"MEMPOSISIKAN JAZZ DALAM RANAH MUSIK POP"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel STACCATO, Mei 2013
Sudah menjadi “rahasia” umum, dan telah umum
dirahasiakan, bahwa Jazz adalah BUKAN Musik Klasik. Pernyataan ini dirasa perlu
untuk dikemukakan, sehubungan dengan masih maraknya pendapat yang berkembang
dalam masyarakat kita. Pendapat yang sebetulnya telah menjadi “lagu lama” yang
nyaris membosankan. Yakni bahwa Musik Klasik adalah sebuah keunggulan
tersendiri. Sebuah maha karya adiluhung yang hanya bisa dicapai melalui
ketekunan dan asah terampil puluhan tahun. Oleh sebab itu maka, segala sesuatu
yang “di luar” Musik Klasik adalah kurang bermutu atau bahkan tidak punya mutu.
Tentu sah saja pendapat demikian tumbuh
berkembang dalam masyarakat. Dan karena ini bertalian dengan musik, maka tak
banyak orang yang mengambil pusing dari pendapat tersebut. Lagipula, ini hanya
musik, dan bukan hal seperti dagang multi level ataupun kesehatan yang dapat
mengancam hidup orang. Jadi pendapat tersebut membiarkan dirinya tumbuh, berkembang
karena memang dibiarkan,dan publik permisif saja untuk membiarkan. Maka jadilah
pendapat tentang superioritas Musik Klasik sebagai hal yang “sudah semestinya”
dan terbiarkan.
Musik Klasik memang memiliki superioritas yang
mengagumkan. Fakta tersebut tak dapat, tak mungkin, takkan pernah dan memang
untuk apa jika terbantahkan. Tradisi yang panjang, karya komposisi yang teratur
dengan presisi tinggi. Penguasaan teknik permainan, interpretasi dengan acuan rhetorik,
gramatik, dan idiomatika musik. Semuanya merupakan keistimewaan Musik Klasik. Namun,
tetap harus diingat (bagi yang masih mau mengingat) bahwa MUSIK KLASIK BUKANLAH SEGALANYA. Dan bahwa di luar Musik Klasik, tetap
ada musik seni yang layak untuk dijadikan asupan kebutuhan rasa estetis dan
pengisian relung bathin manusia. Dalam konstelasi semacam inilah, seyogyanya
Jazz di Indonesia diposisikan dan terposisikan. Jazz berada di luar Musik Klasik.
Meskipun bisa juga Jazz menjadi kegatelan
dan mencumbu Musik Klasik dengan penuh pesona, seperti yang dilakukan Jacques Louissier dalam men-Jazz-kan
karya J.S Bach.
Untuk sesuatu yang di luar Musik Klasik, orang
di Indonesia lazim menyebut dengan istilah NON
KLASIK. Beberapa dekade yang lalu sempat marak diadakan festival gitar dan
SELALU pelaksanaan festival gitar tersebut memiliki dua kategori: KLASIK DAN NON KLASIK. Ada pula
masyarakat, baik yang berminat dengan musik, mengetahui musik, mengerti musik
atau memahami musik, mengistilahkan sebagai POP. Untuk sesuatu yang di luar Musik Klasik. Istilah POP adalah kependekan dari POPULER, yang berasal dari kata
Yunani POPULUS yang artinya orang banyak (bukan banyak orang). Istilah Pop
kemudian meluas, bukan sebagai terminologi budaya semata, melainkan sudah juga
menjadi trend dan bahkan gaya hidup. Apapun
konsepnya,dengan segala kelatahannya, Jazz secara takdirnya berada dalam ranah
semacam itu, yakni Non Klasik dan/atau Pop. Kesemestaan Jazz dalam ranah
non Klasik dan/atau Pop, berdampingan, dan bermesraan, bahkan seringkali
terlibat persetubuhan budaya yang liar. Jazz tersanding mesra dengan musik POP
sebagai sebuah genre. Juga musik Rock sebagai genre. Musik Avantgarde yang juga menapakkan takdirnya sejalan peradaban umat
manusia. Relasi, keintiman, dan persetubuhan Jazz dengan genre musik lainnya dalam
ranah Pop (atau non Klasik), semestinya perlu untuk senantiasa direposisikan. Agar
yang namanya Jazz tetap nampak jati dirinya. Sehingga orang tidak perlu pusing
dan mengernyitkan dahi manakala terbersit istilah Jazz.
