Monday 27 August 2012

SABOR A MI


SABOR A MI


Hidup itu gak ada senangnya…gak ada enaknya…dan gak ada bagusnya sama sekali….

Jalanan Jakarta..padat,berhimpit,merayap,berdebu,panas kering menyengat

Meski mobil kita ber AC super compressor

Dalam keadaan begitu…di mobil yang kami kendarai saat itu mengalun lagu SABOR A MI
Dari sebuah car mp3 player

In Kenny G sopran sax version

Spontaneous  “someone beside me” said with deep lovely voice

“ Can you play that music ?”
“ Sure…”
“ In strip and sexy way ?”
“ Sure……”
“ on your guitar ?”

Sabor A Mi adalah lagu yang ditulis dan dikarang oleh Álvaro Carrillo Alarcón , seorang composer Mexico,dan dipopulerkan oleh penyanyi Jepang, Yoshiro Hiroshi.




Liriknya berujar: 

Tanto tiempo disfrutamos de este amor
For so long we have enjoyed this love
Nuestras almas se acercaron tanto así
our souls got so close
Que yo guardo tu sabor
that I keep your taste (1)
pero tu llevas tambien
but you also carry
sabor a mí
a taste of me

Si negaras mi presencia en tu vivir
If you would deny my presence in your life
bastaría con abrazarte y conversar
it would suffice to embrace you and to talk (2)
Tanta vida yo te di
so much (of my) live I gave to you
que por fuerza tienes ya
that you cannot help but having
sabor a mí
a taste of me

No pretendo ser tu dueño
I am not trying to be your owner
No soy nada, yo no tengo vanidad
I am nothing, I have not vanity
De mi vida, doy lo bueno
Of my life, I give the good (the best)
Soy tan pobre que otra cosa puedo dar?
I am so poor, what else can I give?

Pasarán mas de mil años
A thousand years may pass
muchos más
many more
Yo no se si tenga amor la eternidad
I dont know whether love exist in eternity
Pero alla tal como aquí
But there just as here
en la boca llevaras
in the mouth you will carry
sabor a mí
a taste of me

(1) sabor= taste, flavor. Here it is used in a poetic way, menaing "a trace of you remains within me and you also have taken on a trace of me".
(2) to prove that I am still part of your life.

This is The Legendary LOS PANCHOS sing Sabor A Mi



And..this is My Sabor a Mi





Saturday 18 August 2012

Artikel Audiopro (Agustus 2012) "Kawai - The Ultimate Digital Piano"

KAWAI FACTORY TOUR
“THE ULTIMATE DIGITAL PIANO”
Artikel AUDIOPRO, edisi Agustus 2012
Oleh: Michael Gunadi Widjaja



Piano digital sangat berbeda dengan piano elektrik. Piano digital adalah sebuah imitasi dari piano akustik sejati dalam sebuah sistem digital. Ada beberapa merek dan pabrik piano digital. Salah satu yang sudah mendapatkan pengakuan kelas dunia adalah Kawai digital piano.

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan melakukan Kawai Factory Tour atas undangan pihak manajemen PT KAWAI INDONESIA. Dalam Factory Tour ini saya bersama dengan Jelia Megawati Heru, M.Mus.Edu, seorang music educator dan pianis alumnus Jerman. Selama tur, kami didampingi jajaran manajemen Kawai Indonesia, yakni Bapak Suyono (Manager Quality Control) dan Bapak Oki Hermawan Anggawinata (Manager Marketing). Juga Bapak Gunawan dari jajaran manajemen Kawai elektrik dan direktur utama Kawai Indonesia Mr. Hiroshi Ushio dan executive director Mr. Ichiro Matsuda.

 

Pabrik Kawai digital piano adalah sebuah assembly industry yang terletak di Cikampek. Nama resmi dari pabrikan piano digital ini adalah Kawai Electronic Musical Instrument, dan berada dalam unit produksi Kawai Plant 3. Seluruh proses assembly dikerjakan dengan sarana produksi canggih dan pengawasan kualitas yang prima.

Kawai mengeluarkan berbagai tipe dan seri piano digital, dan terbagi dalam empat kategori:
  • Concert Performance series (CP)
  • Concert Artist series (CA)
  • Portable Digital  (ES & EP)
  • Custom series  (CL & CN)
Tiap seri memiliki keunggulan dan fitur untuk berbagai keperluan. Seri CP misalnya, adalah sebuah masterpiece dengan keakuratan bunyi sangat presisi mendekati bunyi Grand Acoustic Piano.

