Thursday, 12 September 2013

"GENDHING PAK CHOKRO" - by: Michael Gunadi Widjaja

"GENDHING PAK CHOKRO"
by: Michael Gunadi Widjaja

source: 2bp blogspot

Sejak lama orang merasakan bahwa dunia setelah Perang Dunia II, berada dalam dikotomi. Sebuah tatanan yang mau tidak mau memunculkan dikotomi Superior dan Inferior. Superioritas memiliki tatanannya tersendiri dan kutub ini mengarah kepada negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Superioritas ini nampak nyata dalam sosio-kultural. Eropa dan Amerika begitu gencar dan fasih membuat trend gaya hidup dan popularitas budayanya. Di kutub yang lain, terdapat negara-negara seperti negara kita, yang masih dipeluk dan disetubuhi oleh kutub inferioritas - sebagai negara yang hanya terus menerus “sedang” berkembang, budayanya dikagumi, namun tetap kalah fasih berbicara di ajang dunia. Banyak faktor yang menyebabkan dikotomi semacam ini tetap berkembang. Muaranya berada pada kepedulian dan pencerahan pada diri kita sendiri untuk sampai pada suatu pemahaman bahwa kesejajaran, terutama dalam popularitas budaya, adalah hal yang harus diupayakan.

Nampaknya upaya untuk fasih membicarakan budaya sendiri pada ajang dunia, masih diliputi kabut keniscayaan. Masih harus menguak belantara yang menutup rasa cinta yang berwujud kepedulian terhadap budaya sendiri. Salah satu yang nampak nyata adalah yang terjadi pada ranah seni musik, khususnya Musik Tradisionil.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai sekedar telaah. Terhadap fenomena yang telah dialami seni Musik Tradisional Jawa. Gagasan dan muaranya adalah dengan sejenak menatap fenomena sebuah contoh kesenian, merajut kepedulian dengan semburat pencerahan pemahaman sampai pada pengejawantahan laku bangga akan budaya sendiri - sebuah syarat pokok agar seni dan budaya kita lebih fasih berbicara di ajang dunia.

Saat mendengar kata gendhing (komposisi musik untuk gamelan Jawa), sebagian besar orang akan terpersepsikan pada sajian musik gamelan Jawa. Impresi yang dicecap inderawi orang, terutama para anak muda, adalah sebuah bebunyian yang “aneh.” Aneh dalam artian mistis dan juga lambat, lamban, dan tidak dinamis. Malah ada yang pasti tertidur jika mendengar sajian gendhing. Sebagian komunitas memang masih menunjukkan impresi antusiastik terhadap gendhing, namun jumlah mereka tidak banyak dan jelas kalah fasih saat berhadapan dengan Musik Barat yang lebih merangsang melalui kemasan industrinya.

Di bagian lain, gendhing mendapat tempat yang representatif, bahkan prestisius. Anehnya, fenomena ini terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara simbol superioritas. Dan fenomena ini sebetulnya telah berlangsung sejak beberapa dekade silam. Adalah Lou Harrison, komposer Musik Kontemporer, yang bersama kawan-kawannya menempatkan gendhing dan juga gamelan Jawa pada tempat prestisius dalam semesta kesenian di Amerika Serikat.

LOU HARRISON 
dengan peralatan buatan USA
source: sfcv

Lou Harrison lahir di Portland, USA pada 1917. Mengambil studi musik pada para komposer Musik Kontemporer terkemuka, diantaranya berguru pada Arnold Schoenberg. Seni gendhing dan gamelan Jawa, dipelajari Loe Harrison dari K.R.T Wasitodipuro yang menjadi dosen tamu di Berkeley. Setelah itu Loe Harrison bersama kawan-kawannya, termasuk pakar gemelan Jody Diamond, mengedepankan konsep yang dikenal sebagai Aliran Gamelan Amerika. Banyak karya Lou Harrison dalam format gendhing dan gamelan Jawa, salah satu diantaranya adalah GENDHING PAK CHOKRO.”

