Showing posts with label concert. Show all posts
Showing posts with label concert. Show all posts

Sunday, 1 October 2023

GIG - by: Michael Gunadi | Staccato, October 2023

GIG
By: Michael Gunadi
Staccato, October 2023


Seorang Gitaris perempuan yang hebat, namanya Ana Vidovic, asal Croatia, bilang bahwa jika ingin meniti karir sebagai Gitaris, syarat mutlaknya adalah memiliki cinta yang luar biasa pada Gitar dan dunianya. Pendapat ini tak hanya berlaku bagi Gitar, namun berlaku juga bagi setiap pemusik apapun instrumen musiknya, termasuk penyanyi.Kenapa harus ada rasa cinta yang luar biasa pada alat musik dan dunianya? Ya karena kehidupan sebagai pemusik itu sangat berat. Latihan berjam-jam tiap hari, manggungnya belum tentu setahun sekali. Manggung inilah yang sebetulnya menjadi inti pokok kehidupan seorang pemusik. Perform. As a Performance. Untuk apa? Ya tentu untuk cari nafkah. Dalam menjalani kehidupannya, seorang pemusik, yang hidup murni dari musik memiliki 2 jenis lahan penghasilan. Konser dan/atau Resital serta GIG.


ANA VIDOVIC

Gig ini sebetulnya ya performance. Tampil. Manggung. Lalu apa bedanya dengan Konser dan/atau Resital? Begini. Konser itu penampilnya banyak. Resital penampilnya fokus satu atau dua saja. Baik Konser maupun Resital, mengusung idealisme pemusiknya. Jadi Konser/Resital biasanya akan disponsori sambil Jual Tiket. Dalam event semacam itu, Pemusik bebas main musik apapun yang dia suka dan dia hayati. Yang hadir ya mau tidak mau suka atau tidak suka “menikmati” sajian yang sudah dirancang si Pemusik bersama Team kreatifnya.

Sunday, 31 July 2022

Konser - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2022

KONSER
Staccato, August 2022
By: Michael Gunadi


Entah sampai kapan pandemi COVID-19 dengan segala carut marutnya akan berakhir. Jika berakhir saat ini pun, segudang persoalan masih menanti. Satu pertanyaan besarnya adalah: berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh dunia dalam segala segi dan lingkup kehidupan, untuk dapat kembali pada keadaan seperti sebelum adanya Pandemi. Pertanyaan ini sangat mengusik siapapun yang setidaknya merasakan atau bahkan terhimpit dan terkeremus dalam ketidakberdayaan akibat pandemi.

 

PANGGUNG PERTUNJUKKAN MUSIK

Sudah barang tentu, musik tak terkecuali. Pemusik sudah dapat dikatakan terkeremus menjadi remahan bagai kerupuk. Sebetulnya Pandemi ini hanyalah sebuah dentuman besar saja. Porak poranda dan kejatuhan musik, terutama musik industri dan industri musik, sudah dapat dirasakan dan diprediksi sejak 2010. Akar persoalannya menjadi rumit, meski sebetulnya ujung pangkalnya hanya satu. Adanya ruang, waktu dan kesempatan untuk menampilkan musik. Pemusik, apapun genre musik dan lingkup pekerjaannya, termasuk guru musik, membutuhkan ruang, waktu dan kesempatan untuk mengekspresikan diri melalui karya. BUTUH PANGGUNG.

 

Friday, 31 December 2021

Wanted: New Normal Music | by: Michael Gunadi | Staccato, January 2022

WANTED: NEW NORMAL MUSIC
By: Michael Gunadi
Staccato, January 2022


Pada tanggal 18 Agustus 2021, liputan6.com merilis sebuah berita yang sangat mengejutkan, yakni bahwa Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan: virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tidak akan hilang dalam waktu cepat. Mungkin butuh waktu 5-10 tahun lagi kita tetap hidup dengan virus Corona."Pandemi ini tidak akan hilang dengan cepat. Mungkin akan menjadi epidemi. Dan, kita harus hidup dengan mereka 5 tahun atau 10 tahun lagi," kata Budi dalam konferensi pers di YouTube Kemenkeu.

 

Sudah tentu, pernyataan Menkes tersebut merupakan sebuah Warning sekaligus juga arahan pada semua elemen masyarakat. Bahwa kita tidak bisa lagi hidup “bebas” seperti sebelum ada Pandemi Covid-19. dan setidaknya “belenggu” ini akan memasung kita untuk kurun waktu 5 sampai 10 Tahun. Warning Menkes tersebut tentu tidak pas jika kita tanggapi dengan kekhawatiran dan/atau ketakutan yang berlebihan. Akan lebih arif dan bijaksana jika Warning Menkes tersebut, kita respon dengan kewaspadaan sekaligus mencari terobosan dan rumusan. Akan bagaimanakah kehidupan kita di segala bidang, setidaknya untuk 5 sampai 10 tahun mendatang?

Tuesday, 7 December 2021

Duduk di Dua Kursi - by: Michael Gunadi | Staccato, December 2021

“DUDUK DI DUA KURSI”
By: Michael Gunadi
Staccato, December 2021

 


Mestinya Jika Anda pencinta Musik Klasik atau sekedar menggemari Musik Klasik pun, anda “harus” setidaknya pernah mendengar nama Friedrich Gulda. Ia adalah pianis kenamaan asal Austria. Berbedadengan pianis kenamaan lainnya seperti Daniel Barenboim, Andras Schiff, Evgeny Kissin, Gulda bukan semata pianis. Gulda adalah pemusik sejati. Lebih dari itu, Gulda adalah pemusik yang berhasil duduk di dua kursi. Kursi kemapanan musik klasik yang aristokrasi dan kursi Musik Jazz yang penuh aroma pemberontakan. Keberadaan Gulda, hanya bisa disamai oleh Frank Zappa. Pemusik yang juga berada dalam dua belahan “dunia”.



