“TIKET PERTUNJUKAN”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, May 2017
DEFINISI TIKET PERTUNJUKAN
Bentuk
fisiknya hanyalah selembar kertas. Namun makna yang tersirat di dalamnya, mampu
menentukan mati hidupnya karir seorang penampil musik dan bahkan mati hidupnya
musik itu sendiri. Itulah TIKET PERTUNJUKAN. Zaman sekarang, masih banyak orang
yang berpendapat bahwa tiket pertunjukan musik, adalah sarana bagi
penyelenggara untuk menutup ongkos pertunjukan. Anggapan tersebut tentu sah dan
boleh saja. Meskipun sebetulnya, persoalannya tidaklah sesederhana itu.
SEBUAH MARKA BISNIS
Hal
pertama yang perlu kita tatap tajam adalah, bahwa TIKET PERTUNJUKAN, sebagaimana
tiket dalam ranah yang lain, adalah sebuah BUSINESS MARK (marka bisnis). Jadi ketika
tiket diterbitkan, si penerbit tiket, saat itu, sudah secara publik menyatakan,
bahwa IA MELAKUKAN BISNIS PENJUALAN.
Apa
yang dijual? Bisa macam-macam. Contohnya begini, jika kita naik Kereta Api
jurusan Jakarta-Surabaya misalnya. Tentu kita membayar uang pembelian tiket.
Artinya PERUMKA sebagai badan penyelenggara jasa kereta api, saat itu telah
melakukan kesepakatan bisnis sebagai produsen jasa transportasi, dengan
penumpang sebagai konsumen.
Apa
yang dibayar? Fasilitasnya, kursi reclining, kesejukan AC, hiburan TV, selimut
buat yang kaget dengan AC, ketepatan waktu perjalanan, keamanan, sampai pada
menikmati senyuman ramah para PRAMU DAN PRAMA kereta api. Untuk hal itulah kita
membayar tiket. DAN SAMA SEKALI BUKAN MENYUMBANG PERUMKA DALAM PERAWATAN LOKO
KERETA MAUPUN REL KERETA.
HARGA YANG HARUS DIBAYAR
Demikian
juga tiket pertunjukan musik. Saat kita datang pada konser pianis dunia, tiket
yang kita bayar adalah HARGA bagi sajian musik kelas dunia yang dibawakan oleh
seorang pianis kelas dunia. Dan sama sekali TIDAK DIMAKSUDKAN untuk membantu promotor
dan panitia menutup ongkos produksi. Perkara hasil tiket nantinya sebagian
dipakai untuk ongkos produksi, itu lain cerita.
Utamanya
adalah bahwa tiket pertunjukan musik adalah jasa kenikmatan performansinya dan
bukan rame-rame membantu si promotor. Makna itulah yang menjadikan pertunjukan
seorang Daniel Barenboim memiliki
harga tiket yang berbeda bergantung pada performansinya. Tiket untuk Barenboim
main piano sendirian satu jam, main Sonata Beethoven
komplit, akan jauh lebih mahal, dibanding Barenboim main Tango. Kenapa? Karena
Sonata Beethoven adalah musik kelas dunia sementara Tango Argentina lebih
bersahaja sebagai musik hiburan.
TARIF DAN MUTU SAJIAN PERTUNJUKAN
Sebagai
marka bisnis, harga tiket memang pada akhirnya tidak semata ditentukan mutu
sajiannya. Banyak hal lain yang mendasari penyelenggara dalam mematok harga
tiket. Berikut saya paparkan ilustrasinya.
David Foster, pernah mengadakan konser di Jakarta. Dalam
konsernya, David Foster menyertakan pula "kawan-kawannya". Sebagaimana
David Foster sendiri, semua kawan-kawannya adalah artis kelas dunia - termasuk Natalie Cole (Alm.) dan Peter Cetera.
Harga tiket
pertunjukan konser David Foster, dipatok sebagai berikut: untuk kelas utama adalah
pada kisaran 7,5 juta rupiah. Angka ini tergolong besar untuk ukuran masyarakat
umum. Mahalnya harga tiket pertunjukan David Foster tentu merupakan hal yang
wajar dan biasa-biasa saja. Orang mengatakan: ada rupa ada harga.
