Sunday 7 May 2017

TIKET PERTUNJUKKAN - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, May 2017)

“TIKET PERTUNJUKAN”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, May 2017


DEFINISI TIKET PERTUNJUKAN
Bentuk fisiknya hanyalah selembar kertas. Namun makna yang tersirat di dalamnya, mampu menentukan mati hidupnya karir seorang penampil musik dan bahkan mati hidupnya musik itu sendiri. Itulah TIKET PERTUNJUKAN. Zaman sekarang, masih banyak orang yang berpendapat bahwa tiket pertunjukan musik, adalah sarana bagi penyelenggara untuk menutup ongkos pertunjukan. Anggapan tersebut tentu sah dan boleh saja. Meskipun sebetulnya, persoalannya tidaklah sesederhana itu.

SEBUAH MARKA BISNIS
Hal pertama yang perlu kita tatap tajam adalah, bahwa TIKET PERTUNJUKAN, sebagaimana tiket dalam ranah yang lain, adalah sebuah BUSINESS MARK (marka bisnis). Jadi ketika tiket diterbitkan, si penerbit tiket, saat itu, sudah secara publik menyatakan, bahwa IA MELAKUKAN BISNIS PENJUALAN.

Apa yang dijual? Bisa macam-macam. Contohnya begini, jika kita naik Kereta Api jurusan Jakarta-Surabaya misalnya. Tentu kita membayar uang pembelian tiket. Artinya PERUMKA sebagai badan penyelenggara jasa kereta api, saat itu telah melakukan kesepakatan bisnis sebagai produsen jasa transportasi, dengan penumpang sebagai konsumen.

Apa yang dibayar? Fasilitasnya, kursi reclining, kesejukan AC, hiburan TV, selimut buat yang kaget dengan AC, ketepatan waktu perjalanan, keamanan, sampai pada menikmati senyuman ramah para PRAMU DAN PRAMA kereta api. Untuk hal itulah kita membayar tiket. DAN SAMA SEKALI BUKAN MENYUMBANG PERUMKA DALAM PERAWATAN LOKO KERETA MAUPUN REL KERETA.

HARGA YANG HARUS DIBAYAR
Demikian juga tiket pertunjukan musik. Saat kita datang pada konser pianis dunia, tiket yang kita bayar adalah HARGA bagi sajian musik kelas dunia yang dibawakan oleh seorang pianis kelas dunia. Dan sama sekali TIDAK DIMAKSUDKAN untuk membantu promotor dan panitia menutup ongkos produksi. Perkara hasil tiket nantinya sebagian dipakai untuk ongkos produksi, itu lain cerita.


Utamanya adalah bahwa tiket pertunjukan musik adalah jasa kenikmatan performansinya dan bukan rame-rame membantu si promotor. Makna itulah yang menjadikan pertunjukan seorang Daniel Barenboim memiliki harga tiket yang berbeda bergantung pada performansinya. Tiket untuk Barenboim main piano sendirian satu jam, main Sonata Beethoven komplit, akan jauh lebih mahal, dibanding Barenboim main Tango. Kenapa? Karena Sonata Beethoven adalah musik kelas dunia sementara Tango Argentina lebih bersahaja sebagai musik hiburan.


TARIF DAN MUTU SAJIAN PERTUNJUKAN
Sebagai marka bisnis, harga tiket memang pada akhirnya tidak semata ditentukan mutu sajiannya. Banyak hal lain yang mendasari penyelenggara dalam mematok harga tiket. Berikut saya paparkan ilustrasinya.

David Foster, pernah mengadakan konser di Jakarta. Dalam konsernya, David Foster menyertakan pula "kawan-kawannya". Sebagaimana David Foster sendiri, semua kawan-kawannya adalah artis kelas dunia - termasuk Natalie Cole (Alm.) dan Peter Cetera.

