Thursday, 5 December 2019

KOMUNIKASI, by: Michael Gunadi | Staccato, December 2019

“KOMUNIKASI”
By: Michael Gunadi
Staccato, Desember 2019

BERBICARA TANPA KATA
Ada ungkapan yang sangat terkenal tentang musik. Bunyinya begini: Saat kata tak mampu mengungkap makna, saatnyalah musik berbicara. Jika kita cermati, ungkapan tersebut menyiratkan kemampuan yang luar biasa dari musik. Musik memiliki kemampuan luar biasa yakni dapat berbicara tentang makna, saat kata-kata, yang adalah bahasa verbal, sudah sampai pada batas kemampuannya. 

Di satu sisi, musik memang sangat luar biasa. Musik dapat membahasakan dirinya sendiri. Sayangnya, meski berkemampuan luar biasa dalam mengungkap makna, musik adalah bahasa simbol. Dengan demikian, bahasa yang diverbalkan musik, mutlak membutuhkan tafsir. Nah, di titik inilah semilyar bahkan setrilyun persoalan muncul. Karena menafsir simbolisme bahasa musik, bisa memiliki ber-biliun pernyataan dan atas nama seni, semuanya selalu dan selalu bahkan selalu benar.

Itulah sebabnya, ranah Performance musik senantiasa membutuhkan komunikasi. Bahasa musik yang berupa simbol, perlu dikomunikasikan. Agar penyaji dan penikmat berada dalam satu kesamaan daya cecap terhadap nuansa rasa. Tanpa komunikasi, bahasa musik bisa ditafsir dengan menggelikan, menjijikkan dan bahkan memuakkan. 

Friday, 1 November 2019

SENSOR TERHADAP MUSIK, by: Michael Gunadi | Staccato, November 2019

“SENSOR TERHADAP MUSIK”
by: Michael Gunadi
Staccato, November 2019


Awal 2019 ini ditandai dengan tindakan KPID JAWA BARAT yang melakukan pindah tayang terhadap belasan lagu dan video klip dari sejumlah artis barat. Pindah tayang tersebut dilakukan dengan cara memindahkan penyiaran dari regular prime time menjadi nightshift prime time. 

Alasannya adalah bahwa belasan lagu dan video klip barat tersebut mengandung konten yang tidak pas bagi anak-anak dan remaja yang belum 17 tahun. Karena mengandung secara implisit maupun eksplisit provokasi tindakan seksual. Langkah KPID JABAR ini sebetulnya BUKAN SEBUAH TINDAKAN SENSOR. Tidak ada materi lagu dan klip video yang diedit bagi tujuan tertentu. Murni hanya pergeseran jam tayang semata.

Meski bukan tindakan penyensoran, apa yang dilakukan KPID JAWA BARAT tersebut mendapat reaksi keras dan hebat dari berbagai lapisan masyarakat. Dan seperti kebiasaan yang lazim, tanggapan masyarakat tersebut disampaikan melalui sosial media. Sebuah sarana yang cepat sekali penyebarannya dan hampir mustahil untuk dibendung dan diklarifikasi. 


Tuesday, 1 October 2019

BEBAS, by: Michael Gunadi | Staccato, October 2019

"BEBAS”
by: Michael Gunadi
(Staccato, October 2019)


KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT
Banyak, bahkan terlalu banyak orang yang senantiasa merindukan, mengupayakan dan tak hentinya menyuarakan apa yang dikenal sebagai BEBAS. BEBAS itu sendiri termasuk adjective atau kata sifat. Bentuk noun atau kata benda nya adalah KEBEBASAN. 

Yang paling banyak dibicarakan dan diperjuangkan dalam berbagai upaya adalah KEBEBASAN BERPIKIR DAN KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT. Kebebasan mengemukakan pendapat, termasuk di dalamnya adalah kebebasan berekspresi, kebebasan mengungkap rasa. Dengan demikian, SENI, dengan segala wujud material, mazhab dan apapun teorema serta praksisnya, termasuk dalam ranah kebebasan MENGEMUKAKAN PENDAPAT. 

Sudah sejak dahulu, kebebasan mengemukakan pendapat, termasuk kebebasan berekspresi dalam RANAH SENI, menjadi topik diskusi yang tak kunjung selesai. Para filsuf mulai dari Aristoteles sampai Kierkegaard, Susanne K. Langer, membuat pemikiran permenungan cemerlang tentang kebebasan semacam ini. Dalam praksis, banyak upaya sudah digelar. Dari mulai Festival, unjuk rasa jalanan, diskusi yang berpolemik tak berujung, sampai pada perlawanan ekstrem. Pokok masalahnya sebetulnya selalu sama; APA DAN BAGAIMANA SEBETULNYA KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT DALAM RANAH SENI.

