"GENDHING PAK CHOKRO"
by: Michael Gunadi Widjaja
Sejak lama
orang merasakan bahwa dunia setelah Perang Dunia II, berada dalam dikotomi. Sebuah
tatanan yang mau tidak mau memunculkan dikotomi Superior dan Inferior. Superioritas memiliki tatanannya tersendiri
dan kutub ini mengarah kepada negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Superioritas
ini nampak nyata dalam sosio-kultural. Eropa dan Amerika begitu gencar dan
fasih membuat trend gaya hidup dan popularitas budayanya. Di kutub yang lain, terdapat
negara-negara seperti negara kita, yang masih dipeluk dan disetubuhi oleh kutub
inferioritas - sebagai negara yang hanya terus menerus “sedang” berkembang, budayanya dikagumi,
namun tetap kalah fasih berbicara di ajang dunia. Banyak faktor yang
menyebabkan dikotomi semacam ini tetap berkembang. Muaranya berada pada
kepedulian dan pencerahan pada diri kita sendiri untuk sampai pada suatu
pemahaman bahwa kesejajaran, terutama dalam popularitas budaya, adalah hal yang
harus diupayakan.
Nampaknya
upaya untuk fasih membicarakan budaya sendiri pada ajang dunia, masih diliputi
kabut keniscayaan. Masih harus menguak belantara yang menutup rasa cinta yang
berwujud kepedulian terhadap budaya sendiri. Salah satu yang nampak nyata adalah
yang terjadi pada ranah seni musik, khususnya Musik Tradisionil.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sekedar
telaah. Terhadap fenomena yang telah dialami seni Musik Tradisional Jawa. Gagasan
dan muaranya adalah dengan sejenak menatap fenomena sebuah contoh kesenian, merajut
kepedulian dengan semburat pencerahan pemahaman sampai pada pengejawantahan laku
bangga akan budaya sendiri - sebuah syarat pokok agar seni dan budaya kita
lebih fasih berbicara di ajang dunia.
Saat
mendengar kata gendhing (komposisi musik untuk gamelan Jawa), sebagian
besar orang akan terpersepsikan pada sajian musik gamelan Jawa. Impresi yang
dicecap inderawi orang, terutama para anak muda, adalah sebuah bebunyian yang
“aneh.” Aneh dalam artian mistis dan juga lambat, lamban, dan tidak dinamis. Malah
ada yang pasti tertidur jika mendengar sajian gendhing. Sebagian komunitas
memang masih menunjukkan impresi antusiastik terhadap gendhing, namun jumlah
mereka tidak banyak dan jelas kalah fasih saat berhadapan dengan Musik Barat
yang lebih merangsang melalui kemasan industrinya.
Di bagian
lain, gendhing mendapat tempat yang
representatif, bahkan prestisius. Anehnya, fenomena ini terjadi di Amerika
Serikat, sebuah negara simbol superioritas. Dan fenomena ini sebetulnya telah
berlangsung sejak beberapa dekade silam. Adalah Lou Harrison, komposer
Musik Kontemporer, yang bersama kawan-kawannya menempatkan gendhing dan juga
gamelan Jawa pada tempat prestisius dalam semesta kesenian di Amerika Serikat.
Lou Harrison
lahir di Portland, USA pada 1917. Mengambil studi musik pada para komposer
Musik Kontemporer terkemuka, diantaranya berguru pada Arnold Schoenberg. Seni gendhing dan gamelan Jawa, dipelajari Loe
Harrison dari K.R.T Wasitodipuro yang menjadi dosen tamu di Berkeley.
Setelah itu Loe Harrison bersama kawan-kawannya, termasuk pakar gemelan Jody Diamond, mengedepankan konsep yang
dikenal sebagai Aliran Gamelan Amerika.
Banyak karya Lou Harrison dalam format gendhing dan gamelan Jawa, salah satu
diantaranya adalah “GENDHING PAK CHOKRO.”