Pada 28 Maret 1999, dunia dikejutkan dengan satu berita. Bahwa Friedrich Gulda, sang pianis kenamaan, tenar dan bahkan legendaris, telah meninggal dunia. Sontak saja para pemusik, kritikus musik, kaum kerabat dan kolega, beramai-ramai memberikan tribute. Dengan macam macam cara. Ada yang melalui pidato, menggelar konser, membuat artikel, tulisan reportase dan seabreg bentuk penghormatan lainnya. Hanya selang beberapa kemudian, tiba-tiba Gulda muncul di depan publik dan seolah membiarkan para wartawan untuk tahu. Bahwa ia TIDAK/BELUM mati. Dan malahan mengumumkan akan menggelar sebuah “KONSER KEBANGKITAN. Tentu saja, berbagai kalangan menjadi terbelalak dan ternganga. Tapi itulah Friedrich Gulda. Pemusik yang tak pernah lepas dari sensasi.

Wednesday, 30 September 2020

PENGIRING - by: Michael Gunadi | Staccato, October 2020

“PENGIRING”
By: Michael Gunadi
Staccato, October 2020


PROFESI ACCOMPANIST

Pengiring atau Accompanist, lazimnya memainkan piano, organ atau gitar. Adalah sebuah profesi dalam ranah musik. Para pengiring adalah pemusik professional yang pekerjaan nafkah hidupnya adalah mendukung, berkolaborasi, dan bahkan kadang harus turun tangan untuk melatih. Biasanya ini terjadi pada sesi vokal dan paduan suara atau Choir. 

 

Seni yang dilayani para pengiring, terkadang juga melibatkan seni tari, seni teater juga cabang seni lainnya yang membutuhkan iringan musik. Dikarenakan bidang pekerjaan musiknya itulah, para pengiring kemudian mendapat predikat atau sebutan. Waaah.. dia itu pengiring choir. Kalau yang itu tuh, dia pengiring solo vocal. Oh… yang dekil itu dia pengiring musik teater. Dalam sesi rehearsal, tidak jarang pengiring ini harus membimbing, bahkan mengajari artisnya. Karena biasanya, si pengiring memiliki pengalaman dan jam terbang serta musikalitas yang lebih luas dan intens dibanding artisnya. 

 

KUALITAS YANG HARUS DIMILIKI SEORANG PENGIRING

Sebetulnya, menjadi pengiring, dalam batas tertentu, adalah terbukanya kesempatan jenjang karir yang sangat luas. Dari mulai Choir lokal, penyanyi yang baru coba jadi artis sambil gemeteran, sampai Ballet, Dance Theater dan vocal recital yang berkelas serta representatif. Pekerjaan sebagai pengiring, memiliki tuntutan yang sangat tinggi dan juga kepribadian yang sangat luwes dan supel. 

Tuesday, 31 March 2020

DOWN - by: Michael Gunadi | Staccato, April 2020

“DOWN”
By: Michael Gunadi
Staccato, April 2020


MAKNA KATA “DOWN”
Sudah tentu para pembaca setuju. Jika dalam beberapa kesempatan, kata DOWN bisa menimbulkan rasa dan suasana kurang nyaman. Down berarti turun, tidak naik, alias tidak ada pencapaian. Down identik dengan keterpurukan. Down menyiratkan makna kelelahan, keputusasaan dan bahkan apatis karena kekecewaan yang amat sangat traumatis, dan memang, DOWN merujuk pada keadaan sedemikian.
Siapapun bisa down. Tentu para pemusik mengalaminya. Dari mulai dihina sebagai pekerjaan bermasa depan suram. Karya yang dicibir. Penampilan yang dibully. Bahkan acapkali dan kerap kali hasil keringat terluput dari upah. Siapapun itu, baik pemusik kampung maupun Maestro kelas dunia bisa mengalaminya.

Sunday, 1 March 2020

DIAKUI - by: Michael Gunadi | Staccato, March 2020

“DIAKUI”
By: Michael Gunadi
(STACCATO, March 2020)



STATUS “DIAKUI”
Jika anda sempat membaca sejarah musik, maka anda akan dengan mudah menemukan serangkaian paparan catatan sejarah. Yang menunjukkan, mendokumentasi, dan memaparkan ambisi dan keinginan manusia, untuk memperoleh status DIAKUI dalam bidang musik. Ayah Beethoven, sengaja memalsukan usia Beethoven. Menjadi lebih muda beberapa tahun. Agar dapat diakui sebagai “ANAK AJAIB” yang sebanding dengan ketenaran Mozart kala itu. 


Para Raja, bangsawan dan pejabat negara, di zaman Bach, di zaman Mozart, banyak yang berlomba-lomba mempelajari alat musik. Sekedar untuk memperoleh status “DIAKUI”. Kala itu, seseorang yang mendapat status DIAKUI dalam bidang seni, termasuk musik, dianggap memiliki cita rasa dan kehalusan budi yang rupawan. Dengan sendirinya, akhlak dan perangainya pun dianggap luhur. Muaranya adalah jenjang karir dan harta yang bergelimang. Hal semacam ini terus berlangsung. Bahkan menjadi lebih marak setelah revolusi industri. Saat instrumen musik, khususnya piano sudah menjadi sebuah sarana pokok dalam rumah tangga masyarakat kebanyakan.

