Friday 1 November 2019

SENSOR TERHADAP MUSIK, by: Michael Gunadi | Staccato, November 2019

“SENSOR TERHADAP MUSIK”
by: Michael Gunadi
Staccato, November 2019


Awal 2019 ini ditandai dengan tindakan KPID JAWA BARAT yang melakukan pindah tayang terhadap belasan lagu dan video klip dari sejumlah artis barat. Pindah tayang tersebut dilakukan dengan cara memindahkan penyiaran dari regular prime time menjadi nightshift prime time. 

Alasannya adalah bahwa belasan lagu dan video klip barat tersebut mengandung konten yang tidak pas bagi anak-anak dan remaja yang belum 17 tahun. Karena mengandung secara implisit maupun eksplisit provokasi tindakan seksual. Langkah KPID JABAR ini sebetulnya BUKAN SEBUAH TINDAKAN SENSOR. Tidak ada materi lagu dan klip video yang diedit bagi tujuan tertentu. Murni hanya pergeseran jam tayang semata.

Meski bukan tindakan penyensoran, apa yang dilakukan KPID JAWA BARAT tersebut mendapat reaksi keras dan hebat dari berbagai lapisan masyarakat. Dan seperti kebiasaan yang lazim, tanggapan masyarakat tersebut disampaikan melalui sosial media. Sebuah sarana yang cepat sekali penyebarannya dan hampir mustahil untuk dibendung dan diklarifikasi. 



Umumnya, beberapa kelompok dan anggota masyarakat merasa dan berpendapat bahwa apa yang dilakukan KPID JABAR adalah sebuah tindakan sensor. Sebuah pembatasan ungkap rasa budaya. Terlalu ikut campur dalam ranah publik yang semi privat. Pengebirian kebebasan. Sampai pada ungkapan yang kurang enak bahwa ada maksud dan tujuan politis atas tindakan KPID JABAR. 

Apa yang dilakukan KPID JABAR memang menyisakan banyak masalah. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tindakannya bukanlah sebuah kegiatan sensor kesenian. Bukan sebuah kegiatan sensor musik. Hal yang lebih menarik lagi adalah: MENGAPA BANYAK ORANG SELALU MENGKAIKAN SENSOR MUSIK DENGAN PENGEKANGAN DAN PEMBATASAN KEBEBASAN BEREKSPRESI ?

Secara sederhana, dapatlah diberi batasan, bahwa sensor terhadap musik adalah sebuah kegiatan mengedit musik untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Wujudnya bisa berupa pemotongan beberapa adegan klip film/video, sampai pada pelarangan total untuk tayang dan putar. Sensor terhadap musik ini sudah lama ada dan bukan semata-mata sebuah perwujudan sikap represif. 


Meski tentu tak dapat dipungkiri bahwa memang ada dan acapkali terjadi, sensor musik yang terjadi atas perkembangan sikap represif sebuah rezim maupun komunitas. Namun secara garis besar, sensor terhadap musik memiliki tujuan yang sebetulnya baik. Yakni menyelamatkan sebuah golongan dari intervensi kesenian yang tidak pas ataupun belum saatnya dikonsumsi. Sensor terhadap musik, bisa dilakukan dengan berpayung hukum. Oleh negara. Bisa bersifat menyeluruh maupun menyangkut sebuah teritorial saja. Sensor musik juga bisa dilakukan secara mandiri. Oleh sebuah kelompok dan/atau organisasi tertentu. Apapun tujuan dan kepentingannya.

Saat Perang Dunia II berlangsung, Menteri Propaganda Nazi yakni Josef Goebels melakukan sensor terhadap musik. Hanya musik karya Beethoven dan Richard Wagner saja yang dianggap sebagai musik seni. Musik lain yang boleh mengalun adalah nyanyian dengan syair propaganda untuk membangkitkan semangat perang. Sensor ini dilakukan dengan tujuan agar otak warga Jerman saat itu, terkondisi dengan arah dan asupan propaganda rezim Nazi untuk melanggengkan penguasaan jazirah Eropa. 


Namun tidak semua peperangan dan penjajahan disertai penyensoran terhadap musik. Di tanah air kita misalnya. Saat dijajah Belanda, Belanda sama sekali tidak pernah melakukan sensor terhadap musik tradisional. Itulah mengapa misi misi perjuangan bangsa Indonesia, kerapkali disampaikan secara terselubung melalui nyanyian nyanyian dan pertunjukan musik tradisional. 

