Seorang Gitaris perempuan yang hebat, namanya Ana Vidovic, asal Croatia, bilang bahwa jika ingin meniti karir sebagai Gitaris, syarat mutlaknya adalah memiliki cinta yang luar biasa pada Gitar dan dunianya. Pendapat ini tak hanya berlaku bagi Gitar, namun berlaku juga bagi setiap pemusik apapun instrumen musiknya, termasuk penyanyi.Kenapa harus ada rasa cinta yang luar biasa pada alat musik dan dunianya? Ya karena kehidupan sebagai pemusik itu sangat berat. Latihan berjam-jam tiap hari, manggungnya belum tentu setahun sekali. Manggung inilah yang sebetulnya menjadi inti pokok kehidupan seorang pemusik. Perform. As a Performance. Untuk apa? Ya tentu untuk cari nafkah.Dalam menjalani kehidupannya, seorang pemusik, yang hidup murni dari musik memiliki 2 jenis lahan penghasilan. Konser dan/atau Resital serta GIG.
ANA VIDOVIC
Gig ini sebetulnya ya performance. Tampil. Manggung. Lalu apa bedanya dengan Konser dan/atau Resital? Begini. Konser itu penampilnya banyak. Resital penampilnya fokus satu atau dua saja. Baik Konser maupun Resital, mengusung idealisme pemusiknya. Jadi Konser/Resital biasanya akan disponsori sambil Jual Tiket. Dalam event semacam itu, Pemusik bebas main musik apapun yang dia suka dan dia hayati. Yang hadir ya mau tidak mau suka atau tidak suka “menikmati” sajian yang sudah dirancang si Pemusik bersama Team kreatifnya.
Entah sampai kapan pandemi COVID-19 dengan segala carut marutnya akan berakhir. Jika berakhir saat ini pun, segudang persoalan masih menanti. Satu pertanyaan besarnya adalah: berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh dunia dalam segala segi dan lingkup kehidupan, untuk dapat kembali pada keadaan seperti sebelum adanya Pandemi. Pertanyaan ini sangat mengusik siapapun yang setidaknya merasakan atau bahkan terhimpit dan terkeremus dalam ketidakberdayaan akibat pandemi.
PANGGUNG PERTUNJUKKAN MUSIK
Sudah barang tentu, musik tak terkecuali. Pemusik sudah dapat dikatakan terkeremus menjadi remahan bagai kerupuk. Sebetulnya Pandemi ini hanyalah sebuah dentuman besar saja. Porak poranda dan kejatuhan musik, terutama musik industri dan industri musik, sudah dapat dirasakan dan diprediksi sejak 2010.Akar persoalannya menjadi rumit, meski sebetulnya ujung pangkalnya hanya satu. Adanya ruang, waktu dan kesempatan untuk menampilkan musik. Pemusik, apapun genre musik dan lingkup pekerjaannya, termasuk guru musik, membutuhkan ruang, waktu dan kesempatan untuk mengekspresikan diri melalui karya. BUTUH PANGGUNG.
Pada tanggal 18 Agustus 2021, liputan6.com merilis sebuah berita yang sangat mengejutkan, yakni bahwa Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan: virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tidak akan hilang dalam waktu cepat. Mungkin butuh waktu 5-10 tahun lagi kita tetap hidup dengan virus Corona."Pandemi ini tidak akan hilang dengan cepat. Mungkin akan menjadi epidemi. Dan, kita harus hidup dengan mereka 5 tahun atau 10 tahun lagi," kata Budi dalam konferensi pers di YouTube Kemenkeu.
Sudah tentu, pernyataan Menkes tersebut merupakan sebuah Warning sekaligus juga arahan pada semua elemen masyarakat. Bahwa kita tidak bisa lagi hidup “bebas” seperti sebelum ada Pandemi Covid-19. dan setidaknya “belenggu” ini akan memasung kita untuk kurun waktu 5 sampai 10 Tahun. Warning Menkes tersebut tentu tidak pas jika kita tanggapi dengan kekhawatiran dan/atau ketakutan yang berlebihan. Akan lebih arif dan bijaksana jika Warning Menkes tersebut, kita respon dengan kewaspadaan sekaligus mencari terobosan dan rumusan. Akan bagaimanakah kehidupan kita di segala bidang, setidaknya untuk 5 sampai 10 tahun mendatang?
Mestinya Jika Anda pencinta Musik Klasikatau sekedar menggemari Musik Klasik pun, anda “harus” setidaknya pernah mendengar nama Friedrich Gulda. Ia adalah pianis kenamaan asal Austria. Berbedadengan pianis kenamaan lainnya seperti Daniel Barenboim, Andras Schiff, Evgeny Kissin, Gulda bukan semata pianis. Gulda adalah pemusik sejati. Lebih dari itu, Gulda adalah pemusik yang berhasil duduk di dua kursi. Kursi kemapanan musik klasik yang aristokrasi dan kursi Musik Jazz yang penuh aroma pemberontakan. Keberadaan Gulda, hanya bisa disamai oleh Frank Zappa. Pemusik yang juga berada dalam dua belahan “dunia”.