Thursday, 31 May 2018

IRONIKAL - by: Michael Gunadi (Staccato, June 2018)

“IRONIKAL”
by: Michael Gunadi Widjaja
(Staccato, June 2018)


MUSIK ITU PENTING NGGAK SIH?
Apakah dunia membutuhkan musik? Apakah manusia membutuhkan musik? Apakah KITA membutuhkan musik? Sungguh suatu pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Mengapa? Karena kita akan bertemu, berpapasan, bersinggungan, dan bahkan bertautan dengan hal-hal YANG IRONIS. Sebuah IRONIKAL.

Sudah sejak lama orang mendengang-dengungkan dan berteriak-teriak, bahwa dunia butuh musik. Manusia butuh musik. Kita semua butuh musik. Faktanya, beberapa negara bahkan sama sekali tak ada musik. Oleh karena satu dan lain hal, MUSIK DILARANG. Semua jenis musik dan bahkan bebunyian yang berkonotasi musik. (Dikarenakan sensitivitas materi, penulis tidak menyebut nama negara-negara tersebut). Namun Penulis yakin, para pembaca mampu menerka dengan benar. 


DUNIA TANPA MUSIK
Apakah masyarakat negara-negara tersebut hidup berantakan? Nggak tuh. Di negara-negara yang tidak memiliki musik, kehidupan pun tetap berlangsung. Orang tetap melakukan aktivitas dan vitalitasnya. Memang dalam sudut pandang yang “lebih bebas” dikatakan bahwa masyarakat di negara-negara yang tidak memiliki musik – tidak lagi manusiawi. Hidup mekanik bak robot ataupun bahkan mayat hidup. Stress, depresi, dan dicekam ketakutan. Benarkah demikian? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas kehidupan di negarta tersebut berlangsung untuk menghidupi masyarakatnya. Sebuah IRONI. Klaim bahwa musik adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia, menemui anomalinya.

Sunday, 1 April 2018

DISIPLIN BERMUSIK - by: Michael Gunadi (Staccato, April 2017)

DISIPLIN BERMUSIK
by: Michael Gunadi
(Staccato, April 2017)


MODAL UTAMA BELAJAR MUSIK
Mungkin suatu saat anda akan ditanya begini: “Apa sih MODAL utama belajar musik?”. Bisa saja dengan spontan anda menjawab: “BAKAT, brooo.” Atau kawan anda bisa saja dengan setengah bersungut-sungut akan berkomentar: “Bakat? Bakat apaan? Yang penting tuh DUIT!”. Les piano emang bisa dibayar es cendol? Terus beli piano, beli gitar, emang bisa dituker ama beras ketan?!

Semua jawaban tersebut sah-sah saja adanya. Namun kurang tepat. Memang BAKAT dan UANG adalah moda penting untuk belajar musik. Tetapi, bakat dan uang BUKAN MODAL UTAMA dalam belajar musik. Modal utamanya adalah DISIPLIN.



DEFINISI DISIPLIN
Disiplin memang memiliki banyak batasan leksikografi. Salah satunya adalah seperti yang tertera dalam KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Disiplin berarti TATA TERTIB. Jelas musik memiliki TATA TERTIB. Anda tidak bisa mulai lesson dengan berbusana daster atau swimpack.

Anda tidak bisa konser tanpa ada tata tertib dalam persiapan penyelenggaraannya. Anda tidak bisa membuat komposisi musik, jika Anda tak mengerti tata tertib dan aturannya. Dan sebetulnya Anda pun tidak bisa mendengarkan musik yang Anda suka tanpa mengindahkan tata tertib lingkungan Anda.

Disiplin berarti KETAATAN. Les musik bukan ajang demokrasi. Anda dituntut taat aturan dan petunjuk guru dan/atau instrukturnya. Konser musik akan berurusan dengan polisi dan hukum jika penyelenggaranya tidak disiplin alias taat peraturan. 

Monday, 4 September 2017

MUTIARA BERKUBANG LUMPUR - by: Michael Gunadi (Staccato, September 2017)

“MUTIARA BERKUBANG LUMPUR”
by: Michael Gunadi Widjaja
(Staccato, September 2017)


Dalam ranah seni, dimungkinkan tersembul mutiara dalam kubangan lumpur. Totalitas dan intensitas berkesenian, adalah MUTIARA. Dalam kubangan kehidupan sang seniman, yang bagi sebagian orang adalah lumpur.

Sosok yang kontroversial, Jimi Hendrix. Orang menjulukinya sebagai Dewa Gitar, A Guitar Man for All Season. Teknik permainan gitarnya masih tetap dipelajari oleh para pemain gitar hingga hari ini. Pendekatan musikalnya tetap dikagumi dan dijadikan acuan terutama bagi penggemar musik Blues. Namun sisi kelam kehidupannya juga kerap dipertanyakan dan sebagian masih berupa teka-teki yang tragis bahkan sangat tragis. Terlepas dari semua kontroversi pada dirinya, ada sisi lain yang menarik dari sosok Jimi Hendrix. Ia adalah pahlawan, A HERO. Yang berjuang melalui seni. Jimi Hendrix adalah satria, dengan pedang berupa gitar.


SEKILAS TENTANG JIMI HENDRIX
Nama asli Jimi hendrix adalah James Marshall. Lahir di Seattle, Washington 7 November 1942 dan meninggal di London pada 18 September 1970. Jimi Hendrix adalah anak dari seorang Negro dan Indian Amerika. Dua ras yang saat itu mengalami diskriminasi yang luar biasa. Diskriminasi rasial itulah yang mewarnai karir Jimi Hendrix sebagai pemain gitar yang otodidak.

