Friday 10 May 2013

"MEMPOSISIKAN JAZZ DALAM MUSIK POP" Staccato Mei 2013

"MEMPOSISIKAN JAZZ DALAM RANAH MUSIK POP"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
Artikel STACCATO, Mei 2013


Sudah menjadi “rahasia” umum, dan telah umum dirahasiakan, bahwa Jazz adalah BUKAN Musik Klasik. Pernyataan ini dirasa perlu untuk dikemukakan, sehubungan dengan masih maraknya pendapat yang berkembang dalam masyarakat kita. Pendapat yang sebetulnya telah menjadi “lagu lama” yang nyaris membosankan. Yakni bahwa Musik Klasik adalah sebuah keunggulan tersendiri. Sebuah maha karya adiluhung yang hanya bisa dicapai melalui ketekunan dan asah terampil puluhan tahun. Oleh sebab itu maka, segala sesuatu yang “di luar” Musik Klasik adalah kurang bermutu atau bahkan tidak punya mutu.

Tentu sah saja pendapat demikian tumbuh berkembang dalam masyarakat. Dan karena ini bertalian dengan musik, maka tak banyak orang yang mengambil pusing dari pendapat tersebut. Lagipula, ini hanya musik, dan bukan hal seperti dagang multi level ataupun kesehatan yang dapat mengancam hidup orang. Jadi pendapat tersebut membiarkan dirinya tumbuh, berkembang karena memang dibiarkan,dan publik permisif saja untuk membiarkan. Maka jadilah pendapat tentang superioritas Musik Klasik sebagai hal yang “sudah semestinya” dan terbiarkan.

Musik Klasik memang memiliki superioritas yang mengagumkan. Fakta tersebut tak dapat, tak mungkin, takkan pernah dan memang untuk apa jika terbantahkan. Tradisi yang panjang, karya komposisi yang teratur dengan presisi tinggi. Penguasaan teknik permainan, interpretasi dengan acuan rhetorik, gramatik, dan idiomatika musik. Semuanya merupakan keistimewaan Musik Klasik. Namun, tetap harus diingat (bagi yang masih mau mengingat) bahwa MUSIK KLASIK BUKANLAH SEGALANYA. Dan bahwa di luar Musik Klasik, tetap ada musik seni yang layak untuk dijadikan asupan kebutuhan rasa estetis dan pengisian relung bathin manusia. Dalam konstelasi semacam inilah, seyogyanya Jazz di Indonesia diposisikan dan terposisikan. Jazz berada di luar Musik Klasik. Meskipun bisa juga Jazz menjadi kegatelan dan mencumbu Musik Klasik dengan penuh pesona, seperti yang dilakukan Jacques Louissier dalam men-Jazz-kan karya J.S Bach.


Untuk sesuatu yang di luar Musik Klasik, orang di Indonesia lazim menyebut dengan istilah NON KLASIK. Beberapa dekade yang lalu sempat marak diadakan festival gitar dan SELALU pelaksanaan festival gitar tersebut memiliki dua kategori: KLASIK DAN NON KLASIK. Ada pula masyarakat, baik yang berminat dengan musik, mengetahui musik, mengerti musik atau memahami musik, mengistilahkan sebagai POP. Untuk sesuatu yang di luar Musik Klasik. Istilah POP adalah kependekan dari POPULER, yang berasal dari kata Yunani POPULUS yang artinya orang banyak (bukan banyak orang). Istilah Pop kemudian meluas, bukan sebagai terminologi budaya semata, melainkan sudah juga menjadi trend dan bahkan gaya hidup. Apapun konsepnya,dengan segala kelatahannya, Jazz secara takdirnya berada dalam ranah semacam itu, yakni Non Klasik dan/atau Pop. Kesemestaan Jazz dalam ranah non Klasik dan/atau Pop, berdampingan, dan bermesraan, bahkan seringkali terlibat persetubuhan budaya yang liar. Jazz tersanding mesra dengan musik POP sebagai sebuah genre. Juga musik Rock sebagai genre. Musik Avantgarde yang juga menapakkan takdirnya sejalan peradaban umat manusia. Relasi, keintiman, dan persetubuhan Jazz dengan genre musik lainnya dalam ranah Pop (atau non Klasik), semestinya perlu untuk senantiasa direposisikan. Agar yang namanya Jazz tetap nampak jati dirinya. Sehingga orang tidak perlu pusing dan mengernyitkan dahi manakala terbersit istilah Jazz.