Musik Pop sebagai ranah Jazz, dalam hakekatnya
memiliki sifat INGIN MENYENANGKAN ORANG
BANYAK. Pernyataan tersebut membawa dua konsekuensi: Seniman, dan pebisnis musik yang harus latah dan melacurkan diri pada
selera pasar, dan seniman yang tetap berusaha menggapai pasar dengan bahasanya sendiri.
Jazz agak berbeda jika dibandingkan Musik Pop, meskipun dalam ranah yang
sama. Jazz tetap melakukan perjuangan antara idealisme yang dipertarungkan
dengan selera pasar. Demikian juga terhadap pengaruh Musik Avantgarde yang mau tidak
mau menyertai perjuangan Musik Jazz. Berbicara tentang posisi kesemestaan Jazz
dalam ranah musik Pop, nampaknya menarik untuk mengangkat kembali pemikiran dan
pendapat musikolog Tibor Kneif.
Hal utama yang dikemukakan Tibor kneif adalah
konsepsi dari MARX (bukan tentang komunis ya), yakni bahwa: seseorang
dinilai bukan dari pernyataan tentang dirinya, melainkan dari semua tindakan
yang dapat nyata dilihat orang banyak.
Nampak jelas sekali sebuah realita, bahwa tidak
penting lagi mutu konsepnya. Melainkan apa yang dicerna masyarakat itulah yang
lebih penting. Musisi Jazz boleh saja berteriak tentang originalitas konsepnya,
pada akhirnya, dunia Pop lebih ditentukan dengan persepsi orang banyak dalam
sebuah “pasar” musik. Pasar musik dalam kelakuannya bisa menjadi sangat mengerikan.
Untuk mengatasi hal ini, orang dengan gampang menjadi sangat latah. Dengan
mudahnya orang mengklaim bahwa inilah Rock MODERN, Rock Kontemporer. Demikian
juga dengan Pop. Inilah Pop Modern, Pop Contempo, Pop Alternatif, Pop Angkasa …ooopsss bukan ya…hehehehe. Yang
kesemuanya itu dilakukan dalam rangka mendikte pasar agar terpengaruh pada
suatu trend. Repotnya lagi, Jazz terpaksa dan dipaksa juga bergulat dengan
fenomena trend set maker semacam ini.
Hasilnya? Bisa dilihat pada ajang Jazz Festival yang di gelar di tanah air, Pada
Jazz Festival di tanah air belakangan ini sulit sekali untuk mencari Jazz yang
kukuh gigih mengusung jati dirinya. Bahkan untuk beberapa segmen, pemusik Pop
yang “cuma“ menyerempet-nyerempet
Jazz, lebih berjaya dibandingkan dengan musisi Jazz yang masiv.
Lebih lanjut, Tibor Kneif juga menyitir istilah
Avantgarde. Istilah Avantgarde sebetulnya bukan istilah music; melainkan
istilah yang dipergunakan dalam dunia MILITER. Avantgarde dimaknai sebagai
garda depan atau ujung tombak. Diperuntukkan bagi peleton yang menghadapi lawan
pada jajaran paling depan. Kemudian dunia seni, dengan segala konsekuensi dan kelatahannya
mengadopsi istilah Avantgarde. Diperuntukkan bagi seni yang kontemporer.
Kontempo atau seni yang “mengedepani”
jamannya. Keberadaan konsep Avantgarde
dalam ranah musik Pop, membawa konsekuensi yang tidak kecil. Di satu
sisi, Avantgarde “menuntut” sebuah konsep yang benar-benar mengedepankan jaman.
Konsep yang semacam ini jelas tidak mungkin popular. Karena bagaimana bisa
disukai banyak orang, jikalau konsep tersebut masih baru dan sekian persen nya
adalah masih coba-coba. Hal ini sangat bertentangan dengan doktrin Musik Pop
yang senantiasa mengedepankan cita rasa yang menyenangkan orang banyak. Dan
Jazz, mau tidak mau, suka atau tidak suka akan menghadapi fenomena seperti ini.
Yang terjadi berikutnya adalah Avantgarde yang setengah hati. Seringkali klaim
Avantgarde berupa komposisi yang semata hanya menampilkan progresi harmoni yang
agak tak lazim saja. Sementara pengolahan improvisasi nya terasa seperti orang
gagap yang kebingungan. Dengan kata lain, senantiasa ada dikotomi antara
memperbaharui Jazz dalam jati dirinya atau menyerah pada perjalanan nasib dalam
ranah Musik Pop.