Tuesday, 1 August 2017

DARI JALANAN KE PENTAS MUSIK DUNIA - by: Michael Gunadi (Staccato, August 2017)

“DARI JALANAN KE PENTAS MUSIK DUNIA”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, August 2017


TENTANG VENEZUELA
Venezuela adalah nama sebuah negara yang terletak di bagian selatan Benua Amerika. Bagian Selatan Benua Amerika dikenal juga sebagai Amerika Latin. Sebagai sebuah negara, Venezuela memiliki sumber kekayaan alam yang besar dan potensial. Minyak, tambang emas, dan juga sebagai penghasil berlian. Sebagian dari kita tentu masih ingat bahwa Venezule adalah sebuah negara pengekspor minyak yang dahulu tergabung dalam OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries).

VENEZUELA

MASALAH SOSIAL DI VENEZUELA
Dalam beberapa hal, Venezuela memiliki kesamaan dengan Indonesia. Iklim cuacanya relatif mirip dengan negara kita. Jenis kekayaan alampun banyak yang juga dimiliki Indonesia. Tipikal karakteristik fisik penduduknya juga tak jauh beda dengan fisik kebanyakan masyarakat kita. Selain kemiripan dan kesamaan dalam sumber daya alam, iklim dan tipikal fisik penduduknya, Indonesia dan Venezuela rupanya memiliki kesamaan dan kemiripan juga dalam masalah sosial.

Dua negara tersebut, entah karena sebab apa, sama-sama menghadapi persoalan banyaknya anak-anak jalanan. Sudah tentu keberadaan anak-anak jalanan akan menyertakan pula dampak sosiologis yang kurang menguntungkan. Bagi si anak jalanan itu sendiri maupun tatanan dan kehidupan sosial masyarakat. Satu hal yang pasti adalah banyaknya anak jalanan hampir selalu identik dengan maraknya kriminalitas, premanisme, prostitusi, dan eksploitasi seks di bawah umur, beserta semua problematika derivatifnya.

Wednesday, 31 May 2017

MENIKMATI MUSIK - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, June 2017)

“MENIKMATI MUSIK”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, June 2017


MAKNA MUSIK
Sebagian terbesar orang beranggapan dan menyatakan bahwa MUSIK ADALAH SARANA HIBURAN. Memang ada beberapa orang yang menganggap bahwa musik adalah STIMULUS. Mampu merangsang semangat dan impuls syaraf saat belajar dan mampu membangkitkan gairah kerja. Sangat jarang, bahkan dapat dikatakan langka, komunitas atau lapisan masyarakat yang menganggap bahwa musik adalah ASUPAN BATHIN yang adalah juga SANTAPAN JIWA. Singkatnya, musik dimaknai dan dicecap maknanya sebagai sarana hiburan dan stimulus. Mengapa bisa demikian? Dan apakah anggapan tersebut salah? Keliru?

MUSIK DARI ERA KE ERA
Pada zaman purba, musik identik dengan MUSE. Para dewa dewi Yunani yang mengasup bathin dan jiwa dengan sesuatu yang melenakan dan membius. Kemudian pada Era Baroque, musik tetap menjadi asupan bathin melalui kebutuhan ekstase akan sesuatu yang bersifat religius. Kemudian pada Era Romantik, musik mulai dijadikan sarana hiburan. Namun BUKAN hiburan penghilang gundah gulana, stress, dan sedih. Melainkan hiburan sebagai bagian dari life style terutama untuk kalangan Kerajaan dan Bangsawan.

Sunday, 7 May 2017

TIKET PERTUNJUKKAN - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, May 2017)

“TIKET PERTUNJUKAN”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, May 2017


DEFINISI TIKET PERTUNJUKAN
Bentuk fisiknya hanyalah selembar kertas. Namun makna yang tersirat di dalamnya, mampu menentukan mati hidupnya karir seorang penampil musik dan bahkan mati hidupnya musik itu sendiri. Itulah TIKET PERTUNJUKAN. Zaman sekarang, masih banyak orang yang berpendapat bahwa tiket pertunjukan musik, adalah sarana bagi penyelenggara untuk menutup ongkos pertunjukan. Anggapan tersebut tentu sah dan boleh saja. Meskipun sebetulnya, persoalannya tidaklah sesederhana itu.

SEBUAH MARKA BISNIS
Hal pertama yang perlu kita tatap tajam adalah, bahwa TIKET PERTUNJUKAN, sebagaimana tiket dalam ranah yang lain, adalah sebuah BUSINESS MARK (marka bisnis). Jadi ketika tiket diterbitkan, si penerbit tiket, saat itu, sudah secara publik menyatakan, bahwa IA MELAKUKAN BISNIS PENJUALAN.

Apa yang dijual? Bisa macam-macam. Contohnya begini, jika kita naik Kereta Api jurusan Jakarta-Surabaya misalnya. Tentu kita membayar uang pembelian tiket. Artinya PERUMKA sebagai badan penyelenggara jasa kereta api, saat itu telah melakukan kesepakatan bisnis sebagai produsen jasa transportasi, dengan penumpang sebagai konsumen.

Apa yang dibayar? Fasilitasnya, kursi reclining, kesejukan AC, hiburan TV, selimut buat yang kaget dengan AC, ketepatan waktu perjalanan, keamanan, sampai pada menikmati senyuman ramah para PRAMU DAN PRAMA kereta api. Untuk hal itulah kita membayar tiket. DAN SAMA SEKALI BUKAN MENYUMBANG PERUMKA DALAM PERAWATAN LOKO KERETA MAUPUN REL KERETA.

