Saturday 10 August 2013

"Gitar... Dimanakah Sengatmu???" - by Michael Gunadi Widjaja

"GITAR... DIMANAKAH SENGATMU?"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


“Hei! udah sore nih…jangan gitaran aja dong!!”

Di bagian lain,seorang ketua RT berkeluh kesah:
“Wah,banyak pemuda di kampung kita yang kerjanya Cuma gitaran melulu..”

Juga seorang ibu dari seorang anak SMP yang dengan kesalnya setengah berteriak:
”STOP! Udah sih! Berhenti! Hentikan tuh gitaran mu! Jrang jreng jrang jreng tak karuan...”

Ilustrasi tersebut setidaknya menyiratkan pada kita bahwa sampai detik ini, bermain gitar masih diidentikkan dengan kegiatan yang kurang bermakna. Kegiatan pengisi waktu yang malah membuang waktu. Juga sebuah aktifitas yang “mengganggu” sampai batas tertentu.

Yang menarik adalah, jika kita cermati, hampir tidak ada, dan mungkin malah tidak akan pernah ada, orang, atau orang tua yang berteriak “SUDAH JANGAN BERPIANO TERUS!” Kenapa fenomena ini terjadi? Faktual yang paling mudah ditengarai adalah karena alat musik piano berharga mahal, bahkan sangat mahal. Jadi logikanya, karena piano sudah dibeli dengan sangat mahal, orang tua malah akan sangat gembira jika sang anak terus menerus keasyikan bermain piano. Berbeda dengan gitar yang dengan lima ratus ribu rupiah saja sudah bisa mendapat gitar kualitas bagus. Untuk piano….hehehehe…dua puluh juta pun hanya mendapat piano bekas yang disana-sini mulai dihinggapi rayap.

And that’s guitar. Itulah gitar. Senantiasa dipandang sebelah mata, dinilai rendah, dan dimiskinkan. Kadang hanya karena persepsi yang dibangun oleh sebuah identitas dan keidentikan yang semu semata. Sejak awal perkembangannya gitar memang sarat dengan penilaian underestimate. Ada serangkaian kisah menarik tentang gitar. Barangkali saja kisah tersebut sempat menyapa otak dan menebarkan aroma di sanubari kita semua bahwa tidak selamanya yang murah dan merakyat itu tidak punya kelas.


LUTE

VIHUELA

Banyak para musikolog yang meyakini bahwa gitar berasal dari keluarga vihuela dan chitarra roman - alat musik kuno yang sangat populer di Eropa. Dari vihuela dan chitarra roman, yang berkembang di Syria menjadi alat musik oud (gitar Arab dengan bodi seperti buah terong), dan yang berkembang di Spanyol menjadi gitar seperti yang kita kenal sekarang ini. Sejak awal perkembangan gitar, sebetulnya telah banyak ditulis buku-buku tentang metode dan teknik bermain gitar, seperti: Fernando Sor, Dionisio Aguado, dan Ferdinando Carulli. Namun debut mereka seakan terpupuskan oleh kepopuleran lute (alat musik petik mirip oud) yang masa itu sangat populer di kalangan istana kerajaan di Eropa.

OUD

Iklim segar bagi gitar nampaknya dimulai ketika Fransisco Tarrega memulai debutnya. Dari Tarrega inilah kita mengenal posisi memegang gitar seperti yang lazim digunakan gitaris klasik masa kini, yakni: gitar bersandar pada kaki kiri yang ditopang oleh foot stool. Posisi ini memungkinkan tangan kiri dan jari-jari bergerak dengan sangat leluasa. Tarrega juga memulai eksplorasi imitasi bunyi dengan dawai gitar. Diantaranya adalah imitasi bunyi snare drum, tambur, klarinet, sampai bunyi instrumen tiup bassoon. Juga diperkenalkan teknik penjarian yang mengadaptasi teknik penjarian alat musik piano. Sedemikian piawainya Fransisco Tarrega memainkan gitar hingga ada ungkapan bahwa: “DI TANGAN TARREGA, GITAR BISA MENANGIS DAN TERTAWA.” Kepiawaian Tarrega ternyata tidak disertai dengan publikasi dan popularitas. Tarrega hanya kerap bermain bagi kalangan yang sangat terbatas, hanya untuk para siswa dan sahabat dekatnya saja. Beruntung, dari salah satu siswanya, ada yang berhasil membuat debut yang menakjubkan, dan bahkan menjadikan gitar memperoleh harkat dan martabat yang layak bagi sebuah alat musik seni. Dia adalah ANDRES SEGOVIA, legenda gitar yang abadi.

ANDRES SEGOVIA

Debut Andres Segovia dimulai ketika dia mengadakan sebuah konser. Sebelum konser, tersebar berita bahwa dalam konser nanti komposisi karya Johann Sebastian Bach akan diperdengarkan melalui gitar. Komposisi yang dimaksud adalah “CHACONNE” yang diperuntukkan bagi solo biola. Banyak orang yang mentertawakan bahkan melecehkan Andres Segovia. Bagaimana mungkin, gitar yang saat itu lebih populer hanya sebagai pengiring lagu rakyat jelata bisa memainkan score biola yang rumit dan kompleks? Dan ternyata Andres Segovia mampu menepis semua cibiran. “Chaconne” karya Bach berhasil dimainkan dengan sama indahnya seperti saat dialunkan dengan biola. Sejak itulah pamor gitar menjadi naik. Bukan sekedar alat musik pengiring belaka, melainkan juga sebuah alat musik dengan virtuositas yang tinggi.

Andres Segovia plays Bach

Wow…. siapa bilang Gitar tak bersengat??? 
Gitar dapat dimainkan dengan sangat bersahaja,
sekaligus dapat didalami sampai ke tingkat master.
The last!! it’s me and my Guitar :)


1 comment:

  1. Guitar Classic is a wonderfull piece of Art and I still studying it in Yamaha grade 6 now

    ReplyDelete

Note: only a member of this blog may post a comment.