Thursday, 5 December 2013

"ASPEK SOSIAL MUSIK JAZZ" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato Desember 2013)

"ASPEK SOSIAL MUSIK JAZZ"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato Desember 2013



Saya ingin mengawali artikel ini dengan sebuah pemberitahuan: bahwa komparasi atau perbandingan yang disertakan dalam artikel ini, sama sekali bukan untuk mengemukakan jenis musik tertentu lebih baik dari yang lain. Melainkan hanya sebagai ilustrasi paparan semata.

MUSIK KLASIK YANG ELITE & ARISTOKRAT
Jika seseorang mendengar istilah “Musik Klasik,” maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terlintas di benaknya sebuah sajian musik yang punya nilai kesulitan dalam memainkannya, sekaligus kesan elite dan aristokrat. Kesan elite dan aristokrat memang sudah melekat pada Musik Klasik sejak awal pertumbuhan dan perkembangannya. Revolusi Industri dan ditemukannya mesin uap, sempat menjadikan Musik Klasik sebagai sajian yang lebih “merakyat.” Namun landscape kompositorisnya tetap saja menuntut sebuah sikap apresiasi yang elitis. Misalnya saja keadaan ruang dengar yang mutlak perlu adanya keheningan yang hampir absolut. Keadaan demikian, setidaknya mencerminkan sebuah tuntutan penyesuaian aspek sosial, jika seseorang atau sebuah komunitas ingin mengapresiasi Musik Klasik, secara proporsional.

Berbeda dengan Musik Klasik, Musik Jazz sarat dengan aspek sosial. Dan justru aspek sosial inilah yang senantiasa mengiringi pertumbuhan dan perkembangan Musik Jazz. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Jazz dapat berkembang dikarenakan aspek sosial yang dikandungnya. Aspek sosial ini juga seberapa banyak berpengaruh terhadap munculnya beberapa aliran Musik Jazz. Dan tentu saja, aspek sosial akan mempengaruhi gagasan, teknik, dan komposisi Musik Jazz. Serta hendaknya tidak dilupakan pula pengaruhnya terhadap daya dan cara apresiasi.


JAZZ ADALAH MUSIK YANG BERAKAR DARI KAUM MARJINAL
Akar budaya Musik Jazz adalah sebuah ketertindasan. Sebuah keterpurukan. Sebuah keadaan membelenggu dengan masa depan yang hampir tidak ada. Maka tak berlebihan jika Jazz dikatakan sebagai “Suara dari yang tergusur“.  Akar budaya marjinal ini menjadikan Musik Jazz mengusung tema yang bersahaja saja. TEMA yang bersahaja, sebetulnya juga dimiliki oleh Musik Pop. Namun dalam Jazz, tema sederhana tersebut diolah menjadi sebuah dialog elementer sebuah kultur. Hal ini bisa kita jumpai dalam Musik Blues, yang merupakan cikal bakal dari Musik Jazz. Dalam Blues, terdapat asking and answering phrase, frase tanya jawab antara si pelantun lagu dengan audiens nya. Dan seringkali tanya jawab ini berpusat pada tema sederhana, seperti langkah kaki seorang gadis, ajakan kencan pertama, sampai hanya sebatas sosok tua main gitar. Dan hal semacam ini terus berkembang sampai pada bentuk Jazz yang lazim kita kenal.

Dalam pertunjukan Musik Jazz yang sejati, senantiasa ada DIALOG. Bisa saja muncul dalam bentuk celotehan dari audiens. Celotehan tentang kemampuan teknik permainan si musisi. Celotehan tentang goyangan badan si vokalis. Dan bisa juga celotehan tentang syair lagunya. Dalam pertunjukan Jazz sejati, celotehan ini bisa sangat spontan, tergantung dari pola pemikiran dan situasi strata sosial audiensnya. Spontanitas celoteh sebagai tanggapan materi sajian, sangat tidak mungkin didapatkan dalam pertunjukan Musik Klasik. Dalam Musik Pop, sering pula terdapat reaksi spontan dari audiens terhadap performer. Namun dalam Musik Pop, respon spontan tersebut lebih mengarah pada sensasi idola dan sama sekali tidak berwujud dialogis.



MARJINALITAS YANG MENUMBUHKAN CIRI MUSIKAL
Bahwa akar budaya Musik Jazz adalah sebuah marjinalitas. Sebuah keterpinggiran dan keterpurukan. Kaum Negro yang dibelenggu dan dibudaki, hampir sama sekali tidak lagi memiliki jati diri dan identitas. Saat itu, mereka adalah barang dagangan dan Musik Jazz lah satu-satunya media bagi mereka untuk dapat menyuarakan sisi manusiawinya. Maka tidak mengherankan bahwa bentuk Musik Jazz menjadi sangat kenyal dan sangat luwes untuk disusupi dan bahkan dimasuki unsur budaya lain. Karena dari cikal bakalnya, para penggagas Jazz sudah memimpikan sebuah kesetaraan bangsa-bangsa di dunia ini. Jadi, jangan terkejut jika saat menikmati Musik Jazz, kita mendengar dan melihat hal yang misalnya begini: Tema nya dalam tangganada Blues, kemudian teknik bermainnya seperti memainkan alat musik tradisional primitif dan tiba-tiba improvisasinya bercorak gendhing Jawa. Hal semacam itu lumrah dan jamak terjadi dalam sajian Musik Jazz. 