Thursday, 5 September 2019

JAS MERAH - by: Michael Gunadi | Staccato, September 2019

“JAS MERAH”
by: Michael Gunadi
(Staccato, September 2019)


SEJARAH DAN JAS MERAH
Jas Merah? Lho, gimana sih? Pertunjukan musik tuh jas nya selalu hitam. Kok ini jas nya merah sih? Mungkin itulah yang segera melintas dibenak pembaca manakala seketika membaca judul artikel ini. Tentu saja artikel ini jelas bukan akan mengedepankan soal warna jas dalam pertunjukan musik. Malahan sebetulnya, artikel ini akan bicara tentang SEJARAH. Ya. Sejarah. Terus apa hubungannya sejarah musik dengan jas merah?

Dalam salah satu kesempatan, Presiden Soekarno memberi judul pidatonya sebagai JAS MERAH. JAS MERAH ini rupanya adalah singkatan. JAngan Sekali kali MElupakan sejaRAH. Apa yang dikatakan Bung Karno memang sudah selayaknya kita teladani. Dan nampaknya kembali menjadi kekinian jika kita pertautkan dengan perjuangan bangsa kita menuju masa depan.

Friday, 9 August 2019

THINK POLYPHONY, by: Michael Gunadi | Staccato, August 2019

“THINK POLYPHONY”
by: Michael Gunadi
(Staccato, Agustus 2019)



PENGANTAR POLIFONI
Sebetulnya Polifoni tidak hanya terdapat dalam musik. Banyak bidang yang juga mengenal polifoni. Namun, tak dapat dipungkiri, Polifoni dalam batasan musik, adalah yang paling lazim dan paling popular. Saat mendengar istilah Polifoni, beberapa diantara Anda yang pernah belajar musik, sedang belajar musik, suka dan bahkan cinta musik, khususnya Musik Klasik, akan langsung menyebut BACH. Dan memang, Johann Sebastian Bach adalah Raja Polifoni. Dengan puncak karyanya pada FUGUE. Bentuk komposisi polifoni yang ketat aturan, bahkan sangat normatif, namun tetap menyisakan ruang luas untuk kebebasan.


TEKSTUR POLIFONI
Sebelum kita menatap batasan istilah polifoni, terlebih dahulu kita tengok istilah TEKSTUR atau Texture. Dalam musik, pengertian tekstur sangat berbeda dengan misalnya pengertian tekstur pada seni lukis atau seni rupa. Tektur sebuah lukisan adalah permukaan lukisan itu. Semakin halus permukaannya, dikatakan bahwa tekstur lukisannya semakin halus. Yang berarti si pelukis sudah sangat mehir meramu dan menuangkan material lukisan. 

Begitu pun dengan seni rupa. Karya patung yang dikatakan baik, tentu adalah yang bertekstur halus. Berbeda dengan musik. Dalam ranah musik, tekstur bukan urusan halus tidaknya permukaan. Melainkan cara bagaimana unsur-unsur musik disusun dan dikombinasikan. Polifoni berbicara tentang tekstur. Polifoni adalah tekstur musik, dimana melodi, irama dan harmoni disusun sebagai sebuah entitas yang mandiri.

Tuesday, 23 July 2019

REFERENSI EQ & COMPRESSION | Audiopro, July 2019

“REFERENSI EQ & COMPRESSION”
Audio Pro, Juli 2019
by: Michael Gunadi


Terlebih dahulu akan diberikan batasan tentang istilah EQ dan COMPRESSION. Batasan yang bukan sebagai makna istilah. Melainkan batasan agar diperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang apa yang akan dreferensikan dan bagaimana penerapannya.

EQ
Dalam ranah audio professional, istilah EQ mengacu pada satu proses, yakni proses manipulasi Bukan sekedar perubahan, melainkan manipulasi. Manipulasi dari perimbangan atau balans komponen frekuensi dalam sebuah sinyal audio. Mengapa perlu ada manipulasi balans frekuensi? Begini ceritanya.

