by: Michael Gunadi
(Staccato, April 2019)
FENOMENA MARS
Pernah ada suatu masa di Indonesia, dimana orang keranjingan lagu MARS. Organisasi politik bikin Mars. Kampus bikin Mars. Organisasi massa bikin Mars. Bahkan sampe RT dan kumpulan emak-emak bikin Mars.
Kenapa orang bisa keranjingan Mars?
Ada banyak jawaban. Tetapi pada esensinya, Mars membuat kumpulan orang menjadi memiliki energi. Energi untuk bergerak memenuhi dan mewujudkan cita-cita dan hasratnya. Sebetulnya bukan hanya MARS. Semua musik, apapun genre nya mampu memainkan peran demikian. Tentu sejauh digagas dan dikreasi sebagaimana layaknya. Menurut kepatutan dan tata norma masyarakatnya.
KESENIAN SEBAGAI WUJUD RASA BANGGA BERBANGSA
Kampanye Politik, dari mulai Presidential election sampai memilih lurah, tak pernah lepas dari musik. Partai Golkar di era mantan Presiden Soeharto, bahkan merilis beberapa seri rekaman. Isinya Lagu, musik dan sejenisnya.
Hal demikian masih berlangsung sampai hari ini. Meski tentu saja formatnya berbeda. Sebagaimana Mars, musik dalam kumpulan organisasi, mampu memberi movement spirit. Semangat untuk bergerak. Bahasa kerennya berjuang. Dan, ini yang sangat penting, musik, apapun itu, memberi PRIDE ATAU RASA BANGGA.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, kita tentu wajib harus dan mutlak memiliki NATIONAL PRIDE atau rasa kebanggaan berbangsa. Bagaimana wujudnya? Bisa macam-macam. Mulai dari cinta budaya sampai dengan sikap ekstrem nasionalisme yang hiper dan menjurus pada chauvinisme.
Dalam era modern dan modernisasi seperti sekarang ini, mestinya tak berlebihan jika kita memaknai kembali. Budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari National Pride. Kesenian sebagai wujud rasa bangga berbangsa. Dan Musik sebagai pengejawantahan hal tersebut. Tujuannya tentu memelihara sisi humanitas. Yang mulai tergerus dominasi pikiran yang jauh melampaui post modernisme.
SUMPAH PEMUDA
Rasa bangga berbangsa untuk Indonesia, sebetulnya malahan sudah ada, jauh lebih dulu dari Proklamasi Kemerdekaan kita. Ada momen bersejarah dalam National Pride kita. SUMPAH PEMUDA. Saat para orang muda cemerlang berikrar. Ikrar yang dalam esensinya adalah National Pride. Dan disitu MUSIK HADIR SECARA MENAKJUBKAN. Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” pertama kali diperkenalkan.
Kehadiran lagu kebangsaan tentu harus dimaknai dalam lingkup lagu-lagu perjuangan kemerdekaan negara kita. Dan anehnya, BAIK LAGU KEBANGSAAN MAUPUN LAGU PERJUANGAN KEMERDEKAAN KITA TAK SATU PUN YANG MEMAKAI MATERI MUSIK ETNIK INDONESIA. MEMANG DI BEBERAPA DAERAH MUNCUL MUSIK ETNIK YANG SECARA TERSAMAR ADALAH ALAT PERJUANGAN. SEPERTI MISALNYA MUSIK BALO BALO DI TEGAL JAWA TENGAH. Namun dominasi lagu perjuangan dan bahkan Lagu Kebangsaan adalah dalam tatanan BUDAYA MUSIK BARAT.
Lalu mungkin para pembaca akan ramai ramai protes memaki membully dan mengancam serta membacok kok beraninya mengutak-atik lagu kebangsaan dan lagu perjuangan?
MUSIK PEMBUKAAN ASIAN GAMES
Fenomena semacam itu, digugat pada September 2018. Sehubungan dengan Musik pada pembukaan dan penutupan Asian Games, yang mana Indonesia sebagai tuan rumah, memperoleh kesuksesan dan kegemilangan nyata, tak terbantahkan dan luar biasa. Gugatannya, meski disampaikan secara malu-malu dalam sebuah situs GEOTIMES, menyatakan bahwa Indonesia kurang berdaulat dalam musik pembukaan dan penutupan Asian Games 2018.
Mengapa? Karena Orkestranya tidak mengakomodir musik tradisi. Orkestranya main musik Simfoni dalam ranah Budaya Barat.Meskipun sebetulnya, saat itu disajikan juga musik etnik dari berbagai daeran di Tanah air. Fenomena semacam ini tidak saja berupa kritik, melainkan adalah sikap mempertanyakan kembali. Sampai sejauh mana, di jaman sekarang ini, hubungan antara musik dan rasa bangga dalam berbangsa.
Jadi, semesta pembicaraan kita bisa disebut secara demikian: Apakah yang namanya berdaulat, bangga berbangsa dan bernegara, jika melalui musik, harus bercorak etnis tradisi nasional?
SIBELIUS “FINLANDIA”
Mari kita awali dengan menelaah karya Jean Sibelius. Komposer Finlandia yang dalam sejarah musik dikenal sebagai komposer yang sangat nasionalis. Memiliki National Pride yang luar biasa pada bangsa dan negaranya.
