Monday, 9 September 2013

"SUARA DARI YANG TERGUSUR" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SUARA DARI YANG TERGUSUR"
by: Michael Gunadi Widjaja


Tergusur adalah tersisihkan. Tersisihkan dari sebuah semesta. Tergusur juga adalah terpinggirkan. Terpinggirkan peran dan keberadaannya dalam sebuah kesemestaan. Tergusur bisa juga menyertakan keadaan termarjinalkan, bahkan secara sosial tereliminasi. Salah satu penyebab esensial dari tergusur adalah bahwa peran, fungsi dan keberadaan sesuatu atau seseorang atau sekelompok orang, tersubstitusi/tergantikan. Baik oleh kepentingan-kepentingan tertentu, maupun secara alami dengan laju perkembangan jaman melalui intervensi teknologi.

Kita tentu masih ingat dengan sebuah benda yang disebut BEL (Bell: Bahasa Inggris.) Bagi siswa sekolah bel adalah sebuah tanda bagi sebuah kegiatan yang dikenal sebagai belajar. Bagi pengemudi becak, bel adalah klakson - salah satu safety tools dalam pekerjaannya. Bagi sapi atau kerbau pada pedati, bel adalah pelapang jalan. Bagi petugas pemadam kebakaran, bel adalah bunyi panggilan pengabdian. Pada institusi keagamaan seperti Gereja Katolik, bel adalah manifestasi waktu - sebuah fenomena yang keberadaannya tidak pernah mau berkompromi dengan manusia. Bel dalam bentuk lonceng Gereja bukan sekedar bunyi, melainkan SUARA PANGGILAN. Bahwa dalam rentang periode tertentu adalah saatnya untuk berdevosi, menyembah Sang Maha Esa.

Segala sesuatu di dunia ini dapat saja mencapai kejayaan, bertahan dalam kejayaan atau tergusur. Bel adalah bagian yang tergusur. Di sekolah, bel telah digantikan dan tergantikan oleh bel listrik yang bunyinya lebih terasa membunyikan lagu. Becak dan tukang becak sudah semakin tergusur, bahkan di kota kecil sekalipun. Pedati dengan sapi atau kerbau sudah sulit dijumpai. Digantikan dan tergantikan oleh mobil bak terbuka. Satuan pemadam kebakaran lebih suka dan lebih terpanggil dengan alarm listrik dan bunyi sirine. Bel dalam bentuk lonceng Gereja suaranya berubah menjadi sekedar bunyi. Kalah oleh hirup pikuk berbagai kelompok sosialita yang lebih menawarkan kesenangan instan.


Sementara orang berpandangan dan bahkan berpendapat bahwa semua hal di dunia ini mengalami keniscayaan. Begitu juga dengan bel. Di satu kesemestaan, fungsi dan keberadaannya tergusur. Di ranah yang lain, bel masih dapat berbunyi dan bahkan bersuara. Suara beda dengan bunyi. Suara merujuk pada sesuatu yang bersifat transenden. Adalah ranah musik. Semesta universal, yang masih memberi tempat pada bel untuk senantiasa berbunyi dan bahkan bersuara. Banyak pernik-pernik dan makna permenungan yang bisa ditilik dari kiprah bel di ranah musik. Dan siapa tahu dapat memberi meski secercah nuansa cerah, bagi persepsi kita tentang yang tergusur.

Sebagai alat musik, bel dikelompokkan ke dalam idiophone - yakni alat musik dengan sumber bunyi badannya sendiri. Ada tiga jenis bel dalam blantika musik:
  • Hand Bell     :jenis ini dapat dibunyikan dengan goyangan tangan 
  • Church Bell   :bel dalam bentuk lonceng di Gereja 
  • Tubular Bell  :bel dalam bentuk tubular atau tabung.

HANDBELL
sumber: stanlyconcert

CHURCH BELL
 sumber: junkyardwisdom

TUBULAR BELLS

Bunyi dari bel telah lama menarik perhatian orang. Sedemikian menariknya bunyi yang dihasilkan bel, hingga orang mulai berpikir untuk membuat bell dengan bunyi yang berskala. Bunyi tertala, bunyi yang memiliki nada. Pada abad ke-17 Robert dan William Cor dari Inggris mendesain rangkaian bel dengan tala nada. Bentuk desain ini kemudian berkembang seiring dengan diperkenalkannya Tubular Bell. Salah seorang komposer yang berhasil memperkenalkan tubular bell dalam blantika musik adalah Mike Oldfield. Mike Oldfield mebuat komposisi musik berjudul TUBULAR BELL dan meraih sukses di blantika musik. Bahkan pada 2003, tubular bell edisi pertama, direkam ulang dengan melibatkan teknologi digital super canggih.

MIKE OLDFIELD (England)
sumber: bandweblogs

Mike Oldfield "Tubular Bells"

Apa sebetulnya yang menarik dari bunyi bel? 

Bunyi bel senantiasa terdiri dari dua unsur:
  • Attack          : saat clapper (lidah bel) menyentuh logamnya 
  • Resonance  : gema dan gaung yang menyertai attack

Unsur resonance lah yang memiliki nuansa bunyi paling luas. Resonance pada bunyi bel memiliki harmonik gelombang bunyi yang sangat kaya. Inilah juga mengapa bel dipakai dalam ritual-ritual tertentu. Nuansa dari resonance nya diyakini memiliki dimensi magis untuk mengusir sesuatu yang “jahat.” Terlepas dari benar tidaknya fenomena ini, setidaknya bunyi bel lebih dari sekedar bunyi sebuah benda. Bunyi bel adalah “suara” yang menyuarakan “sesuatu” PESAN dari sebuah dimensi yang berbeda dengan kesemestaan kita.

HANDBELL CHOIR
sumber: nwcso

Puncak karya musikal untuk bel, berada dalam bentuk BELL CHOIR - koor untuk bel. Sebagaimana layaknya koor untuk vokal, koor untuk bel juga memiliki sisi spiritual. Komposisi untuk koor bell juga terbagi menjadi beberapa jalur bunyi. Filosofinya sebagaimana koor vokal adalah pengejawantahan Sang Maha Pencipta dalam alur laku kehidupan manusia. Bunyi bel juga memiliki “daya” transendensi sebagaimana filosofi dan hikayat panjang pada suara manusia. Menikmati Bell Choir pada esensinya adalah menikmati sebuah dialog transenden antara semesta duniawi dan alam “lain” dimana Sang Maha Kuasa bertakhta. Dan nuansanya tersublim dengan karakter resonance bunyi bel yang memang sungguh kaya nuansa.
 

Menilik bunyi bel menghantar kita pada rangkai peristiwa yang tak berlebihan untuk digagas dalam kehidupan kita. Bahwa dalam kesejatiannya, yang tergusur pun tetap punya ranah untuk berbunyi, bahkan bersuara. Suaranya mungkin tak menggelegar suara penguasa. Sama dengan bel yang hanya terbatas jangkau bunyinya. Namun dengan kesadaran dan perhatian serta kepedulian yang pada konteksnya, bel bisa berubah menjadi bunyi lonceng gereja yang jangkau bunyinya lebih luar. Pun para kaum tergusur. Apalagi jika kepedulian kita mampu membangun tata harmoni baru bagi kehidupan kaum yang tergusur.

Steven Amundson "Glories Ring"
by: St. Olaf Handbell Choir

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.