HARGA YANG HARUS DIBAYAR
Demikian juga tiket pertunjukan musik. Saat kita datang pada konser pianis dunia, tiket yang kita bayar adalah HARGA bagi sajian musik kelas dunia yang dibawakan oleh seorang pianis kelas dunia. Dan sama sekali TIDAK DIMAKSUDKAN untuk membantu promotor dan panitia menutup ongkos produksi. Perkara hasil tiket nantinya sebagian dipakai untuk ongkos produksi, itu lain cerita.

Sunday, 7 August 2016

GITAR KLASIK: "SI KAYA YANG TERMISKINKAN" - by: Michael Gunadi Widjaja

GITAR KLASIK:
"SI KAYA YANG TERMISKINKAN"
by: Michael Gunadi Widjaja


PENGANTAR
Tulisan ini mengambil bentuk paparan dan sama sekali bukan berupa, dan tidak dimaksudkan sebagai kajian ilmiah. Meski beberapa data faktual disajikan, hal tersebut semata-mata adalah materi penunjang terhadap hal-hal yang bertalian dengan pokok paparan. Sifat paparan yang dipergunakan adalah telaah popular. Jadi dengan demikian, pembahasan tentang sejarah pun merupakan sebuah tinjauan popular dan sama sekali bukan penyampaian telaah historis.

Metode penalaran paparan, adakalanya menggunakan penalaran induktif. Hal ini berlaku bagi misalnya sebuah sajian fakta sejarah. Penalaran secara deduktif juga dipergunakan terutama ketika menyampaikan gagasan yang berdasar pada premis yang tentu secara subyektif telah terujikan. Penggunaan pustaka, baik buku maupun sumber dari internet, termasuk video, saya pergunakan sebagai materi pendukung metodologi penalaran. Itulah mengapa dalam paparan ini tidak saya pergunakan catatan kaki. Beberapa pustaka yang kiranya dapat menunjang penelaahan lebih lanjut, tetap saya cantumkan dalam daftar pustaka.

Tema pokok pemaparan adalah sebuah keterkaitan, baik secara masif, masif holistik maupun masif parsial dan parsial, pada Musik Klasik di tanah air dalam pertaliannya dengan seni, sejarah dan masyarakat. Penulis meletakkan inti pemaparan pada sebuah rangkai peristiwa yang menurut penulis, cukup unik dan dapat mewakili dengan layak tentang keadaan dan keberadaan Musik Klasik di tanah air, dalam rentang waktu dua sampai tiga tahun terakhir. Rangkai peristiwa tersebut menyatu pada GITAR KLASIK. Gitar Klasik dalam paduannya sebagai seni dan dalam ranah seni, Gitar Klasik dalam napak tilas keberadaannya di tanah air dan sosio-kultural masyarakat terhadap alat musik “Klasik” yang semestinya sangat memasyarakat, namun juga termarjinalkan.

Friday, 6 May 2016

P3K GITARIS KLASIK - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, May 2016)

"P3K GITARIS KLASIK"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, May 2016

Saya kira, pastilah anak SD pun tahu dan paham bahwa P3K adalah Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan - a first aid for accident injury. Lho?! Lalu??!! Apa hubungannya dengan gitaris klasik??!! Waduuh... rasanya kok ngeri-ngeri gimana gitu yauw... Atau jangan-jangan... main gitar klasik bisa cidera ya ... kok sampai perlu ada P3K nya segala? Hmm... please calm and cool, Mas Bro dan Mbak Sis sekalian.


CIDERA DALAM BERMAIN INSTRUMEN
Cidera dalam bermain instrumen musik, apapun bentuknya memang sangat mungkin terjadi. Main Piano, jika salah postur dan gestur akan mengakibatkan cidera otot dan syaraf jari bahkan tangan dan lengan. Para maestro biola, ketika menghadapi latihan yang spartan, seringkali mengalami luka lecet pada bantalan jarinya. Demikian pula dengan gitaris klasik. Lecet kecil pada bantalan jari, sudah umum terjadi terutama pada pemula. Luka lecet ini dengan berjalannya waktu sembari terus menerus latihan, akan menjadi Calluses atau kapalan. Postur duduk pemain gitar klasik, untuk beberapa dekade dapat mengakibatkan masalah baru seperti peradangan sendi pada pinggang. Hal yang dialami oleh maha gitaris klasik seperti John Christopher William dan Julian Bream.

FOOT STOOL DAN NECK UP
Cidera pada gitaris klasik memang adalah hal yang mengerikan dan menakutkan. Namun dengan cara pembelajaran teknik yang baik dan benar serta didukung oleh kemajuan teknologi, hal semacam itu sangat dapat dihindari. Posisi duduk misalnya. Gitaris klasik konvensional kerap kali menggunakan foot stool. Posisi duduk dengan satu kaki bertengger di atas foot stool lah yang menjadi biang keladi lahirnya peradangan seni pinggang. Dengan kemajuan teknologi, zaman sekarang dibuatlah NECK UP sebagai pengganti foot stool. Neck Up sangat bersifat ergonomis dan memberi keleluasaan relaksasi semua otot dan persendian, saat seorang gitaris klasik duduk berlatih selama berjam-jam.

Wednesday, 6 January 2016

"GORENGAN GITAR" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, January 2016)

"GORENGAN GITAR"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, January 2016



GITAR KLASIK: MURAH, TAPI TIDAK MURAHAN
Gitar klasik sering dianggap sebagai alat musik yang murah meriah. Tentu saja anggapan ini sangat benar, jika gitar klasik diperbandingkan dengan piano. Untuk piano upright dengan kelas “lumayan” orang harus mengeluarkan uang lebih dari 20 juta rupiah. Sedangkan untuk gitar klasik, hmmm… cukup dengan merogoh dompet 1 juta rupiah saja kita sudah dapat membawa pulang gitar klasik dengan mutu baik.

