"GITAR... DIMANAKAH SENGATMU?"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja
“Hei! udah sore nih…jangan gitaran
aja dong!!”
Di bagian
lain,seorang ketua RT berkeluh kesah:
“Wah,banyak pemuda di kampung kita
yang kerjanya Cuma gitaran melulu..”
Juga seorang
ibu dari seorang anak SMP yang dengan kesalnya setengah berteriak:
”STOP! Udah sih! Berhenti! Hentikan
tuh gitaran mu! Jrang jreng jrang jreng tak karuan...”
Ilustrasi
tersebut setidaknya menyiratkan pada kita bahwa sampai detik ini, bermain gitar
masih diidentikkan dengan kegiatan yang kurang bermakna. Kegiatan pengisi waktu
yang malah membuang waktu. Juga sebuah aktifitas yang “mengganggu” sampai batas tertentu.
Yang menarik
adalah, jika kita cermati, hampir tidak ada, dan mungkin malah tidak akan
pernah ada, orang, atau orang tua yang berteriak “SUDAH JANGAN BERPIANO TERUS!” Kenapa fenomena ini terjadi? Faktual
yang paling mudah ditengarai adalah karena alat musik piano berharga mahal,
bahkan sangat mahal. Jadi logikanya, karena piano sudah dibeli dengan sangat
mahal, orang tua malah akan sangat gembira jika sang anak terus menerus
keasyikan bermain piano. Berbeda dengan gitar yang dengan lima ratus ribu
rupiah saja sudah bisa mendapat gitar kualitas bagus. Untuk piano….hehehehe…dua puluh juta pun hanya
mendapat piano bekas yang disana-sini mulai dihinggapi rayap.
And that’s
guitar. Itulah gitar. Senantiasa dipandang
sebelah mata, dinilai rendah, dan dimiskinkan. Kadang hanya karena persepsi
yang dibangun oleh sebuah identitas dan keidentikan yang semu semata. Sejak
awal perkembangannya gitar memang sarat dengan penilaian underestimate. Ada serangkaian kisah menarik tentang gitar.
Barangkali saja kisah tersebut sempat menyapa otak dan menebarkan aroma di
sanubari kita semua bahwa tidak selamanya yang murah dan merakyat itu tidak
punya kelas.
LUTE
VIHUELA
Banyak para
musikolog yang meyakini bahwa gitar berasal dari keluarga vihuela dan chitarra roman
- alat musik kuno yang sangat populer di Eropa. Dari vihuela dan chitarra
roman, yang berkembang di Syria menjadi alat musik oud (gitar Arab dengan bodi seperti buah terong), dan yang
berkembang di Spanyol menjadi gitar seperti yang kita kenal sekarang ini. Sejak
awal perkembangan gitar, sebetulnya telah banyak ditulis buku-buku tentang metode
dan teknik bermain gitar, seperti: Fernando
Sor, Dionisio Aguado, dan Ferdinando
Carulli. Namun debut mereka seakan terpupuskan oleh kepopuleran lute (alat
musik petik mirip oud) yang masa itu sangat populer di kalangan istana kerajaan
di Eropa.
OUD
Iklim segar
bagi gitar nampaknya dimulai ketika Fransisco
Tarrega memulai debutnya. Dari Tarrega inilah kita mengenal posisi memegang
gitar seperti yang lazim digunakan gitaris klasik masa kini, yakni: gitar
bersandar pada kaki kiri yang ditopang oleh foot
stool. Posisi ini memungkinkan tangan kiri dan jari-jari bergerak dengan
sangat leluasa. Tarrega juga memulai eksplorasi imitasi bunyi dengan dawai
gitar. Diantaranya adalah imitasi bunyi snare drum, tambur, klarinet, sampai
bunyi instrumen tiup bassoon. Juga diperkenalkan teknik penjarian yang
mengadaptasi teknik penjarian alat musik piano. Sedemikian piawainya Fransisco
Tarrega memainkan gitar hingga ada ungkapan bahwa: “DI TANGAN TARREGA, GITAR BISA
MENANGIS DAN TERTAWA.” Kepiawaian Tarrega ternyata tidak disertai
dengan publikasi dan popularitas. Tarrega hanya kerap bermain bagi kalangan yang
sangat terbatas, hanya untuk para siswa dan sahabat dekatnya saja. Beruntung, dari
salah satu siswanya, ada yang berhasil membuat debut yang menakjubkan, dan
bahkan menjadikan gitar memperoleh harkat dan martabat yang layak bagi sebuah
alat musik seni. Dia adalah ANDRES
SEGOVIA, legenda gitar yang abadi.
ANDRES
SEGOVIA
Debut Andres
Segovia dimulai ketika dia mengadakan sebuah konser. Sebelum konser, tersebar
berita bahwa dalam konser nanti komposisi karya Johann Sebastian Bach akan diperdengarkan melalui gitar. Komposisi
yang dimaksud adalah “CHACONNE” yang diperuntukkan bagi
solo biola. Banyak orang yang mentertawakan bahkan melecehkan Andres Segovia. Bagaimana
mungkin, gitar yang saat itu lebih populer hanya sebagai pengiring lagu rakyat
jelata bisa memainkan score biola yang rumit dan kompleks? Dan ternyata Andres
Segovia mampu menepis semua cibiran. “Chaconne” karya Bach berhasil
dimainkan dengan sama indahnya seperti saat dialunkan dengan biola. Sejak itulah
pamor gitar menjadi naik. Bukan sekedar alat musik pengiring belaka, melainkan
juga sebuah alat musik dengan virtuositas yang tinggi.
Andres Segovia plays Bach
Wow…. siapa bilang Gitar tak bersengat???
Gitar dapat dimainkan dengan sangat bersahaja,
sekaligus dapat didalami
sampai ke tingkat master.
The last!! it’s me and my Guitar :)
Guitar Classic is a wonderfull piece of Art and I still studying it in Yamaha grade 6 now
ReplyDelete