Pada 28 Maret 1999, dunia dikejutkan dengan satu berita. Bahwa Friedrich Gulda, sang pianis kenamaan, tenar dan bahkan legendaris, telah meninggal dunia. Sontak saja para pemusik, kritikus musik, kaum kerabat dan kolega, beramai-ramai memberikan tribute. Dengan macam macam cara. Ada yang melalui pidato, menggelar konser, membuat artikel, tulisan reportase dan seabreg bentuk penghormatan lainnya. Hanya selang beberapa kemudian, tiba-tiba Gulda muncul di depan publik dan seolah membiarkan para wartawan untuk tahu. Bahwa ia TIDAK/BELUM mati. Dan malahan mengumumkan akan menggelar sebuah “KONSER KEBANGKITAN”. Tentu saja, berbagai kalangan menjadi terbelalak dan ternganga. Tapi itulah Friedrich Gulda. Pemusik yang tak pernah lepas dari sensasi.
Pengiring atau Accompanist,lazimnya memainkan piano, organ atau gitar. Adalah sebuah profesi dalam ranah musik. Para pengiring adalah pemusik professional yang pekerjaan nafkah hidupnya adalah mendukung, berkolaborasi, dan bahkan kadang harus turun tangan untuk melatih. Biasanya ini terjadi pada sesi vokal dan paduan suara atau Choir.
Seni yang dilayani para pengiring, terkadang juga melibatkan seni tari, seni teater juga cabang seni lainnya yang membutuhkan iringan musik. Dikarenakan bidang pekerjaan musiknya itulah, para pengiring kemudian mendapat predikat atau sebutan. Waaah.. dia itu pengiring choir. Kalau yang itu tuh, dia pengiring solo vocal. Oh… yang dekil itu dia pengiring musik teater. Dalam sesi rehearsal, tidak jarang pengiring ini harus membimbing, bahkan mengajari artisnya. Karena biasanya, si pengiring memiliki pengalaman dan jam terbang serta musikalitas yang lebih luas dan intens dibanding artisnya.
KUALITAS YANG HARUS DIMILIKI SEORANG PENGIRING
Sebetulnya, menjadi pengiring, dalam batas tertentu, adalah terbukanya kesempatan jenjang karir yang sangat luas. Dari mulai Choir lokal, penyanyi yang baru coba jadi artis sambil gemeteran, sampai Ballet, Dance Theater dan vocal recital yang berkelas serta representatif. Pekerjaan sebagai pengiring, memiliki tuntutan yang sangat tinggi dan juga kepribadian yang sangat luwes dan supel.
Sudah tentu para pembaca setuju. Jika dalam beberapa kesempatan, kata DOWN bisa menimbulkan rasa dan suasana kurang nyaman. Down berarti turun, tidak naik, alias tidak ada pencapaian. Down identik dengan keterpurukan. Down menyiratkan makna kelelahan, keputusasaan dan bahkan apatis karena kekecewaan yang amat sangat traumatis, dan memang, DOWN merujuk pada keadaan sedemikian.
Siapapun bisa down. Tentu para pemusik mengalaminya. Dari mulai dihina sebagai pekerjaan bermasa depan suram. Karya yang dicibir. Penampilan yang dibully. Bahkan acapkali dan kerap kali hasil keringat terluput dari upah. Siapapun itu, baik pemusik kampung maupun Maestro kelas dunia bisa mengalaminya.
Jika anda sempat membaca sejarah musik, maka anda akan dengan mudah menemukan serangkaian paparan catatan sejarah. Yang menunjukkan, mendokumentasi, dan memaparkan ambisi dan keinginan manusia, untuk memperoleh status DIAKUI dalam bidang musik. Ayah Beethoven, sengaja memalsukan usia Beethoven. Menjadi lebih muda beberapa tahun. Agar dapat diakui sebagai “ANAK AJAIB” yang sebanding dengan ketenaran Mozart kala itu.
Para Raja, bangsawan dan pejabat negara, di zaman Bach, di zaman Mozart, banyak yang berlomba-lomba mempelajari alat musik. Sekedar untuk memperoleh status “DIAKUI”. Kala itu, seseorang yang mendapat status DIAKUI dalam bidang seni, termasuk musik, dianggap memiliki cita rasa dan kehalusan budi yang rupawan. Dengan sendirinya, akhlak dan perangainya pun dianggap luhur. Muaranya adalah jenjang karir dan harta yang bergelimang. Hal semacam ini terus berlangsung. Bahkan menjadi lebih marak setelah revolusi industri. Saat instrumen musik, khususnya piano sudah menjadi sebuah sarana pokok dalam rumah tangga masyarakat kebanyakan.