Yang menjadikan Kawai digital piano berbeda dan unggul dibanding piano digital lainnya adalah bahwa Kawai digital piano memiliki area sanpling yang luas, juga sampling rate yang tinggi. Dan modus sampling ini diambil dari Shigeru Kawai, salah satu grand piano terbaik di dunia. Selain itu, mekanisme touch dari Kawai digital piano juga sangat luar biasa. Hammer action menggunakan compound material, yakni wooden dan bahan composit. Sehingga touch dari Kawai digital piano bukan saja mendekati piano sejati, melainkan sudah sangat persis. Touch respond dan sensitivitasnya sangat akurat, hammer action-nya juga memungkinkan untuk mengeksplorasi tone color.

 
 

Dalam pabrik, Miss Jelia sempat mencoba Kawai digital piano seri CP. Dan ternyata seri CP ini sangat mampu mengakomodasi kebutuhan pianis handal seperti Jelia, terutama ketika dilakukan tes dengan fast repeated hammering technique. Mekanisme hammer Kawai sangat mampu mengakomodasi teknik ini, yang di piano digital merek lain amatlah tidak mungkin.

Piano Kawai termasuk salah satu produk piano terbaik di dunia. Bersama Fazioli, Boessendorfer, dan Steinway & Sons. Nama besar Kawai dan ketenarannya merupakan fusi dari kerja keras, visi yang tajam, keterampilan, keuletan, dan yang terpenting penjiwaan slogan bahwa Kawai akan menjadi “The Future of the Piano”

KAWAI DIGITAL PIANO
“Sounds like playing on a real acoustic piano with responsive sensitive keys”

Tur dialokasikan pada Kawai piano factory plant 1, yakni unit perakitan untuk piano akustik dan grand piano. Sesampainya di Kawai plant 1, rombongan disambut Mr. Hiroshi Ushio (Presdir PT Kawai Indonesia) dan Mr. Ichiro Matsuda (Direktur pelaksana). Sebelum melakukan kunjungan ke pabrik, dilakukan presentasi oleh Bapak Rudi seputar Kawai Indonesia dan product knowledge. Menjadi menarik manakala menelisik sejenak hal-hal penting dalam presentasi tsb, agar setidaknya dapat dijadikan inspiratif tentang filosofi dan etos kerja sebuah pabrik piano terbaik di dunia dalam kiprahnya di tanah air.

SEJARAH KAWAI
(dari ki-ka) Koichi Kawai - Shigeru Kawai - Hirotaka Kawai

Kawai Corp. Didirikan oleh Koichi Kawai. Saat ia memasuki usia remaja, Koichi bekerja di industri piano. Dia adalah anggota kunci tim penelitian dan pengembangan dimana untuk pertama kalinya piano diperkenalkan ke Jepang. Seorang penemu berbakat, Koichi Kawai adalah yang pertama kali merancang dan membangun sebuah aksi piano di Jepang. Ia memegang banyak paten untuk penemuannya dan desain. Perbedaan visi menjadikan seorang Koichi Kawai mendirikan sebuah perusahaan piano sendiri. Pada tahun 1927, Koichi Kawai mendirikan laboratorium penelitian instrumen musik Kawai, dan mempekerjakan tujuh orang kerabat lainnya. Sebagai perusahaan muda, satu-satunya yang mendukung mereka adalah semangat untuk musik dan keinginan untuk memproduksi piano unggul. Prinsip-prinsip dasar Koichi dipusatkan pada kualitasm apresiasi musik, dan pencarian keunggulan.


Impian Koichi Kawai diwujudkan oleh Shigeru Kawaithe successor, anak Koichi Kawai – dalam memperluas fasilitas produksi dan mendirikan sejumlah organisasi untuk mempromosikan nilai musik. Pada 9 Agustus 1927 di Hanamatsu, Jepang, didirikanlah pabrik Kawai yang pertama. Hirotaka Kawai, presiden yang ditunjuk pada tahun 1989, tetap berkomitmen untuk menjalankan tradisi yang ditanamkan oleh ayah dan kakeknya. Dalam menegaskan filsafat mereka, ia menyatakan “At Kawai, th quest for perfection is not just an ideal, but a duty”. Di bawah bimbingan Hirotaka, perusahaan memulai sebuah program yang menginvestasikan puluhan juta dollar untuk mengintegrasikan teknologi robotika ke dalam proses manufaktur. Dia juga memimpin pendirian fasilitas manufaktur Kawai di seluruh dunia. Dengan demikian, tradisi kepemimpinan keluarga di Kawai hidup dari generasi ke generasi.