Harga tiket pertunjukan konser David Foster, dipatok sebagai berikut: untuk kelas utama adalah pada kisaran 7,5 juta rupiah. Angka ini tergolong besar untuk ukuran masyarakat umum. Mahalnya harga tiket pertunjukan David Foster tentu merupakan hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Orang mengatakan: ada rupa ada harga.

Dan tentu mahalnya tiket pertunjukan David Foster tak perlu dihadapkan dengan nuansa prihatin berkaitan dengan adanya hal-hal di luar musik, seperti tingkat kemiskinan dan angka pengangguran. Semua sah-sah saja, baik-baik dan normal serta patut adanya.

Meski demikian, ternyata ada pernik-pernik yang setidaknya dapat dijadikan permenungan. Betapa sebetulnya sebuah tiket pertunjukan memiliki makna lebih dari sekedar sebuah tanda masuk. Apa yang menjadikan orang mau mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah bagi sebuah pertunjukan? Apakah karena musik David Foster memang sedemikian bagusnya? Bagus atau tidak, agaknya tidak signifikan ditelaah. Karena BAGUS, dalam takaran tertentu memiliki nilai relatif yang menjadi mustahil untuk diperdebatkan.


PLATFORM TARIF TIKET & ATRIBUT GENSI & PRESTISIUS
Yang jelas, David Foster yang asal Canada, adalah artis profesional yang memiliki platform tarif bagi pekerjaannya. Di lain sisi, kita sebetulnya memiliki banyak pemain piano yang bahkan kelasnya diatas David Foster. Andai misalnya Pianis Indonesia, dengan kapabilitas kemampuan jauh di atas David Foster, mengadakan konser, apakah juga tiket pertunjukannya akan dibandrol setara tiket pertunjukan David Foster? Nampaknya masih berupa pengandaian semata.

Dari kenyataan ini, agaknya bukan skill musiklah yang menjadikan orang mau membayar jutaan rupiah untuk tiket pertunjukan David Foster. Harga tiket pertunjukan tentu bukanlah tolok ukur mutu pertunjukannya. Selalu ada nuansa lain dalam tiket pertunjukan. Gengsi. Prestisius. Dua hal ini lebih mendominasi, terutama pada pertunjukan semacam konser David Foster.

Pertunjukan David Foster "menjual" musik memang benar. Namun pertunjukan tersebut juga menjual gengsi dan prestise. Tiket pertunjukan dengan demikian juga adalah sebuah atribut. Atribut yang mampu mendongkrak gengsi. Dan hal ini mempunyai nilai jual yang unik.


TIKET PERTUNJUKAN DI TANAH AIR
Menjadi menarik kiranya mengamati tiket pertunjukan sebagai atribut dalam kaitan dengan pertunjukan kesenian, terutama musik di daerah. Jelas dengan tanpa sedikit pun bermaksud memperbandingkan Pertunjukan David Foster dengan pertunjukan musik di daerah tanah air kita.

Daerah yang dimaksud adalah kota non ibukota propinsi. Untuk daerah, menjual tiket pertunjukan seharga DUA PULUH LIMA RIBU RUPIAH saja teramat sulit. Tidak perlu dengan bukti empiris berupa penelitian. Hampir dipastikan sebagian terbesar masyarakat telah mengerti hal ini. David Foster dengan tiket pertunjukan kelas utama seharga 7,5 juta DIPERSANDINGKAN DENGAN tiket pertunjukan di daerah yang dua puluh lima ribu rupiah, itupun sulit laku.

Bukan masalah daya beli. Bukan masalah mutu pertunjukannya. Akar persoalannya adalah, masih kentalnya aroma anggapan bahwa menonton pertunjukan di daerah, apalagi oleh seniman lokal, adalah sama sekali tidak bergengsi.

Ada beberapa hal yang dapat kita renungkan dalam rangkaian peristiwa tersebut. Bahwa tiket pertunjukan bukan sekedar obyek pelengkap penyerta. Tiket pertunjukan turut menentukan nilai sebuah pertunjukan. Bukan dari segi mutu melainkan dari segi minat untuk mengapresiasi.

