Friday, 30 August 2013

In Memoriam: "BEN PASARIBU" - by: Michael Gunadi Widjaja

In Memoriam: "BEN PASARIBU"
by: Michael Gunadi Widjaja

sumber: malaymusic

Orang kebanyakan hanya mengenal jenis musik seperti Klasik, Pop, Jazz, dan Rock. Belum banyak orang yang mengenal dengan apa yang disebut Musik Kontemporer. Musik Kontemporer memang bukanlah genre musik yang gemerlap. Musik Kontemporer senantiasa mengolah lakunya sendiri untuk senantiasa menjalankan sebuah pembaharuan. Itulah mengapa keberadaan Musik Kontemporer seolah “terasing” di tengah hingar bingar dan gegap gempita serta gemerlapnya jenis musik yang lain. Keadaan ini tidak saja terjadi di tanah air, di negara Eropa dan Amerika Serikat pun Musik Kontemporer harus menikmati kesunyiannya.

Musik Kontemporer secara popular dapat dimaknai sebagai musik yang mengedepani jaman. Untuk senantiasa mengedepani jaman itulah, Musik Kontemporer senantiasa mengupayakan hal baru. Baru dalam arti tata gramatika dan idiom bermusik, baru dalam konsep maupun baru dalam penggunaan ragam alat musik dan eksplorasi terhadap bunyi. Tautan dari pembaharuan ini adalah revitalisasi atau pemberian “daya hidup” yang baru bagi Musik Tradisi. Wujud nyatanya berupa garapan musik gendhing dengan tata komposisi Musik Barat atau gamelan yang diperlakukan tidak lagi sebagai sebuah ensembel, namun tiap piranti gamelan dapat berdiri sendiri - tentu dengan teknik permainan yang mengeksplorasi bunyi dengan cara baru.

Nilai positif dari pertumbuhan Musik Kontemporer adalah hidupnya kembali Musik Tradisi. Musik Tradisi seolah mendapat “baju baru” untuk bersama-sama berbicara dengan sama lantang pada blantika musik dunia. Di Indonesia, ada tiga tokoh utama Musik Kontemporer: Sapto Rahardjo, Slamet Abdul Sjukur, dan Ben Pasaribu.

Thursday, 29 August 2013

"SEKILAS MUSIK KONTEMPORER DI INDONESIA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SEKILAS MUSIK KONTEMPORER 
DI INDONESIA"
by: Michael Gunadi Widjaja


Jika seseorang ditanya tentang jenis musik yang diketahuinya, hampir dapat dipastikan dia akan menyebut jenis-jenis musik seperti: Pop, Jazz, Klasik, Dang dut, dan Keroncong. Pendek kata, jenis musik yang memang akrab menjadi perbincangan masyarakat umum. Jarang orang menyebut jenis Musik Kontemporer. Dan memang begitulah keberadaan Musik Kontemporer: memiliki kesejatian namun seolah “mengambil jarak” dari hiruk pikuk kesemestaan musik, khususnya Musik Industri.

Musik Kontemporer sebetulnya adalah musik yang con tempo(rary). Keberadaannya berpaut erat dengan mengalirnya waktu atau tempo. Itulah mengapa Musik Kontemporer sering juga disebut Musik Garda Depan (avantgarde), karena musik tersebut senantiasa mengedepani sebuah era. Musik kontemporer lazim juga menyandang sebutan new musik atau Musik Baru (namun bukan genre musik new age). Dikarenakan sebagai konsekuensi keberadaannya yang senantiasa mengedepani sebuah era, Musik Kontemporer “dituntut” untuk menghadirkan sesuatu yang baru.

Beberapa orang sering menganggap bahwa Musik Kontemporer adalah produk dari modernisasi atau salah satu pengejawantahan era modern. Sebetulnya, nilai kekontemporeran dalam musik sudah dikenal sejak jaman Johann Sebastian Bach. Pada jamannya, musik Bach sudah dianggap sebagai Musik Kontemporer. Komposisi musik Bach yang bagai air mengalir tanpa jeda, ditambah gaya kontrapung (alur bass dan melodi saling kontra membentuk aliran harmoni, merupakan sebuah komposisi yang jauh melampaui kelaziman saat itu. Untuk Musik Kontemporer sebagai sebuah genre musik yang mandiri, keberadaannya mulai marak setelah berakhirnya Perang Dunia II. 