Apakah dunia membutuhkan musik? Apakah manusia membutuhkan musik? Apakah KITA membutuhkan musik? Sungguh suatu pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Mengapa? Karena kita akan bertemu, berpapasan, bersinggungan, dan bahkan bertautan dengan hal-hal YANG IRONIS. Sebuah IRONIKAL.
Sudah sejak lama orang mendengang-dengungkan dan berteriak-teriak, bahwa dunia butuh musik. Manusia butuh musik. Kita semua butuh musik. Faktanya, beberapa negara bahkan sama sekali tak ada musik. Oleh karena satu dan lain hal, MUSIK DILARANG. Semua jenis musik dan bahkan bebunyian yang berkonotasi musik. (Dikarenakan sensitivitas materi, penulis tidak menyebut nama negara-negara tersebut). Namun Penulis yakin, para pembaca mampu menerka dengan benar.
DUNIA TANPA MUSIK
Apakah masyarakat negara-negara tersebut hidup berantakan? Nggak tuh. Di negara-negara yang tidak memiliki musik, kehidupan pun tetap berlangsung. Orang tetap melakukan aktivitas dan vitalitasnya. Memang dalam sudut pandang yang “lebih bebas” dikatakan bahwa masyarakat di negara-negara yang tidak memiliki musik – tidak lagi manusiawi. Hidup mekanik bak robot ataupun bahkan mayat hidup. Stress, depresi, dan dicekam ketakutan. Benarkah demikian? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas kehidupan di negarta tersebut berlangsung untuk menghidupi masyarakatnya. Sebuah IRONI. Klaim bahwa musik adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia, menemui anomalinya.
Mungkin suatu saat anda akan ditanya begini: “Apa sih MODAL utama belajar musik?”.
Bisa saja dengan spontan anda menjawab: “BAKAT,
brooo.”Atau kawan anda bisa saja dengan setengah bersungut-sungut akan
berkomentar: “Bakat? Bakat apaan? Yang
penting tuh DUIT!”. Les piano emang bisa dibayar es cendol? Terus beli
piano, beli gitar, emang bisa dituker ama beras ketan?!
Semua jawaban tersebut sah-sah saja adanya.
Namun kurang tepat. Memang BAKAT dan UANG adalah moda penting untuk belajar
musik. Tetapi, bakat dan uang BUKAN MODAL UTAMA dalam belajar musik. Modal
utamanya adalah DISIPLIN.
DEFINISI
DISIPLIN
Disiplin memang memiliki banyak batasan leksikografi.
Salah satunya adalah seperti yang tertera dalam KBBI atau Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Disiplin berarti TATA TERTIB.
Jelas musik memiliki TATA TERTIB. Anda tidak bisa mulai lesson dengan berbusana
daster atau swimpack.
Anda tidak bisa konser tanpa ada tata tertib
dalam persiapan penyelenggaraannya. Anda tidak bisa membuat komposisi musik,
jika Anda tak mengerti tata tertib dan aturannya. Dan sebetulnya Anda pun tidak
bisa mendengarkan musik yang Anda suka tanpa mengindahkan tata tertib lingkungan
Anda.
Disiplin berarti KETAATAN. Les musik bukan ajang demokrasi. Anda dituntut taat
aturan dan petunjuk guru dan/atau instrukturnya. Konser musik akan berurusan
dengan polisi dan hukum jika penyelenggaranya tidak disiplin alias taat
peraturan.
Dalam ranah seni, dimungkinkan tersembul mutiara dalam
kubangan lumpur. Totalitas dan intensitas berkesenian, adalah MUTIARA. Dalam
kubangan kehidupan sang seniman, yang bagi sebagian orang adalah lumpur.
Sosok yang kontroversial, Jimi Hendrix. Orang menjulukinya sebagai Dewa Gitar, A Guitar Man for All Season. Teknik
permainan gitarnya masih tetap dipelajari oleh para pemain gitar hingga hari
ini. Pendekatan musikalnya tetap dikagumi dan dijadikan acuan terutama bagi
penggemar musik Blues. Namun sisi
kelam kehidupannya juga kerap dipertanyakan dan sebagian masih berupa teka-teki
yang tragis bahkan sangat tragis. Terlepas dari semua kontroversi pada dirinya,
ada sisi lain yang menarik dari sosok Jimi Hendrix. Ia adalah pahlawan, A HERO.
Yang berjuang melalui seni. Jimi Hendrix adalah satria, dengan pedang berupa
gitar.
SEKILAS TENTANG
JIMI HENDRIX
Nama asli Jimi hendrix adalah James Marshall. Lahir di Seattle, Washington 7 November 1942 dan
meninggal di London pada 18 September 1970. Jimi Hendrix adalah anak dari
seorang Negro dan Indian Amerika. Dua ras yang saat itu mengalami diskriminasi
yang luar biasa. Diskriminasi rasial itulah yang mewarnai karir Jimi Hendrix
sebagai pemain gitar yang otodidak.
