DALAM BERMUSIK”
by: Michael Gunadi
(Staccato, May 2019)
KONSEP KESEMPURNAAN
Dalam ranah Religius, manusia adalah makhluk yang takkan bisa dan takkan pernah sempurna. SEMPURNA itu hanya milik Sang MAHA. Meski demikian, filsafat, sebagai cabang ilmu yang menelisik esensi semua hal, mengungkapkan bahwa dalam napak tilas ehidupannya, manusia memiliki hasrat untuk mengejar KESEMPURNAAN. Dalam segala hal. Tentu juga dalam hal berkesenian dan/atau bermusik.
Hasrat manusia berpaut pada kesempurnaan untuk menghasilkan karya musik. Hasrat kemanusiaan jugalah yang menjadikan manusia memiliki tuntutan pada kesempurnaan dalam sajian musik. Sebetulnya apa sih kesempurnaan itu. Dan mengapa hasrat alamiah akan kesempurnaan memiliki begitu besar pengaruh terhadap musik. Kita akan tinjau terlebih dahulu, terminologi nya.
Kesempurnaan dipadankan dalam Bahasa Inggris sebagai PERFECTION. Terlihat dalam gambar tersebut, bahwa kesempurnaan adalah BEBAS DARI CACAT CELA. Sementara penerapan konsepnya adalah berupa konsepsi ideal, atau kesesuaian harapan orang normal pada umumnya. Sejak dulu, pemaknaan semacam ini secara psikologis, memberi kesan bahwa kesempurnaan adalah sebuah keadaan yang “di awang-awang” dan nun jauh disana. Seorang Rohaniwati malahan pernah mengatakan begini: “Perfection consists not in doing extraordinary things, but in doing ordinary things extraordinary well.”– Arnauld, Angelique.
Bahwa yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah hasil luar biasa dari sesuatu yang biasa saja. Quotes ini tidak berlebihan jika dikatakan sebagai sebuah pernyataan filosofik. Dan nampaknya, ranah musik, lebih pas memaknai kesempurnaan dengan menggunakan konsep sedemikian.
KESEMPURNAAN DALAM BERMUSIK: HAL YANG MUSTAHIL?
Kesempurnaan dalam ranah musik, tentu saja menjadi sangat tidak masuk akal. Mari kita lihat beberapa fakta berikut:
1. GITAR
Bagi pemain Gitar Klasik misalnya. Mari kita lihat. Alat nya sendiri sangat tidak memungkinkan untuk diperformakan secara sempurna. Konstruksi gitar klasik, tidak bisa merepresentasi interval kwint dan kwart sebagaimana layaknya perbandingan dalam Well Tempered System. Belum lagi jika jangkar larasnya bukan dalam A = 440 Hz melainkan A = 432 Hz.
Selain performa instrumennya, gitar klasik selalu menyertai problem anatomis bagi pemainnya. Gitar klasik tak pernah benar-benar bebas dari smudges dan noise. Gitar klasik juga tidak dapat dimainkan dengan shredder sebagaimana piano. Gitar klasik tentu saja yaris tidak mungkin melakukan performansi reduksi score orkestrasi. Ada sebuah fenomena unik.
Pernah dibuat sebuah robot pemain gitar klasik. Dengan ketepatan performansi yang akurat dan mampu melakukan shredder sebagaimana piano. Bagaimana hasilnya? Sangat buruk. Sama sekali tidak musikal.
Mengapa bisa demikian ? Kembali lagi ke persoalan awal. Bahwa instrumen gitar klasik sangat tidak sempurna. Jadi rupanya, ketidak sempurnaan itu malahan menjadikan sajian performansi gitar klasik layak disebut sebuah performansi entitas seni bunyi.
2. PIANO
Bagaiman dengan PIANO yang adalah The King of All Musical Instruments. Jelas bahwa dari segi instrumen, piano jauh lebih perfeksi dibanding gitar klasik. Piano nyaris sempurna. Benarkah? Tidak juga. Piano sama sekali tidak bersifat man alike instrumen sebagaimana biolin. Piano sejatinya tidak pernah bisa merepresentasikan legato. Legato pada piano adalah ilusi bunyi. Pianis mengeksplorasi dan memanipulasi palu pemukul dawai. Agar pendengar mendapat ilusi bunyi. Jadi legato pada piano, hanya bersifat SEOLAH-OLAH semata.
Dalam hal Tone Color atau warna bunyi, Piano, meski adalah Raja semua alat musik, sebenarnya sangat miskin. Tone Color pada piano sejatinya hanya berupa timbre aslinya saja. Berbeda dengan gitar klasik. Pada gitar klasik, tiap lokus pada dawai adalah sebuah Tone yang benar benar baru. Tone Color pada piano, sebagaimana halnya Legato, juga sebuah ilusi semata. Pianis yang sangat terlatih mampu membuat ilusi sampai 100 warna bunyi dengan memanipulasi palu pemukul, pedal dan touch.
MENGEJAR KESEMPURNAAN
Jika ternyata dari keadaan piranti atau alatnya, sangat tidak memungkinkan bagi tercapainya sebuah kesempurnaan, lalu kesempurnaan apa yang selama ini didengang-dengungkan, digembar-gemborkan dan diperjuangkan oleh para pemusik, kritikus musik, dan penikmat musik. Ada beberapa konsep yang bertautan dengan hal tersebut.
PERFORMANSI DAN MUSIKALITAS.
Setiap musisi berusaha dan mengejar kesempurnaan dalam hal performance atau penampilan. Tentu yang dimaksud dengan penampilan bukanlah penampilan fisik biologis. Melainkan perfeksi dalam teknik permainan alat musik. Berbagai teknik unggul dipelajari, diselidiki dan dikembangkan. Sesuai perkembangan zaman, teknik permainan instrumen musik bukan lagi berupa kemampuan instingtif dan ketrampilan koordinasi semata. Melainkan sarat dengan unsur ilmiah. Anatomi, topologi dan fisiologi tubuh.
