“G” for GAMELAN & GODOWSKY
By: Michael Gunadi
(Staccato, February 2019)
EAST MEET WEST
Sudah terlalu banyak ulasan dan kupasan tentang pengaruh Gamelan terhadap musik budaya Eropa. Kupasannya seringkali dipertautkan dengan upaya EAST MEET WEST. Timur bertemu dengan Barat. Bagus saja sebagai sebuah ungkapan adanya persamaan. Setidaknya ada hal “sama“ yang bisa saling bertaut. Untuk menunjukkan bahwa ras umat manusia bisa bersatu dengan penuh toleran.
Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah gagasan East Meet West melalui seni bunyi, masih relevan untuk diperbincangkan di era sekarang? Mengingat konstelasi sosial dan budaya semesta sudah sedemikian rumitnya. Orang bisa berdebat tentang hal ini.
Namun ada satu hal yang selalu tersemburat. Bahwa apapun konstelasi sosio-kulturalnya, umat manusia di dunia ini mutlak perlu disadarkan terus menerus. Bahwa budaya adalah hasil kulminasi upaya manusia sebagai ciptaan YANG MAHA KUASA.
Tidak elok jika budaya, termasuk musik, menjadi ranah hegemoni. Musik adalah ranah persatuan dalam toleransi. Hal ini mutlak didengang-dengungkan terus-menerus, agar umat manusia semesta setidaknya masih punya kesadaran. Bahwa melalui budaya, manusia adalah makhluk estetis ciptaan Sang Ilahi.
DEBUSSY DAN GAMELAN
Bagi kita di Indonesia, episode fenomena Gamelan dalam konteks konstelasi musik budaya barat, mencapai popularitasnya pada apa yang dialami Claude Debussy. Debussy berjam-jam, berhari-hari, nongkrongin pagelaran gamelan dalam sebuah expo budaya. Gamelan yang tersaji adalah SARI ONENG. Sebuah gamelan Sunda. Dan anehnya, saat itu dipentaskan juga tarian tradisionil Jawa Tengah. Jadi Gamelan Sunda mengiringi Tari Jawa Tengah. Penarinya pun asal-asalan karena mereka adalah para buruh wanita di perkebunan milik Hindia Belanda.
Meski keadaannya sedemikian, hal tersebut sangat menginspirasi Debussy. Salah satu hasil dari inspiratif nya Gamelan pada karya Debussy adalah seperti nukilan berikut:
Karya Debussy tentang Pagoda. Jika anda dengarkan karya tersebut, TAK ADA SAMA SEKALI NADA NADA GAMELAN. Bahkan karya tersebut seperti Musik Cina. Lho…. Lha…. Dimana Gamelannya? Debussy dengan kematangan teknik komposisinya, memakai IDIOM GAMELAN SECARA TERSAMAR. Gamelan dalam Debussy hadir bukan dalam bentuknya yang bugil, melainkan tersamar menerawang dengan erotis dan eksotis.
RAVEL DAN GAMELAN
Selain Debussy, Maurice Ravel juga menghasilkan karya yang terinspirasi gamelan. Sebagaimana halnya Debussy, Ravel juga memakai idiom gamelan dan menghadirkannya secara tersamar. Pada birama ketiga, contoh dibawah ini terlihat Ravel menggunakan pola ostinato dalam interval kwart murni. Sebagai imitasi sonoritas Gamelan.
GODOWSKY DAN GAMELAN
Selain Debussy dan Ravel, sebetulnya ada seorang pianis dan komposer hebat. Ia malahan hampir secara total mengeksplorasi Gamelan. Namanya LEOPOLD GODOWSKY. Tidak seperti Debussy yang mencerna Gamelan dengan nongkrong di expo budaya. Godowsky melakukan PENGEMBARAAN. Mengembara secara fisik dan juga spiritual Jadi, Godowsky melakukan traveling sambil bathin dan indra estetisnya mengeksplorasi bunyi-bunyi yang dia temui selama perjalanan dan persinggahannya.
Godowsky sendiri mengistilahkan lerjalanannya tak sekedar sebuah kunjungan. Bukan pula sebuah piknik. Pun bukan sebuah petualangan untuk memenuhi rasa ingin tahu. Tapi lebih mirip sebuah penjelajahan. Karena dirinya bukan sekedar melakukan rekreasi. Melainkan banyak relung pengalaman bathin yang ia dapatkan dan ia cecap serta ia olah.