Venezuela adalah nama sebuah
negara yang terletak di bagian selatan Benua Amerika. Bagian Selatan Benua
Amerika dikenal juga sebagai Amerika Latin. Sebagai sebuah negara, Venezuela
memiliki sumber kekayaan alam yang besar dan potensial. Minyak, tambang emas, dan
juga sebagai penghasil berlian. Sebagian dari kita tentu masih ingat bahwa
Venezule adalah sebuah negara pengekspor minyak yang dahulu tergabung dalam OPEC(Organization of Petroleum Exporting Countries).
VENEZUELA
MASALAH SOSIAL DI VENEZUELA
Dalam beberapa hal, Venezuela
memiliki kesamaan dengan Indonesia. Iklim cuacanya relatif mirip dengan negara
kita. Jenis kekayaan alampun banyak yang juga dimiliki Indonesia. Tipikal
karakteristik fisik penduduknya juga tak jauh beda dengan fisik kebanyakan
masyarakat kita. Selain kemiripan dan kesamaan dalam sumber daya alam, iklim
dan tipikal fisik penduduknya, Indonesia dan Venezuela rupanya memiliki kesamaan
dan kemiripan juga dalam masalah sosial.
Dua negara tersebut, entah
karena sebab apa, sama-sama menghadapi persoalan banyaknya anak-anak jalanan. Sudah
tentu keberadaan anak-anak jalanan akan menyertakan pula dampak sosiologis yang
kurang menguntungkan. Bagi si anak jalanan itu sendiri maupun tatanan dan
kehidupan sosial masyarakat. Satu hal yang pasti adalah banyaknya anak jalanan
hampir selalu identik dengan maraknya kriminalitas, premanisme, prostitusi, dan
eksploitasi seks di bawah umur, beserta semua problematika derivatifnya.
Sebagian terbesar orang beranggapan dan menyatakan bahwa MUSIK
ADALAH SARANAHIBURAN. Memang
ada beberapa orang yang menganggap bahwa musik adalah STIMULUS. Mampu merangsang semangat dan impuls syaraf saat belajar
dan mampu membangkitkan gairah kerja. Sangat jarang, bahkan dapat dikatakan
langka, komunitas atau lapisan masyarakat yang menganggap bahwa musik adalah ASUPAN
BATHIN yang adalah juga SANTAPAN JIWA. Singkatnya, musik dimaknai
dan dicecap maknanya sebagai sarana hiburan dan stimulus. Mengapa bisa demikian?
Dan apakah anggapan tersebut salah? Keliru?
MUSIK DARI ERA KE ERA
Pada zaman purba, musik identik dengan MUSE. Para dewa dewi Yunani yang mengasup bathin dan jiwa dengan
sesuatu yang melenakan dan membius. Kemudian pada Era Baroque, musik tetap menjadi asupan bathin melalui kebutuhan
ekstase akan sesuatu yang bersifat religius. Kemudian pada Era Romantik, musik
mulai dijadikan sarana hiburan. Namun BUKAN hiburan penghilang gundah gulana, stress,
dan sedih. Melainkan hiburan sebagai bagian dari life style terutama untuk kalangan Kerajaan dan Bangsawan.
Bentuk
fisiknya hanyalah selembar kertas. Namun makna yang tersirat di dalamnya, mampu
menentukan mati hidupnya karir seorang penampil musik dan bahkan mati hidupnya
musik itu sendiri. Itulah TIKET PERTUNJUKAN. Zaman sekarang, masih banyak orang
yang berpendapat bahwa tiket pertunjukan musik, adalah sarana bagi
penyelenggara untuk menutup ongkos pertunjukan. Anggapan tersebut tentu sah dan
boleh saja. Meskipun sebetulnya, persoalannya tidaklah sesederhana itu.
SEBUAH MARKA BISNIS
Hal
pertama yang perlu kita tatap tajam adalah, bahwa TIKET PERTUNJUKAN, sebagaimana
tiket dalam ranah yang lain, adalah sebuah BUSINESS MARK (marka bisnis). Jadi ketika
tiket diterbitkan, si penerbit tiket, saat itu, sudah secara publik menyatakan,
bahwa IA MELAKUKAN BISNIS PENJUALAN.
Apa
yang dijual? Bisa macam-macam. Contohnya begini, jika kita naik Kereta Api
jurusan Jakarta-Surabaya misalnya. Tentu kita membayar uang pembelian tiket.
Artinya PERUMKA sebagai badan penyelenggara jasa kereta api, saat itu telah
melakukan kesepakatan bisnis sebagai produsen jasa transportasi, dengan
penumpang sebagai konsumen.