“Gendhing
Pak Chokro” adalah
komposisi yang dibuat Lou Harrison sebagai penghormatan pada gurunya, K.R.T
Wasitodipuro. Karya ini dibuat pada 1976. Dari segi auditif, Gendhing Pak
Chokro adalah komposisi gendhing seperti yang lazim diperdengarkan di tanah
air. Komposisi musiknya menggunakan titi laras slendro. Yang unik adalah, Gendhing
Pak Chokro merupakan cermin dari keberadaan gamelan di Amerika Serikat.
Lou Harrison "La Koro Sutro"
Varied Trio, 1st Movement "Gending"
Keberadaan
gamelan di Amerika tidak terlepas dari paradigma yang dianut para komposer
Amerika. Paradigma komposer di Amerika cenderung bersifat HORIZONTAL yang
mengarah pada multi kultural, sedangkan bagi komposer Eropa, paradigma yang
dianut adalah VERTIKAL yang menjurus pada monokultural dan terikat dalam arus
perkembangan sejarah. Proses komposisi gendhing dalam gamelan sangat menarik
bagi komposer Amerika. Pada Musik Barat, komposisi dikerjakan dengan merancang plot-line
terlebih dahulu. Pada gamelan Jawa, gendhing lahir secara spontan bersamaan
dengan kegiatan sehari-hari. Sublimasi musikal dan perilaku dalam gamelan
inilah yang menjadi daya tarik bagi para komposer di Amerika.
Ketertarikan
para komposer Amerika dengan gamelan diwujudkan dengan membentuk kelompok
gamelan yang profesional: Bay Area New
Gamelan (Jody Diamond), Gamelan Son of The Lion (Barbara
Benary), Berkeley Gamelan (Lou
Harrison dan Philip Corner). Tidak hanya itu, di para komposer Amerika
bahkan menjadikan seni gamelan, termasuk gendhing tentunya, sebagai sebuah pelajaran
di tingkat universitas dan bahkan didirikan American Gamelan Institute - sebuah institusi yang terus menerus
mengadakan kajian dan merevitalisasi gamelan. Menurut pengalaman saya pribadi, di
Amerika bahkan gamelan lebih populer dibanding Musik Tradisionil dari Jepang, Korea,
Cina, dan bahkan Musik India.
Suasana
kelas gamelan di USA
Semua
fenomena gamelan yang terjadi di Amerika dapat tercermin pada Gendhing Pak
Chokro - sebuah gending dengan tata gramatika dan idiom gamelan, namun dengan
akar budaya dan pendekatan kompositoris barat. Gendhing Pak Chokro mewakili
semua fenomena perlakuan terhadap gamelan dan juga gendhing di sebuah negara
adidaya nan superior. Dari rangkai peristiwa tersebut ada hal yang dapat kita
maknai.
Beberapa
dekade yang lalu, sebetulnya telah terbuka sebuah muara. Muara yang dapat
menampung semua keperluan kita agar kesenian kita dapat berbicara lebih lantang
dan fasih di ajang dunia. Dan beberapa dekade yang lalu pun telah terjadi
asimilasi dan sublimasi budaya yang menarik. Gendhing Pak Chokro dan karya
gendhing yang lain sebagai cultural crossover – sebuah persilangan
budaya, namun dengan sublimasi yang mumpuni. Semestinya hal-hal semacam ini dapat
kita maksimalkan untuk tetap menjaga harkat dan martabat kita di forum
internasional.
Secara
nasional pun semestinya sudah saatnya kita berkaca pada Gendhing Pak Chokro
untuk mengupayakan institusionalisasi gamelan. Memang banyak kendala yang akan
dihadapi. Salah satunya, seperti yang pernah disampaikan seorang rekan
kompasianer, bahwa gamelan tidak seperti piano, biola, atau gitar yang dapat
dibeli dan dipelajari per satuan. Maka dari itu, upaya berupa pelembagaan
mutlak perlu. Sebagai aliran karya seni Musik Tradisionil. Untuk mengisi muara
yang telah dibuka oleh para komposer di Amerika. Kata akhirnya adalah
memberdayakan kesenian sebagai wahana diplomasi budaya untuk mempertahankan
harkat dan martabat bangsa di forum internasional.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.