"MUSIK KLASIK SEBAGAI HUMAN HERITAGE"
by: Michael Gunadi Widjaja
Sebelumnya, perlu saya berikan catatan pendefinisian istilah dalam tulisan ini.
Yang dimaksud Musik Klasik dalam tulisan
ini adalah:
A.
Karya musik dalam kurun periode 1750-1820
Periode ini sebagai kelanjutan dari
periode BAROQUE pada periodisasi penciptaan seni. Termasuk dalam periode ini
adalah simfoni-simfoni akbar gubahan Johann
Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, Tchaikovsky, dan masih banyak lagi.
B.
Klasik dalam artian sebagai STILO atau gaya bermusik
Dalam skopa ini, materi musiknya bisa
saja lagu dari kelompok SLANK. Hanya tata harmoni, pendekatan musikal, dan tata
gramatika musiknya dibuat sesuai mazhab WIENER dan MANNHEIMER. Mazab ini adalah
dua aliran utama dalam Musik Klasik (pembaca tak perlu pusing, cukup percaya
saya, dan ikuti saja alur tulisan ini.)
Yang dimaksud dengan “HUMAN HERITAGE” adalah harta kekayaan umat manusia. Yang luhur, menembus
setiap batas ras, kepercayaan, atau apapun. Tujuan akhirnya adalah agar manusia
menjadi termuliakan. Tentu dalam artian sebagai mahluk ciptaan KhaliqNYA.
Kita akan beranjak dari sebuah fenomena. Orang
sering bergidig ketika mendengan ada
acara pentas Musik Klasik. Orang juga sering mencibir jika diundang pada acara
konser Musik Klasik. Ungkapan yang sering terjadi kira-kira:
“LAH...EMOH LAH. DIH..KLASIK YA? ORA NGARTI! NGANTUKI...
JAMAN WIS MAJU KA TEGSIH NGAK NGIK NGOK BAE.. KAYA LANDA
KUNA”
Jelas saya akan mengatakan bahwa ungkapan
semacam itu adalah jujur, apa adanya (bukan ada apanya), spontan, dan malah
ungkapan semacam itu adalah, sebetulnya, bukti bahwa masih ada respon terhadap Musik
Klasik. Yang menjadi akar persoalannya adalah, bukankah kita juga akan
mendapati ungkapan yang senada pada pagelaran gendhing klasik, pagelaran musik
KODO dari Jepang, konser Oud dari Syria? Kalaupun ada orang yang tekun dan “mentheleng” pada pementasan materi
musik tersebut, saya juga TIDAK YAKIN jika yang bersangkutan mengerti dan
menikmati sajiannya. Lebih dikarenakan status seniman dan atau gengsi saja. Hehehe... Semua berakar pada satu kata
kunci: KEBIASAAN!!!
“Lho..lha lho lha lho.. jadi untuk mengerti dan menikmati Musik Klasik, kita harus
terbiasa?”
jawab :
“YA!”
“Aduh.. lha kan butuh proses?”
jawab :
“YA!”
“Emangnya apa sih bagus nya Musik
Klasik
sampai kita layak (tentu tidak harus) untuk membiasakan mendengarnya?"
Dalam Musik Klasik ada KETERATURAN. Semua tata harmoni, tata
gramatika, idiom musik semua memiliki keteraturan dalam Musik Klasik. Keteraturan
ini adalah cerminan keteraturan alam semesta ciptaan Tuhan. Menghayati Musik Klasik
berarti menghayati keteraturan dan
presisi yang tinggi. Bukankah Tuhan juga menciptakan alam dengan
keteraturan? Bahkan bencana pun adalah lingkar keteraturan. Dan bukankah faal
dan anatomi tubuh manusia adalah diciptakan Tuhan dengan presisi yang amat
sempurna?
Musik Klasik adalah karya seni yang
dirancang dengan tatanan yang sangat baik. Terstruktur, aliran napas musikalnya
pun diperhitungkan dengan amat teliti, juga teknik bermain yang menuntut
pengolahan karsa sampai tatas nembus bawono untuk menghadirkan Taksu dalam
performanya. Jadi, inilah kulminasi karya umat manusia dalam olah bunyi. Bukan
suara lho, tapi Bunyi! Menikmati Musik Klasik adalah penyadaran dan penghayatan
terhadap upaya manusia mengolah bunyi sebagai anugrahNYA. Fenomena ini bisa
dijadikan pijakan dalam mengedepankan sikap peduli yang sungguh HUMANIS. Dan hal
ini bukan ngemut jempol. Ketegangan Amerika dan Korea Utara langsung mencair
setelah NEW YORK PHILHARMONIC mementaskan Musik Klasik di Pyong Yang, yang
sebelumnya dengan diplomasi klas dunia, ketegangan ini tak kunjung reda.
Paparan sederhana tadi setidaknya menjadi acuan bahwa Musik Klasik memang layak untuk dibiasakan. Dan di Tegal sebetulnya banyak bermunculan pemusik Klasik yang sangat baik, bahkan dalam skala nasional, dan malah internasional. Tegal mengenal almarhumah MARTHA SURYANI TANJUNG atau akrab dikenal Ibu Wiyanto. Beliau sejak tahun 1974 sampai lima belas tahun menggelar secara rutin konser piano klasik dari siswa-siswinya. Tegal juga memiliki Alm. PIET MUNANDAR, penggubah (Saya tidak suka memakai istilah ‘PENCIPTA’) lagu “Keroncong FANTASI” yang merupakan lagu wajib pada banyak festival Keroncong tanah air, beliau adalah pemusik Klasik yang amat baik. Bahkan pernah bermain flute pada pagelaran “POUTPOURY JAYAWIJAYA” dengan dirigen Jos Cleber, dihadapan Presiden Soekarno.
Paparan sederhana tadi setidaknya menjadi acuan bahwa Musik Klasik memang layak untuk dibiasakan. Dan di Tegal sebetulnya banyak bermunculan pemusik Klasik yang sangat baik, bahkan dalam skala nasional, dan malah internasional. Tegal mengenal almarhumah MARTHA SURYANI TANJUNG atau akrab dikenal Ibu Wiyanto. Beliau sejak tahun 1974 sampai lima belas tahun menggelar secara rutin konser piano klasik dari siswa-siswinya. Tegal juga memiliki Alm. PIET MUNANDAR, penggubah (Saya tidak suka memakai istilah ‘PENCIPTA’) lagu “Keroncong FANTASI” yang merupakan lagu wajib pada banyak festival Keroncong tanah air, beliau adalah pemusik Klasik yang amat baik. Bahkan pernah bermain flute pada pagelaran “POUTPOURY JAYAWIJAYA” dengan dirigen Jos Cleber, dihadapan Presiden Soekarno.
“Walah walah walah... lha kok wis pada mati... eit... aja
grusa grusu!”
“Pemusik Klasik di Tegal
yang masih ngganteng, seger buger juga masih ada!!!”
Kursus Musik Klasik di Tegal masih subur.
Dan acara memperdengarkan Musik Klasik juga malah sedang subur-suburnya. Dalam
siaran radio tentang Musik Klasik yang saya bawakan, agak mengejutkan mengingat
banyaknya telpon, SMS dari pendengar di Tegal, yang bukan cuma nampang salam, tetapi
juga mengajukan request, dan kritik, yang semuanya memperlihatkan adanya dasar
pemahaman akan Musik Klasik. Agaknya, membiasakan diri dengan Musik Klasik, di
Tegal, faktor pemacunya hanyalah niat semata.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.