Tuesday, 27 August 2013

"MENELISIK SEJENAK PENDIDIKAN MUSIK DI SEKOLAH FORMAL" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENELISIK SEJENAK PENDIDIKAN MUSIK DI SEKOLAH FORMAL"
by: Michael Gunadi Widjaja


PENGANTAR
Telah diketahui, dimengerti, dan dipahami bahwa musik adalah bentuk seni olah bunyi. Semesta pembicaraan musik adalah bunyi, dan olahan bunyi dalam musik melibatkan rasa, bahkan karsa manusia yang paling dalam. Itulah mengapa musik bukan sekedar pembelajaran dan/atau pelajaran ketrampilan mengolah bunyi. Musik adalah sebuah pendidikan. Di Indonesia, pendidikan masih sangat didominasi jalur formal. Jalur formal yang dimaksud adalah sekolah formal di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. SD, SMP, SMA, Sekolah kejuruan tidak termasuk dalam pembicaraan tulisan ini. Dengan demikian, pendidikan musik pun semestinya memiliki intensitas terbesarnya di sekolah formal. Menelisik sejenak keadaan pendidikan musik di sekolah formal, adalah upaya untuk bercermin pada diri dan kesekitaran. Bercermin untuk dapat memaknai keberadaan dan masa depan pendidikan musik. Cabang kesenian yang memiliki nilai kemanusiaan dan kemampuan sebagai alat pemersatu dan bahkan pemecah konflik bangsa-bangsa di dunia.

KEBERADAAN PENDIDIKAN MUSIK
Musik di sekolah formal disajikan dalam bentuk bagian dari mata pelajaran kesenian. Bersama dengan seni tari, seni teater, seni lukis, dan seni kriya. Tujuan pendidikan musik di sekolah dijabarkan dalam KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP). Pelaksanaannya diukur dengan sebuah STANDAR KOMPETENSI. Jika dilihat muatan KTSP dan fungsi dari sekolah formal yang adalah sekolah umum, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan musik di sekolah formal bertujuan MENUMBUHKAN RASA CINTA TERHADAP MUSIK. Adapun Tujuan yang sering didengang dengungkan, seperti misalnya membekali siswa dengan pengetahuan bermain musik dan pengenalan alat musik agaknya merupakan angan-angan yang masih jauh jangkauannya.

Monday, 26 August 2013

"MENUJU MASYARAKAT BEBAS BISING" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENUJU MASYARAKAT BEBAS BISING"
by: Michael Gunadi Widjaja


Disadari atau tidak, kita berada pada tatanan kehidupan sosial yang sangat mengagungkan Budaya Kasat Mata. Seringkali kita menjadi ribut bagaikan orang kebakaran jenggot, jika kebetulan kita melihat perempuan memakai kaos dengan belahan dada rendah ataupun celana dengan belahan pantat menyembul. Kita dan juga para pamong di pemerintahan akan merasa gerah dan geram jika melihat maraknya pengemis dan gelandangan di jalan-jalan protokol kita. Kita pun pasti akan membuat reaksi yang sungguh reaksioner terhadap apapun yang terlihat mata. Betapa mata telah memperoleh kemanjaan pada budaya yang berkembang dalam kehidupan sosial kita. Begitu memanjakannya kita pada mata, hingga tanpa sadar kita bersikap bahwa mata hanya boleh melakukan fungsinya untuk sesuatu yang baik, indah, layak, dan patut. Yang sayangnya seringkali terlampau subyektif sifatnya.

Di sisi yang lain kita sangat tidak sadar. Bahwa sebetulnya, dengan terlalu memanjakan mata, kita melupakan organ indra vital kita yang lainnya, yakni: telinga. Karena terlalu asyik memanjakan mata, kita tak sadar bahwa ada bahaya baru yang sedang mengancam dan mengintai kita. Bahaya tersebut hanya dapat ditengarai oleh telinga. Bahaya tersebut bahkan sudah merupakan sebuah koloni yang siap menjajah dan meluluh lantakkan daya persepsi otak kita: KEBISINGAN.


"SAX" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SAX"
by: Michael Gunadi Widjaja


Hmmm... saya seorang pria yang pastinya sangat menikmati indahnya perempuan… ehem… 
Saya seorang pemusik. Imajinasi saya lebih banyak berawal dari musik. 
Seperti contohnya saat saya berpikir tentang saxophone, saya akan berimajinasi tentang ekpresi perempuan saat mereka mendengar suara saxophone atau memainkan alat musik ini… felling beauty and sexy! Really? No… No… No… 

Saya bukan salah menulis judul. 
Tulisan saya kali ini memang tentang SAX bukan SEX. 
Apa itu SAX? Bagaimana SAX? Siapa SAX? 
Mari kita mulai mengenalnya… sudah cukup saya bermain dengan imajinasi saya… :) 