Telinga manusia, bisa mengenali sinyal audio dalam rentang frekuensi antara 20 Hz sampai 20 kHz. Mohon diperhatikan bahwa istilah yang dipakai adalah mengenali (detect) dan bukan hanya mendengar (Hear/capturing sound). Rentang frekuensi yang mampu dikenali telinga manusia, jika dijabarkan berdasar spectrum gelombang nya, akan didapat pembagian semacam ini. 

Dalam spectrum gelombang semacam itulah kemudian telinga manusia mampu mengenali TIMBRE atau warna bunyi. Adanya timbre inilah, yang menjadikan telinga mengenali bunyi gitar listrik. Piano. Kendhang Jawa dan suara manusia Dalam kenyataannya, banyak bunyi dan suara yang mengalir dalam frekuensi yang sama. 

Thursday, 4 July 2019

LOVE STORY: "ASMARA DALAM MUSIK KLASIK" | by: Michael Gunadi (Staccato, July 2019)

“LOVE STORY: 
ASMARA DALAM MUSIK KLASIK”
by: Michael Gunadi
(Staccato, July 2019)


Sudah terlalu banyak ungkapan tentang cinta. Dari mulai “LOVE IS A MANY SPLENDORED THINGS” sampai pada cinta sebagai “THE NEVER ENDING STORY”. Tak ada habis nya bicara cinta. Tak ada bosannya bicara cinta. Bahkan karena terlampau sering cinta diperbincangkan, maknanya menjadi hampir seperti sepotong coklat semata. Bisa dipertukarkan. Bisa hanya sebagai pemanis dan bahkan bisa diperjualbelikan dengan sedemikian murahnya. 

Di lain pihak, ada musik. Seni bunyi yang acapkali dianggap sebagai kulminasi tertinggi umat manusia dalam hasrat estetisnya, termasuk tentang cinta. Dan musik pun menorehkan catatan tentang cinta. Bukan bertutur tentang cinta. Melainkan cinta yang dialami para komposer akbar. Ada yang akan membuat anda haru. Ada yang membuat anda berdecak. Namun ada pula yang akan membuat anda syok geleng-geleng kelapa, eh, kepala.


1. JOHANN SEBASTIAN BACH & ANNA MAGDALENA
Anna Magdalena adalah istri kedua dari Bach. Tak jelas bagaimana awal jumpanya. Tapi sering disebut bahwa Bach terpesona oleh kemampuan vocal Anna dan kemudian membimbingnya. Cinta guru murid bersemi. Bach menikahi Anna hanya beberapa bukan setelah istri pertamanya meninggal. Professor Martin Jarvis, pernah mengemukakan sebuah postulat. Bahwa Anna Magdalena lah malahan yang membuat banyak komposisi, dan BUKAN BACH. Namun postulat nya seperti hilang ditelan jaman. Malahan yang lebih dikenal adalah persembahan Bach bagi Anna Magdalena dalam buku Notenbuchlein für Anna Magdalena. Atau terkenal dengan Notebook Anna Magdalena.

Monday, 10 June 2019

Pembungkaman dalam Musik, by: Michael Gunadi | Staccato, June 2019

“PEMBUNGKAMAN DALAM MUSIK”
by: Michael Gunadi
(Staccato, June 2019)


Sebagai sebuah bentuk seni, musik, sebagaimana seni sastra, acapkali mengalami pembungkaman. Musik dibungkam. Dengan sebab musabab yang jelas, dengan prasangka, maupun dengan sebab dan musabab yang sama sekali tak jelas dan tak masuk akal. Pembungkaman tersebut, pada kenyataannya tak pernah dapat memupuskan musik. Keindahan musik tetap indah dan tetap mengalir meski dibungkam. Dibungkam pun bukan berarti komposernya hilang lenyap punah. Malahan, musibah dibungkam dapat melambungkan popularitas dan bahkan “membangkitkan kembali“ sosok komposer yang sudah tiada. Bagaimana fenomena sedemikian bisa terjadi? 

LATAR BELAKANG PERANG DUNIA II
Kita akan awali kisah dibungkam ini dengan berkelana pada jaman PERANG DUNIA II. Adolf Hitler. Dengan partai Nazional Socialismus atau NAZI. Hitler memicu perang dunia dengan propaganda. Propaganda bahwa ras Aria yang adalah ras asli Jerman, tercemari oleh anasir-anasir laknat dan durjana. Dimulailah proses purifikasi Ras Aria. Semua yang berbau dan bernuansa serta bercita rasa Jerman, dikedepankan. Dan dicarilah kambing hitam untuk si anasir najis yang laknat dan durjana, yakni Bangsa Yahudi. 