Sempat timbul pemikiran, mengapa Jazz harus
berada dalam ranah Pop. Tidakkah sebaiknya Jazz berdiri sebagai genre musik
mandiri meskipun tentu saja bersifat non Klasik? Secara konsep, pemikiran
semacam ini sungguh baik. Namun pelaksanaannya tidaklah sesederhana itu. Jazz
ditampilkan dalam klub Jazz. Sesekali memang Jazz bisa tampil dalam hajatan
akbar seperti festival internasional. Namun acara semacam itu hanya diadakan
secara periodik dan bukan dalam keseharian. Sulit untuk menyatakan keberadaan
Jazz dalam interaksinya dengan selera orang banyak, jika mengukur dari Jazz di
ajang festival. Sangat jarang Jazz tampil layaknya pagelaran orkestra Klasik
dalam sebuah gedung pertunjukan teatrikal. Mengapa? Karena jika Jazz sering
tampil dalam bentuk serupa konser Musik Klasik, maka esensinya berupa celotehan
yang hadir, tepuk tangan spontan dan malah gerakan kaki penonton akan menjadi
sirna. Tempat yang memungkinkan untuk itu adalah klub Jazz. Jika kita bicara
tentang klub, maka sebetulnya kita bicara tentang tempat yang rentan terhadap
invasi budaya Pop. Ujung-ujungnya Jazz akan kembali lagi pada ranah Musik Pop.
Posisi Jazz dalam ranah Musik Pop, bukanlah
tanpa kontroversi. Banyak pemusik Jazz yang sangat terusik dan merasa
terlecehkan jika Jazz dianggap setara dengan Pop. Tampaknya dalam batas
tertentu, aristokrasi dalam Musik Klasik, menghinggapi pula para pemusik Jazz. Meski
sebetulnya, jikalau Jazz “disamakan” dengan Musik Pop pun tak terlalu menjadi
masalah. Kita ambil fenomena yang terjadi di tanah air. Saat almarhum Bubi Chen masih berjaya, beliau membuat
album Pop yang diberi “Baju Jazz”. Waktu itu diusung
penyanyi seperti Rien Djamain, Nunung Wardiman, Chris Biantoro, Koes
Hendratmo, dam Bob Tutupoly. Dalam
album tersebut diperdengarkan lagu-lagu seperti Juwita Malam, Sepanjang Jalan
Kenangan, dan sejenisnya. Betul-betul benar Pop. Namun Bubi Chen dengan piawai
menisipkan licks yang sungguh sangat
Jazz. Meskipun album tersebut sama sekali bukan album Jazz. Hasilnya, publik
pun malah menjadi terangsang dan mulai melirik Jazz. Dan sebetulnya, Jazz menjadi
terpopulerkan tanpa harus melacurkan diri. Begitu pula saat tante Margie
Seegers dikawal oleh Jopie Item pada gitar. Pada periode 1985, khasanah Musik
Indonesia digegerkan oleh karya dari Dian
Permana Putra dan Deddy Dhukun. Yang
sebetulnya adalah mem-Pop-kan Jazz. Belakangan, Ireng Maulana dan Hendra Wijaya
juga mengusung format combo, yang esensi sajiannya adalah Pop yang diberi baju
Jazz.
Memposisikan Jazz dalam ranah Musik Popular, nampaknya
akan terus diperbincangkan. Namun esensinya adalah, bahwa iklim bermusik di
Indonesia, masih membutuhkan sebuah “jembatan”. Jembatan yang mampu menghantar
dengan mulus dan tanpa gejolak, agar publik menjadi terbiasa dengan sajian
sebuah genre musik sebagaimana aslinya. Dan hal ini bukan saja berlaku untuk Musik
Jazz. Musik Klasik pun sebetulnya memerlukan jembatan untuk dapat diapresiasi
oleh lebih banyak orang dan orang banyak di tanah air. Langkah yang dilakukan Adhie MS dengan Twilite Pop
Orchestra sebetulnya sudah sedikit menggapai jembatan ini.
Jalan yang ditapaki Musik Jazz di tanah air
masih sangat panjang. Dan posisi serta reposisi Jazz harus senantiasa ditelaah
dan dibaharui. Itupun jika insan-insan Jazz menghendaki Jazz makin diapresiasi.
Pada hakekatnya, semua orang berhak atas sajian musik bermutu, termasuk Jazz. Masalahnya
adalah, dengan cara apa orang tersadar akan hak nya?
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.