Awalnya banyak orang menganggap bahwa kehebatan Bach, Mozart, Beethoven, Chopin, dan Franz Liszt adalah sebuah pencapaian latihan yang gila-gilaan dan juga unsur “karunia” atau GIVEN. Unsur ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan, semakin detil diselidiki. Orang modern, dengan kecanggihan piranti audio visual mulai mempelajari hal hal terkait sains dalam keterampilan permainan alat musik. Tangan dan jemari Vladimir Horowitz direkam dan dianalisa. Teknik Martha Argerich di perdebatkan dalam analisa. Dipelajari bagaimana faktor anatomi bersinergi dengan faktor fisiologi saat Martha Argerich bermain piano.
Dalam ranah gitar klasik, analisa semacam itu juga dilakukan. Sangat banyak bahkan terlampau banyak video yang mengkupas anatomi dan fisiologi dalam bermain gitar klasik. Buku buku yang bertautan dengan aspek sains dalam permainan gitar klasik juga sudah banyak ditulis. Yang paling terkenal adalah kumpulan Etude dengan berdasar pada anatomi dan fisiologi, karya Abel Carlavaro. Gitaris seperti William Kanengiser juga mengemukakan keterkaikat konsep sains dalam hubungannya dengan pivot, dawai dan lokus eksekusi kuku jari jemari.
FUNGSI UTAMA MUSIK
Apakah dengan semua paparan tersebut, kesempurnaan performansi menjadi lebih bisa tercapai? Musik adalah sebuah ranah yang penuh dengan subyektifitas. Ada dua fungsi utama musik. Sebagai katalisator dan daya ungkap personal. Terhadap rasa, perasaan, sampai pada keadaan psikologis pemainnya. Siapapun itu, termasuk manusia tua berumur lebih dari 80 tahun dan/atau anak kecil usia 2 tahun.
Disamping itu, musik adalah sebuah media. Media asupan, media interaksi dan bahkan media propaganda. Logikanya, kesempurnaan dalam ranah musik, selalu dan akan selalu bertaut dan terkait dengan dua fungsi utamanya. Padahal, dua fungsi utama musik tersebut dalam kenyataannya adalah ranah yang ukurannya tak dapat dinyatakan secara eksak.
SEMPURNA VS RELATIF & SUBJEKTIF
Kemudian menjadi menarik jika kemudian ada pertanyaan: Bagaimana sebuah kesempurnaan dapat dihadirkan dalam semesta pembicaraan yang serba relatif. Apakah kemudian kesempurnaan itu sendiri menjadi kesempurnaan yang relatif, ataukah malahan relatif itu sendiri yang akan dan bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan jika orang bicara tentang kesempurnaan dalam ranah musik.
Banyak peristiwa, yang seakan memberi pernyataan bahwa kesempurnaan dalam bermusik, adalah “sesuatu” yang bisa “diukur”. Banyak kompetisi musik diadakan. Ada pemenangnya. Malahan bisa ditentukan pemenang 1, 2, 3 dan seterusnya, seperti sebuah pertandingan olah raga yang memang adalah sebuah laga kompetisi. Dalam penentuan pemenang tersebut, Juri, menggunakan kriteria-kriteria. Dalam berbagai aspek.
Ketika para penampil yang terdaftar tidak ada satupun yang berhasil mencapai standar ukuran kriteria para juri, mulailah dipakai penilaian berdasarkan “ukuran perbandingan”. Sama-sama main berlepotan, tapi si A lebih lancar dari si B. Keadaan semacam ini sebetulnya teramat membingungkan. Apa sebetulnya yang dicari dalam ajang kompetisi musik.
Pencapaian kelayakan permainan musik, ataukah seperti kontes pemilihan sapi ternak, yang berupa adu perbandingan belaka. Fenomena semacam ini, setidaknya menyiratkan pada kita. Bahwa kesempurnaan dalam ranah musik, sungguh sangat nisbi adanya. Sedemikian nisbi nya sampai harus dikatakan bahwa BUKAN TIDAK MUNGKIN BICARA KESEMPURNAAN DALAM RANAH MUSIK. PERSOALANNYA TERLETAK PADA KESEMPURNAAN YANG MEMILIKI SERIBU WAJAH.
BATASAN KESEMPURNAAN
Berikut adalah quotes dari Beethoven. Quotes ini sangat terkenal dan kerap dipakai sebagai pedoman tentang kelayakan dalam bermain musik. Selain pedoman, quotes ini malahan acapkali dipakai, baik secara samar maupun terang-terangan. Sebagai acuan akan kesempurnaan dalam bermusik. “To play a wrong note is insignificant; to play without passion is inexcusable.”
Persoalannya adalah: wrong note itu batasannya apa? Taruhlah memainkan not nya sudah betul sesuai naskah musiknya. Masih ada segudang pertanyaan. Apakah durasi not nya benar-benar sesuai dengan naskahnya. Bagaimana dengan gema, dengung dan vibrasi setelah note dibunyikan. Lalu juga bagaimana dengan frekuensi natural harmonik, yang adalah peristiwa alami yang serta merta hadir.
Sebetulnya, kesempurnaan dalam esensinya hanyalah milik SANG ILAHI. Lalu kenapa manusia mengejar kesempurnaan? Ada dua hal: untuk menjaga citra Sang Ilahi atau ingin menyamai Sang Ilahi. Apapun itu, musik tetaplah misteri dalam selimut kabut.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.