Masterpiece dari Sibelius ini bahkan berjudul FINLANDIA. Sebuah judul yang sangat “berani”. Karya ini oleh para kritisi musik ditengarai sebagai sebuah karya yang sangat dan sarat mengedepankan Nasionalisme dan rasa bangga dalam berbangsa. Mari kita lihat halaman pertama dari karya ini.
Kita lihat bahwa sama sekali tidak ada materi atau elemen musik tradisionil Finlandia. Bahkan hingga akhir, materi yang diolah juga seperti lazimnya ranah budaya musik barat. Brass membuka dengan mengasosiasikan diri sebagai napas kehidupan manusia. Kemudian Contra Bass seperti mengamini napas dari Brass. Timpani dan Perkusi kemudian berangsur menyatakan sebuah spirit yang menggelegar. Seakan sebuah pesan akan semangat untuk senantiasa berjuang dengan semangat menggelora.
PERMENUNGAN TENTANG NASIONALISME
Dari acuan FINLANDIA, karya Jean Sibelius, yang ditengarai sebagai monumen nasionalisme dan National Pride, ada beberapa butir permenungan yang bisa kita tengok, sbb:
1. Bahwa Nasionalisme dan Rasa bangga dalam berbangsa, harus diletakkan dalam bingkai kesemestaan. Dalam bingkai pergaulan semua bangsa di dunia. Lengkap dengan interaksi dan resiko yang ungkin ditimbulkannya. Jika tidak demikian, maka kita akan terjebak dalam Chauvinisme yang sangat menyesatkan.
Sebagai konsekuensinya, tentu musik TIDAK AKAN MENGEKSPLORASI UNSUR ETNIS. Karena tidak universal. Identitas nasional di sublimkan dalam musik yang MESKIPUN asalnya adalah budaya barat, namun memiliki universalitas dengan napak tilas yang panjang dan teruji.
2. Indonesia adalah sebuah Negara dan Bangsa yang teramat kaya. Musik etnik Indonesia luar biasa macam ragamnya. Musik Indonesia bukan Gamelan. Musik Indonesia bukan Gondang Batak. Musik Indonesia adalah SEMUA MUSIK ETNIK YANG HIDUP DAN BERKEMBANG DI SEMUA PULAU NUSANTARA.
Terlalu sederhana dan miskin untuk menyatakan musik Indonesia dalam satu jenis musik etnis saja. Karena Indonesia bukan satu. Melainkan BERAGAM YANG MENJADI SATU.
Pernah ada gagasan untuk membuat sebuah mix cultural music. Jadi misalnya, melodinya Gamelan. Iramanya Gondang Batak. Harmoninya Maluku. Registernya Choir gaya Flores. Gagasan ini Gagal Total. Karena Indonesia terlalu kaya untuk disederhanakan begitu.
KEDAULATAN DALAM BERMUSIK
Terkadang, orang dengan gampang dan seenaknya saja melontarkan pendapat. Pernah, disampqikqn persoalan tentang KEDAULATAN DALAM BERMUSIK. DIANGGAP KURANG BERDAULAT jika dalam sebuah hajatan besar internasional, yang main musik bukan warga negara tuan rumah penyelenggara.
Sebetulnya, hal demikian sangat menggelikan. Makna berdaulat adalah berhak penuh mengurus dan mengatur diri bangsa itu sendiri. Apa jeleknya jika orang asing memainkan komposisi orang Indonesia. Apakah kemudian berhak dikatakan bahwa orang Indonesianya kurang berdaulat? Bukankah malah super berdaulat jika orang Indonesia sebagai komposer maupun konduktor bisa mengomandoi foreign people dalam bermusik.
KOMPOSER INDONESIA
Hal usang yang selalu digoreng dan dengan setia digembar gemborkan adalah bahwa musik dalam ranah berbangga dalam berbangsa, seyogyanya memiliki “identitas nasional“. Beberapa komposer seperti Slamet Abdul Sjukur, Ben Pasaribu, Sapto Rahardjo, Franki Raden dan Embi C. Noor, serta Eros Djarot sudah memiliki konsep. Mereka tentu tidak secara picik menamai kinsepnya sebagai identitas nasional.
Mereka mengedepankan konsep “baru” sesuai eksplorasinya tentang musik etnik nusantara. Ada yang berfokus pada revitalisasi. Ada pula yang mengusung konsep yang sedemikian baru. Almarhum mas Slamet Abdul Syukur misalnya. Mengusung konsep “MINIMAX”. Yakni irit tapi efektif. Konsepnya sebetulnya bisa dan sah saja dijadikan identitas karya musik nasional. Tanpa harus berpatut patut dengan mengeksplorasi gendhing secara serampangan dan nggak karuan.
IDENTITAS BANGSA
Musik dalam napak tilasnya memang tak pernah pupus dari pautan nasionalisme dan kebanggaan. Dari mulai musik propaganda, musik Himne dan Mars. Sampai pada upaya tak pernah henti untuk mencari identitas. Pokok persoalannya sebetulnya bukan terletak pada bentuk. Melainkan pada hasrat. Musical Passion yang tulus senantiasa melahirkan konsepsi musik baru. Dan bukankah ini juga sebuah identitas?
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.