Kawai Indonesia berdiri tahun 2001, memiliki tiga unit produksi. Kawai plant 1 di Tangerang dan Kawai plant 2 & 3 di Cikampek. Akan segera terealisasi Kawai plant 4. Jika Kawai plant 4 terealisasi, maka akan didapat produk piano yang memproduksi semua produk bahan baku piano yang murni buatan Indonesia. Kegiatan utama unit produksi Kawai adalah perakitan piano dengan jumlah produksi 1000 set per bulan untuk piano akustik dan 6000 set per bulan untuk piano digital. Khusus untuk piano akustik, 40% kegiatan produksinya dikerjakan secara manual, sebagai komitmen Kawai akan hand crafted and precision untuk menghasilkan piano terbaik di dunia.

 Master Piano Artisan (MPA)

Semua produksi Kawai ada dibawah pengawasan sangat ketat dari Master Piano Artisan (MPA). Tingkat tertinggi dari MPA ini baru dapat diperoleh setelah 20 tahun mengenyam pendidikan dan tes, termasuk di Eropa.

ABS-CARBON
“The New Composit for Piano Action Millenium”

Masterpiece piano akustik Kawai adalah Shigeru Kawai grand piano. Menggunakan bahan komposit millenium serat karbon yang disebut sebagai ABS-Carbon (ABS: Acrylonitrile Butadiene Styrene). ABS adalah salah satu bahan yang paling dikenal dari semua komposit modern dalam semua aspek kehidupan, seperti telepon, komputer, peralatan rumah, mobil, sepeda, mobil balap Formula One, instrumen gesek, dan pesawat komersial.

ABS-Carbon merupakan bahan yang sangat kokoh dan kaku, dipergunakan untuk membuat bagian-bagian piano action yang berkenaan dengan:
  • Kekuatan - Lima puluh kali lebih kuat dari bahan kayu, sehingga memiliki daya tahan yang kuat dari perubahan suhu/cuaca 
  • Konsistensi dimensi - Secara signifikan lebih konsisten dalam ukuran dan bentuk dari bahan kayu, sehingga memungkinkan produksi nada yang lebih jernih dan presisi
  • Ketahanan terhadap pembengkakan - Tiga puluh kali lebih tahan daripada bahan kayu, sehingga posisi sekrup pada piano action tetap ketat dan hammer tidak mengalami perubahan, memungkinkan untuk melakukan sentuhan (touch), serta produksi kualitas tone yang konsisten
  • Daya tahan (longevity) dalam rentan waktu yang panjang
Desain ringan membuat piano action millenium III ini sangat cepat dan memudahkan pemainnya dalam melakukan pengulangan (repeated hammer action), dan respons bunyi yang luar biasa. Infus serat karbon ke ABS meningkatkan kekuatan material hingga 90%. Dengan ABS-Carbon, piano action dibuat lebih cepat dan ringan. Sekitar 16% lebih cepat dari bahan konvensional pada umumnya, dan tidak terpengaruh oleh kelembaban udara, sehingga hammer mechanism tidak macet seperti jika memakai bahan dari kayu. Dan pemain mempunyai kemampuan kontrol jari yang tidak tertandingi untuk bermain pianissimo. Selain itu Kawai juga dilengkapi dengan agraffes utillity pada bridge agar posisi dawai tidak mudah bergeser.

Piano Concert "PIANOLICIOUS MOMENT"


A Piano Concert
“Pianolicious Moment”
Life is like piano... what you get out of it depends on how you play it
One man gets nothing but discord out of piano; another gets harmony.
Study to play it correctly and it will give you forth the beauty...

Students & Directed by
JELIA MEGAWATI HERU

ISTITUTO ITALIANO
Jln. HOS Cokroaminoto 117, Menteng
Sunday, 7th October 2012
4.30 pm & 7 pm

performing
Classical to Modern Piano Music in all form of Solo & Piano Ensembles
1 piano 2 hands, 1 piano 4 hands, 1 piano 6 hands, and 2 pianos 8 hands

PROGRAM

1st Session
students of Jelia Megawati Heru
(early beginner - intermediate level)

in collaboration with
Shinning Stars Enrichment Center (Tegal)
Ruth Ellinger "Balloon Pop Polka" (for 2 pianos, 8 hands)
Ludwig van Beethoven “Für Elise” (for 2 pianos, 4 hands)
Martha Mier "Agent 003" (for 1 piano, 6 hands)
and many more...