Meskipun demikian, sebetulnya persoalannya tidaklah sesederhana itu. Pada tingkat siswa, bisa jadi kebutuhan kita terakomodir dengan gitar seharga 1 sampai dengan 2 juta rupiah. Namun bagaimana jika kita telah belajar gitar klasik lebih dari dua tahun? Apakah kita masih bertahan dengan gitar pertama kita? Ada beberapa hal yang sudah saatnya dicermati di seputar instrumen gitar klasik. Tujuannya agar para siswa, para siswa lanjutan dan mahir serta para guru dan peminat gitar, paham secara obyektif. Bahwa sampai sejauh mana “nilai” material sebuah gitar klasik.



Friday, 7 February 2014

"JAMMING JAZZ" (Artikel Staccato Februari 2014) - by: Michael Gunadi Widjaja

"JAMMING JAZZ"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel Staccato Februari 2014


KOMUNIKASI DALAM MUSIK
Jika kita sempat meluangkan waktu sedikit saja untuk membaca sejarah musik, tentu kita akan mendapati fakta-fakta unik dalam rentang napak tilas musik dalam sejarah peradaban umat manusia. Sejarah musik mencatat, bahwa bentuk “permainan bersama” dalam musik, merupakan sebuah jalur komunikasi budaya. Komunikasi yang bukan verbal melainkan dalam bingkai estetis. Komunikasi tersebut dapat sangat personal, dapat pula sebuah deklarasi pada publik, dan seringkali sebuah “pertandingan” adu mahir seperti binatang.  

WA. Mozart bermain musik bersama kakak perempuannya, Nannerl sebagai bentuk komunikasi personal. Wolfgang Amadeus Mozart, Johann Sebastian Bach, dan Ludwig van Beethoven seringkali unjuk kebolehan dengan mengimprovisasi thema saat resital. Sebagai sebuah bentuk kebersamaan dalam komunikasi budaya. Jangan pernah lupa, bahwa ada juga pertandingan adu mahir. Lawan pemain organ Bach yang lari ketakutan tunggang langgang. Beethoven melahan adu jago main piano sampai melawan beberapa orang sekaligus. Dan salah satu yang paling terkenal adalah duel piano yang bersejarah melibatkan Muzio Clementi.

Friday, 20 September 2013

"DARI JALANAN KE PENTAS DUNIA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"DARI JALANAN KE PENTAS DUNIA"
by: Michael Gunadi Widjaja

source: silverdisc

"Play - but with your heart, not with your head!"
A moving documentary about Venezuela's unique system of music education takes us from barrios to Caracas to the world's finest concert halls. It shows how Venezuelan visionary Jose Antonio Abreu has changed lives of hundreds of thousands children over the past three decades. Children from streets dominated by the gun battles of gang warfare are taken into music schools, given access to music and taught through the model of the symphony orchestra how to build a better society.

VENEZUELA adalah nama sebuah negara yang terletak di bagian selatan benua Amerika. Bagian selatan benua Amerika dikenal juga sebagai Amerika Latin. Sebagai sebuah negara, Venezuela memiliki sumber kekayaan alam yang besar dan potensial: minyak, tambang emas, dan juga sebagai penghasil berlian. Sebagian dari kita tentu masih ingat bahwa Venezule adalah sebuah negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries.)

Dalam beberapa hal, Venezuela memiliki kesamaan dengan Indonesia. Iklim cuacanya relatif mirip dengan negara kita, jenis kekayaan alampun banyak yang juga dimiliki Indonesia, tipikal karakteristik fisik penduduknya juga tak jauh beda dengan fisik kebanyakan masyarakat kita.

Saturday, 18 May 2013

Disney Pianolicious at Radar Newspaper (May, 16, 2013)

DISNEY PIANOLICIOUS 
at RADAR NEWSPAPER
Thursday, 16th May 2013, Page 9 "MUSIC"


"GITARIS TEGAL TAMPIL 
DI PUSAT KEBUDAYAAN AMERIKA"

Seorang gitaris Tanah Air kelahiran Tegal, Michael Gunadi Widjaja, yang selama ini banyak menggelar pertunjukkan musik di sejumlah tempat, baik piano maupun gitar. Disamping menggarap komposisi musik untuk tari, Minggu (19/5), bakal tampil di Pusat Kebudayaan Amerika di Jakarta, tepatnya di Pacific Place lantai 3. Dalam konser berjudul 'Disney Pianolicious' - A Tribute to Walt Disney and American Movie. Michael Gunadi membawakan sebuah lagu berjudul 'Asturias' karya Isaac Albeniz dari Spanyol (1860-1909). Lagu cantik yang bakal dimainkannya merupakan soundtrack film "The Mirrors".

Selain gitar karya Isaac Albeniz, nomor kedua gitaris alumnus Perth Conservatory of Music, Australia (1988-1990), juga tampil membawakan sebuah transkripsi karya komponis asal Jerman, Johann Sebastian Bach

"Sebagai direktur konser seorang musik edukator alumnus Jerman, Jelia Megawati Heru. Sebelumnya dia pernah mengadakan seminar pendidikan musik di Tegal, yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Tegal setahun yang lalu. Dia tampil dengan Ensemble Piano Golden Fingers di Taman Budaya Tegal", ucapnya.