Contohnya adalah kesenian Balo-Balo dari kota Tegal Jawa Tengah. Saat jaman penjajahan Jepang pun, karya komposer nasional, sejauh itu tidak mengkritik penguasa Jepang, tetap dibiarkan berkumandang. Hasilnya adalah Lagu Bengawan Solo karya Gesang menjadi lagu favorit para serdadu Jepang, bahkan sampai ketika penjajahan usai dan mereka pulang ke negaranya.

Jika anda adalah penggemar Musik Klasik, anda tentu pernah mendengar nama Igor Stravinsky. Komposer ini pernah menjadi korban sensor terhadap musik. Anehnya, sensor terhadap musik tersebut tidak dan sama sekali bukan dilakukan oleh sebuah otorita pemerintahan. Melainkan oleh kalangan masyarakat peduli seni. Karya Stravinsky yakni RITE OF SPRING.

Pada saat pertunjukan perdana, diwarnai situasi kacau balau lempar lemparan kursi. Gara-gara sebagian penonton yang hadir melakukan sensor. Sensornya memang sudah teramat jauh. Yakni bukan menghendaki editing musik, namun menolak dengan cara mencemooh. Tindakan tersebut direspon oleh kelompok penonton yang lain, yang saat itu merasa penasaran dengan karya komposisi Stravinsky.


Hal yang dialami Stravinsky, sebetulnya masih tetap berlangsung dan berlaku sampai sekarang. Sensor terhadap musik yang dilakukan oleh non otoritas kekuasaan. Di Indonesia, banyak bahkan teramat banyak artis, terutama artis musik Dangdut, yang dikenai sensor berupa larangan tampil oleh kelompok masyarakat tertentu. Dengan alasan bahwa aksi panggung dan syair lagunya membangkitkan napsu seksual yang tidak pada porsinya. 

Pertunjukan Underground Music juga telah disensor oleh komunitas komunitas sosial I tanah air. Hanya tersisa beberapa kota saja di Indonesia yang masyarakatnya masih permisif untuk pertunjukan musik Underground. Alasan penyensoran adalah gaya hidup, aksi panggung, spirit musik yang mengusung kebersamaan solidaritas dalam bentuk gang yang rawan tindakan kriminal, kekerasan, dan pola hidup yang freedom to be free.

Sepanjang sejarah perkembangan kesenian, khususnya seni musik, dan terutama di negara kita, sering dan masih berlangsung hingga kini, adanya anggapan. Bahwa sensor terhadap musik adalah sebuah pengekangan kebebasan berekspresi. Dan, anehnya, yang selalu menjadi tolok ukur kebebasan itu adalah Amerika Serikat. Padahal, sejatinya, jika kita memang benar-benar pernah hidup di Amerika Serikat kita akan tahu dan tentu mengalami. USA tak pernah luput dari sensor. 


Bahkan sensor di USA sejatinya termasuk amat sangat luar biasa ketat. Bahkan artis-artis ternama terkenal dan legenda pun kena sensor. Di USA, sensor bisa dilakukan oleh Pemerintah Federal maupun oleh kelompok masyarakat. Yang tentu, jika dilakukan oleh kelompok masyarakat sifatnya adalah lokal belaka. Berikut saya muat peristiwa sensor terhadap musik yang terjadi di Amerika Serikat/USA. Saya yakin anda akan tercengang.
  • Tahun 1956, semua lagu dan penampilan Nat King Cole di sensor berupa larangan putar dan tampil. Karena kelompok rasis anti kulit hitam keberatan ada orang Negro menjadi megastar musik.
  • Tahun 1957 Elvis Presley kena sensor gara-gara bikin potongan film yang memperlihatkan ia bermesraan dengan gadis yang masih remaja
  • Tahun 1966 The Beatles di sensor berupa tindakan pelarangan putar dan tampil. Gara gara John Lennon mengatakan bahwa The Beatles lebih tenar dibanding Tuhan Yesus.
  • Tahun 1967 sensor terhadap Rolling Stone dan The Doors, Band yang dimotori Jim Morrison, manusia dengan anatomi tubuh paling sempurna. Gara-gara kedua Band legendaris tersebut mengkritik kebijakan pemerintah USA dalam hal perdamaian internasional
  • Tahun 1981 Olivia Newton John disensor gara-gara dalam satu video klip ia tampil dengan baju senam
  • Tahun 2017 semua stasiun radio di negara bagian Texas, melarang semua al yang berbau dan berhubungan dengan artis pop Diva legendaris Madonna. Hanya karena Madonna mengkritik pemerintah negara bagian Texas tentang hak kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat.