2nd Session
(teacher & professional performers)

Special Performance Duo Guitar Piano
Michael Gunadi Widjaja - Jelia Megawati Heru
Astor Piazzolla "Oblivion"

Featuring: Mery Kasiman & Yoseph Sitompul
Mike Cornick Trilogy (for 1 piano 4 hands)
"Blue Piano Duets"
"Latin Piano Duets"
"Jazz Suite"

Twinkle Twinkle Little Star
Traditional - Jazz - Dang Dut
Arr. Michael Gunadi Widjaja

Golden Fingers Piano Ensembles
(for 2 pianos 8 hands)
William Gillock "Champagne Toccata"
Michael Gunadi Widjaja "Kemben"
Arr. Michael Gunadi Widjaja "Medley Indonesian Folksong"
Kevin Olson "Scott Joplin Rhapsody"

TICKET
IDR 75.000 (1 Session)
IDR 150.000 (2 Sessions)

More information
Michael 0818 288 006, pin: 288A49F3
email: elisabeth.jmh@gmail.com


ABOUT PIANO ENSEMBLES

The piano is pretty much intimate instrument that work fantastically for solo, group ensemble or orchestra. But not many know that piano alone or a bunch of guitars can be an ensemble of its own and entertain us with a rich range of melodies. A piano that is played by two people, three people, or even four people could actually give you less monotone and a more interactive performance to watch.

The importance of the solo pianist in the world of music is beyond question, but the life of solo pianist can be lonely.  The piano ensembles offers a unique opportunity to make beautiful music with another person at the same instrument. While the basic principles of solo performance also applied, playing piano ensembles could be really challenging, for some of the pianists have found themselves playing “duels” instead of “duets”.

One of the hallmarks of any fine musical group is its ensemble. The music should sound as if played by one person. Not only the notes should come precisely together, but in the terms of style and flexibility, allowing the music to breathe...

Piano ensemble is the art of playing music together in the form of 1 piano 4 hands (two people at one piano), 1 piano 6 hands (three people at one piano), 2 pianos (two peoples at two pianos), and 2 pianos 8 hands (four people at two pianos).

The piano ensemble is, on the one hand, a genre or musical medium that stands independently on its own merits, while on the other hand it can be considered chamber music, like string quartet, where the players must be prepared to change roles instantly, from soloist – shaping & projecting melodic lines, to accompanist and back to soloist. Play with different character, and almost limitless possibilities of its own to create a beautiful music.

This is fascinating and ongoing task because music is like a kaleidoscope, constantly changing.  That’s why both verbal conversation in rehearsal and real musical dialogue are essential. A different background, temperament, and preference of each person will bring a colorful musical experience. Certainly, both partners must submerge their egos for the good of the music itself.

The process of merging with another individual in a duo or larger group of musicians, or with an audience, is the essence of communication. This communication is made possible by the silent rhythm that connects everyone. This is what allows for spontaneous magic to lift people into a perfect synchrony where everyone can perform and experience the music as one.

One of the best reasons to play an instrument is to play with others. Not only does it improve your playing. It’s great fun and a great way to make connection with the others in all sorts of ways and locations.

“Never shall I forget the time I spent with you.
Please continue to be my friend, as you will always find me yours”
– Ludwig van Beethoven –


WHY PIANO ENSEMBLES?

Nowadays music lovers often turn to recordings, television, and youtube when they want to enjoy listening at home. In the late 18th & 19th centuries, however, it was both a necessity and a great pleasure to make one's own music at home, often in the form of piano duet. The need for 20 Fingers at the piano, rather than 10 Fingers, was partially due to the desire of music lovers to play piano transcriptions of orchestral pieces, chamber works, and even opera, this being their only way of hearing such music at their own convenience, and finding that two hands were quite inadequate for this task. 

This "reading" of the scores led to a much deeper understanding of the structure and the melodic, harmonic, rhythmic content of the music than the merely passive listening in which we indulge today. The piano ensembles provided the opportunity to hear and study music compositions, and to enjoy a social interaction - making music with a friend, relative, or colleague. The use of the piano ensembles as a means of re-hearing and studying orchestral pieces was only the beginning; the best was yet to come.

Beside the joy that playing together brings, and the recital potential of the young ones (pedagogical use), it also develops musicianship. The ultimate goal for piano ensemble playing is to pay more attention, listen to themselves, others, and hence, to the total sound. "Listening," in this context, compels players to stay together and balance their parts. The art of piano ensembles playing incorporates the many aspects of beautiful, effective solo performance (singing tone, balance, rubato where appropriate, sensitive pedaling, etc.)