Dan tentu
mahalnya tiket pertunjukan David Foster tak perlu dihadapkan dengan nuansa
prihatin berkaitan dengan adanya hal-hal di luar musik, seperti tingkat
kemiskinan dan angka pengangguran. Semua sah-sah saja, baik-baik dan normal
serta patut adanya.
Meski
demikian, ternyata ada pernik-pernik yang setidaknya dapat dijadikan
permenungan. Betapa sebetulnya sebuah tiket pertunjukan memiliki makna lebih
dari sekedar sebuah tanda masuk. Apa yang menjadikan orang mau mengeluarkan
uang hingga jutaan rupiah bagi sebuah pertunjukan? Apakah karena musik David Foster
memang sedemikian bagusnya? Bagus atau tidak, agaknya tidak signifikan
ditelaah. Karena BAGUS, dalam takaran tertentu memiliki nilai relatif yang
menjadi mustahil untuk diperdebatkan.
PLATFORM TARIF TIKET & ATRIBUT GENSI
& PRESTISIUS
Yang jelas,
David Foster yang asal Canada, adalah artis profesional yang memiliki platform
tarif bagi pekerjaannya. Di lain sisi, kita sebetulnya memiliki banyak pemain
piano yang bahkan kelasnya diatas David Foster. Andai misalnya Pianis Indonesia,
dengan kapabilitas kemampuan jauh di atas David Foster, mengadakan konser, apakah
juga tiket pertunjukannya akan dibandrol setara tiket pertunjukan David Foster?
Nampaknya masih berupa pengandaian semata.
Dari
kenyataan ini, agaknya bukan skill musiklah
yang menjadikan orang mau membayar jutaan rupiah untuk tiket pertunjukan David
Foster. Harga tiket pertunjukan tentu bukanlah tolok ukur mutu pertunjukannya. Selalu
ada nuansa lain dalam tiket pertunjukan. Gengsi.
Prestisius. Dua hal ini lebih mendominasi, terutama pada pertunjukan
semacam konser David Foster.
Pertunjukan
David Foster "menjual" musik memang benar. Namun pertunjukan tersebut
juga menjual gengsi dan prestise. Tiket pertunjukan dengan demikian juga adalah
sebuah atribut. Atribut yang mampu mendongkrak gengsi. Dan hal ini mempunyai
nilai jual yang unik.
TIKET PERTUNJUKAN DI TANAH AIR
Menjadi
menarik kiranya mengamati tiket pertunjukan sebagai atribut dalam kaitan dengan
pertunjukan kesenian, terutama musik di daerah. Jelas dengan tanpa sedikit pun
bermaksud memperbandingkan Pertunjukan David Foster dengan pertunjukan musik di
daerah tanah air kita.
Daerah yang
dimaksud adalah kota non ibukota propinsi. Untuk daerah, menjual tiket
pertunjukan seharga DUA PULUH LIMA RIBU RUPIAH saja teramat sulit. Tidak perlu
dengan bukti empiris berupa penelitian. Hampir dipastikan sebagian terbesar
masyarakat telah mengerti hal ini. David Foster dengan tiket pertunjukan kelas
utama seharga 7,5 juta DIPERSANDINGKAN DENGAN tiket pertunjukan di daerah yang
dua puluh lima ribu rupiah, itupun sulit laku.
Bukan
masalah daya beli. Bukan masalah mutu pertunjukannya. Akar persoalannya adalah,
masih kentalnya aroma anggapan bahwa menonton pertunjukan di daerah, apalagi
oleh seniman lokal, adalah sama sekali tidak bergengsi.
Ada beberapa hal yang dapat kita renungkan dalam rangkaian
peristiwa tersebut. Bahwa tiket pertunjukan bukan sekedar obyek pelengkap
penyerta. Tiket pertunjukan turut menentukan nilai sebuah pertunjukan. Bukan dari segi mutu melainkan dari segi minat untuk mengapresiasi.
