaki, hampir sama sekali tidak lagi memiliki jati diri dan
identitas. Saat itu, mereka adalah barang dagangan dan Musik Jazz lah
satu-satunya media bagi mereka untuk dapat menyuarakan sisi manusiawinya. Maka
tidak mengherankan bahwa bentuk Musik Jazz menjadi sangat kenyal dan sangat
luwes untuk disusupi dan bahkan dimasuki unsur budaya lain. Karena dari cikal
bakalnya, para penggagas Jazz sudah memimpikan sebuah kesetaraan bangsa-bangsa
di dunia ini. Jadi, jangan terkejut jika saat menikmati Musik Jazz, kita
mendengar dan melihat hal yang misalnya begini: Tema nya dalam tangganada Blues, kemudian teknik bermainnya seperti
memainkan alat musik tradisional primitif dan tiba-tiba improvisasinya bercorak
gendhing Jawa. Hal semacam itu lumrah dan jamak terjadi dalam sajian Musik
Jazz.
Bagaimana dengan Musik Klasik? Jujur,
jika anda ingin selamat tidak dibentak Professor konservatori, jangan pernah
melakukan hal demikian hahaha. Lalu bagaimana dengan Musik Pop? Dalam batas
tertentu, Musik Pop bisa sangat kenyal dan luwes. Hanya saja, unsur budaya lain
dalam sajian Musik Pop acapkali hanya berupa tempelan atau lebay alias
“kitsch” semata. Marjinalitas yang
menumbuhkan ciri musikal, juga dapat diamati pada sosok penampilan para musisi
Jazz. Mereka acapkali tampil dengan busana bersahaja, namun dengan teknik
permainan dan musikalitas yang mumpuni. Berbeda dengan para musisi Pop. Mereka
berdandan ala boneka Barbie ataupun Ratu kerajaan Planet antah berantah, namun
kemampuan bermusiknya? Ah, masih bagusan
pengamen asuhan Dewan Kesenian Kota Tegal deh.
IMPROVISASI
SEBAGAI DIALOG SOSIAL
Sudah sangat dipahami publik bahwa
improvisasi adalah jiwa dari Musik Jazz. Improvisasi bukan sekedar
“memperbaiki” tema secara spontan. Dalam Musik Jazz, improvisasi adalah sebuah
wujud dialog budaya, bahkan wujud dari dialog jiwa. Saya pernah punya
pengalaman begini:
Suatu malam saya menyaksikan
penampilan alm. Jack Lesmana. Saat itu Om Jack melakukan improvisasi dengan
gitar secara sangat romantis. Kemudian saya bertanya: “Wah, Om mainnya romantis banget. Lagi kasmaran lagi ya Om? ” Dengan
seperempat kaget, Om Jack menjawab: “Miiiccchhhaaaaeeelll…sssttt…bukaaann…tuh
liat tuh..di meja sana..ada dua sejoli yang lagi pegangan tangan sambil
diterangin lilin…”
Aspek spontanitas akan hal-hal
manusiawi semacam itu tidak akan mungkin ditemui dalam genre musik selain Jazz.
Dalam Jazz, musisi bisa dengan leluasa dan spontan merespon hal-hal sederhana
melalui permainan musiknya. Saya punya cerita yang lain lagi. Kali ini tentang
permainan Om Bill Saragih. Dalam sebuah konser, Om Bill Saragih main keyboard
dengan kasar, rude, harsh, dan seperti mau menelan tuts keyboard. Setelah
selesai konser, saya buru-buru menyempatkan diri untuk bertanya:
“Om? Om kok mainnya kasar
gitu? Tadi kejebak macet ya?”
“Michael, kau ini ah..kau
musti tahu ini Michael..Aku tuh lagi marah!”
“lhaaa….marah toh Om?!”
“Ya marah lah. Itu kau kasih
tau itu sana anak-anak Panitia Michael. Aku ni minta itu ada sedia piano, bukan
keyboard anak-anak mirip tadi itu“
Sebuah dialog yang jujur. Ekspresi kemarahan dengan etika dan
estetika. Sebuah aspek sosial. Unsur komunikasi kemasyarakatan yang tetap
pada koridor santun. Hal demikian, nampaknya tidak mungkin dilakukan saat kita
memainkan Musik Klasik. Interaksi sosial dalam Musik Klasik berbeda aspek
implikasinya dengan Musik Jazz. Dan tentu bukan berarti mana yang lebih baik. Setiap
genre musik senantiasa membahasakan dirinya sendiri.
ASPEK SOSIAL
DAN INDUSTRIALISASI MUSIK JAZZ
Tanpa pengaruh industri, sebuah genre
musik tidak akan dikenal dunia. Bahkan Musik Klasik yang elitis dan aristokrat
pun mutlak perlu campur tangan industri musik. Herbert Von Karajan adalah contoh sosok dalam Musik Klasik yang
sangat mengedepankan aspek industri. Baik dalam penampilan maupun gaya hidupnya
yang glamour dan bertabur kemewahan sebagaimana layaknya raja Musik Pop.
Tak terkecuali Musik Jazz, jelas
memerlukan sentuhan industri musik. Yang agak aneh adalah, meski memiliki aspek
sosial yang bagus, agak sulit bagi Musik Jazz untuk mencapai popularitas yang
mumpuni. Dave Gruisin dan Larry Rosen mendirikan GRP (Gruisin Rosen Production,) untuk
mengangkat Musik Jazz agar lebih lantang bicara dalam ranah industri musik. Namun
hasilnya tetap saja suam-suam kuku. Jadi nampaknya, masih perlu ada sosialisasi
terhadap aspek sosial dalam Musik Jazz. Repotnya lagi, Jazz sudah terlanjur
menyandang predikat sebagai: MUSIK YANG TIDAK PERNAH DAPAT DIMENGERTI NAMUN
SELALU DAPAT DINIKMATI.
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
ReplyDelete-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!