PROFILE

Jelia Megawati Heru, M.Mus.Edu.
Music Educator, Lecturer, Music Advisor, and Pianist

Jelia Megawati Heru started learning the piano at the age of 5. She continued learning Classical Piano with different music teachers in Jakarta, such as: Helen Gumanti, BA (USA) and Angelita Chandra, M.Mus. (Belgian).  

In 2001, studied piano with Jongky Goei, Master of Performing Arts, Chairman and Stage Art Manager of Marcia Haydée Ballet in Stuttgart, Germany.  

Then in 2002, she started her study in Music Education for Instrument (Instrumental Pädagogik) at Fachhochschule Osnabrück Konservatorium, Institut für Musikpädagogik – Germany, majoring in Classical Piano with Prof. Ljuba Dimowa-Florian (Hungaria), minor Vocal with Torsten Meyer, Dipl. Mus. (Hochschule für Musik u. Theater Hannover, Germany) and  Jazz Piano with Wolfang Mechsner, Dipl. Mus. (Hochschule Vechta & Münster, Germany).  

During her stay in Germany, besides actively performing and teaching music, Jelia attended many seminars and forum, such as: Forum Musikpädagogik I with Prof. Dr. Hans Günther Sebastian (Frankfurt am Main University); studied Solmisation Technique and Kodàly Technique from Prof. Dr. Malte Heygster (conductor of symphony orchestra Recklinghausen & Bielefeld, head master of Bielefeld music school, chapel master of chamber orchestra Köln and also an author for “Hand Book of Relative Solmisation” – Schott).  

She became an active participant in various chamber music and master class in Germany and other countries, such as: Chamber Music - Prof.  Gerard Chenuet (Nantes, France), Conducting for Ensemble and Choir - Prof. Folker Schramm (UDK, Berlin), Contemporary Music – Prof. Imgard Brockmann (Osnabrück, Germany), Choir Studio, Chamber Choir, Acapella and Arrangement – Prof. Michael Schmoll (Dean of FH. Osnabrück Konservatorium, lecturer, composer and conductor).  

Then she received her Master Degree in Music Education (as Master of Music Education – Dipl. Mus. Pedägogin) in 2005 from FH. Osnabrück Konservatorium with cum laude. In the same year, became an active performer for “Benefit Concert Tour for Aceh” in Hannover, Münster and Braunschweig - Germany.  

In 2006 Jelia went back for good to her homeland Indonesia, was a keynote speaker in Universitas Negeri Jakarta (UNJ, Rawamangun) for Comparison Study of Education System in Indonesia, active as an educator in Deutsche Internationale Schule (DIS – German School, BSD Tangerang) and joined Institut Musik Daya Indonesia since then as lecturer for subjects, such as: Music Education, Music History, History of Music Instruments, Ear Training, Music Theory and Major Piano.  

In 2007, she was a Dean of Institut Musik Daya Indonesia (IMDI) and Faculty of Music Pedagogy & Head of Piano Department. 

In 2008, She's a member of the National Music Ministry of National Education Consortium, which is tasked to develop music education curriculum for music schools in Indonesia. In cooperation with Tjut Nyak Deviana Daudsjah designed and developed Curriculum of National Standarization for Music School in Indonesia (validation by the Federal Government of National Education, known as DEPDIKNAS.  

In 2009, to contribute for the development of music education in Indonesia, she wrote books in cooperation with DEPDIKNAS “Piano Teaching’s Guide: Note-Reading and Piano for Beginner” and “Basic Music Theory (for all Instruments)” as guideline books for general music course in Indonesia. 

Now she is active as a music educator and academic advisor/consultant in various music schools - for updating & upgrading music school curriculum standard, conducting workshops to build & develop music teachers competencies, and conduct teacher’s concert (chamber music and piano ensembles).

Also active as seminator and keynote speaker in various cities in Indonesia - Universitas Negeri Jakarta, Tegal Council of Arts, Sinfonia Music Bandung, First Media Design School of Indonesia, Amazing Music Jogja Festival, and many more... 

