“MENIKMATI MUSIK”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, June 2017
MAKNA MUSIK
Sebagian terbesar orang beranggapan dan menyatakan bahwa MUSIK
ADALAH SARANA HIBURAN. Memang
ada beberapa orang yang menganggap bahwa musik adalah STIMULUS. Mampu merangsang semangat dan impuls syaraf saat belajar
dan mampu membangkitkan gairah kerja. Sangat jarang, bahkan dapat dikatakan
langka, komunitas atau lapisan masyarakat yang menganggap bahwa musik adalah ASUPAN
BATHIN yang adalah juga SANTAPAN JIWA. Singkatnya, musik dimaknai
dan dicecap maknanya sebagai sarana hiburan dan stimulus. Mengapa bisa demikian?
Dan apakah anggapan tersebut salah? Keliru?
MUSIK DARI ERA KE ERA
Pada zaman purba, musik identik dengan MUSE. Para dewa dewi Yunani yang mengasup bathin dan jiwa dengan
sesuatu yang melenakan dan membius. Kemudian pada Era Baroque, musik tetap menjadi asupan bathin melalui kebutuhan
ekstase akan sesuatu yang bersifat religius. Kemudian pada Era Romantik, musik
mulai dijadikan sarana hiburan. Namun BUKAN hiburan penghilang gundah gulana, stress,
dan sedih. Melainkan hiburan sebagai bagian dari life style terutama untuk kalangan Kerajaan dan Bangsawan.
Kemudian James Watt
menemukan mesin uap. Dan dimulailah apa yang dalam sejarah dikenal sebagai
REVOLUSI INDUSTRI. Dalam era ini, karena banyaknya pabrik, alat musik - terutama
piano menjadi sebuah produk industri. Semakin banyak kalangan terutama yang
kelas menengah mampu membeli alat musik terutama piano. Sampai disini, musik
tetap saja menjadi hiburan. Namun tentu saja hiburan yang tersirat makna akan
pendidikan pekerti, filosofi, dan yang yang penting: adanya KEBUTUHAN/NEED
akan sebuah karya seni bunyi.
MUSIK ZAMAN MODERN
Dari perjalanan sejarah, bisa kita tarik seutas benang merah, bahwa setidaknya
sampai era Revolusi Industri, musik sarat dimuati dengan materi asupan bathin.
Lalu bagaimana dengan keadaan zaman kita sekarang ini. Orang zaman sekarang
berada dalam pesaingan mencari nafkah dengan kompetisi yang gila-gilaan. Semua
terdesak dan didesak oleh kebutuhan primer, yakni bagaimana mempertahankan
hidup secara layak. Konsentrasi orang terfokus pada upaya yang menghasilkan
materi.
Tentu hal semacam itu mau tidak mau, suka tidak suka menggeser peran
musik sebagai seni asupan bathin. Bathin orang modern tidak menyisakan lagi
ruang untuk asupan keindahan seni bunyi. Bathin orang modern lebih banyak
mensisakan ruang untuk motivasi kerja dan kerja serta kerja. Meski peran dan
fungsi musik telah tergusur, orang modern tetap menyadari kehadiran dan
keberadaan musik.
EASY LISTENING: CARA “BARU” MENIKMATI MUSIK
Ketika siaran swasta masih merajalela di tanah air, ada semacam
“cara baru” orang menikmati musik. Saat itu dikenal istilah EASY LISTENING. Yang termasuk kategori ini bisa
musik apa saja - sebut saja Klasik, Pop,
Jazz, Pop Sweet, Pop Kreatif, Keroncong, dan Tradisional.
Pada esensinya, easy listening adalah golongan musik yang bisa
dinikmati secara “sambil lalu”. Ibu-ibu menggoreng ikan sambil mendengar musik.
Bukan mendengarkan, tapi sekedar mendengar. Kemudian ibu-ibu tersebut menikmati
musik sambil turut bernyanyi atau bersenandung sambil memasak. Atau juga
praktek dokter yang memasang easy listening music. Sekedar agar ada aura bunyi
yang sempat melintas di benaknya maupun benak pasiennya.
Kerap juga dijumpai kantor direktur konglomerat yang membunyikan
easy listening dari musik semi classic. Kenikmatannya bukan pada resapan
musikalnya, melainkan aura yang terjadi dan persepsi para klien nya bahwa
setidaknya si konglomerat memiliki selera seni bunyi yang baik.
INDUSTRI MUSIK & ERA MUSIK
DIGITAL
Zaman keemasan radio swasta niaga hancur luluh berantakan oleh TV
SWASTA. Muncul lagi cara baru menikmati musik. TV SWASTA unggul secara audio
dan visual. Dan jangan lupa, TV Swasta mampu menggaet sponsor
perusahaan-perusahaan raksasa. Yang tersaji adalah SIARAN INDUSTRI MUSIK
YANG BENAR-BENAR MENDIKTE SELERA DAN APRESIASI MASYARAKAT.
Tanpa sadar, masyarakat dibius untuk dipasung selera apresiasinya. Masyarakat
seperti kerbau dicokok disuguhi panggung kompetisi nyanyi yang gak kunjung
selesai. Dengan perdebatan para juri yang lebay dan bombastis. Ditambah tingkah
Host yang jauh lebih memuakkan dibanding anjing yang kena penyakit paru. Namun
anehnya, masyarakat kita suka dan rela meluangkan waktu sampai berjam-jam, berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan tahunan untuk dicokok apresiasi budayanya.
MUSIK INDUSTRI VS MUSIK
SENI
Semenjak hadirnya era Revolusi Industri, senantiasa ada “clashes” yang seolah takkan pernah
berakhir dalam setiap bidang kehidupan. Tak terkecuali musik. Selalu ada
dikotomi antara MUSIK INDUSTRI vs MUSIK SENI. Siapa pemenangnya? Bergantung
pada kemana zaman ini hendak mengayunkan langkahnya. Medan “peperangan” ini
masih hangat dan rupanya masih akan berlangsung lama. Secara esensial
sebetulnya, masyarakat tanah air kita menikmati musik secara LIVE DAN REPRO.
Sebetulnya masing masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Hanya
saja, pada perjalanannya, frekuensi perimbangan keberadaan antara live music dan reproduction music akan menentukan tingkat apresiasi budaya dalam
masyarakat. Dan tingkat apresiasi budaya ini sangat besar pengaruhnya bagi pola
pikir, perilaku, dan pola pengambilan sikap dan keputusan akan segala hal dalam
kehidupan.
SENSASI MENONTON LIVE SHOW
MUSIC
Dalam sebuah LIVE SHOW musik Dang Dut. Ataupun Reggae, SKA, UNDERGROUND.
Begitu penuh sesak tumpah ruah yang hadir. Panggung meski sudah dilengkapi BIG
JUMBO SCREEN tetap saja terasa kecil dan nyaris tak terlihat aksi si artis. Cuaca
panas sampai panitia harus repot mendatangkan Water Canon menyemprot hadirin biar agak adem. Dalam suasana LIVE
begini, apa yang sebetulnya dicari oleh yang hadir? Jawabannya: AURA SENSASI.
Menonton LIVE jelas berbeda dengan menonton musik hasil reproduksi
rekaman maupun kanal video. Meski berdesakan, panas, dan nyaris tidak melihat
apapun,ada sensasi tersendiri. Dang Dut hadir sebagai pesta rakyat dalam Live. SKA
hadir sebagai sebuah ikon “pemberontakan “ dalam live. UNDERGROUND MUSIC terasa
seperti senasib sepenanggungan manakala dinikmati secara Live. Bau keringat, bau
ketiak kurang deodorant, senggol remas pantat dikit, adalah aroma sensasi yang
tidak akan terbayar dengan menggunakan media reproduksi.
LIVE JAZZ MUSIC
Musik Jazz pun sebagai URBAN CULTURE, seyogyanya dinikmati
secara Live. Dalam Live Jazz, orang dapat berceloteh dan ikut merasakan aura
sensasi manakala para solis berimprovisasi. Spontan. Dan para solis pun
terangsang saat berimprovisasi, akan sikap, ulah, tingkah, dan celoteh audiens
nya.
Hal yang tidak mungkin kita dapat manakala improvisasi Jazz hadir dalam
bentuk rekaman audio. Rekaman Video pun hanya mampu mengakomodir sekian persen
saja dari semburat aura sensasional Live Jazz. Bukan hanya Jazz. Urban Culture
yang lain seperti Musik Flamenco dan bahkan Gamelan Jawa, memiliki impressi
tersendiri manakala dinikmati secara Live.
ANDRE RIEU
LIVE CLASSICAL MUSIC
Khusus untuk MUSIK KLASIK, ada beberapa rangkai peristiwa yang unik
untuk menikmatinya. Pertama adalah PAKET MULTIMEDIA. Seperti yang ditampilkan
oleh Biolis dan Dirigen ANDRE RIEU.
Pertunjukan Andre Rieu selalu berformat paket multimedia. Bukan hanya musik,
tetapi ada lawakan, tari-tarian, dan bahkan show off kemampuan solo yang nyaris
bagai akrobat sirkus.