Sesungguhnya menjadi menarik untuk sedikit mengetahui sekilas contoh dari beberapa negara yang menerapkan sensor terhadap musik. Di Australia, sensor terhadap musik dilakukan oleh AUSTRALIAN RECORDING INDUSTRY ASSOCIATION. Semua musik yang bersyair dan juga video clip, dibagi menjadi 3 level. Level 1 adalah musik dan clip yang moderate impact. 

Level ini sudah ada materi sex dan kekerasan namun oleh para pakar di sana masih dikategorikan akan berdampak rendah saja. Level 2 adalah Strong Impact. Dan level 3 adalah High Impact. Di level ini, musik dan clip mengalami sensor berupa editing dan cutting, dan akses masyarakat terhadap konten di level ini sangat dibatasi. Termasuk dalam level ini adalah syair lagu dan clip yang secara vulgar mengeksploitasi child abuse. Merangsang bunuh diri. Kekerasan seks ekstrem. Persetubuhan sedarah dan beastiality.

Di beberapa negara, sensor terhadap musik dikaitkan dengan kebijakan dan iklim politik. Cina dalam masa revolusi kebudayaan, semua produk musik barat dilarang. Belakangan, ketika Cina mulai menerapkan dua sistem tata negara secara simultan, sensor terhadap musik budaya barat sangat longgar. Terutama musik klasik. Iran, meski sangat bercorak religius, semenjak era Presiden Ahmadinejad, sudah mulai terbuka bagi produk musik pop hasil industri Amerika dan Eropa. 

Malaysia, masih menerapkan sensor sangat ketat. Di Malaysia, seni benar-benar diatur oleh rambu rambu religius. Lain lagi dengan Israel. Israel sangat trauma dengan apa yang dilakukan Nazi Hitler terhadap Yahudi. Makanya Israel melarang semua karya Wagner yang identik dengan filosofi Nazi Hitler. Anehnya, Israel tak pernah melarang karya Beethoven. Meski Beethoven adalah pujaan Adolph Hitler.

Ada hal lain yang menarik tentang sensor terhadap musik, jika kita menilik keadaan di tanah air kita.Di era Presiden Soekarno, Koes Plus pernah dipenjarakan gara-gara syair dan gaya musiknya ngak ngik ngok cengeng dan tak sesuai dengan semangat perjuangan masa itu. Di era Presiden Soeharto, Iwan Fals dan Setiawan Djody tetap leluasa melempar kritik sosial. Di era reformasi, Musik Pop yang sarat kritik sosial malahan diberi tempat khusus. Komite Pemberantasan Korupsi atau KPK, semasa di bawah pimpinan Antasari Azhar, pernah mengundang SLANK untuk menyanyikan lagu-lagu anti korupsi dan pentas besar besaran di depan gedung KPK.


Di tahun 2019mulai marak beredar anggapan-anggapan. Seolah olah bahwa sensor terhadap musik itu adalah pemasungan kreativitas. Dari contoh dan paparan panjang lebar yang telah diutarakan dalam artikel ini, mestinya kita bisa dengan lebih bijak menyikapi sensor terhadap musik.
  • Bahwa sensor terhadap musik sudah berupa kenyataan dan berkembang serta terus berkembang sejalan dengan perkembangan musik itu sendiri
  • Bahwa semua negara di dunia menerapkan sensor terhadap musik
  • Sensor terhadap musik memang dalam kenyataannya tidak dapat dipisahkan dari haluan politik
  • Sensor terhadap musik tidak sama dengan pemasungan kreativitas. Sensor terhadap musik bukan pula sebuah sikap anti kritik. Tentu sejauh kritik itu dilontarkan bukan dengan cara ad hominem dan ad persona.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.