Sax adalah nama panggilan akrab dari ADOLPHE SAX, sang penemu alat musik SAXOPHONE. Nama si penemu yang satu ini memang tidaklah setenar hasil temuannya, bahkan sangat jauh tenggelam dibanding artis musik yang memainkan alat temuannya. Jika kita sempat melancong ke New York, di kawasan 42nd street dekat On Broadway maupun Off Broadway, kita akan menemukan begitu banyak orang memainkan saxophone. Kepopuleran Saxophone terutama di kalangan masyarakat kulit hitam di AS setara dengan popularitas bola basket. Jelas popularitas sedemikian tak dimiliki Adolphe Sax sang penemu saxophone. Demikian juga jika kita bicara tentang artis pemain saxophone. Terutama yang demikian populer seperti Grover Washington Jr., Kenny G, Sadao Watanabe, dan legenda jazz saxophone seperti Ornette Coleman, dan John Coltrane. Adolphe Sax sama sekali tak sebanding dengan mereka dalam soal popularitas.


Thursday, 22 August 2013

"GAMELAN MENEMBUS MILENIUM" - by: Michael Gunadi Widjaja

"GAMELAN MENEMBUS MILLENIUM"
by: Michael Gunadi Widjaja


Seperangkat perkusi yang terbuat dari metal. Membentuk sebuah orkestrasi bunyi yang lengkap, kompleks, dan khas. Itulah Gamelan. Orkestra perkusi metal sebetulnya dikenal juga di Cina, Vietnam, Kamboja, dan juga Thailand. Daerah di Indonesia pun tak cuma satu yang mengenal orkes perkusi metal. Jawa barat, Jawa tengah, dan Bali. Namun istilah gamelan khusus diperuntukkan bagi orkes perkusi metal di Jawa Tengah dan Yogyakarta. 

Sejak abad ke-8 dan abad ke-9 gamelan telah ada dan dikenal. Seiring berjalannya waktu, gamelan seolah terpinggirkan oleh ekspansi Musik Barat. Gamelan menjadi orkestra bunyi yang asing bahkan di daerah asalnya. Generasi anak jaman lebih terpukau dengan Musik Barat yang kental oleh nuansa gemerlap industri musik. Dan gamelan pun tercitrakan hanya sebagai bentuk seni yang kuno, antik, asing, aneh, dan ketinggalan jaman. Tentu saja fenomena ini sangat menyedihkan, memilukan, dan memprihatinkan. Sebagai salah satu NATIONAL HERITAGE, gamelan mestinya dapat lebih banyak berbicara di kalangan generasi anak bangsa.



Wednesday, 21 August 2013

"MIXING GITAR KLASIK" (AudioPro Juli 2013) - by: Michael Gunadi Widjaja

"MIXING GITAR KLASIK"
(Artikel AudioPro Juli 2013)
by: Michael Gunadi Widjaja



Semesta pembicaraan dalam tulisan ini adalah dua istilah, yakni MIXING dan GITAR KLASIK. Yang dimaksud gitar klasik dalam tulisan ini adalah gitar akustik dengan dawai nylon. Gitar semacam ini ada yang akustik sejati, adapula yang akustik elektrik. Dalam arti terdapat sirkuit elektronik dalam body gitar - baik yang berfungsi sebagai pre amplifikasi, maupun yang berupa embedded microphone.

Bunyi gitar klasik memiliki tantangan tersendiri dalam rangkaian proses mixing. Sebagaimana piranti akustik pada umumnya, gitar klasik memiliki kemungkinan bagi eksplorasi bunyi. Hasil eksplorasi bunyi tersebut berupa TONE COLOR atau warna bunyi. Tone color ini sangat berbeda dengan TIMBRE yang adalah bunyi asli si piranti. Tone color inilah yang nantinya dalam proses mixing, semestinya bisa terdengar dengan semestinya. Selain tone color, piranti akustik senantiasa menyertakan frekuensi harmonic dari sebuah nada yang dihasilkan. Frekuensi harmonic ini lah yang membuat bunyi piranti akustik terkesan lebih hidup. Lebih hidup dalam artian warm and thick, lebih hangat dan tebal. Parameter semacam ini memang bisa sangat subyektif. Namun seberapa pun subyektifitas membayangi, warm and thick pada akustik tetap akan terasa, apalagi jika dipersandingkan dengan piranti elektronik. Selain dua hal tersebut, yang membuat piranti akustik menjadi khas adalah bunyi material piranti itu sendiri. Misalnya gesekan jari pada dawai dan getaran body gitar saat dawai terpetik saat dipetik.