Sekedar diketahui, penampilan Michael Gunadi Widjaja merupakan sebuah debut internasional untuk kesekian kalinya. Konser yang diadakan tersebut merupakan sarana dialog budaya melalui musik. Terutama dengan masyarakat dari kultur Amerika. Disamping dihadiri warga Amerika yang saat ini tinggal di Indonesia. (din)

more about the music concert "Disney Pianolicious",
please click HERE

Saturday, 18 August 2012

Piano Concert "PIANOLICIOUS MOMENT"


A Piano Concert
“Pianolicious Moment”
Life is like piano... what you get out of it depends on how you play it
One man gets nothing but discord out of piano; another gets harmony.
Study to play it correctly and it will give you forth the beauty...

Students & Directed by
JELIA MEGAWATI HERU

ISTITUTO ITALIANO
Jln. HOS Cokroaminoto 117, Menteng
Sunday, 7th October 2012
4.30 pm & 7 pm

performing
Classical to Modern Piano Music in all form of Solo & Piano Ensembles
1 piano 2 hands, 1 piano 4 hands, 1 piano 6 hands, and 2 pianos 8 hands

PROGRAM

1st Session
students of Jelia Megawati Heru
(early beginner - intermediate level)

in collaboration with
Shinning Stars Enrichment Center (Tegal)
Ruth Ellinger "Balloon Pop Polka" (for 2 pianos, 8 hands)
Ludwig van Beethoven “Für Elise” (for 2 pianos, 4 hands)
Martha Mier "Agent 003" (for 1 piano, 6 hands)
and many more...

2nd Session
(teacher & professional performers)

Special Performance Duo Guitar Piano
Michael Gunadi Widjaja - Jelia Megawati Heru
Astor Piazzolla "Oblivion"

Featuring: Mery Kasiman & Yoseph Sitompul
Mike Cornick Trilogy (for 1 piano 4 hands)
"Blue Piano Duets"
"Latin Piano Duets"
"Jazz Suite"

Twinkle Twinkle Little Star
Traditional - Jazz - Dang Dut
Arr. Michael Gunadi Widjaja

Golden Fingers Piano Ensembles
(for 2 pianos 8 hands)
William Gillock "Champagne Toccata"
Michael Gunadi Widjaja "Kemben"
Arr. Michael Gunadi Widjaja "Medley Indonesian Folksong"
Kevin Olson "Scott Joplin Rhapsody"

TICKET
IDR 75.000 (1 Session)
IDR 150.000 (2 Sessions)

More information
Michael 0818 288 006, pin: 288A49F3
email: elisabeth.jmh@gmail.com


ABOUT PIANO ENSEMBLES

The piano is pretty much intimate instrument that work fantastically for solo, group ensemble or orchestra. But not many know that piano alone or a bunch of guitars can be an ensemble of its own and entertain us with a rich range of melodies. A piano that is played by two people, three people, or even four people could actually give you less monotone and a more interactive performance to watch.

The importance of the solo pianist in the world of music is beyond question, but the life of solo pianist can be lonely.  The piano ensembles offers a unique opportunity to make beautiful music with another person at the same instrument. While the basic principles of solo performance also applied, playing piano ensembles could be really challenging, for some of the pianists have found themselves playing “duels” instead of “duets”.

One of the hallmarks of any fine musical group is its ensemble. The music should sound as if played by one person. Not only the notes should come precisely together, but in the terms of style and flexibility, allowing the music to breathe...

Piano ensemble is the art of playing music together in the form of 1 piano 4 hands (two people at one piano), 1 piano 6 hands (three people at one piano), 2 pianos (two peoples at two pianos), and 2 pianos 8 hands (four people at two pianos).

The piano ensemble is, on the one hand, a genre or musical medium that stands independently on its own merits, while on the other hand it can be considered chamber music, like string quartet, where the players must be prepared to change roles instantly, from soloist – shaping & projecting melodic lines, to accompanist and back to soloist. Play with different character, and almost limitless possibilities of its own to create a beautiful music.

This is fascinating and ongoing task because music is like a kaleidoscope, constantly changing.  That’s why both verbal conversation in rehearsal and real musical dialogue are essential. A different background, temperament, and preference of each person will bring a colorful musical experience. Certainly, both partners must submerge their egos for the good of the music itself.

The process of merging with another individual in a duo or larger group of musicians, or with an audience, is the essence of communication. This communication is made possible by the silent rhythm that connects everyone. This is what allows for spontaneous magic to lift people into a perfect synchrony where everyone can perform and experience the music as one.

One of the best reasons to play an instrument is to play with others. Not only does it improve your playing. It’s great fun and a great way to make connection with the others in all sorts of ways and locations.

“Never shall I forget the time I spent with you.
Please continue to be my friend, as you will always find me yours”
– Ludwig van Beethoven –


WHY PIANO ENSEMBLES?

Nowadays music lovers often turn to recordings, television, and youtube when they want to enjoy listening at home. In the late 18th & 19th centuries, however, it was both a necessity and a great pleasure to make one's own music at home, often in the form of piano duet. The need for 20 Fingers at the piano, rather than 10 Fingers, was partially due to the desire of music lovers to play piano transcriptions of orchestral pieces, chamber works, and even opera, this being their only way of hearing such music at their own convenience, and finding that two hands were quite inadequate for this task. 

This "reading" of the scores led to a much deeper understanding of the structure and the melodic, harmonic, rhythmic content of the music than the merely passive listening in which we indulge today. The piano ensembles provided the opportunity to hear and study music compositions, and to enjoy a social interaction - making music with a friend, relative, or colleague. The use of the piano ensembles as a means of re-hearing and studying orchestral pieces was only the beginning; the best was yet to come.

Beside the joy that playing together brings, and the recital potential of the young ones (pedagogical use), it also develops musicianship. The ultimate goal for piano ensemble playing is to pay more attention, listen to themselves, others, and hence, to the total sound. "Listening," in this context, compels players to stay together and balance their parts. The art of piano ensembles playing incorporates the many aspects of beautiful, effective solo performance (singing tone, balance, rubato where appropriate, sensitive pedaling, etc.)