Tiket pertunjukan memang sebuah atribut. Dan sebagai atribut, tiket pertunjukan semestinya dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak citra dan apresiasi terhadap kesenian lokal, terutama musik di daerah. Upaya ini memerlukan profesionalisme yang tidak main-main. Dan hingga sekarang, hanya industri yang telah maju pesat sajalah yang dapat mengubah tiket pertunjukan sebagai sebuah atribut yang punya nilai tersendiri. Seorang seniman musik seperti David Foster mampu mendunia dan berhasil memiliki "nilai jual" yang tinggi tentu tidak dapat dilepaskan dari peran industri hiburan.

STUDI KASUS TICKETING
Sekarang mari kita telisik sejenak, sebuah peristiwa ticketing yang terjadi di tanah air kita.

Bentuk Pertunjukan               : Resital Tunggal Piano Klasik
Penampil                                  : Pianis usia 9 tahun
Repertoire                                : Bach, Beethoven Sonata, Bartok, Jaya Suprana
Venue                                        : Pusat Kebudayaan Asing, Ibukota Propinsi
Harga Tiket                              : Rp 5.000,-

Apakah anda merasa aneh dengan data tersebut? Bagi saya, harga tiket yang LIMA RIBU RUPIAH, sangat mengganggu, tidak logis, dan membuat saya bingung. Mari kita buat pengandaian. Dengan mematok tiket 5 ribu, bisa saja penyelenggara memiliki pemikiran:

  • Agar terjangkau oleh kalangan lebih luas sehingga banyak yang hadir
  • Biaya produksi sudah terpenuhi. Tiket sekedar menunjukkan profesionalitas saja. Dalam ungkapan bahasa Jawa: Yo Pokoke Mbayar

Namun agaknya, pemikiran tersebut sungguh sangat tidak logis. Venue konser adalah Pusat Kebudayaan Asing. Sudah tentu abang-abang penjual siomay dan mbak-mbak warung rokok, takkan berminat hadir. Kalangan pelajar berkantong cekak pun sudah tahu. Bahwa zaman sekarang, 5 ribu itu untuk beli semangkuk bakso saja harus penuh perjuangan. Jadi kalangan mana yang mau dikejar?

Secara psikologis, harga 5 ribu itu bukannya akan membuat decak kagum. Justru masyarakat akan bertanya tanya. “Kok 5 ribu sih? Jangan-jangan nih si pianis bocah mainnya belepotan atau ini panitia bisa ngadain acara apa nggak ya, kok main nekad nggak kira-kira?” Mohon tidak dilupakan, bahwa TIKET PERTUNJUKAN adalah membeli sajian pertunjukan sebagai asupan bathin. Dan bukan belas kasihan membantu panitia tutup ongkos. Di tanah air kita, kejadian seperti ini masih sangat banyak dan bahkan memiliki kecenderungan untuk bertambah episoda nya.


Dari rangkai peristiwa tadi, ada seutas simpai menarik, yang mestinya bisa kita tarik sebagai simpul. Yakni bahwa TIKET PERTUNJUKAN, dalam esensinya adalah pertunjukan dalam wahana bisnis. Sudah barang tentu, semua kepatutan dan seni bisnis, seyogyanya dimainkan di situ. Persoalannya adalah, di negara seperti Indonesia, bisnis pertunjukan asih sering berupa petualangan semata. Dan bersifat instingtif dari orang-orang yang berkelebihan modal. Sudah waktunya, Indonesia memiliki jurusan MANAJEMEN MUSIK pada strata sekolah tinggi.

2 comments:

  1. Terimakasih untuk sharing Artikelnya yang bermanfaat.
    Oh ya sekedar informasi aja, bagi yang membutuhkan Sewa Genset Syncronize Bali untuk berbagai macam event bisa hubungi kami Arthur Teknik.

    ReplyDelete
  2. kak mau tanya bagaimana sebaiknya penjualan tiket pertunjukan musik dijual di masyarakat ?

    ReplyDelete

Note: only a member of this blog may post a comment.