Tuesday, 20 August 2013

PIANO: "TAK SEKEDAR HITAM PUTIH" - by: Michael Gunadi Widjaja

PIANO: "TAK SEKEDAR HITAM PUTIH"
by: Michael Gunadi Widjaja


Dalam menjalani kehidupan, kita seringkali berhadapan dengan aneka hal yang merupakan dikotomi. Bahkan beberapa hal sudah seolah memiliki kodrat untuk ber“majemuk.” Sebut saja misalnya: ada panas tentu ada dingin, ada kering tentu ada basah, dan sejenisnya. Hampir semua fenomena penting dalam kehidupan tak lepas dari adanya dikotomi. Bahkan untuk sementara orang, dikotomi merupakan suatu standarisasi bagi penilaian akan eksistensi sesamanya. Orang kemudian mengenal sisi kehidupan YANG HITAM DAN YANG PUTIH.

Hitam putih sebagai sebiah dikotomi kehidupan tentu memiliki banyak relung permenungan. Dan keberadaannya merambah juga dalam bidang eksistensi jati diri manusia yang paling sublimatif, yakni: SENI. Orang tentu akan segera terasosiasikan dengan sebuah instrumen musik saat mulai merenung dan dihadapkan pada hitam dan putih: PIANO. Banyak hal yang bisa kita permenungkan dari keberadaan sebuah piano. Tidak saja dari elementasi musikal, namun banyak semburat makna yang akhirnya memancarkan pencerahan bahwa sejatinya kehidupan itu tidaklah sekedar hitam dan putih belaka.

Monday, 19 August 2013

THE BEATLES: "WARNA DALAM BLANTIKA" - by: Michael Gunadi Widjaja

THE BEATLES:
"WARNA DALAM BLANTIKA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Ranah seni, ranah kehidupan itu sendiri, adalah blantika. Blantika yang harus ditapaki sepanjang keberadaan manusia. Napak tilas manusia pada blantikanya, senantiasa bertabur warna. Dunia menjadi gempar, gegap gempita, dan bahkan terbuai, terbius, terlena, saat empat pemuda dari Liverpool Inggris bermusik. Gaung spektakulernya kemudian melegenda sampai hari ini. THE BEATLES” - sebuah legenda blantika musik populer, ikon Musik Populer dunia. Dan bahkan sementara kalangan berani untuk berujar, jangan berbicara tentang Musik Pop tanpa menyebut The Beatles.

Sudah banyak literatur tentang kesuksesan The Beatles. Di Indonesia pun sudah teramat banyak literatur yang berkaitan dengan sosok figuratif, perjalanan karir, momen emas, hingga analisa rahasia sukses The Beatles. Yang agaknya tetap menjadi aktual adalah mempermenungkan The Beatles, untuk sampai pada sebuah semburat kesadaran bahwa sebetulnya senantiasa harus ada warna dalam blantika manapun yang kita arungi.


"MENDUNG BELUM JUGA SIRNA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"MENDUNG BELUM JUGA SIRNA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Dunia kesenian di tanah air kita, nampaknya menampilkan sosoknya dalam dua wajah. Wajah yang pertama adalah wajah yang gemerlap, elok nan rupawan, wangi dan menggairahkan. Hal ini terjadi tatkala kita memandang dunia kesenian dari sosok para artis, selebriti dan para maestro. Lihat saja misalnya para ikon Musik Pop di tanah air: muda, paras rupawan, penghasilan dalam nilai puluhan bahkan ratusan juta, rumah yang elitis, mobil yang sporty, dan gaya hidup yang pasti membuat orang ingin mencecapnya. Atau juga para maestro seni kita yang menghasilkan karya musik dengan nilai rupiah yang tinggi, yang menghasilkan karya lukisan seharga milyaran, atau karya patung yang nilainya membuat decak kagum.

Memandang wajah dunia kesenian kita yang semacam itu, sebagian orang menganggap, bahwa para seniman tersebut layak mendapatkan segala yang ternikmati saat sekarang. Karena perjuangan mereka dahulu dipenuhi kegetiran. Ibarat berdarah-darah, merangkak dari lapisan nasib yang terbawah. Anggapan demikian sampai batas tertentu adalah tepat. Namun, banyak juga, bahkan amat banyak seniman yang tiba-tiba saja karirnya meroket secara instan, terutama di kalangan Musik Pop. Bayangkan, hanya mencipta lagu dengan akor sederhana, memetik gitar juga dengan teknik miskin, kok bisa mendadak memiliki mobil super mewah? Hal semacam ini dimungkinkan oleh adanya peran industri seni, dengan sentuhan tangan ajaibnya, dan sampai batas tertentu fenomena demikian adalah baik adanya.

Wajah dunia seni kita yang satu lagi sangat bertolak belakang dari wajah yang pertama. Wajah ini adalah pengejawantahan “seniman pekerja.” Mereka yang bekerja dalam kesenian namun tak sempat mengenyam popularitas dengan segala gemerlapnya. Bagi seniman pekerja, dunia kesenian adalah ladang batu cadas yang harus diberi gincu dengan karya. Yang harus digumuli dengan kecemasan akan penghasilan esok hari dan harus disetubuhi tidak dengan wewangian, namun dengan doa dan pengharapan serta keringat dan kerja keras.