Performer in collaboration for music education’s sake, director of piano ensembles projects „Golden Fingers“ She created event that showcased the young teachers that she developed to participated in her music program. The Golden Fingers is not just an usual piano ensembles group, but a pilot project to implement the concept of  “Music from Passion”. Jelia believes that the piano ensemble is not only about playing piano together, but it is an actual effort to liven up the music. “Golden Fingers Piano Ensembles” was invited by the Tegal Council of Arts on March 4th, 2012 at Taman Budaya Tegal, Central Java – as the soft opening for the most representative cultural arena theater of the city with capacity of 1000 seats, professional lighting, and stage. 

Read Golden Fingers Piano Ensembles Reportage
on Kawai Newsletter No. 29, 2012 (distributed all over the world):

William Gillock "Champagne Toccata"
 

Michael Gunadi Widjaja "Medley Indonesian Folksong"
 

Albert Lavignac "Gallop March"

Writer for STACCATO - the first classical music magazine in Indonesia, and her blogs (www.jeliaedu.blogspot.com & www.piano-ensembles.blogspot.com) – to shares thoughts and point of view about actualization & the importance of music education to teachers, practitioners, musicians, music lovers, students, and parents; so people could appreciate music more, feel the enjoyment of music, and get inspired by the power of music… “Music from Passion & Music for Life”  

PROFILE SLIDESHOW (Part 1)

PROFILE SLIDESHOW (Part 2)

more about Jelia Megawati Heru:

Wednesday 8 August 2012

Artikel Majalah Staccato - Agustus 2012 "Let's Swing It, Babe!"

"LET SWING IT, BABE!"
Artikel Majalah Staccato - Agustus 2012
by: Michael Gunadi Widjaja




Perkembangan musik Jazz di dunia, dapatlah dikatakan sangat pesat. Sedemikian pesatnya perkembangan musik Jazz, dewasa ini agak sulit bagi orang awam ataupun pemusik amatir untuk mengenali Jazz dalam kesejatiannya. Seorang penyanyi yang biasanya membawakan musik Jazz, saat dia tak membawakan Jazz pun orang secara latah menganggap bahwa si penyanyi tetaplah ber-Jazz. Demikian juga misalnya, ketika seorang pemain gitar menyelipkan lick-lick improvisasi pada permainan gitarnya. Orang secara latah berujar lantang bahwa permainan gitar tersebut sangat Jazz. Masih bagus jika sebagian kalangan dapat mengenali mana yang Jazz dan mana yang Jazzy.

Di satu sisi, keadaan demikian bisa membuat kalangan Jazz berbesar hati. Karena ternyata Jazz sudah sedemikian mencapai titik leburnya, hingga orang menjadi betul-betul lebur dan latah. Di lain sisi, nampaknya perlu untuk kembali mengedepankan cita rasa Jazz yang sejati. 

Apa gunanya mengedepankan Jazz yang sejati..TIDAK ADA GUNANYA SAMA SEKALI. Toh Jazz hanyalah musik. Yang apabila salah kaprah dan latah pun tak menyebabkan nyawa melayang. Secara adab semestinya masih tersisa sedikit rasa “tanggung jawab” terhadap seni. Tanggung jawab untuk senantiasa menyemburatkan makna bahwa seni, tak terkecuali Jazz, senantiasa memiliki jati dirinya.


Dari sekian banyak periodisasi dalam napak tilas Jazz, yang paling menginspirasi adalah era SWING. Swing sudah menjadi bagian utuh dari kesejatian musik Jazz. Malahan banyak orang menyebut bahwa Swing adalah sebuah Mainstream Jazz. Pakem dari musik Jazz. Jika bukan Swing, itu bukan Jazz sejati. Pendapat demikian tidak sepenuhnya betul. Sebab esensi dari Jazz sebetulnya adalah keterbukaan yang egaliter, disamping tentu saja kebebasan dan hal-hal yang sering dianggap “keliru”. Tentu keliru dalam sudut pandang akademia musika yang konservatif.

Meskipun tak luput pula dari kontroversi yang senantiasa mengiringinya, Swing harus diakui memberikan andil sangat besar dalam napak tilas Jazz. Terlepas dari semua kontroversi tersebut, Swing memang adalah Jazz. Istilah SWING itu sendiri, dalam konteks musik Jazz, sulit untuk didefinisikan secara baku. Swing itu mengayun. Tetapi persoalannya, apa yang diayun. Apakah sinkopasi ritmiknya, atau transien beat-nya ataukah stroke up and down beat-nya ataukah juga ornamentik dalam pola triplet saat melantunkan improvisasi. Sejalan dengan esensi jiwa Jazz, semua definisi adalah kurang signifikan dibanding musik Jazz itu sendiri. Tanpa pernah tahu apa sebetulnya makna kata Swing dalam Jazz, orang tetap dapat ber-Jazz dengan sangat baik. Inilah uniknya Jazz. Jazz tak pernah dapat dimengerti, namun tanpa ngerti pun selalu ada ranah menikmati Jazz.