“Gendhing Pak Chokro” adalah komposisi yang dibuat Lou Harrison sebagai penghormatan pada gurunya, K.R.T Wasitodipuro. Karya ini dibuat pada 1976. Dari segi auditif, Gendhing Pak Chokro adalah komposisi gendhing seperti yang lazim diperdengarkan di tanah air. Komposisi musiknya menggunakan titi laras slendro. Yang unik adalah, Gendhing Pak Chokro merupakan cermin dari keberadaan gamelan di Amerika Serikat.

 Lou Harrison "La Koro Sutro" 
Varied Trio, 1st Movement "Gending"

Keberadaan gamelan di Amerika tidak terlepas dari paradigma yang dianut para komposer Amerika. Paradigma komposer di Amerika cenderung bersifat HORIZONTAL yang mengarah pada multi kultural, sedangkan bagi komposer Eropa, paradigma yang dianut adalah VERTIKAL yang menjurus pada monokultural dan terikat dalam arus perkembangan sejarah. Proses komposisi gendhing dalam gamelan sangat menarik bagi komposer Amerika. Pada Musik Barat, komposisi dikerjakan dengan merancang plot-line terlebih dahulu. Pada gamelan Jawa, gendhing lahir secara spontan bersamaan dengan kegiatan sehari-hari. Sublimasi musikal dan perilaku dalam gamelan inilah yang menjadi daya tarik bagi para komposer di Amerika.

source: gamelan

Jody Diamond "Gendhing Sabbath"

Ketertarikan para komposer Amerika dengan gamelan diwujudkan dengan membentuk kelompok gamelan yang profesional: Bay Area New Gamelan (Jody Diamond), Gamelan Son of The Lion (Barbara Benary), Berkeley Gamelan (Lou Harrison dan Philip Corner). Tidak hanya itu, di para komposer Amerika bahkan menjadikan seni gamelan, termasuk gendhing tentunya, sebagai sebuah pelajaran di tingkat universitas dan bahkan didirikan American Gamelan Institute - sebuah institusi yang terus menerus mengadakan kajian dan merevitalisasi gamelan. Menurut pengalaman saya pribadi, di Amerika bahkan gamelan lebih populer dibanding Musik Tradisionil dari Jepang, Korea, Cina, dan bahkan Musik India.

JODY DIAMOND
(Pendiri American Gamelan Institute)
source: staticflickr

Suasana kelas gamelan di USA
PHILIP CORNER "GONG"
source: furious

Semua fenomena gamelan yang terjadi di Amerika dapat tercermin pada Gendhing Pak Chokro - sebuah gending dengan tata gramatika dan idiom gamelan, namun dengan akar budaya dan pendekatan kompositoris barat. Gendhing Pak Chokro mewakili semua fenomena perlakuan terhadap gamelan dan juga gendhing di sebuah negara adidaya nan superior. Dari rangkai peristiwa tersebut ada hal yang dapat kita maknai.

Beberapa dekade yang lalu, sebetulnya telah terbuka sebuah muara. Muara yang dapat menampung semua keperluan kita agar kesenian kita dapat berbicara lebih lantang dan fasih di ajang dunia. Dan beberapa dekade yang lalu pun telah terjadi asimilasi dan sublimasi budaya yang menarik. Gendhing Pak Chokro dan karya gendhing yang lain sebagai cultural crossover – sebuah persilangan budaya, namun dengan sublimasi yang mumpuni. Semestinya hal-hal semacam ini dapat kita maksimalkan untuk tetap menjaga harkat dan martabat kita di forum internasional.

Secara nasional pun semestinya sudah saatnya kita berkaca pada Gendhing Pak Chokro untuk mengupayakan institusionalisasi gamelan. Memang banyak kendala yang akan dihadapi. Salah satunya, seperti yang pernah disampaikan seorang rekan kompasianer, bahwa gamelan tidak seperti piano, biola, atau gitar yang dapat dibeli dan dipelajari per satuan. Maka dari itu, upaya berupa pelembagaan mutlak perlu. Sebagai aliran karya seni Musik Tradisionil. Untuk mengisi muara yang telah dibuka oleh para komposer di Amerika. Kata akhirnya adalah memberdayakan kesenian sebagai wahana diplomasi budaya untuk mempertahankan harkat dan martabat bangsa di forum internasional.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.