Apa
yang dibayar? Fasilitasnya, kursi reclining, kesejukan AC, hiburan TV, selimut
buat yang kaget dengan AC, ketepatan waktu perjalanan, keamanan, sampai pada
menikmati senyuman ramah para PRAMU DAN PRAMA kereta api. Untuk hal itulah kita
membayar tiket. DAN SAMA SEKALI BUKAN MENYUMBANG PERUMKA DALAM PERAWATAN LOKO
KERETA MAUPUN REL KERETA.
HARGA YANG HARUS DIBAYAR
Demikian
juga tiket pertunjukan musik. Saat kita datang pada konser pianis dunia, tiket
yang kita bayar adalah HARGA bagi sajian musik kelas dunia yang dibawakan oleh
seorang pianis kelas dunia. Dan sama sekali TIDAK DIMAKSUDKAN untuk membantu promotor
dan panitia menutup ongkos produksi. Perkara hasil tiket nantinya sebagian
dipakai untuk ongkos produksi, itu lain cerita.
Tulisan ini mengambil bentuk paparandan sama sekali bukan berupa, dan tidak dimaksudkan sebagai kajian ilmiah. Meski
beberapa data faktual disajikan, hal tersebut semata-mata adalah materi
penunjang terhadap hal-hal yang bertalian dengan pokok paparan. Sifat paparan
yang dipergunakan adalah telaah popular.
Jadi dengan demikian, pembahasan tentang sejarah pun merupakan sebuah tinjauan
popular dan sama sekali bukan penyampaian telaah historis.
Metode penalaran paparan, adakalanya menggunakan penalaran induktif. Hal ini berlaku
bagi misalnya sebuah sajian fakta sejarah. Penalaran secara deduktif juga
dipergunakan terutama ketika menyampaikan gagasan yang berdasar pada premis
yang tentu secara subyektif telah terujikan. Penggunaan pustaka, baik buku
maupun sumber dari internet, termasuk video, saya pergunakan sebagai materi
pendukung metodologi penalaran. Itulah mengapa dalam paparan ini tidak saya pergunakan catatan kaki.
Beberapa pustaka yang kiranya dapat menunjang penelaahan lebih lanjut, tetap
saya cantumkan dalam daftar pustaka.
Tema pokok pemaparan adalah sebuah keterkaitan, baik secara masif,
masif holistik maupun masif parsial dan parsial, pada Musik Klasik di tanah air dalam pertaliannya dengan seni, sejarah dan
masyarakat. Penulis meletakkan inti pemaparan pada sebuah rangkai peristiwa
yang menurut penulis, cukup unik dan dapat mewakili dengan layak tentang
keadaan dan keberadaan Musik Klasik di tanah air, dalam rentang waktu dua
sampai tiga tahun terakhir. Rangkai peristiwa tersebut menyatu pada GITAR
KLASIK. Gitar Klasik dalam paduannya sebagai seni dan dalam ranah seni, Gitar
Klasik dalam napak tilas keberadaannya di tanah air dan sosio-kultural
masyarakat terhadap alat musik “Klasik” yang semestinya sangat memasyarakat,
namun juga termarjinalkan.
Saya kira,pastilah anak SD
pun tahu dan paham bahwa P3K adalah Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan - a first aid for accident injury.Lho?! Lalu??!! Apa hubungannya dengan gitaris klasik??!! Waduuh... rasanya kok ngeri-ngeri gimana gitu yauw... Atau jangan-jangan...
main gitar klasik bisa cidera ya ... kok sampai perlu ada P3K nya segala? Hmm... please calm and cool,Mas Bro dan Mbak Sis sekalian.
CIDERA DALAM BERMAIN INSTRUMEN
Cidera dalam bermain instrumen
musik,apapun bentuknya memang sangat mungkin terjadi.Main Piano,jika salah postur
dan gestur akan mengakibatkan cidera otot dan syaraf jari bahkan tangan dan
lengan.Para maestro biola,ketika menghadapi latihan yang spartan,seringkali mengalami luka
lecet pada bantalan jarinya.Demikian pula dengan gitaris klasik.Lecet kecil pada bantalan
jari,sudah umum terjadi terutama pada pemula.Luka lecet ini dengan
berjalannya waktu sembari terus menerus latihan,akan menjadi Callusesatau kapalan.Postur duduk
pemain gitar klasik,untuk beberapa dekade dapat mengakibatkan masalah baru seperti
peradangan sendi pada pinggang.Hal yang dialami oleh maha gitaris klasik seperti John Christopher William dan Julian Bream.
FOOT STOOL DAN NECK
UP
Cidera pada
gitaris klasik memang adalah hal yang mengerikan dan menakutkan.Namun dengan cara
pembelajaran teknik yang baik dan benar serta didukung oleh kemajuan teknologi,hal semacam itu
sangat dapat dihindari.Posisi duduk misalnya.Gitaris klasik konvensional kerap kali menggunakan
foot stool.Posisi duduk dengan satu
kaki bertengger di atas foot stool lah
yang menjadi biang keladi lahirnya peradangan seni pinggang.Dengan kemajuan
teknologi,zaman sekarang dibuatlah NECK UP sebagai pengganti foot stool.Neck Up sangat bersifat ergonomis dan memberi
keleluasaan
relaksasi semua otot dan persendian,saat seorang gitaris klasik duduk berlatih selama
berjam-jam.