Sunday, 18 August 2013

"DAWAI CINTA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"DAWAI CINTA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja



Disini saya ingin menghantar pembaca untuk sejenak menikmati alunan biola yang cukup menghanyutkan emosi kita. Kita digiring pada rasa sedih, tetapi juga ada perasaan tenang yg menyentuh setiap relung terdalam hati kita. Satu kelembutan yg begitu lembut, satu keanggunan yg elegan... Inilah kesejatian alunan DAWAI-DAWAI BIOLA.

Ada satu ungkapan yang terkenal tentang cinta: “Love is a  many splendored things.” Cinta memang satu kata berjuta makna. Tak habis-habisnya orang berbicara tentang cinta. Tak bosan-bosannya cinta itu diobral. Dan seolah tak lekang dan tak pupus upaya orang untuk mencari lesejatian cinta. Tak jengah pula orang berulang-ulang mencoba memaknai cinta. Maka tak mengherankan, jika cinta kemudian memperoleh takhtanya dalam ranah yang merupakan pengejawantahan kulminasi cipta dan karsa manusia: SENI.

Sudah terlampau banyak seni bicara tentang cinta. Meski demikian makna cinta yang disemburatkan ranah seni seolah malah menjadi penyegar aroma cinta setiap insan di muka bumi ini. Tak terkecuali yang disemburatkan seni musik. Diantara beragam pengungkap cinta dalam ranah musik, salah satunya adalah dawai. Dawai yang senantiasa sarat permenungan. Dawai yang kadang banyak memunculkan kontroversi. Dan dawai yang adalah titian sanubari dalam memaknai sebuah karunia Ilahi yang agung - CINTA.


Saturday, 17 August 2013

"FENOMENA POPEYE" - by: Michael Gunadi Widjaja

"FENOMENA POPEYE"
by: Michael Gunadi Widjaja


Hampir dapat dipastikan banyak, bahkan teramat banyak orang telah mengenal POPEYE - tokoh animasi yang memang telah mendunia. Berpuluh tahun lamanya tokoh Popeye menghibur dan menyampaikan pesan moral. Penggemarnya beragam dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia. Di Indonesia, Popeye sudah hadir dalam bentuk film kartun semenjak TVRI masih menjadi satu-satunya stasiun televisi. Saat itu Popeye masih ditayangkan dalam rupa film hitam putih. Sampai hari ini Popeye tetap digemari dan Popeye hadir juga dalam aneka rupa: stiker, pola bordir, gambar cap pada gelas, kaos, tromol makan, kaos kaki, dan aneka pernak-pernik lainnya. Bahkan di Texas, terdapat monumen Popeye.


Friday, 16 August 2013

"ROMANZA" - by: Michael Gunadi Widjaja

"ROMANZA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Romanza, sebuah kisah cinta. Dalam cinta memang terdapat berbagai rupa kisah. Tak sekedar asmara. Tak sekedar nafsu, juga tak sekedar kasih yang dalam tatanan kulminasinya seringkali menyisakan absurditas. Namun apapun formanya, cinta senantiasa menarik dan cinta selalu memiliki kisahnya sendiri.

Kisah cinta banyak dimanifestasikan manusia. Dari prosa yang liris sampai puisi cabul yang kering dan menjijikkan. Dari lagu cinta yang dinyanyikan dengan berteriak-teriak sampai karya masterpiece komposer legendaris. Juga dari mulai torehan gambar hati, angsa berciuman hingga ilustrasi persetubuhan yang liar yang panas.


Bagi penggemar musik gitar, ada sebuah romanza yang tentu telah akrab didengar. Hampir semua pemain gitar klasik di seluruh dunia memainkannya: “ROMANCE D’AMOUR” - sebuah musik cinta yang abadi. Sebagian orang mengatakan bahwa komposer Romance de Amor adalah Vincente Gomez. Sebagian lagi menganggapnya adalah anonim, tak dikenal, dan merupakan sebuah melodi yang folklorik. Apapun itu, yang pasti Romance De Amor pertama kali dipopulerkan oleh gitaris Narcisso Yepez. Saat itu Yepez memainkan Romance De Amor sebagai ilustrasi film.