Tiket pertunjukan memang sebuah atribut. Dan sebagai atribut, tiket
pertunjukan semestinya dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak citra dan apresiasi terhadap kesenian lokal, terutama
musik di daerah. Upaya ini memerlukan profesionalisme yang tidak main-main. Dan
hingga sekarang, hanya industri yang telah maju pesat sajalah yang dapat
mengubah tiket pertunjukan sebagai sebuah atribut yang punya nilai tersendiri.
Seorang seniman musik seperti David Foster mampu mendunia dan berhasil memiliki
"nilai jual" yang tinggi tentu tidak dapat dilepaskan dari peran
industri hiburan.
STUDI KASUS TICKETING
Sekarang mari kita telisik sejenak, sebuah peristiwa ticketing
yang terjadi di tanah air kita.
Bentuk Pertunjukan : Resital Tunggal Piano Klasik
Penampil :
Pianis usia 9 tahun
Repertoire : Bach, Beethoven Sonata, Bartok, Jaya
Suprana
Venue :
Pusat Kebudayaan Asing, Ibukota Propinsi
Harga Tiket : Rp 5.000,-
Apakah anda merasa aneh dengan data tersebut? Bagi saya, harga
tiket yang LIMA RIBU RUPIAH, sangat mengganggu, tidak logis, dan membuat saya
bingung. Mari kita buat pengandaian. Dengan mematok tiket 5 ribu, bisa saja penyelenggara
memiliki pemikiran:
- Agar terjangkau oleh kalangan lebih luas sehingga banyak yang hadir
- Biaya produksi sudah terpenuhi. Tiket sekedar menunjukkan profesionalitas saja. Dalam ungkapan bahasa Jawa: Yo Pokoke Mbayar
Namun agaknya,
pemikiran tersebut sungguh sangat tidak logis. Venue konser adalah Pusat
Kebudayaan Asing. Sudah tentu abang-abang penjual siomay dan mbak-mbak warung
rokok, takkan berminat hadir. Kalangan pelajar berkantong cekak pun sudah tahu.
Bahwa zaman sekarang, 5 ribu itu untuk beli semangkuk bakso saja harus penuh
perjuangan. Jadi kalangan mana yang mau dikejar?
Secara psikologis,
harga 5 ribu itu bukannya akan membuat decak kagum. Justru masyarakat akan
bertanya tanya. “Kok 5 ribu sih?
Jangan-jangan nih si pianis bocah mainnya belepotan atau ini panitia bisa
ngadain acara apa nggak ya, kok main nekad nggak kira-kira?” Mohon tidak
dilupakan, bahwa TIKET PERTUNJUKAN adalah membeli sajian pertunjukan sebagai asupan bathin. Dan bukan belas kasihan membantu panitia tutup ongkos. Di tanah air
kita, kejadian seperti ini masih sangat banyak dan bahkan memiliki kecenderungan
untuk bertambah episoda nya.
Dari rangkai
peristiwa tadi, ada seutas simpai menarik, yang mestinya bisa kita tarik sebagai
simpul. Yakni bahwa TIKET PERTUNJUKAN, dalam esensinya adalah pertunjukan dalam wahana bisnis. Sudah
barang tentu, semua kepatutan dan seni bisnis, seyogyanya dimainkan di situ. Persoalannya
adalah, di negara seperti Indonesia, bisnis pertunjukan asih sering berupa
petualangan semata. Dan bersifat
instingtif dari orang-orang yang berkelebihan modal. Sudah waktunya, Indonesia
memiliki jurusan MANAJEMEN MUSIK pada strata sekolah tinggi.
Terimakasih untuk sharing Artikelnya yang bermanfaat.
ReplyDeleteOh ya sekedar informasi aja, bagi yang membutuhkan Sewa Genset Syncronize Bali untuk berbagai macam event bisa hubungi kami Arthur Teknik.
kak mau tanya bagaimana sebaiknya penjualan tiket pertunjukan musik dijual di masyarakat ?
ReplyDelete