GITAR KLASIK: MURAH, TAPI TIDAK MURAHAN Gitar klasik sering dianggap sebagai alat musik yang murah meriah. Tentu saja anggapan ini sangat benar, jika gitar klasik diperbandingkan dengan piano. Untuk piano upright dengan kelas “lumayan” orang harus mengeluarkan uang lebih dari 20 juta rupiah. Sedangkan untuk gitar klasik, hmmm… cukup dengan merogoh dompet 1 juta rupiah saja kita sudah dapat membawa pulang gitar klasik dengan mutu baik.
Meskipun demikian, sebetulnya persoalannya tidaklah sesederhana itu. Pada tingkat siswa, bisa jadi kebutuhan kita terakomodir dengan gitar seharga 1 sampai dengan 2 juta rupiah. Namun bagaimana jika kita telah belajar gitar klasik lebih dari dua tahun? Apakah kita masih bertahan dengan gitar pertama kita? Ada beberapa hal yang sudah saatnya dicermati di seputar instrumen gitar klasik. Tujuannya agar para siswa, para siswa lanjutan dan mahir serta para guru dan peminat gitar, paham secara obyektif. Bahwa sampai sejauh mana “nilai” material sebuah gitar klasik.
Jika kita sempat
meluangkan waktu sedikit saja untuk membaca sejarah musik, tentu kita akan
mendapati fakta-fakta unik dalam rentang napak tilas musik dalam sejarah
peradaban umat manusia. Sejarah musik mencatat, bahwa bentuk “permainan bersama” dalam musik, merupakan
sebuah jalur komunikasi budaya. Komunikasi
yang bukan verbal melainkan dalam
bingkai estetis. Komunikasi tersebut dapat sangat personal, dapat pula sebuah deklarasi
pada publik, dan seringkali sebuah “pertandingan”
adu mahir seperti binatang.
WA. Mozart
bermain musik bersama kakak perempuannya, Nannerl sebagai bentuk komunikasi
personal. Wolfgang Amadeus Mozart,
Johann Sebastian Bach, dan Ludwig van
Beethovenseringkali unjuk kebolehan dengan mengimprovisasi thema saat
resital. Sebagai sebuah bentuk kebersamaan dalam komunikasi budaya. Jangan
pernah lupa, bahwa ada juga pertandingan adu mahir. Lawan pemain organ Bach
yang lari ketakutan tunggang langgang. Beethoven melahan adu jago main piano sampai
melawan beberapa orang sekaligus. Dan salah satu yang paling terkenal adalah
duel piano yang bersejarah melibatkan Muzio
Clementi.
A moving documentary about Venezuela's unique system of music education takes us from barrios to Caracas to the world's finest concert halls. It shows how Venezuelan visionary Jose Antonio Abreu has changed lives of hundreds of thousands children over the past three decades. Children from streets dominated by the gun battles of gang warfare are taken into music schools, given access to music and taught through the model of the symphony orchestra how to build a better society.
VENEZUELA
adalah nama sebuah negara yang terletak di bagian selatan benua Amerika. Bagian
selatan benua Amerika dikenal juga sebagai Amerika Latin. Sebagai sebuah
negara, Venezuela memiliki sumber kekayaan alam yang besar dan potensial: minyak,
tambang emas, dan juga sebagai penghasil berlian. Sebagian dari kita tentu
masih ingat bahwa Venezule adalah sebuah negara pengekspor minyak yang
tergabung dalam OPEC(Organization of Petroleum Exporting
Countries.)
Dalam
beberapa hal, Venezuela memiliki kesamaan dengan Indonesia. Iklim cuacanya relatif
mirip dengan negara kita, jenis kekayaan alampun banyak yang juga dimiliki
Indonesia, tipikal karakteristik fisik penduduknya juga tak jauh beda dengan
fisik kebanyakan masyarakat kita.
Seorang gitaris Tanah Air kelahiran Tegal, Michael Gunadi Widjaja,
yang selama ini banyak menggelar pertunjukkan musik di sejumlah tempat,
baik piano maupun gitar. Disamping menggarap komposisi musik untuk
tari, Minggu (19/5), bakal tampil di Pusat Kebudayaan Amerika di
Jakarta, tepatnya di Pacific Place lantai 3. Dalam konser berjudul 'Disney Pianolicious' - A Tribute to Walt Disney and American Movie. Michael Gunadi membawakan sebuah lagu berjudul 'Asturias' karya Isaac Albeniz dari Spanyol (1860-1909). Lagu cantik yang bakal dimainkannya merupakan soundtrack film "The Mirrors".
Selain gitar karya Isaac Albeniz, nomor kedua gitaris alumnus Perth Conservatory of Music, Australia (1988-1990), juga tampil membawakan sebuah transkripsi karya komponis asal Jerman, Johann Sebastian Bach.
"Sebagai direktur konser seorang musik edukator alumnus Jerman, Jelia Megawati Heru.
Sebelumnya dia pernah mengadakan seminar pendidikan musik di Tegal,
yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Tegal setahun yang lalu. Dia
tampil dengan Ensemble Piano Golden Fingers di Taman Budaya Tegal", ucapnya.
Sekedar
diketahui, penampilan Michael Gunadi Widjaja merupakan sebuah debut
internasional untuk kesekian kalinya. Konser yang diadakan tersebut
merupakan sarana dialog budaya melalui musik. Terutama dengan masyarakat
dari kultur Amerika. Disamping dihadiri warga Amerika yang saat ini
tinggal di Indonesia. (din)
more about the music concert "Disney Pianolicious",
The piano is pretty much intimate instrument that work
fantastically for solo, group ensemble or orchestra. But not many know that
piano alone or a bunch of guitars can be an ensemble of its own and entertain
us with a rich range of melodies. A piano that is played by two people, three
people, or even four people could actually give you less monotone and a more
interactive performance to watch.
The importance of the solo pianist in the world of music is beyond
question, but the life of solo pianist can be lonely. The piano ensembles offers a unique
opportunity to make beautiful music with another person at the same instrument.
While the basic principles of solo performance also applied, playing piano
ensembles could be really challenging, for some of the pianists have found
themselves playing “duels” instead of “duets”.
One of the hallmarks of any fine musical group is its ensemble.
The music should sound as if played by one person. Not only the notes should
come precisely together, but in the terms of style and flexibility, allowing
the music to breathe...
Piano ensemble is the art of playing music together in the form of
1 piano 4 hands (two people at one piano), 1 piano 6 hands (three people at one
piano), 2 pianos (two peoples at two pianos), and 2 pianos 8 hands (four people
at two pianos).
The piano ensemble is, on the one hand, a genre or musical medium
that stands independently on its own merits, while on the other hand it can be
considered chamber music, like string quartet, where the players must be
prepared to change roles instantly, from soloist – shaping & projecting
melodic lines, to accompanist and back to soloist. Play with different character,
and almost limitless possibilities of its own to create a beautiful music.
This is fascinating and ongoing task because music is like a
kaleidoscope, constantly changing. That’s
why both verbal conversation in rehearsal and real musical dialogue are
essential. A different background, temperament, and preference of each person
will bring a colorful musical experience. Certainly, both partners must
submerge their egos for the good of the music itself.
The process of merging with another individual in a duo or larger
group of musicians, or with an audience, is the essence of communication. This
communication is made possible by the silent rhythm that connects everyone.
This is what allows for spontaneous magic to lift people into a perfect
synchrony where everyone can perform and experience the music as one.
One of the best reasons to play an instrument is to play with
others. Not only does it improve your playing. It’s great fun and a great way
to make connection with the others in all sorts of ways and locations.
“Never
shall I forget the time I spent with you.
Please
continue to be my friend, as you will always find me yours”
–
Ludwig van Beethoven –
WHY PIANO ENSEMBLES?
Nowadays music lovers often turn to recordings, television, and
youtube when they want to enjoy listening at home. In the late 18th & 19th centuries,
however, it was both a necessity and a great pleasure to make one's own music
at home, often in the form of piano duet. The need for 20 Fingers at the piano,
rather than 10 Fingers, was partially due to the desire of music lovers to play
piano transcriptions of orchestral pieces, chamber works, and even opera, this
being their only way of hearing such music at their own convenience, and
finding that two hands were quite inadequate for this task.
This "reading" of the scores led to a much deeper
understanding of the structure and the melodic, harmonic, rhythmic content of
the music than the merely passive listening in which we indulge today. The
piano ensembles provided the opportunity to hear and study music compositions,
and to enjoy a social interaction - making music with a friend, relative, or
colleague. The use of the piano ensembles as a means of re-hearing and
studying orchestral pieces was only the beginning; the best was yet to come.
Beside the joy that playing together brings, and the recital
potential of the young ones (pedagogical use), it also develops musicianship.
The ultimate goal for piano ensemble playing is to pay more attention, listen
to themselves, others, and hence, to the total sound. "Listening,"
in this context, compels players to stay together and balance their parts. The
art of piano ensembles playing incorporates the many aspects of beautiful,
effective solo performance (singing tone, balance, rubato where appropriate,
sensitive pedaling, etc.)
PROFILE
Jelia Megawati Heru,
M.Mus.Edu.
Music
Educator, Lecturer, Music Advisor, and Pianist
Jelia Megawati Heru started learning the piano at the age of 5.
She continued learning Classical Piano with different music teachers in
Jakarta, such as: Helen Gumanti, BA (USA) and Angelita Chandra, M.Mus.
(Belgian).
Then in 2002, she started her study in Music Education for
Instrument (Instrumental Pädagogik) at Fachhochschule Osnabrück Konservatorium,
Institut für Musikpädagogik – Germany, majoring in Classical Piano with Prof.
Ljuba Dimowa-Florian (Hungaria), minor Vocal with Torsten Meyer, Dipl. Mus.
(Hochschule für Musik u. Theater Hannover, Germany) and Jazz Piano with
Wolfang Mechsner, Dipl. Mus. (Hochschule Vechta & Münster, Germany).
During her stay in Germany, besides actively performing and
teaching music, Jelia attended many seminars and forum, such as: Forum
Musikpädagogik I with Prof. Dr. Hans Günther Sebastian (Frankfurt am Main
University); studied Solmisation Technique and Kodà ly Technique from Prof. Dr.
Malte Heygster (conductor of symphony orchestra Recklinghausen & Bielefeld,
head master of Bielefeld music school, chapel master of chamber orchestra Köln
and also an author for “Hand Book of Relative Solmisation” – Schott).
She became an active participant in various chamber music and
master class in Germany and other countries, such as: Chamber Music -
Prof. Gerard Chenuet (Nantes, France), Conducting for Ensemble and Choir
- Prof. Folker Schramm (UDK, Berlin), Contemporary Music – Prof. Imgard
Brockmann (Osnabrück, Germany), Choir Studio, Chamber Choir, Acapella and
Arrangement – Prof. Michael Schmoll (Dean of FH. Osnabrück Konservatorium,
lecturer, composer and conductor).
Then she received her Master Degree in Music Education (as Master
of Music Education – Dipl. Mus. Pedägogin) in 2005 from FH. Osnabrück
Konservatorium with cum laude. In the same year, became an active
performer for “Benefit Concert Tour for Aceh” in Hannover, Münster and
Braunschweig - Germany.
In 2006 Jelia went back for good to her homeland Indonesia, was a
keynote speaker in Universitas Negeri Jakarta (UNJ, Rawamangun) for Comparison
Study of Education System in Indonesia, active as an educator in Deutsche
Internationale Schule (DIS – German School, BSD Tangerang) and joined Institut
Musik Daya Indonesia since then as lecturer for subjects, such as: Music
Education, Music History, History of Music Instruments, Ear Training, Music
Theory and Major Piano.
In 2007, she was a Dean of Institut Musik Daya Indonesia (IMDI)
and Faculty of Music Pedagogy & Head of Piano Department.
In 2008, She's a member of the National Music Ministry of National
Education Consortium, which is tasked to develop music education curriculum for
music schools in Indonesia. In
cooperation with Tjut Nyak Deviana Daudsjah designed and developed Curriculum
of National Standarization for Music School in Indonesia (validation by the
Federal Government of National Education, known as DEPDIKNAS.
In 2009, to contribute for the development of music education in
Indonesia, she wrote books in cooperation with DEPDIKNAS “Piano Teaching’s
Guide: Note-Reading and Piano for Beginner” and “Basic Music Theory (for
all Instruments)” as guideline books for general music course in
Indonesia.
Now she is active as a music educator and academic
advisor/consultant in various music schools - for updating & upgrading
music school curriculum standard, conducting workshops to build & develop
music teachers competencies, and conduct teacher’s concert (chamber music and
piano ensembles).
Also active as seminator and keynote speaker in various cities in
Indonesia - Universitas Negeri Jakarta, Tegal Council of Arts, Sinfonia Music
Bandung, First Media Design School of Indonesia, Amazing Music Jogja Festival,
and many more...
Performer in collaboration for music education’s sake, director of
piano ensembles projects „Golden
Fingers“She created event that showcased the young teachers
that she developed to participated in her music program. The Golden Fingers is
not just an usual piano ensembles group, but a pilot project to implement the
concept of “Music from Passion”. Jelia believes that the piano ensemble is
not only about playing piano together, but it is an actual effort to liven up
the music. “Golden Fingers Piano Ensembles” was invited by the Tegal
Council of Arts on March 4th, 2012 at Taman Budaya Tegal, Central Java – as the
soft opening for the most representative cultural arena theater of the city
with capacity of 1000 seats, professional lighting, and stage.
Read Golden Fingers Piano
Ensembles Reportage
on Kawai Newsletter No. 29, 2012
(distributed all over the world):
Michael Gunadi Widjaja "Medley Indonesian Folksong"
Albert Lavignac "Gallop March"
Writer for STACCATO - the first classical music magazine in
Indonesia, and her blogs (www.jeliaedu.blogspot.com& www.piano-ensembles.blogspot.com) – to
shares thoughts and point of view about actualization & the importance of
music education to teachers, practitioners, musicians, music lovers, students,
and parents; so people could appreciate music more, feel the enjoyment of
music, and get inspired by the power of music… “Music from Passion &
Music for Life”