Thursday, 15 August 2013

"SIZE: IT DOESN'T MATTER!" - by: Michael Gunadi Widjaja

"SIZE: IT DOESN'T MATTER!"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Kecil, acapkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang inferior. Lemah, sangat remeh, kurang bermakna, dan bahkan sering pula dikonotasikan sebagai hal yang “merendahkan” dan bahkan “memalukan” serta memilukan. Simak saja ujaran seperti berikut ini: ”Ah, badannya terlalu kecil untuk menjadi bintang bola basket…” atau juga ”wah, payah, anu suamiku ukurannya kecil…”

Di sisi yang lain ada semacam rhetorika yang merupakan penghiburan bagi konotasi inferior tentang kecil. Kita sering mendengar ungkapan seperti: Kecil-kecil cabe rawit” atau juga celotehan semacam: Biar kecil, yang penting goyangannya.” Jadi rupanya, tepat juga adagium yang mengatakan “SIZE: IT DOESN’T MATTER!”

Konotasi makna bukan sekedar persepsi individual. Sampai batas tertentu persepsi individual dapat menjadi persepsi komunal. Dengan demikian, sangat mungkin terjadi adanya persepsi publik bahwa yang kecil pasti inferior. Ini tentu tidak sejalan dengan realita yang dihadapi orang jaman sekarang. Sebuah realita yang sangat fatal jika hanya ditelaah secara dikotomis belaka. Nampaknya perlu ada upaya menyemburtkan persepsi yang lebih baik dari sekedar dikotomi. Dan pencerahan semacam ini dapat dimulai dengan memberi persepsi yang seimbang terhadap makna sebuah kata.

Persepsi makna kata yang seimbang, dapat dimulai dari ranah SENI. Sebuah ranah yang mampu mensublimasi sampai pada tingkat subtilitasnya, dari semua kebutuhan dan kehausan rasa dan karsa manusia. Musik sebagai cabang seni juga menjadi media yang layak untuk menyeimbangkan persepsi guna mendapatkan pandangan menyeluruh akan makna kata. Dengan daya afeksinya yang luar biasa, musik mampu mencerahkan makna. Sebab jika sebuah kata hanya dimaknai secara picik, maka akan banyak akibat yang ditanggung khalayak - khususnya mengenai kebijakan dalam tatanan hidup bermasyarakat.

 Jake Shimabukuro

Tuesday, 13 August 2013

"MAHASVARA" - by Michael Gunadi Widjaja

"MAHASVARA"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Manusia dalam kodratnya adalah makhluk sosial - makhluk yang mengenal kehidupan komunal. Dalam komunitasnya, manusia akan bermasyarakat atau bersosialisasi dan mensosialisasikan dirinya. Untuk menjalankan kegiatan sosialisasinya manusia mutlak memerlukan komunikasi. Dan dalam melakukan komunikasi, manusia senantiasa melibatkan indrawinya. Yang utama adalah mata, mulut, dan telinga. Tentu juga otak dan apa yang dikenal sebagai perasaan.

Untuk dapat melakukan komunikasi dengan semestinya, manusia memerlukan konsepsi pemahaman akan materi yang sedang dikomunikasikan. Dan pemahaman ini sebetulnya sangat bergantung pada daya penerimaan indrawinya. Semestinya, untuk dapat memperoleh pemahaman, harus ada keseimbangan asupan terutama antara mata dan telinga. Sayangnya, di jaman sekarang kita sudah terlampau memanjakan mata dan secara tanpa sadar menganak-tirikan telinga.


Sunday, 11 August 2013

"OASE BATHIN" - by Michael Gunadi Widjaja

"OASE BATHIN"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Dalam kajian filosofi, banyak digagas bahwa kehidupan manusia adakah sebuah pengembaraan. Pengembaraan dalam blantika kehidupan. Pengembaraan yang berupa sebuah perjalanan. Perjalanan dalam menapaki umur dunia. Dalam ungkapan yang berbeda, dapatlah disebut bahwa kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan musafir. Sebagai musafir, yang melakukan perjalanan menapaki umur dunia dengan aneka ragam fenomena yang dihadapi, manusia tentu dapat merasakan kekeringan, juga mengalami kehausan. Bukan saja haus dalam artian fisik, yang memang merupakan sebuah proses faal, namun juga kehausan makna dan gagasan serta nuansa bathiniahnya.

Di sisi lain, alam sebagai karunia Sang Ilahi menyediakan bermacam manfaat. Tentu diandaikan manusia dapat memanfaatkan semua yang ada di alam untuk penyelesaian “misi” musafirnya. Salah satu karunia Sang Ilahi yang berupa kekayaan alam, dan berperan besar bagi suksesnya misa peziarahan manusia di dunia adalah AIR.


