"SUARA DARI YANG TERGUSUR"
by: Michael Gunadi Widjaja
sumber: sufferingwithjoy
Tergusur adalah tersisihkan. Tersisihkan dari sebuah
semesta. Tergusur juga adalah terpinggirkan. Terpinggirkan peran dan
keberadaannya dalam sebuah kesemestaan. Tergusur bisa juga menyertakan keadaan termarjinalkan, bahkan
secara sosial tereliminasi. Salah satu penyebab esensial dari tergusur adalah
bahwa peran, fungsi dan keberadaan sesuatu atau seseorang atau sekelompok
orang, tersubstitusi/tergantikan. Baik oleh kepentingan-kepentingan tertentu,
maupun secara alami dengan laju perkembangan jaman melalui intervensi
teknologi.
Kita tentu masih ingat dengan sebuah benda yang
disebut BEL (Bell: Bahasa Inggris.) Bagi siswa sekolah bel adalah sebuah
tanda bagi sebuah kegiatan yang dikenal sebagai belajar. Bagi pengemudi
becak, bel adalah klakson - salah satu safety tools dalam pekerjaannya. Bagi sapi
atau kerbau pada pedati, bel adalah pelapang jalan. Bagi petugas pemadam
kebakaran, bel adalah bunyi panggilan pengabdian. Pada institusi keagamaan
seperti Gereja Katolik, bel adalah manifestasi waktu - sebuah fenomena yang
keberadaannya tidak pernah mau berkompromi dengan manusia. Bel dalam bentuk
lonceng Gereja bukan sekedar bunyi, melainkan SUARA PANGGILAN. Bahwa dalam
rentang periode tertentu adalah saatnya untuk berdevosi, menyembah Sang Maha
Esa.
Segala sesuatu di dunia ini dapat saja mencapai
kejayaan, bertahan dalam kejayaan atau tergusur. Bel adalah bagian yang tergusur. Di
sekolah, bel telah digantikan dan tergantikan oleh bel listrik yang bunyinya
lebih terasa membunyikan lagu. Becak dan tukang becak sudah semakin
tergusur, bahkan di kota kecil sekalipun. Pedati dengan sapi atau kerbau sudah
sulit dijumpai. Digantikan dan tergantikan oleh mobil bak terbuka. Satuan pemadam
kebakaran lebih suka dan lebih terpanggil dengan alarm listrik dan bunyi
sirine. Bel dalam bentuk lonceng Gereja suaranya berubah menjadi sekedar
bunyi. Kalah oleh hirup pikuk berbagai kelompok sosialita yang lebih menawarkan
kesenangan instan.
sumber: sonomachristianhome
Sementara orang berpandangan dan bahkan berpendapat
bahwa semua hal di dunia ini mengalami keniscayaan. Begitu juga dengan bel. Di
satu kesemestaan, fungsi dan keberadaannya tergusur. Di ranah yang lain, bel masih
dapat berbunyi dan bahkan bersuara. Suara beda dengan bunyi. Suara merujuk pada sesuatu
yang bersifat transenden. Adalah ranah musik. Semesta universal, yang masih
memberi tempat pada bel untuk senantiasa berbunyi dan bahkan bersuara. Banyak
pernik-pernik dan makna permenungan yang bisa ditilik dari kiprah bel di ranah
musik. Dan siapa tahu dapat memberi meski secercah nuansa cerah, bagi persepsi
kita tentang yang tergusur.
Sebagai alat musik, bel dikelompokkan ke dalam idiophone - yakni alat musik dengan
sumber bunyi badannya sendiri. Ada tiga jenis bel dalam blantika musik:
- Hand Bell :jenis ini dapat dibunyikan dengan goyangan tangan
- Church Bell :bel dalam bentuk lonceng di Gereja
- Tubular Bell :bel dalam bentuk tubular atau tabung.
HANDBELL
sumber: stanlyconcert
CHURCH BELL
TUBULAR BELLS
sumber: Encyclopaedia Britannica
Bunyi dari bel telah lama menarik perhatian
orang. Sedemikian menariknya bunyi yang dihasilkan bel, hingga orang mulai
berpikir untuk membuat bell dengan bunyi yang berskala. Bunyi tertala, bunyi yang
memiliki nada. Pada abad ke-17 Robert dan
William Cor dari Inggris mendesain rangkaian bel dengan tala
nada. Bentuk desain ini kemudian berkembang seiring dengan diperkenalkannya
Tubular Bell. Salah seorang komposer yang berhasil memperkenalkan tubular bell
dalam blantika musik adalah Mike
Oldfield. Mike Oldfield mebuat komposisi musik berjudul TUBULAR BELL dan meraih sukses di
blantika musik. Bahkan pada 2003, tubular bell edisi pertama, direkam ulang dengan
melibatkan teknologi digital super canggih.
MIKE OLDFIELD (England)
sumber: bandweblogs
Mike Oldfield "Tubular Bells"
Apa sebetulnya yang menarik dari bunyi bel?
Bunyi bel
senantiasa terdiri dari dua unsur:
- Attack : saat clapper (lidah bel) menyentuh logamnya
- Resonance : gema dan gaung yang menyertai attack
sumber: bio.utexas.edu
Unsur resonance lah yang memiliki nuansa bunyi paling
luas. Resonance pada bunyi bel memiliki harmonik gelombang bunyi yang sangat kaya. Inilah
juga mengapa bel dipakai dalam ritual-ritual tertentu. Nuansa dari resonance nya
diyakini memiliki dimensi magis untuk mengusir sesuatu yang “jahat.” Terlepas
dari benar tidaknya fenomena ini, setidaknya bunyi bel lebih dari sekedar bunyi
sebuah benda. Bunyi bel adalah “suara” yang menyuarakan “sesuatu” PESAN dari
sebuah dimensi yang berbeda dengan kesemestaan kita.
HANDBELL CHOIR
sumber: nwcso
Puncak karya musikal untuk bel, berada dalam bentuk BELL CHOIR - koor untuk bel. Sebagaimana
layaknya koor untuk vokal, koor untuk bel juga memiliki sisi spiritual. Komposisi
untuk koor bell juga terbagi menjadi beberapa jalur bunyi. Filosofinya
sebagaimana koor vokal adalah pengejawantahan Sang Maha Pencipta dalam alur
laku kehidupan manusia. Bunyi bel juga memiliki “daya” transendensi sebagaimana
filosofi dan hikayat panjang pada suara manusia. Menikmati Bell Choir pada
esensinya adalah menikmati sebuah dialog transenden antara semesta
duniawi dan alam “lain” dimana Sang Maha Kuasa bertakhta. Dan nuansanya tersublim
dengan karakter resonance bunyi bel yang memang sungguh kaya nuansa.
sumber: garwoodpresbyterianchurch
Menilik bunyi bel menghantar kita pada rangkai
peristiwa yang tak berlebihan untuk digagas dalam kehidupan kita. Bahwa dalam
kesejatiannya, yang tergusur pun tetap punya ranah untuk berbunyi, bahkan
bersuara. Suaranya mungkin tak menggelegar suara penguasa. Sama dengan bel yang
hanya terbatas jangkau bunyinya. Namun dengan kesadaran dan perhatian serta
kepedulian yang pada konteksnya, bel bisa berubah menjadi bunyi lonceng gereja
yang jangkau bunyinya lebih luar. Pun para kaum tergusur. Apalagi jika kepedulian
kita mampu membangun tata harmoni baru bagi kehidupan kaum yang tergusur.
Steven Amundson "Glories Ring"
by: St. Olaf Handbell Choir
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.