 BENNY GOODMAN

Salah satu fenomena yang menjadikan Swing disebut sebagai roh-nya Jazz adalah, bahwa era Swing, dan Swing sebagai genre musikal, menyisakan banyak fenomena yang menjadi pijakan awal perkembangan Jazz selanjutnya. Salah satu fenomena dalam era Swing adalah ketika grup-grup band kulit putih merasa terkagum-kagum dan terheran-heran dengan grup band kulit hitam, yang saat itu memainkan musik yang “asing” tapi nikmat bagi kalangan kulit putih. Mulailah grup band kulit putih mencoba menguak “rahasia” dibalik “musik aneh yang nikmat” yang disajikan grup band kulit hitam. Leroy Jones dalam tulisannya tentang Blues People, menengarai demikian. Bahwa Benny Goodman lah musisi kulit putih yang sangat terkesan dengan band kulit hitam. Bahkan Benny Goodman sampai harus membeli aransemen-arasemen dari para arranger kulit hitam untuk bisa mengetahui dengan detil rahasia tone dan nuansa dibalik musik kulit hitam saat itu. Di kemudian hari, Benny Goodman menjadi legenda. Orang kulit putih pertama yang mampu menyuguhkan Jazz kulit hitam dengan idiom dan tata gramatik serta pungtuasi musikal sebagaimana black people sejati.

 DUKE ELLINGTON

Ketertarikan orang kulit putih, terutama di Eropa terhadap Jazz mulai marak saat dunia mengalami depresi ekonomi. Saat itu pemusik Jazz kulit hitam tak lagi dapat hidup di Amerika. Louis Armstrong dan Duke Ellington hijrah ke Eropa untuk tetap bertahan hidup melalui musik. Di Eropa inilah Jazz menjadi terkenal di kalangan akademisi musik Eropa dan mulailah sebuah fenomena penelitian Jazz secara akademik. Pemusik Jazz kulit hitam yang kurang beruntung dan tetap tinggal di Amerika, mengalami nasib buruk. Banyak dari mereka yang harus terpaksa membuka usaha sampingan seperti menjadi tukang semir sepatu dan penjahit.Dan karena depressi ekonomi, bar dan kedai minum mengurangi jatah pertunjukan Jazz kulit hitam. Pemusik Jazz kulit hitam kemudian memanfaatkan jalanan untuk terus berkarya dan memperdengarkan musiknya. Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah corak musik Jazz yang dikenal sebagai Jazz Street Music ataupun Territory Jazz.

Keadaan tersebut terus berlanjut hingga pada 1934 ada sebuah langkah cemerlang yang dilakukan Fletcher Henderson. Fletcher Henderson sendiri adalah seorang pimpinan sebuah ensembel musik yang lengkap. Lengkap dalam standar bermusik akademik seperti lazimnya orang Eropa. Fletcher Henderson sangat terkesima dengan rasa bunyi trumpet Louis Armstrong. Obsesi Henderson adalah mewujudkan nuansa Louis Armstrong namun dalam format ensemble besar yang lengkap. Segera Henderson meminta Don Redman, seorang arranger top untuk mewujudkan obsesinya dan saat itulah Swing digelar pertama kalinya dalam sebuah ensembel yang sangat representatif sebagaimana musik klasik Eropa.

Sebetulnya proyek Henderson telah dikerjakan pada 1931 namun hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahuinya khususnya hanya daerah Harlem. Henderson kemudian terus mengembangkan metode tata aransemen dari Redman, untuk mengibarkan grup Swing dengan pemain dan kelengkapan peralatan yang mumpuni.

Obsesi Fletcher Henderson tak berjalan mulus. Depresi ekonomi akhirnya menghancurkan keuangannya dan tamatlah juga sebuah ensembel Swing yang representatif. Beruntunglah ada music advisor dari sebuah perusahaan rekaman, namanya John Hammond. John Hammond memberi sebuah proyek musik kepada Fletcher Henderson. Proyek tersebut adalah menjadi partner Benny Goodman. Benny Goodman saat itu masih sangat belia, dan ia betul-betul pemusik yang terdidik secara sangat baik dalam musik klasik. Pertemuan Henderson dan Benny Goodman melahirkan sebuah napas baru bagi perkembangan Swing dan mulailah Swing diperkenalkan ke kampus-kampus perguruan tinggi, terutama jurusan musik.