Jadi ada dua entitas dialogisme sebetulnya. PURIFIKASI DAN KAMBING HITAM. Musik, tak luput dalam kegiatan propaganda. Menteri propaganda Josef Gobel, dengan seijin dan konsep dari Adolf Hitler, membuat maklumat. Bahwa hanya ada tiga komposer yang benar-benar Jerman, yakni: BACH, BEETHOVEN, dan RICHARD WAGNER.

Monday, 6 May 2019

KESEMPURNAAN DALAM BERMUSIK - by: Michael Gunadi (Staccato, May 2019)

“KESEMPURNAAN
DALAM BERMUSIK”
by: Michael Gunadi
(Staccato, May 2019)


KONSEP KESEMPURNAAN
Dalam ranah Religius, manusia adalah makhluk yang takkan bisa dan takkan pernah sempurna. SEMPURNA itu hanya milik Sang MAHA. Meski demikian, filsafat, sebagai cabang ilmu yang menelisik esensi semua hal, mengungkapkan bahwa dalam napak tilas ehidupannya, manusia memiliki hasrat untuk mengejar KESEMPURNAAN. Dalam segala hal. Tentu juga dalam hal berkesenian dan/atau bermusik.

Hasrat manusia berpaut pada kesempurnaan untuk menghasilkan karya musik. Hasrat kemanusiaan jugalah yang menjadikan manusia memiliki tuntutan pada kesempurnaan dalam sajian musik. Sebetulnya apa sih kesempurnaan itu. Dan mengapa hasrat alamiah akan kesempurnaan memiliki begitu besar pengaruh terhadap musik. Kita akan tinjau terlebih dahulu, terminologi nya.


Kesempurnaan dipadankan dalam Bahasa Inggris sebagai PERFECTION. Terlihat dalam gambar tersebut, bahwa kesempurnaan adalah BEBAS DARI CACAT CELA.  Sementara penerapan konsepnya adalah berupa konsepsi ideal, atau kesesuaian harapan orang normal pada umumnya. Sejak dulu, pemaknaan semacam ini secara psikologis, memberi kesan bahwa kesempurnaan adalah sebuah keadaan yang “di awang-awang” dan nun jauh disana. Seorang Rohaniwati malahan pernah mengatakan begini: “Perfection consists not in doing extraordinary things, but in doing ordinary things extraordinary well.”– Arnauld, Angelique.

Monday, 1 April 2019

MUSIK DAN KEBANGGAAN BERBANGSA - by: Michael Gunadi (Staccato, April 2019)

“MUSIK DAN KEBANGGAAN BERBANGSA”
by: Michael Gunadi
(Staccato, April 2019)


FENOMENA MARS
Pernah ada suatu masa di Indonesia, dimana orang keranjingan lagu MARS. Organisasi politik bikin Mars. Kampus bikin Mars. Organisasi massa bikin Mars. Bahkan sampe RT dan kumpulan emak-emak bikin Mars. 

Kenapa orang bisa keranjingan Mars? 
Ada banyak jawaban. Tetapi pada esensinya, Mars membuat kumpulan orang menjadi memiliki energi. Energi untuk bergerak memenuhi dan mewujudkan cita-cita dan hasratnya. Sebetulnya bukan hanya MARS. Semua musik, apapun genre nya mampu memainkan peran demikian. Tentu sejauh digagas dan dikreasi sebagaimana layaknya. Menurut kepatutan dan tata norma masyarakatnya.


KESENIAN SEBAGAI WUJUD RASA BANGGA BERBANGSA
Kampanye Politik, dari mulai Presidential election sampai memilih lurah, tak pernah lepas dari musik. Partai Golkar di era mantan Presiden Soeharto, bahkan merilis beberapa seri rekaman. Isinya Lagu, musik dan sejenisnya. 

Hal demikian masih berlangsung sampai hari ini. Meski tentu saja formatnya berbeda. Sebagaimana Mars, musik dalam kumpulan organisasi, mampu memberi movement spirit. Semangat untuk bergerak. Bahasa kerennya berjuang. Dan, ini yang sangat penting, musik, apapun itu, memberi PRIDE ATAU RASA BANGGA.

