Sunday 7 August 2016

GITAR KLASIK: "SI KAYA YANG TERMISKINKAN" - by: Michael Gunadi Widjaja

GITAR KLASIK:
"SI KAYA YANG TERMISKINKAN"
by: Michael Gunadi Widjaja


PENGANTAR
Tulisan ini mengambil bentuk paparan dan sama sekali bukan berupa, dan tidak dimaksudkan sebagai kajian ilmiah. Meski beberapa data faktual disajikan, hal tersebut semata-mata adalah materi penunjang terhadap hal-hal yang bertalian dengan pokok paparan. Sifat paparan yang dipergunakan adalah telaah popular. Jadi dengan demikian, pembahasan tentang sejarah pun merupakan sebuah tinjauan popular dan sama sekali bukan penyampaian telaah historis.

Metode penalaran paparan, adakalanya menggunakan penalaran induktif. Hal ini berlaku bagi misalnya sebuah sajian fakta sejarah. Penalaran secara deduktif juga dipergunakan terutama ketika menyampaikan gagasan yang berdasar pada premis yang tentu secara subyektif telah terujikan. Penggunaan pustaka, baik buku maupun sumber dari internet, termasuk video, saya pergunakan sebagai materi pendukung metodologi penalaran. Itulah mengapa dalam paparan ini tidak saya pergunakan catatan kaki. Beberapa pustaka yang kiranya dapat menunjang penelaahan lebih lanjut, tetap saya cantumkan dalam daftar pustaka.

Tema pokok pemaparan adalah sebuah keterkaitan, baik secara masif, masif holistik maupun masif parsial dan parsial, pada Musik Klasik di tanah air dalam pertaliannya dengan seni, sejarah dan masyarakat. Penulis meletakkan inti pemaparan pada sebuah rangkai peristiwa yang menurut penulis, cukup unik dan dapat mewakili dengan layak tentang keadaan dan keberadaan Musik Klasik di tanah air, dalam rentang waktu dua sampai tiga tahun terakhir. Rangkai peristiwa tersebut menyatu pada GITAR KLASIK. Gitar Klasik dalam paduannya sebagai seni dan dalam ranah seni, Gitar Klasik dalam napak tilas keberadaannya di tanah air dan sosio-kultural masyarakat terhadap alat musik “Klasik” yang semestinya sangat memasyarakat, namun juga termarjinalkan.

JAZZ SIGHT READING - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, August 2016)

“JAZZ SIGHT READING”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, August 2016


APA ITU SIGHT READING?
Agak susah untuk memadankan istilah SIGHT READING ke dalam Bahasa Indonesia. Saya pribadi lebih suka memakai istilah LINTAS BACA sebagai padanan istilah sight reading. sight reading terdapat pada ujian musik. Terutama ujian musik internasional, seperti: ABRSM, Trinity Guildhall, bahkan Yamaha Music, dan juga sekolah atau kursus ataupun konservatori (dalam tanda petik) di tanah air.

Dalam pelaksanaannya, sight reading berwujud: seseorang disodori sebuah naskah musik. Kesulitannya sepadan dengan grade nya. Kemudian naskah musik tersebut DIBACA SELINTAS. Umumnya yang dimaksud selintas adalah sekitar 30 detik saja. Dan bisa sampai 5 menit untuk sight reading grade Diploma. Setelah melakukan lintas baca, kemudian naskah musik tersebut dimainkan.

Parameter keberhasilannya adalah MEMAINKAN NASKAH MUSIK TERSEBUT PERSIS SAMA, TERMASUK DETAIL KECILNYA – sesuai dengan apa yang tertulis. Bagi sebagian orang, lintas baca atau sight reading ini adalah sebuah adegan horor nan mencekam yang sampai bisa bikin stress, gemetaran, dan bahkan perasaan mual.


TUJUAN SIGHT READING
Sebetulnya, apa sih tujuan nya ujian musik internasional menyertakan sight reading? Kenapa kok tidak cukup hanya MAIN LAGU dan tangganada saja? Kan katanya ujian performance? Ya pokoknya perform lagu, bagus, tanpa salah, kelar kan? Kok pake dimacem-macemin suruh lintas baca segala? Hmm... Bagi siswa yang menekuni Musik Klasik, sight reading adalah hal yang mutlak perlu! Mengapa? Jangan pernah lupa, bahwa Musik Klasik adalah BUDAYA LITERER. Jadi Musik Klasik HARUS DIBACA. Perkara sudah baca kemudian main dengan hafalan dan khataman itu lain cerita.

Baca lintas juga merupakan indikator penguasaan konsep dasar musik, yakni struktur dan pola. Jika seseorang mampu melakukan lintas baca dengan memuaskan, hampir dipastikan bahwa ia sangat paham dengan struktur dan ragam pola dalam sebuah sajian musik.