Thursday 15 August 2013

"SIZE: IT DOESN'T MATTER!" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SIZE: IT DOESN'T MATTER!"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Kecil, acapkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang inferior. Lemah, sangat remeh, kurang bermakna, dan bahkan sering pula dikonotasikan sebagai hal yang “merendahkan” dan bahkan “memalukan” serta memilukan. Simak saja ujaran seperti berikut ini: ”Ah, badannya terlalu kecil untuk menjadi bintang bola basket…” atau juga ”wah, payah, anu suamiku ukurannya kecil…”

Di sisi yang lain ada semacam rhetorika yang merupakan penghiburan bagi konotasi inferior tentang kecil. Kita sering mendengar ungkapan seperti: Kecil-kecil cabe rawit” atau juga celotehan semacam: Biar kecil, yang penting goyangannya.” Jadi rupanya, tepat juga adagium yang mengatakan “SIZE: IT DOESN’T MATTER!”

Konotasi makna bukan sekedar persepsi individual. Sampai batas tertentu persepsi individual dapat menjadi persepsi komunal. Dengan demikian, sangat mungkin terjadi adanya persepsi publik bahwa yang kecil pasti inferior. Ini tentu tidak sejalan dengan realita yang dihadapi orang jaman sekarang. Sebuah realita yang sangat fatal jika hanya ditelaah secara dikotomis belaka. Nampaknya perlu ada upaya menyemburtkan persepsi yang lebih baik dari sekedar dikotomi. Dan pencerahan semacam ini dapat dimulai dengan memberi persepsi yang seimbang terhadap makna sebuah kata.

Persepsi makna kata yang seimbang, dapat dimulai dari ranah SENI. Sebuah ranah yang mampu mensublimasi sampai pada tingkat subtilitasnya, dari semua kebutuhan dan kehausan rasa dan karsa manusia. Musik sebagai cabang seni juga menjadi media yang layak untuk menyeimbangkan persepsi guna mendapatkan pandangan menyeluruh akan makna kata. Dengan daya afeksinya yang luar biasa, musik mampu mencerahkan makna. Sebab jika sebuah kata hanya dimaknai secara picik, maka akan banyak akibat yang ditanggung khalayak - khususnya mengenai kebijakan dalam tatanan hidup bermasyarakat.

 Jake Shimabukuro

Adalah JAKE SHIMABUKURO. Pria berperawakan kecil. Jake Shimabukuro adalah seorang pemusik. Bahkan seorang virtuoso musik yang lebih dari sekedar artis musik. Nama Jake Shimabukuro mengisyaratkan adanya darah campuran Jepang – Amerika dalam diri Jake. Jake memulai kiprah musiknya dari tempat tinggalnya di Hawaii. Dan yang di lakukan Jake sangat tidak biasa. Jake tidak menyanyi, tidak bermain gitar ataupun piano. Melainkan mengeksplorasi total sebuah…..UKULELE!


Ukulele adalah alat musik yang berasal dari Portugis namun berkembang pesat di Hawaii. Ukulele termasuk dalam alat musik chordophone karena sumber bunyinya dari getaran dawai. Ukulele juga merupakan keluarga lute dan keturunan langsung dari gitar. Di Indonesia, ukulele dikenal sebagai salah satu alat musik dalam Musik Keroncong. Tanpa perlu memperbandingkan dengan sesuatu, orang normal pasti mengatakan bahwa secara fisik, ukulele tergolong kecil. Dawainya pun hanya empat. Lehernya juga pendek dan berdiameter kecil. Peranannya pun tidak seperti gitar yang sampai pada tingkat virtuositas tinggi. Ukulele lazim dipakai sebagai pengiring. Itupun lazimnya hanya berupa akor yang dibunyikan secara strumming. Orang Jakarta bilang, “digenjreng” hehehehe…


Di tangan Jake Shimabukuro, yang berperawakan kecil, ukulele yang juga kecil, secara luar biasa menjadi besar. Hehehehe… tentu bukan fisiknya yang tiba-tiba menggelembung ya. Dengan ukulele, Jake Shimabukuro tak hanya menyajikan lagu, namun memainkan score orkestra yang rumit dan sangat kompleks. Berbekal penguasaan teknik petik dan strum dari gitar, ditambah intuisi dan kepekaannya terhadap harmoni, Jake Shimabukuro mengubah ukulele, si kecil, menjadi sebuah piranti yang menakjubkan!

Jake Shimabukuro "Bohemian Rhapsody"

Jake Shimabukuro dan ukulelenya mengajarkan banyak makna permenungan bagi kita, bahwa tak selamanya kecil itu inferior. Kecil dapat menakjubkan sejauh diberdayakan. Pemaknaan ini dapat kita sikapi sebagai jangan meremehkan pihak yang kecil atau dikecilkan dan bahkan terkecilkan dalam masyarakat. Jika ada upaya pemberdayaan, golongan kecil malah dapat menjadi penopang. Sebagaimana ukulele menjadi penopang pencaharian Jake Shimabukuro.

Terdapat juga semburat makna bahwa dengan kematangan eksplorasi total, sesuatu yang tradisionil dan fungsinya bersahaja dapat menjadi sebuah masterpiece. Ini nampaknya layak dipakai sebahgai pijakan sikap kita terhadap sesuatu yang tradisional. Yang tradisional tidak selamanya harus dipandang sebagai primitif dan remeh. Dengan pengolahan dan terobosan yang matang, sesuatu yang tradisionil mampu juga berbicara banyak dan lantang.

Tidak berlebihan jika kita kemudian berujar dengan agak lantang bahwa KECIL ITU SHIMABUKURO. Karena dengan upaya nyata, Jake Shimabukuro dan ukulele telah memberi pelajaran bagi kita bagaimana memperlakukan “yang kecil“ dan yang terpenting adalah memberdayakannya.

My Guitalele and Ukulele

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.