Friday, 1 March 2019

Tarrega's Capriccio Arabe - by: Michael Gunadi (Staccato, March 2019)

“TARREGA’S CAPRICCIO ARABE”
by: Michael Gunadi
(Staccato, March 2019)


PENJELAJAHAN DUNIA TIMUR
Sudah sejak sangat lama, bangsa Eropa menganggap bahwa Dunia Timur atau Eastern World adalah sesuatu yang unik, memancing rasa ingin tahu, dan tentu saja eksotis serta terkadang juga erotis. Tak heran, sejak lama, bangsa Eropa, melakukan penjelajahan wilayah, dan memperluas imajinasi dan hasratnya akan keunikan dan keindahan dunia timur melalui seni, khususnya musik. 

Afrika, India, Indonesia dan tentu saja Arab adalah daerah yang acapkali dijadikan sumber inspirasi karya musik bagi komposer Eropa. Beethoven dan Mozart membuat musik Mars serdadu Turki. Godowsky melakukan penjelajahan fisik dan bunyi sampai ke Jawa. Debussy membuat Arabesque yang sangat terkenal. Di jaman sekarang pun, inspirasi daerah timur dalam kreasi musik masih sangat marak dilakukan.

Saturday, 9 February 2019

"G" for Gamelan & Godowsky - by: Michael Gunadi (Staccato, February 2019)

“G” for GAMELAN & GODOWSKY
By: Michael Gunadi
(Staccato, February 2019)

  
EAST MEET WEST
Sudah terlalu banyak ulasan dan kupasan tentang pengaruh Gamelan terhadap musik budaya Eropa. Kupasannya seringkali dipertautkan dengan upaya EAST MEET WEST. Timur bertemu dengan Barat. Bagus saja sebagai sebuah ungkapan adanya persamaan. Setidaknya ada hal “sama“ yang bisa saling bertaut. Untuk menunjukkan bahwa ras umat manusia bisa bersatu dengan penuh toleran. 

Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah gagasan East Meet West melalui seni bunyi, masih relevan untuk diperbincangkan di era sekarang? Mengingat konstelasi sosial dan budaya semesta sudah sedemikian rumitnya. Orang bisa berdebat tentang hal ini. 

Namun ada satu hal yang selalu tersemburat. Bahwa apapun konstelasi sosio-kulturalnya, umat manusia di dunia ini mutlak perlu disadarkan terus menerus. Bahwa budaya adalah hasil kulminasi upaya manusia sebagai ciptaan YANG MAHA KUASA. 

Tidak elok jika budaya, termasuk musik, menjadi ranah hegemoni. Musik adalah ranah persatuan dalam toleransi. Hal ini mutlak didengang-dengungkan terus-menerus, agar umat manusia semesta setidaknya masih punya kesadaran. Bahwa melalui budaya, manusia adalah makhluk estetis ciptaan Sang Ilahi.

Tuesday, 8 January 2019

MARRIAGE OF GAMELAN - by: Michael Gunadi (Staccato, January 2018)

MARRIAGE OF GAMELAN
By: Michael Gunadi
Staccato, January 2019


EAST MEET WEST
Hah? Gamelan menikah? Ma sapa? Judul nya memang agak lebay dan bombastis. Maklum lah, jaman now cicak jatuh saja di tafsir macam-macam. Sebetulnya sudah sejak lama Gamelan dipersandingkan. Dipersandingkan dalam sebuah konsepsi dan konteks EAST MEET WEST. Timur ketemu Barat. Hasil persandingan itu ternyata bermacam-macam. Ada kalanya Gamelan benar-benar dinikahkan dan ternikahkan. Bisa juga Gamelan hanya kawin saja. Pun bisa juga Gamelan bermesraan terus-menerus tanpa nikah dan kawin.

Kita tentu belum lupa. Sejak Tahun 80-an marak lagu Pop dan Dangdut yang bernuansa Gamelan. Seringkali, Gamelan nya hanya berupa KITSCH atau sekedar tempelan yang dilebay-lebay kan. Ada juga hasil karya Gamelan sebagaimana olahan komposisi dari Debussy, Ravel,dan Godowsky. Idiom dan lanskap serta Filosofi Gamelan yang dipakai. Sedangkan nuansa dan impressi bunyi Gamelan sama sekali tersamar. 

Ada juga yang seperti Lou Harrison. Gamelan diberi identitas yang sama sekali baru. Jodi Diamond dengan kelompok Gamelan The Son Of Lion USA, yang membuat Gamelan sebagai sebuah wahana tonal dalam kancah kontemporer pada jamannya. Jangan lupa juga Almarhum Jack Body dengan kelompok Gamelan Padhang Moncar dari Selandia Baru. Padhang Moncar menampilkan Gendhing Kreasi. Baru namun tetap bergelantungan pada akar tradisinya.