PROFILE

Jelia Megawati Heru, M.Mus.Edu.
Music Educator, Lecturer, Music Advisor, and Pianist

Jelia Megawati Heru started learning the piano at the age of 5. She continued learning Classical Piano with different music teachers in Jakarta, such as: Helen Gumanti, BA (USA) and Angelita Chandra, M.Mus. (Belgian).  

In 2001, studied piano with Jongky Goei, Master of Performing Arts, Chairman and Stage Art Manager of Marcia Haydée Ballet in Stuttgart, Germany.  

Then in 2002, she started her study in Music Education for Instrument (Instrumental Pädagogik) at Fachhochschule Osnabrück Konservatorium, Institut für Musikpädagogik – Germany, majoring in Classical Piano with Prof. Ljuba Dimowa-Florian (Hungaria), minor Vocal with Torsten Meyer, Dipl. Mus. (Hochschule für Musik u. Theater Hannover, Germany) and  Jazz Piano with Wolfang Mechsner, Dipl. Mus. (Hochschule Vechta & Münster, Germany).  

During her stay in Germany, besides actively performing and teaching music, Jelia attended many seminars and forum, such as: Forum Musikpädagogik I with Prof. Dr. Hans Günther Sebastian (Frankfurt am Main University); studied Solmisation Technique and Kodàly Technique from Prof. Dr. Malte Heygster (conductor of symphony orchestra Recklinghausen & Bielefeld, head master of Bielefeld music school, chapel master of chamber orchestra Köln and also an author for “Hand Book of Relative Solmisation” – Schott).  

She became an active participant in various chamber music and master class in Germany and other countries, such as: Chamber Music - Prof.  Gerard Chenuet (Nantes, France), Conducting for Ensemble and Choir - Prof. Folker Schramm (UDK, Berlin), Contemporary Music – Prof. Imgard Brockmann (Osnabrück, Germany), Choir Studio, Chamber Choir, Acapella and Arrangement – Prof. Michael Schmoll (Dean of FH. Osnabrück Konservatorium, lecturer, composer and conductor).  

Then she received her Master Degree in Music Education (as Master of Music Education – Dipl. Mus. Pedägogin) in 2005 from FH. Osnabrück Konservatorium with cum laude. In the same year, became an active performer for “Benefit Concert Tour for Aceh” in Hannover, Münster and Braunschweig - Germany.  

In 2006 Jelia went back for good to her homeland Indonesia, was a keynote speaker in Universitas Negeri Jakarta (UNJ, Rawamangun) for Comparison Study of Education System in Indonesia, active as an educator in Deutsche Internationale Schule (DIS – German School, BSD Tangerang) and joined Institut Musik Daya Indonesia since then as lecturer for subjects, such as: Music Education, Music History, History of Music Instruments, Ear Training, Music Theory and Major Piano.  

In 2007, she was a Dean of Institut Musik Daya Indonesia (IMDI) and Faculty of Music Pedagogy & Head of Piano Department. 

In 2008, She's a member of the National Music Ministry of National Education Consortium, which is tasked to develop music education curriculum for music schools in Indonesia. In cooperation with Tjut Nyak Deviana Daudsjah designed and developed Curriculum of National Standarization for Music School in Indonesia (validation by the Federal Government of National Education, known as DEPDIKNAS.  

In 2009, to contribute for the development of music education in Indonesia, she wrote books in cooperation with DEPDIKNAS “Piano Teaching’s Guide: Note-Reading and Piano for Beginner” and “Basic Music Theory (for all Instruments)” as guideline books for general music course in Indonesia. 

Now she is active as a music educator and academic advisor/consultant in various music schools - for updating & upgrading music school curriculum standard, conducting workshops to build & develop music teachers competencies, and conduct teacher’s concert (chamber music and piano ensembles).

Also active as seminator and keynote speaker in various cities in Indonesia - Universitas Negeri Jakarta, Tegal Council of Arts, Sinfonia Music Bandung, First Media Design School of Indonesia, Amazing Music Jogja Festival, and many more... 

Performer in collaboration for music education’s sake, director of piano ensembles projects „Golden Fingers“ She created event that showcased the young teachers that she developed to participated in her music program. The Golden Fingers is not just an usual piano ensembles group, but a pilot project to implement the concept of  “Music from Passion”. Jelia believes that the piano ensemble is not only about playing piano together, but it is an actual effort to liven up the music. “Golden Fingers Piano Ensembles” was invited by the Tegal Council of Arts on March 4th, 2012 at Taman Budaya Tegal, Central Java – as the soft opening for the most representative cultural arena theater of the city with capacity of 1000 seats, professional lighting, and stage. 

Read Golden Fingers Piano Ensembles Reportage
on Kawai Newsletter No. 29, 2012 (distributed all over the world):

William Gillock "Champagne Toccata"
 

Michael Gunadi Widjaja "Medley Indonesian Folksong"
 

Albert Lavignac "Gallop March"

Writer for STACCATO - the first classical music magazine in Indonesia, and her blogs (www.jeliaedu.blogspot.com & www.piano-ensembles.blogspot.com) – to shares thoughts and point of view about actualization & the importance of music education to teachers, practitioners, musicians, music lovers, students, and parents; so people could appreciate music more, feel the enjoyment of music, and get inspired by the power of music… “Music from Passion & Music for Life”  

PROFILE SLIDESHOW (Part 1)

PROFILE SLIDESHOW (Part 2)

more about Jelia Megawati Heru: