Thursday 31 May 2018

IRONIKAL - by: Michael Gunadi (Staccato, June 2018)

“IRONIKAL”
by: Michael Gunadi Widjaja
(Staccato, June 2018)


MUSIK ITU PENTING NGGAK SIH?
Apakah dunia membutuhkan musik? Apakah manusia membutuhkan musik? Apakah KITA membutuhkan musik? Sungguh suatu pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Mengapa? Karena kita akan bertemu, berpapasan, bersinggungan, dan bahkan bertautan dengan hal-hal YANG IRONIS. Sebuah IRONIKAL.

Sudah sejak lama orang mendengang-dengungkan dan berteriak-teriak, bahwa dunia butuh musik. Manusia butuh musik. Kita semua butuh musik. Faktanya, beberapa negara bahkan sama sekali tak ada musik. Oleh karena satu dan lain hal, MUSIK DILARANG. Semua jenis musik dan bahkan bebunyian yang berkonotasi musik. (Dikarenakan sensitivitas materi, penulis tidak menyebut nama negara-negara tersebut). Namun Penulis yakin, para pembaca mampu menerka dengan benar. 


DUNIA TANPA MUSIK
Apakah masyarakat negara-negara tersebut hidup berantakan? Nggak tuh. Di negara-negara yang tidak memiliki musik, kehidupan pun tetap berlangsung. Orang tetap melakukan aktivitas dan vitalitasnya. Memang dalam sudut pandang yang “lebih bebas” dikatakan bahwa masyarakat di negara-negara yang tidak memiliki musik – tidak lagi manusiawi. Hidup mekanik bak robot ataupun bahkan mayat hidup. Stress, depresi, dan dicekam ketakutan. Benarkah demikian? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas kehidupan di negarta tersebut berlangsung untuk menghidupi masyarakatnya. Sebuah IRONI. Klaim bahwa musik adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia, menemui anomalinya.


MUSIK SEBAGAI ALAT INTEROGASI
Sebagian besar, bahkan sebagian terbesar umat manusia, mengenal dan menganggap musik, serta mempertautkannya sebagai sarana hiburan. Relaksasi. Pereda stress. Namun beberapa tahun belakangan ini, penjara-penjara dan para penegak hukum di USA, mempergunakan musik sebagai sarana untuk membuat seorang terdakwa mengakui perbuatannya. 


Caranya? DENGAN MENEMPATKAN TERDAKWA DALAM SEBUAH KAMAR ISOLASI. KEMUDIAN MUSIK YANG SAMA DIPUTAR NON STOP BERJAM-JAM, BERHARI-HARI, BERMINGGU-MINGGU, BAHKAN BERBULAN-BULAN. Hasilnya sungguh efektif. Para penjahat kelas kakap menangis tersedu sedu karena tersiksa dan akhinya menyerah dan mengakui perbuatannya. Tahun 2000, CIA mempergunakan metode ini pada para tawanan Iraq. Ironi bukan? Musik yang bagi sebagian orang adalah bentuk budaya, dipergunakan sebagai alat interogasi. 

Sumber acuan: 

EFEK MOZART
Salah satu hal yang menjadikan musik dibutuhkan adalah muatan dalam musik yang dalam batas tertentu mampu mendukung bahkan mampu untuk dijadikan sarana maupun prasarana pendidikan. Salah satu yang paling populer adalah kandungan materi dalam MUSIK KLASIK. Beredar mitos bahwa Musik Klasik tertentu mampu mempercepat pertumbuhan otak bayi secara baik. Bayi yang sering mendengar Musik Klasik, kelak perangainya halus berbudaya. Musik Klasik melatih keseimbangan otak kiri kanan ini itu anu. Benarkah?


KOMPOSER JUGA MANUSIA
Karya Musik Klasik yang paling populer dan disukai orang, adalah karya dari: Bach, Beethoven, Brahms, Schumann, Schubert, Chopin, dan Herr MOZART. Ada beberapa orang yang belajar Ballet menjadi cinta dengan karya TchaikovskyBach adalah komposer yang religius. Namun, Bach nggak bersih-bersih amat. Ia pernah dipenjara meski tak lama gara-gara hampir membunuh orang. Beethoven - pemarah pemberang dan kasar. Schubert – (maaf) HOMOSEX dan meninggal karena siphilis. Schumann - gila pernah mau bunuh diri dan juga terkena siphillis. Herr Mozart - BIANG CABUL dan berkepribadian aneh. Tchaikovsky malah mengakui bahwa dirinya HOMOSEX. Brahms dan Chopin yang agak beresan


Melihat fakta tersebut, agak susah kalo dikatakan MUSIK KLASIK itu mendidik. Bagaimana mau mendidik, kalau tokoh utamanya saja mengerikan bercacat cela begitu? Lalu mungkin Anda mengatakan: “Ah itu ‘kan pribadi orangnya, tapi musiknya kan bagus.” OH TIDAK BISA! Dalam Musik Klasik ada adagium bahwa interpretasi atau tafsir HARUS MUTLAK MENGACU PADA KEINGINAN KOMPOSERMakanya ada bidang analisa musik. Ada Music History. Jadi kalau Anda memainkan sebuah karya cinta dari Schubert, ya Anda HARUS MAIN KARYA CINTA SEBAGAIMANA HOMOSEX DAN KENA SIPHILLIS SAMPAI MATI. Bayangin jika ANAK ANDA harus main musik begini. Sebuah IRONI yang luar biasa tragis.


HAK UNTUK MENDAPATKAN PENDIDIKAN MUSIK
Bicara soal pendidikan musik, tentu kita akan bicara soal alat musik. Alat musik di tanah air itu dijual dengan bermacam rentang harga. Tentu, ada harga ada rupa. Namun, orang waras tetap akan mengatakan bahwa harga alat musik MASIH MAHAL BAHKAN SANGAT MAHAL. Untuk gitar akustik nilon saja minimal 1 juta rupiah baru bisa dikatakan layak pakai. Melodika Pianika layak pake tak kurang dari 400 ribu rupiah. Tambourine layak pakai saja di atau 100 ribu. Apalagi Piano. Waaah 20-30 juta belumlah cukup untuk membawa pulang yang bekas sekalipun. Piano Digital? Tidak murah juga. 

Bagi masyarakat kota besar, harga ini bukan masalah besar. Namun, Indonesia bukan hanya Jakarta, Medan, Surabaya, Manado, dan Banjarmasin. Indonesia juga meliputi Desa Kademangaran di Kabupaten Tegal. Masyarakat Lembah Baliem di Papua. Mereka berhak untuk mendapat pendidikan musik. Berhak untuk memperoleh alat musik yang terbeli. Ironisnya, Bank di Indonesia sudah dipastikan akan menolak mentah-mentah, jika ada yang mengajukan kredit permodalan untuk produksi alat musik. Kenapa? Ya mana aku tahu. Bank lah yang punya kuasa.

Pemerintah sebetulnya sudah berusaha dengan baik untuk pemerataan perolehan alat musik. Sekolah sekolah SD, SMP, SMA, KEJURUAN ditawarin GRANT alat musik lengkap termasuk keyboard keren berharga ratusan juta. Masalahnya, prioritas sekolah berbeda. Sekolah akan mengutamakan kebutuhan vital berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang diserasikan dengan KEADAAN LINGKUNGANNYA. Dan jelas bagi sekolah di desa, alat musik bukanlah prioritas. Lagi-lagi ironi.


DILEMA VENUE PERTUNJUKKAN MUSIK
Bermain musik, tentu harus melalui tahap pembelajaran. Dalam tahap pembelajaran itu, terdapat sesi aktualisasi diri. PERFORMANCE CONCERT dan/atau RESITAL. Tujuannya jelas bukan jual tampang. Melainkan adalah agar peserta disik mendapat kesempatan untuk membagikan pengalaman estetik nya kepada publik. Untuk keperluan tersebut, jelas dibutuhkan VENUE. Hall atau space. Dengan catatan ruang tersebut memang layak dan pas untuk performansi musik SENI yang mengedepankan aesthetical sharing para pesertanya. Kita lihat keadaan venue di tanah air kita.

Di kota besar seperti Jakarta, banyak pilihan venue. Sangat banyak. Namun harga sewanya sangat mencekik leher. Bahkan venue yang dikelola Pemerintah Kota dan Dewan Kesenian pun harga sewanya sangat mencekik. Pada venue milik Pemerintah kota, harga sewa gedung nya memang murah. TETAPI, anda akan dibebani biaya kursi, AC, lampu, Sound System dan juga crew yang bertugas serta kebersihan. Disinilah IRONIS nya. Biaya tersebut bisa melonjak sampai lebih dari 20 juta rupiah, bahkan lebih dari 30 juta rupiah. Sangat jauh lebih mahal dari venue milik Pusat Kebudayaan Asing. 

Sementara di daerah, venue yang gratisan, yang dikelola Dewan Kesenian atau Pemkot/Pemkab setempat, keadaannya hanya ala kadarnya. Sangat minim jika tak mau dibilang miskin. Hal semacam ini menjadikan hanya satu, dua lembaga saja yang mampu mengadakan Konser/Resital secara regular dan berkesinambungan. Yang lain, sekali gebyar, punah.

KONSER DI MALL
Beberapa SEKOLAH MUSIK mensiasati hal ini dengan menyewa BOOTH di MALL. Yang jadi masalah, upaya ini meninggalkan ironi yang menyesakkan serta menyakitkan dada. Pertama, mengapa pilih booth di Mall? Relatif murah. Dan bisa promosi GRATIS karena orang yang berlalu-lalang di Mall pasti akan melirik satu dua detik. Jika hokki, mereka akan daftar jadi murid dan Sekolah Musik TJUAN alias untung. 

Tidak ada yang salah dengan hal semacam ini. Namun, apakah anda perneh berpikir. Bahwa anak Anda DIMANFAATKAN DAN DIJADIKAN SALES PROMOTION GRATISAN OLEH SEKOLAH MUSIK TERSEBUT. Lebih tragis lagi jika anda membayar participation feeuntuk acara tersebut. SUDAH MEMBAYAR eeee malah dimanfaatkan suruh promo. Hmm. Miris ‘kan?


UJIAN MUSIK DAN BISNIS SEKOLAH MUSIK
Keberhasilan pendidikan musik, salah satu parameternya adalah UJIAN KENAIKAN TINGKAT. Atau GRADE EXAMINATION. Di Jakarta, ujian internasional semacam ini selalu ramai peserta. Tempat parkir jadi sulit. Orang berduyun-duyun menghantar anaknya ikut ujian internasional bidang musik. Mereka rela duduk di karpet. Bawa snack dan minum, menggelar laptop duduk lesehan. Yang ikut pun bukan Cuma papi dan mami. Emak, engkong, om, tante, ponakan, mbak mbak baby sitter, mas mas bodyguard, ikut semua. Pertanyaannya. Apakah kemeriahan semacam ini bisa dijadikan tanda, bahwa musik kian ramai? Jawabannya SAMA SEKALI TIDAK!

Mari kita jujur saja. Berapa sih dari yang berbondong-bondong itu yang mendengarkan musik seni? Kemudian jika diundang konser, apakah mereka datang? Dan jika anaknya ingin jadi pemusik, apakah mereka mengijinkan? Fenomena maraknya peserta dan ramainya dukungan pada pelaksanaan ujian internasional bidang musik adalah sebuah ironi. Musik nya tetap saja mati suri. Yang berkembang adalah KESADARAN MASYARAKAT UNTUK SELF ENRICHMENT BAGI ANAKNYA.


MENJADI DEWASA DAN REALISTIS
Musik sepertinya memang takkan pernah lepas dari IRONIKAL. Sebagaimana kehidupan itu sendiri. Hidup itu ironi. Orang tak bersalah masuk bui. Orang terpilih secara sah tetap saja di-bully. Keadilan selamanya harus dicari. Orang baik bukan orang yang berkelakuan baik, tapi orang yang berduit banyak dan rajin bagi bagi duit. Jika memang musik masih merupakan bagian dari kehidupan, musik akan mengalami hal hal sedemikian itu. Bagaimana sikap kita? 

Bahwa semua musik itu baik. Selagi ia dibuat dengan hati nurani yang jujur. Bening. Tak berprasangka. Beethoven tulus dalam protesnya. George Bizet membuang segala tabu untuk meromankan realita Carmen. Debussy harus buka baju budayanya untuk mengeksplor gamelan sesuai penafsirannya. 

THE BEST MUSIC is music from your deepest heart and passion. Apapun musiknya. Bahkan Dangdut pun sangat bisa lebih jujur dibanding kompetisi Musik Klasik yang berbalut kemunafikan atas nama seni. Sudah saat nya kita dewasa. Musik Klasik itu bagus, hebat, tetapi bukan yang terbagus dan terhebat.  

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.