John Fordham dalam artikelnya tentang Jazz, menorehkan kesaksian tentang debut Benny Goodman. Saat itu Benny Goodman melakukan tour ke Los Angeles. Dan bermain di hadapan para mahasiswa yang terkenal kritis. Benny Goodman mengikutsertakan pemain terompet Benny Burrigan dan drummer Gene Krupa. Mereka memainkan komposisi yang biasa dimainkan kelompok Fletcher Henderson, yakni “JELLY ROLL MORTON KING PORTER STOMP”. Sajian musiknya dilengkapi dengan dansa tradisional yang dimodifikasi. Hadirin tercengang dan histeris terpesona. Sejak itu terkenal juga DANCE SWING dansa Swing yang berayun-ayun dan mengayun-ayun, mencuatlah pula nomor legendaries “STOMPIN AT A SAVOY”,dan Swing mencapai tataran sebagai musik seni dengan apresiasi penikmat yang menggetarkan.


Keadaan depresi ekonomi pun berakhir dan keadaan ini langsung mendongkrak popularitas Swing dan Benny Goodman. Berbagai konser digelar dan tidak tanggung-tanggung. Benny Goodman dan kelompoknya main di Carnegie Hall. Saat itu Carnegie Hall masih sebuah panggung konser untuk musik klasik Eropa dengan latar belakang pendidikan akademisnya, ditambah dengan pemain-pemain dalam grupnya yang sangat piawai dalam rasa Jazz, Benny Goodman mampu membawa Swing yang Jazz ke tatanan masyarakat yang begitu mengagungkan musik klasik Eropa. Benny Goodman kemudian oleh masyarakat internasional dinobatkan menjadi The King Of Swing.

Kesuksesan Benny Goodman mendongkrak pula kesuksesan pemusik lainnya, salah satu diantaranya adalah Glenn Miller. Dalam debut Glenn Miller inilah Swing mendapat peran baru yakni sebagai musik program untuk keperluan film dan teater. Jejak Glenn Miller langsung diikuti oleh Duke Ellington yang secara mantap terus berkarya membuat komposisi Swing. Tak terkecuali saat depresi ekonomi melanda Amerika. Salah satu musik program karya Duke Ellington yang terkenal adalah “HARLEM AIR SHAFT”.Sebuah komposisi yang dibuat dengan diilhami oleh udara di distrik Harlem New York. Mungkin masih menarik untuk membaca kembali catatan Duke Ellington seputar Harlem Air Shaft karyanya: 

You hear fights, you smell dinner, you hear people making love
You hear the radio, you smell coffee… 
you hear people praying, fighting, snoring... 
I tried to put all that in HARLEM AIR SHAFT

Popularitas Swing tak hanya melanda New York, di Kansas City pun orang terjangkiti demam Swing. Di Kansas City, sepuluh tahun sebelumnya, musik Blues telah diolah dengan baik. Di sana terdapat saxophonist hebat Benny Webster dan pianis William Bassie yang kemudian mendapat julukan count atau sang pangeran dan lebih dikenal sebagai “Count” Bassie. Bersama grupnya, William Count Bassie unjuk kebolehan di New York. Hadirin saat itu terkesima dengan Swing yang dibawakan Count Basie. Swing yang dibawakannya memiliki napas baru,dan tata gramatik serta idiom musik yang benar benar baru.

COUNT BASSIE
 

Dari cerita yang panjang tersebut, memang tak ada gunanya bagi kita. Toh hanya sekedar cerita tentang perjalanan sebuah musik dan tokoh-tokohnya. Bicara soal musik melalui paparan kata memang sangat tak berguna. Musik adalah seni bunyi yang semestinya orang tak perlu bicara dan menulis dengan kata-kata.namun setidaknya, dari yang tak ada gunanya tersebut, masih tersisa beberapa hal yang tak ada ruginya untuk sedikit dicamkan.

Swing dengan perjalanan yang panjang telah mengukuhkan diri sebagai akar utama musik Jazz. Dalam Swing lah musik Jazz mendapat ranah baru yakni tatanan komposisi sebagaimana musik sebagai sebuah bidang keilmuan dan jangan lupa, dalam Swing-lah terjadi persamaan yang benar-benar egaliter. Hitam dan putih berbaur tanpa ada lagi rasisme dan hal tersebut adalah salah satu passion dari musik…