"Di Facebook pun Ada Harga Yang Harus Dibayar" - by Michael Gunadi Widjaja

"DI FACEBOOK PUN 
ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Seorang teman pernah berkata kepada saya: “Gun, dalam hidup ini kita boleh melakukan apa saja…..namun kita harus siap membayarnya….” Rupanya teman saya itu ingin memberi penekanan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang seratus persen gratisan. Persis seperti ungkapan yang sering dilontarkan di kalangan pebisnis: Nothing is Free.” Tentu kita memahami bahwa yang dimaksud “membayar” tidaklah selalu dengan menyerahkan sejumlah uang dan/atau kertas berharga yang dipersamakan dengan uang. Dengan kata lain, membayar dapat pula dimaknai sebagai adanya konsekuensi yang harus ditanggung dan tertanggungkan dalam tiap tindakan kita.

Tindakan kita, yang tentu termasuk konsekuensi yang menyertainya, berada dalam semesta pembicaraan yang dikenal sebagai ranah sosialisasi. Dalam bersosialisasi, kita menggunakan sarana dalam berbagai bentuk. Tentu tujuannya adalah memperlancar dan meningkatkan mutu sosialisasi kita. Nampaknya upaya semacam itu pas dengan kodrat manusiawi kita sebagai makhluk sosial. Diantara ragam sarana sosialisasi, salah satu yang cukup populer adalah Social Networking - jejaring sosial. Dari sekian ragam jejaring sosial, Facebook nampaknya sudah cukup populer. Sebagaimana jejaring sosial yang lainnya, Facebook pun menjunjung tinggi adagium saling terhubung dan saling berbagi. Adagium inilah yang ternyata memiliki sisi yang nampaknya kurang disepahami oleh banyak orang.

Saturday, 10 August 2013

"Gitar... Dimanakah Sengatmu???" - by Michael Gunadi Widjaja

"GITAR... DIMANAKAH SENGATMU?"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


“Hei! udah sore nih…jangan gitaran aja dong!!”

Di bagian lain,seorang ketua RT berkeluh kesah:
“Wah,banyak pemuda di kampung kita yang kerjanya Cuma gitaran melulu..”

Juga seorang ibu dari seorang anak SMP yang dengan kesalnya setengah berteriak:
”STOP! Udah sih! Berhenti! Hentikan tuh gitaran mu! Jrang jreng jrang jreng tak karuan...”

Ilustrasi tersebut setidaknya menyiratkan pada kita bahwa sampai detik ini, bermain gitar masih diidentikkan dengan kegiatan yang kurang bermakna. Kegiatan pengisi waktu yang malah membuang waktu. Juga sebuah aktifitas yang “mengganggu” sampai batas tertentu.

Yang menarik adalah, jika kita cermati, hampir tidak ada, dan mungkin malah tidak akan pernah ada, orang, atau orang tua yang berteriak “SUDAH JANGAN BERPIANO TERUS!” Kenapa fenomena ini terjadi? Faktual yang paling mudah ditengarai adalah karena alat musik piano berharga mahal, bahkan sangat mahal. Jadi logikanya, karena piano sudah dibeli dengan sangat mahal, orang tua malah akan sangat gembira jika sang anak terus menerus keasyikan bermain piano. Berbeda dengan gitar yang dengan lima ratus ribu rupiah saja sudah bisa mendapat gitar kualitas bagus. Untuk piano….hehehehe…dua puluh juta pun hanya mendapat piano bekas yang disana-sini mulai dihinggapi rayap.

And that’s guitar. Itulah gitar. Senantiasa dipandang sebelah mata, dinilai rendah, dan dimiskinkan. Kadang hanya karena persepsi yang dibangun oleh sebuah identitas dan keidentikan yang semu semata. Sejak awal perkembangannya gitar memang sarat dengan penilaian underestimate. Ada serangkaian kisah menarik tentang gitar. Barangkali saja kisah tersebut sempat menyapa otak dan menebarkan aroma di sanubari kita semua bahwa tidak selamanya yang murah dan merakyat itu tidak punya kelas.

"Saat Tuhan Bersemayam" - by Michael Gunadi Widjaja

"SAAT TUHAN BERSEMAYAM"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja

Gereja Katedral, Jakarta

Sebagian orang berujar bahwa kehidupan manusia adalah pengembaraan di dunia. Dalam pengembaraannya, manusia bersosialisasi dengan sesamanya. Membentuk sebuah laku yang kemudian dalam sublimasinya menjadi kebudayaan. Di sisi yang lain, pengembaraan seringkali menghadapi aral, halangan, rintangan, juga ketidakpastian. Dan terlebih lagi manusia harus berhadapan dengan absurditas. Hal-hal yang tak berjawab, yang seringkali muaranya adalah hanya sebuah keniscayaan. Keadaan demikian membuat manusia mengolah kembali lakunya. Saat mana sosialisasi tak cukup tangkas mengawal pengembaraan. Saat kebudayaan berkurang temaramnya sebagai sang pengejawantah asa dan karsa. Manusia kemudian mengolah laku mendekatkan diri dan kesejatiannya pada Khaliknya - Tuhan, Sang Maha.