Bagaimana dengan Musik Klasik? Jujur, jika anda ingin selamat tidak dibentak Professor konservatori, jangan pernah melakukan hal demikian hahaha. Lalu bagaimana dengan Musik Pop? Dalam batas tertentu, Musik Pop bisa sangat kenyal dan luwes. Hanya saja, unsur budaya lain dalam sajian Musik Pop acapkali hanya berupa tempelan atau lebay alias “kitsch” semata. Marjinalitas yang menumbuhkan ciri musikal, juga dapat diamati pada sosok penampilan para musisi Jazz. Mereka acapkali tampil dengan busana bersahaja, namun dengan teknik permainan dan musikalitas yang mumpuni. Berbeda dengan para musisi Pop. Mereka berdandan ala boneka Barbie ataupun Ratu kerajaan Planet antah berantah, namun kemampuan bermusiknya? Ah, masih bagusan pengamen asuhan Dewan Kesenian Kota Tegal deh.


IMPROVISASI SEBAGAI DIALOG SOSIAL
Sudah sangat dipahami publik bahwa improvisasi adalah jiwa dari Musik Jazz. Improvisasi bukan sekedar “memperbaiki” tema secara spontan. Dalam Musik Jazz, improvisasi adalah sebuah wujud dialog budaya, bahkan wujud dari dialog jiwa. Saya pernah punya pengalaman begini:
Suatu malam saya menyaksikan penampilan alm. Jack Lesmana. Saat itu Om Jack melakukan improvisasi dengan gitar secara sangat romantis. Kemudian saya bertanya: “Wah, Om mainnya romantis banget. Lagi kasmaran lagi ya Om? ” Dengan seperempat kaget, Om Jack menjawab: “Miiiccchhhaaaaeeelll…sssttt…bukaaann…tuh liat tuh..di meja sana..ada dua sejoli yang lagi pegangan tangan sambil diterangin lilin…”

Aspek spontanitas akan hal-hal manusiawi semacam itu tidak akan mungkin ditemui dalam genre musik selain Jazz. Dalam Jazz, musisi bisa dengan leluasa dan spontan merespon hal-hal sederhana melalui permainan musiknya. Saya punya cerita yang lain lagi. Kali ini tentang permainan Om Bill Saragih. Dalam sebuah konser, Om Bill Saragih main keyboard dengan kasar, rude, harsh, dan seperti mau menelan tuts keyboard. Setelah selesai konser, saya buru-buru menyempatkan diri untuk bertanya:
“Om? Om kok mainnya kasar gitu? Tadi kejebak macet ya?”
“Michael, kau ini ah..kau musti tahu ini Michael..Aku tuh lagi marah!”
“lhaaa….marah toh Om?!”
“Ya marah lah. Itu kau kasih tau itu sana anak-anak Panitia Michael. Aku ni minta itu ada sedia piano, bukan keyboard anak-anak mirip tadi itu“

Sebuah dialog yang jujur. Ekspresi kemarahan dengan etika dan estetika. Sebuah aspek sosial. Unsur komunikasi kemasyarakatan yang tetap pada koridor santun. Hal demikian, nampaknya tidak mungkin dilakukan saat kita memainkan Musik Klasik. Interaksi sosial dalam Musik Klasik berbeda aspek implikasinya dengan Musik Jazz. Dan tentu bukan berarti mana yang lebih baik. Setiap genre musik senantiasa membahasakan dirinya sendiri.


ASPEK SOSIAL DAN INDUSTRIALISASI MUSIK JAZZ
Tanpa pengaruh industri, sebuah genre musik tidak akan dikenal dunia. Bahkan Musik Klasik yang elitis dan aristokrat pun mutlak perlu campur tangan industri musik. Herbert Von Karajan adalah contoh sosok dalam Musik Klasik yang sangat mengedepankan aspek industri. Baik dalam penampilan maupun gaya hidupnya yang glamour dan bertabur kemewahan sebagaimana layaknya raja Musik Pop.

Tak terkecuali Musik Jazz, jelas memerlukan sentuhan industri musik. Yang agak aneh adalah, meski memiliki aspek sosial yang bagus, agak sulit bagi Musik Jazz untuk mencapai popularitas yang mumpuni. Dave Gruisin dan Larry Rosen mendirikan GRP (Gruisin Rosen Production,) untuk mengangkat Musik Jazz agar lebih lantang bicara dalam ranah industri musik. Namun hasilnya tetap saja suam-suam kuku. Jadi nampaknya, masih perlu ada sosialisasi terhadap aspek sosial dalam Musik Jazz. Repotnya lagi, Jazz sudah terlanjur menyandang predikat sebagai: MUSIK YANG TIDAK PERNAH DAPAT DIMENGERTI NAMUN SELALU DAPAT DINIKMATI.

1 comment:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    ReplyDelete

Note: only a member of this blog may post a comment.