Sebagaimana poster gambar, Godowsky mengistilahkan perjalanannya sebagai PHONORAMA. Yang bisa bermakna LANSKAP BEBUNYIAN. Dalam poster nampak ilustrasi tempat- tempat yang dikunjunginya. Banyak negara, banyak bangsa, banyak suku, banyak bebunyian etnis. Dan salah satu yang tercantum dalam posternya adalah Jawa.
Peta yang ditandainya menunjukkan bahwa Godowsky melakukan penjelajahan pada semua kota budaya penting di Pulau Jawa. Di kota yang ditandai dengan nomor, disitulah ilham tentang karyanya. Termaktub dalam sebuah terbutan musik yang bertitel JAVA SUITE. Atau Suita tentang Jawa. Forma Suita ia pakai.
Untuk menunjukkan adanya UNITY IN DIVERSITY. Keragaman dalam sebuah kesatuan. JAVA SUITE terdiri dari 12 komposisi. 8 komposisi bertautan dengan kota, tempat, bangunan dan alam. 4 lainnya bertautan dengan kegiatan dan event. Terbit perdana pada 1925, Aslinya Java Suite dilengkapi dengan catatan Godowsky tentang kesan pan persepsinya terhadap Jawa, dan bebunyian Jawa.
The Island of Java, called “The Garden of the East,” with a population of close to forty million, is the most densely inhabited island in the world. It has a tropical, luxuriant vegetation; marvelous scenery and picturesque inhabitants; huge volcanoes, active and extinct; majestic ruins and imposing monuments of many centuries past…It was, however, the native music of the Javanese, in the heart of Java, at Djokja and Solo that made the most profound impression on me.
Berikut dua analisa sederhana tentang Java Suite. Fokus perhatiannya adalah: Bahwa sebagaimana Debussy dan Ravel, mengeksplorasi gamelan tidak selamanya selalu harus berbunyi seperti laras Gamelan. Yang tersamar tersirat terbuka sedikit sedikit justru acapkali lebih indah, lebih merangsang dan lebih menggairahkan.
GAMELAN
Marka temponya adalah Moderato atau sedang sedang saja kecepatannya. Kemudian ada Languido atau seperti orang bertutur. Sampai keadaan ini jelas bahwa Godowsky mengandaikan bahwa para pianis penampil sudah tahu dan bahkan paham akan apa dan bagaimana Gamelan itu. Disinilah pentingnya mengapa saat belajar musik piano, orang harus belajar juga tentang musik history. Kemudian ada lagi istilah Dolcissimo a Tranquillo atau semanis mungkin dan tenang. Juga ada direksi permainan yakni una cordayang artinya dimainkan dengan menginjak pedal paling kiri, jika Anda menggunakan Grand Piano.
Karya ini sangat pas sebagai opening. Sebagaimana halnya Gamelan asli, selalu mulai denga sesuatu yang soft dan kalem saja. Untuk kemudian berangsur menjadi semakin kompleks. Sonoritas melalui pedal una corda diharapkan berimbang denga interpretasi si pianis untuk bertutur. Jadi karya ini adalah semacam “pintu gerbang” untuk menjadi Jawa. Sebuah dunia yang agung, adi, luhung, suci, wangi dan manja namun tetap memiliki mistis dan misterinya yang tak terhalang waktu. |
WAYANG PURWA
Anggaplah pembaca yang budiman sudah fasih memainkan potongan score tersebut. Akan terdengar jelas bahwa tak ada sedikitpun bunyi yang terasosiasi pada Gamelan Jawa. Bahkan iatonis (7 nada) yang dirangkai naik dan turun, kesannya seperti melody dongeng atau story teller pada adegan kisah-kisah dalam budaya Eropa. Trus……. Dimana Gamelannya tuh? Lanskap kompositorisnya, coba anda sedikit simak, selalu berbentuk frase yang diakhiri dengan Cadence. Ini adalah ciri khas Gamelan Jawa. Yang disebut dengan GONGAN. Idiomatik inilah yang dicecap dan dituang Godowsky dalam Tonal Journey Java Suite nya.
Sebagai akhirul kata, ingin disampaikan disini beberapa hal: |
- G is stand for Godowsky dan Gamelan. Kenapa G bisa bermakna dua begitu? Karena Godowsky melakukan pergumulan dengan Gamelan, melalui sebuah cara yang tidak biasa. Yakni sebuah PHONORAMA alias Panorama dalam wujud Tonal Journey atau penjelajahan bebunyian.
- Sebagaimana Debussy dan Ravel, Godowsky sangat terlalu pandai dan hebat. Jika hanya membuat komposisi yang ada nada nada pentatone Gamelan. Godowsky bukan komposer KITSCH. Godowsky adalah paparan impressi dalam penjelajahan jiwa dan raga.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.