Tuesday 7 December 2021

Duduk di Dua Kursi - by: Michael Gunadi | Staccato, December 2021

“DUDUK DI DUA KURSI”
By: Michael Gunadi
Staccato, December 2021

 


Mestinya Jika Anda pencinta Musik Klasik atau sekedar menggemari Musik Klasik pun, anda “harus” setidaknya pernah mendengar nama Friedrich Gulda. Ia adalah pianis kenamaan asal Austria. Berbedadengan pianis kenamaan lainnya seperti Daniel Barenboim, Andras Schiff, Evgeny Kissin, Gulda bukan semata pianis. Gulda adalah pemusik sejati. Lebih dari itu, Gulda adalah pemusik yang berhasil duduk di dua kursi. Kursi kemapanan musik klasik yang aristokrasi dan kursi Musik Jazz yang penuh aroma pemberontakan. Keberadaan Gulda, hanya bisa disamai oleh Frank Zappa. Pemusik yang juga berada dalam dua belahan “dunia”.



Pada 28 Maret 1999, dunia dikejutkan dengan satu berita. Bahwa Friedrich Gulda, sang pianis kenamaan, tenar dan bahkan legendaris, telah meninggal dunia. Sontak saja para pemusik, kritikus musik, kaum kerabat dan kolega, beramai-ramai memberikan tribute. Dengan macam macam cara. Ada yang melalui pidato, menggelar konser, membuat artikel, tulisan reportase dan seabreg bentuk penghormatan lainnya. Hanya selang beberapa kemudian, tiba-tiba Gulda muncul di depan publik dan seolah membiarkan para wartawan untuk tahu. Bahwa ia TIDAK/BELUM mati. Dan malahan mengumumkan akan menggelar sebuah “KONSER KEBANGKITAN. Tentu saja, berbagai kalangan menjadi terbelalak dan ternganga. Tapi itulah Friedrich Gulda. Pemusik yang tak pernah lepas dari sensasi.


Friedrich Gulda dikenal sebagai penafsir hebat untuk musik karya Beethoven, Bach, Mozart dan Debussy.Namun kemudian ia beralih pada Musik Jazz. Juga beralih sebagai komposer mengganti kemapanannya sebagai pianis Musik Klasik. Karirnya sebagai pianis klasik sebetulnya ditempuh dengan cukup santai. Berawal dari kampung halamannya di Vienna. Kemudian memeangkan Geneva Piano Competition di usia 16 tahun. Pada usia 20 tahun, Gulda mematangkan napak tilas karir professionalnya dengan melakukan debut di Carnegie Hall. Sejak itu, Gulda dikenal sebagai penafsir karya musik di era setelah Perang Dunia. Tak berhenti sampai disitu, Gulda berkesempatan berkeliling dunia dengan bekal kemahirannya memainkan seluruh seri Sonata dari beethoven. Teknik Pedalling nya sungguh luar biasa. Penggunaan aksentuasi yang akurat pada jalur Bass, Legato yang benar benar sambung mengalun dan teknik permainan yang bisa menjadi sangat perkusif.



Tour keliling dunia, rupanya mempengaruhi kejiwaan Gulda. Sama seperti “adik” juniornya, Glenn Gould sang “Paus” Bach yang juga mengalami situasi delusional. Padatnya jadwal konser, tata busana, protokoler ramah tamah dengan penyandang dana dan penggemar, semuanya merupakan “tekanan” pada jiwanya. Dan hal seperti inilah yang membuat seorang Friedrich Gulda bersikap eksentrik dan seolah berlompatan pada dua kursi genre musik.

 

Tahun 1969, Gulda mendapatkan penghormatan dalam wujud penganugerahan cincin dari The Vienna Beethoven Ring. Namun dengan gaya yang sangat memuakkan, ia menampiknya. Insiden itu membuat hubungan Gulda dan kampung halamannya menjadi renggang. Kejadian itu tak membuat Gulda sedih. Ia justru tampil dengan membawakan karya Mozart di satu gedung resital yang terkenal “sangat sakral” di Vienna. Di tempat dengan nilai kesakralan tinggi, Gulda memainkan karya Mozart sambil berjingkat dan menegetuk ketukkan kaki seperti pianis Rock n Roll. Di lain kesempatan, ia bersama teman perempuannya, tampil di panggung dan main piano dalam keadaan bugil.


Sebagai upaya pengayaan musik dan jati dirinya, Gulda berbalik arah menjadi pianis Jazz. Tentu saja, debut nya ini mengundang banyak pertanyaan dari para penggemar Jazz. Motivasinya dipertanyakan dan celaka serta repotnya, penampilan aroma Jazz nya sangat gagal dan tidak dapat diterima. Itu karena Gulda terlalu memaksa untuk dapat duduk di dua kursi. Dan latar belakang serta nuansa hidupnya yang sudah terlanjur sarat dengan formalitas sebagai pianis klasik, sangat menghambatnya untuk dapat berekspresi secara bebas dan total dalam ranah musik Jazz. 

 

Hal yang tak kalah anehnya adalah, Friedrich Gulda memperlakukan hadirin konser Jazz nya sebagaimana hadirin pertunjukan musik klasiknya. Sangat formal dan disertai cetakan Programm Notes yang sangat rapi.Rupanya hal semacam demikian, entah tak disadari atau entah sebagai atraksi untuk memancing hal spektakuler yang diharapkan menuai decak kagum. Putar balik dalam ranah Jazz, masih belum cukup memuaskan jiwa lalu lalangnya. Friedrich Gulda memainkan musik Dance Techno bersama The Liverpool DJ si Vertigo. Meski dalam kecarut marutan yang tak jelas, Gulda sempat mengeluarkan pernyataan: “Jazz is the music of our day, the only modernd, progressive music.” Karya Schoenberg menjadi kuno, demikian juga karya Bartok. Komposer eksperimental lainnya juga demikian. Mereka hanya mencoba mewadahi musik masa lampau dalam keadaan kekinian. Schoenberg melakukannya secara dogmatis,Bartok dengan musik rakyatnya “.

 

Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, Gulda nyaris tak pernah lagi memainkan karya-karya musik klasik. Namun rekaman permainannya saat rekaman seri Sonata Beethoven dan WTK nya Bach di era 60 dan 70-an tetap menjadi salah satu rekaman Musik Klasik terbaik dan melegenda dan tak hentinya menjadi buah bibir berbagai khalayak. Sudah tentu keputusan Gulda untuk tidak main Musik Klasik mengundang berbagai rasa di kalangan Musik Klasik. Bagaimana bisa, seorang maestro, bahkan Dewa piano klasik, tiba-tiba mutung dan berbalik arah. Apa sebetulnya yang terjadi. Namun, ya itulah Friedrich Gulda.

 


Sebagai artis, tentu, Friedrich Gulda adalah seorang yang kontradiktif. Terutama terhadap Pers. Kritikan seringkali ia respon dengan pertunjukan-pertunjukan eksperimental yang membuat orang makin bingung, tak mengerti dan hilang akal terhadap apa yang dilakukannya. Gulda sebetulnya adalah seorang Child Prodigy, anak ajaib. Sebetulnya, sikap konservatif nya, meskipun ia eksentrik, tetap ia pertahankan. Semua tata norma musik klasik tetap ia patuhi. 

 

Di tahun 1980an, Gulda berhasil menghimpun sekelompak pendengar yang sangat antusias terhadap musik Mozartnya. Meski sebetulnya gaya penafsirannya tak gampang untuk dicerna publik. Meski demikian, ditengah kegagalannya pindah kursi ke kursi musik Jazz dan berbagai sikap eksentrik, publik yang antusias meski tak paham musiknya, dengan santai Gulda berkilah bahwa: ahhhh saya sedang main catur dengan semua ini. Dan ini membuat saya menjadi lebih excited lagi.


Friedrich Gulda & Herbie Hancock

Dari semua keeksentrikan Gulda, hal yang paling dapat dikenang tentu saja adalah “sensasi pemalsuan kematiannya”. Dan ketika pada 27 Januari 2000, Dokter mengumumkan kematian Friedric Gulda akibat gagal jantung, publik tetap bertanya-tanya. Ini beneran... Prank...sensasi atau apaan lagi ini.. Namun keraguan itu terjawab setelah Rumah sakit Weissenbach mengeluarkan surat kematian resmi. Friedrich Gulda benar-benar mati dan meninggalkan hiruk pikuk dunia musik untuk selama-lamanya.

 

Lalu hal yang patut kita renungkan. Apa legacy atau warisan Friedrich Gulda pada dunia musik? Yang pertama, bahwa Gulda sudah menunjukkan sebuah dedikasi yang luar biasa terhadap dunia musik. Pun dalam ranah pengajaran musik. Dari binaan Friedrich Gulda, dunia mengenal sang Jenius Martha Argerich.

 

Friedrich Gulda & Martha Argerich


Martha Argerich dikenal salah satunya adalah karena penafsirannya terhadap karya Bach yang “tidak biasa” Di tangan seorang Martha Argerich, Bach adalah ledakan dan letupan epos namun tetap dengan retorika yang terjaga dengan sangat baik. Sebetulnya, Martha Argerich juga seorang yang eksentrik sebagaimana Gulda. Usia mereka pun sebaya.

 

Hal lain adalah bahwa Gulda sebetulnya menyampaikan sindiran yang sangat menohok. Bahwa stop lah mengkotak-kotakkan musik. Stop juga menganggap Musik Klasik adalah yang terbaik. Sebetulnya, seorang Friedrich Gulda adalah pengusung kebebasan dan toleransi dalam bermusik. Dan itu dilakukannya dengan duduk di dua kursi.

 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.