Yang dilakukan Andre Rieu dengan orkestranya jelas baik. Karena bisa
mengarahkan daya imajinasi, persepsi, dan apresiasi para hadirin - sesuai
dengan teks dan konteks musiknya. Beberapa kritikus memang menyampaikan
serangan tajam. Bahkan ada yang mempertanyakan, sebetulnya Andre Rieu ini mau
menampilkan musik, musik program, atau paket tontonan hiburan? Namun apapun
kritiknya, sejarah telah mencatat sebuah cara lagi untuk menikmati musik.
WALDBUEHNE, BERLIN
Beda Andre Rieu beda pula BERLINER PHILHARMONIKER. Sebuah
orkestra milik kota Berlin Jerman yang berumur sangat tua, tidak lekang oleh zaman,
dan selalu dinantikan pertunjukannya. Orkestra Berlin ini bahkan masih hidup
dan bernapas saat banyak orkestra di Amerika dan Eropa sudah bangkrut dan
tutup.
Pertunjukan Berliner Philharmoniker tidak selalu dalam gedung megah
mewah. Seringkali pertunjukan diadakan dalam HUTAN. Orang rela menunggu dan
beli karcis sejak sebuh untuk pertunjukan menjelang malam hari. Mereka rela
berepot ria membawa makanan, payung, alas duduk. Ketika pertunjukan dimulai, nyaris
tak ada aksi panggung apapun. Hanya segerombolan pemusik duduk selama dua jam, main
musik tanpa aksi.
Lalu kira-kira apa yang dinikmati hadirin? Satu kalimat saja. Bahwa
untuk masyarakat Jerman dan sekitarnya, Musik Klasik BUKAN TONTONAN. Musik
Klasik adalah saat jiwa ngungun dan diisi serta diasup oleh filosofi seni bunyi
yang adiluhung.
NEUSCHWANSTEIN CASTLE, GERMANY
NEUSCHWANSTEIN, JERMAN
Selain Berliner Philharmoniker, ada lagi satu pertunjukan Musik Klasik
di Jerman yang menarik untuk ditelisik. Kejadiannya selalu di Neuschwanstein Castle. Sebuah bangunan kastil yang berdiri
sejak 1886 dan sekarang dikelola oleh pemerintah daerah Bavaria. Dalam kastil
tersebut, secara rutin diadakan pertunjukan karya-karya dari Richard Wagner. Yang berkunjung
demikian banyak. Meski lebih dari separuhnya adalah turis.
Karya Wagner tergolong sangat sulit untuk dimengerti. Karena Wagner
adalah seorang dramawan yang kemudian menjadi pemusik. Sehingga musik Wagner
adalah drama yang digubah menjadi musik. Ide-idenya sangat fantasia dan
mushykil. Hanya fanatik seperti Adolph
Hitler sajalah yang mengerti betul intisari musik Wagner.
Jika begini keadaannya, lalu kira-kira apa yang dinikmati hadirin?
Macam-macam. Dari mulai sensasi musik dalam kastil legenda. Sikap sok tahu akan
karya Wagner. Prestis. Tapi yang jelas, hal semacam ini tidak bisa dijadikan
tolok ukur bagi minat dan daya apresiasi terhadap Musik Klasik. Karena lebih
dominan unsur pariwisatanya dibanding apresiasi musikal.
UPAYA MENGAPRESIASI MUSIK
KLASIK
Belakangan ini di Jakarta mulai marak pertunjukan orkestra yang
mengambil tempat tidak lazim. Ada orkestra yang main di pasar. Ada juga yang
main di halte bus Transjakarta. Tentu tujuannya baik. Agar semakin banyak
anggota masyarakat yang bisa mengapresiasi Musik Klasik.
Persoalannya adalah: event demikian hanya diadakan sesekali. Juga
ada kesenjangan budaya yang lebar. Orang sekarang sudah tercerabut dari akar
budayanya. Dan masyarakat sendiri seolah teralienasi dengan budaya Musik Klasik,
meski lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu Indonesia.
Menikmati musik, secara hakiki bukanlah
mengkonsumsi hiburan. Menikmati musik pada hakekatnya adalah mengasup bathin dengan olahan seni
bunyi, yang muara akhirnya adalah kesadaran akan anugrah Yang Maha Kuasa. Persoalannya
adalah bagaimana dan cara apa yang kita pilih. Namun apapun dan bagaimanapun
caranya, musik adalah musik dan tidak bijak, jika kita mengkotak-kotakkan musik
hanya dengan landasan untuk menikmatinya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.