Musik Pop sebagai ranah Jazz, dalam hakekatnya memiliki sifat INGIN MENYENANGKAN ORANG BANYAK. Pernyataan tersebut membawa dua konsekuensi: Seniman, dan pebisnis musik yang harus latah dan melacurkan diri pada selera pasar, dan seniman yang tetap berusaha menggapai pasar dengan bahasanya sendiri. Jazz agak berbeda jika dibandingkan Musik Pop, meskipun dalam ranah yang sama. Jazz tetap melakukan perjuangan antara idealisme yang dipertarungkan dengan selera pasar. Demikian juga terhadap pengaruh Musik Avantgarde yang mau tidak mau menyertai perjuangan Musik Jazz. Berbicara tentang posisi kesemestaan Jazz dalam ranah musik Pop, nampaknya menarik untuk mengangkat kembali pemikiran dan pendapat musikolog Tibor Kneif.

Hal utama yang dikemukakan Tibor kneif adalah konsepsi dari MARX (bukan tentang komunis ya), yakni bahwa: seseorang dinilai bukan dari pernyataan tentang dirinya, melainkan dari semua tindakan yang dapat nyata dilihat orang banyak.

Nampak jelas sekali sebuah realita, bahwa tidak penting lagi mutu konsepnya. Melainkan apa yang dicerna masyarakat itulah yang lebih penting. Musisi Jazz boleh saja berteriak tentang originalitas konsepnya, pada akhirnya, dunia Pop lebih ditentukan dengan persepsi orang banyak dalam sebuah “pasar” musik. Pasar musik dalam kelakuannya bisa menjadi sangat mengerikan. Untuk mengatasi hal ini, orang dengan gampang menjadi sangat latah. Dengan mudahnya orang mengklaim bahwa inilah Rock MODERN, Rock Kontemporer. Demikian juga dengan Pop. Inilah Pop Modern, Pop Contempo, Pop Alternatif, Pop Angkasa …ooopsss bukan ya…hehehehe. Yang kesemuanya itu dilakukan dalam rangka mendikte pasar agar terpengaruh pada suatu trend. Repotnya lagi, Jazz terpaksa dan dipaksa juga bergulat dengan fenomena trend set maker semacam ini. Hasilnya? Bisa dilihat pada ajang Jazz Festival yang di gelar di tanah air, Pada Jazz Festival di tanah air belakangan ini sulit sekali untuk mencari Jazz yang kukuh gigih mengusung jati dirinya. Bahkan untuk beberapa segmen, pemusik Pop yang “cuma“ menyerempet-nyerempet Jazz, lebih berjaya dibandingkan dengan musisi Jazz yang masiv.

Lebih lanjut, Tibor Kneif juga menyitir istilah Avantgarde. Istilah Avantgarde sebetulnya bukan istilah music; melainkan istilah yang dipergunakan dalam dunia MILITER. Avantgarde dimaknai sebagai garda depan atau ujung tombak. Diperuntukkan bagi peleton yang menghadapi lawan pada jajaran paling depan. Kemudian dunia seni, dengan segala konsekuensi dan kelatahannya mengadopsi istilah Avantgarde. Diperuntukkan bagi seni yang kontemporer. Kontempo atau seni yang “mengedepani” jamannya. Keberadaan konsep Avantgarde  dalam ranah musik Pop, membawa konsekuensi yang tidak kecil. Di satu sisi, Avantgarde “menuntut” sebuah konsep yang benar-benar mengedepankan jaman. Konsep yang semacam ini jelas tidak mungkin popular. Karena bagaimana bisa disukai banyak orang, jikalau konsep tersebut masih baru dan sekian persen nya adalah masih coba-coba. Hal ini sangat bertentangan dengan doktrin Musik Pop yang senantiasa mengedepankan cita rasa yang menyenangkan orang banyak. Dan Jazz, mau tidak mau, suka atau tidak suka akan menghadapi fenomena seperti ini. Yang terjadi berikutnya adalah Avantgarde yang setengah hati. Seringkali klaim Avantgarde berupa komposisi yang semata hanya menampilkan progresi harmoni yang agak tak lazim saja. Sementara pengolahan improvisasi nya terasa seperti orang gagap yang kebingungan. Dengan kata lain, senantiasa ada dikotomi antara memperbaharui Jazz dalam jati dirinya atau menyerah pada perjalanan nasib dalam ranah Musik Pop.


Sempat timbul pemikiran, mengapa Jazz harus berada dalam ranah Pop. Tidakkah sebaiknya Jazz berdiri sebagai genre musik mandiri meskipun tentu saja bersifat non Klasik? Secara konsep, pemikiran semacam ini sungguh baik. Namun pelaksanaannya tidaklah sesederhana itu. Jazz ditampilkan dalam klub Jazz. Sesekali memang Jazz bisa tampil dalam hajatan akbar seperti festival internasional. Namun acara semacam itu hanya diadakan secara periodik dan bukan dalam keseharian. Sulit untuk menyatakan keberadaan Jazz dalam interaksinya dengan selera orang banyak, jika mengukur dari Jazz di ajang festival. Sangat jarang Jazz tampil layaknya pagelaran orkestra Klasik dalam sebuah gedung pertunjukan teatrikal. Mengapa? Karena jika Jazz sering tampil dalam bentuk serupa konser Musik Klasik, maka esensinya berupa celotehan yang hadir, tepuk tangan spontan dan malah gerakan kaki penonton akan menjadi sirna. Tempat yang memungkinkan untuk itu adalah klub Jazz. Jika kita bicara tentang klub, maka sebetulnya kita bicara tentang tempat yang rentan terhadap invasi budaya Pop. Ujung-ujungnya Jazz akan kembali lagi pada ranah Musik Pop.

Posisi Jazz dalam ranah Musik Pop, bukanlah tanpa kontroversi. Banyak pemusik Jazz yang sangat terusik dan merasa terlecehkan jika Jazz dianggap setara dengan Pop. Tampaknya dalam batas tertentu, aristokrasi dalam Musik Klasik, menghinggapi pula para pemusik Jazz. Meski sebetulnya, jikalau Jazz “disamakan” dengan Musik Pop pun tak terlalu menjadi masalah. Kita ambil fenomena yang terjadi di tanah air. Saat almarhum Bubi Chen masih berjaya, beliau membuat album Pop yang diberi “Baju Jazz”. Waktu itu diusung penyanyi seperti Rien Djamain, Nunung Wardiman, Chris Biantoro, Koes Hendratmo, dam Bob Tutupoly. Dalam album tersebut diperdengarkan lagu-lagu seperti Juwita Malam, Sepanjang Jalan Kenangan, dan sejenisnya. Betul-betul benar Pop. Namun Bubi Chen dengan piawai menisipkan licks yang sungguh sangat Jazz. Meskipun album tersebut sama sekali bukan album Jazz. Hasilnya, publik pun malah menjadi terangsang dan mulai melirik Jazz. Dan sebetulnya, Jazz menjadi terpopulerkan tanpa harus melacurkan diri. Begitu pula saat  tante Margie Seegers dikawal oleh Jopie Item pada gitar. Pada periode 1985, khasanah Musik Indonesia digegerkan oleh karya dari Dian Permana Putra dan Deddy Dhukun. Yang sebetulnya adalah mem-Pop-kan Jazz. Belakangan, Ireng Maulana dan Hendra Wijaya juga mengusung format combo, yang esensi sajiannya adalah Pop yang diberi baju Jazz.

Memposisikan Jazz dalam ranah Musik Popular, nampaknya akan terus diperbincangkan. Namun esensinya adalah, bahwa iklim bermusik di Indonesia, masih membutuhkan sebuah “jembatan”. Jembatan yang mampu menghantar dengan mulus dan tanpa gejolak, agar publik menjadi terbiasa dengan sajian sebuah genre musik sebagaimana aslinya. Dan hal ini bukan saja berlaku untuk Musik Jazz. Musik Klasik pun sebetulnya memerlukan jembatan untuk dapat diapresiasi oleh lebih banyak orang dan orang banyak di tanah air. Langkah yang dilakukan Adhie MS dengan Twilite Pop Orchestra sebetulnya sudah sedikit menggapai jembatan ini.

Jalan yang ditapaki Musik Jazz di tanah air masih sangat panjang. Dan posisi serta reposisi Jazz harus senantiasa ditelaah dan dibaharui. Itupun jika insan-insan Jazz menghendaki Jazz makin diapresiasi. Pada hakekatnya, semua orang berhak atas sajian musik bermutu, termasuk Jazz. Masalahnya adalah, dengan cara apa orang tersadar akan hak nya?

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.