Saat manusia mengolah laku bagi sublimasi keberadaan dan kesejatian pada Tuhan, semua nuansa sosial dan budaya diolah bagi sebuah devosi – penyembahan kepada Tuhan Sang Maha. Maka agama bukan saja ritual melainkan sebuah wahana suci. Karsa mengejawantah dalam karya. Seni yang luhur. Devosi estetis dan artistik bagi Tuhan. Jiwa yang ngungun mengharap agar ada SAAT TUHAN BERSEMAYAM.

Saat Tuhan bersemayam adalah satu momentum keIlahian yang layak untuk dirayakan. Dalam ranah musik, terdapat upaya “perayaan” bagi saat Tuhan bersemayam, yakni dengan perwujudan karya berupa alat musik yang kesejatiannya adalah sebuah perayaan bagi saat Tuhan bersemayam. Alat musik yang dimaksud adalah PIPE ORGAN ATAU ORGAN PIPA lazim juga disebut ORGEL.

 Salemer Muenster Orgel, Germany

Friday, 9 August 2013

"Mengenal Hak Cipta Musik" - by Michael Gunadi Widjaja

"MENGENAL HAK CIPTA MUSIK"
Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Di Indonesia, ada sebuah organisasi yang menamakan dirinya KCI (Karya Cipta Indonesia). KCI adalah sebuah organisasi nirlaba. Berpusat di Golden Plaza Fatmawati Jakarta (www.kci.or.id). Organisasi ini bergerak dalam bidang hak cipta musik. Hak cipta musik merupakan salah satu hak intelektual. Dan agaknya tidak berlebihan, jika kita meluangkan waktu sejenak untuk sekedar berkenalan dengan hak cipta musik.

Hak cipta musik dapat dikatakan adalah hak khusus yang diberikan kepada pengarang lagu dan/atau musik dan penerusnya (ahli warisnya) untuk mengumumkan lagu dan/atau musik, dan memperbanyak lagu dan/atau musik karangannya. Adapun yang dimaksud mengumumkan lagu adalah sebuah hak khusus dalam hubungannya dengan tampilan musik. Baik untuk musik hidup maupun siaran televisi atau radio. Hal ini dalam hukum tentang hak cipta, dikenal sebagai Performing Rights. Sedangkan memperbanyak lagu dan/atau musik berkaitan dengan duplikasi atau penggandaan materi musiknya.


Hak cipta musik adalah sebuah hak intelektual. Hak intelektual yang berkaitan dengan properti. Dalam konteks ini, properti yang dimaksud adalah lagu dan/atau musik. Ada perbedaan mendasar pada paradigma hak intelektual dalam properti dengan hukum properti umum. Perbedaannya dapat diilustrasikan misalnya kita membeli CD yang berisi nyanyian. Kita memiliki hak atas CD nya, tetapi BUKAN ATAS NYANYIANNYA. Jadi kita berhak memutar atau menggunakan CD yang telah kita beli hanya dan untuk kepentingan pribadi yang sifatnya non-komersial.

"Pembajakan Semu Terhadap Karya Musik" - by Michael Gunadi Widjaja

“PEMBAJAKAN SEMU 
TERHADAP KARYA MUSIK”
Oleh: Michael Gunadi Widjaja



“Setiap Anda memutar lagu karya Gesang, 
bisa jadi Anda sudah mencuri periuk nasinya.”

Kalimat tersebut terpampang pada booklet resmi dari KARYA CIPTA INDONESIA, sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang hak cipta musik di Indonesia. Hak cipta karya musik, dalam highlight KCI dihubungkan dengan periuk nasi seseorang, yakni Almarhum Pak Gesang. Dan bicara tentang periuk seseorang, agaknya memang kita harus mau untuk sedikit mengernyitkan kening. Dan memang hak cipta musik di Indonesia masih menyisakan permasalahan yang tidak ringan.

Hak cipta terhadap karya musik dalam artikel ini saya batasi menjadi dua hal: Printed Material dan Audio Material. Yang tergolong printed material adalah karya yang dicetak, baik buku maupun partitura musik, dan atau musik. Sedangkan audio material yang saya maksud adalah karya yang diperdengarkan. Tentu dalam bentuk rekaman. Dan pembajakan yang kali ini saya bicarakan, bukan pembajakan seperti VCD yang marak. Pembajakan dalam tulisan ini adalah pembajakan semu atau saya beri istilah PSEUDO PIRACY. Dan pseudo piracy ini terjadi dalam lingkup pemanfaatan komputer.