By: Michael Gunadi
BERBICARA TANPA KATA
Ada ungkapan yang sangat terkenal tentang musik. Bunyinya begini: Saat kata tak mampu mengungkap makna, saatnyalah musik berbicara. Jika kita cermati, ungkapan tersebut menyiratkan kemampuan yang luar biasa dari musik. Musik memiliki kemampuan luar biasa yakni dapat berbicara tentang makna, saat kata-kata, yang adalah bahasa verbal, sudah sampai pada batas kemampuannya.
Di satu sisi, musik memang sangat luar biasa. Musik dapat membahasakan dirinya sendiri. Sayangnya, meski berkemampuan luar biasa dalam mengungkap makna, musik adalah bahasa simbol. Dengan demikian, bahasa yang diverbalkan musik, mutlak membutuhkan tafsir. Nah, di titik inilah semilyar bahkan setrilyun persoalan muncul. Karena menafsir simbolisme bahasa musik, bisa memiliki ber-biliun pernyataan dan atas nama seni, semuanya selalu dan selalu bahkan selalu benar.
Itulah sebabnya, ranah Performance musik senantiasa membutuhkan komunikasi. Bahasa musik yang berupa simbol, perlu dikomunikasikan. Agar penyaji dan penikmat berada dalam satu kesamaan daya cecap terhadap nuansa rasa. Tanpa komunikasi, bahasa musik bisa ditafsir dengan menggelikan, menjijikkan dan bahkan memuakkan.
Kita tentu telah berulang kali menyaksikan bagaimana seorang penyanyi tersenyum-senyum dan tetap menggoyangkan badan secara berirama, meski lagu yang dibawakannya berkisah tentang kesedihan dan putus asa yang luar biasa. Atau juga penyanyi dengan raut wajah yang datar dan tatap mata kosong ketika menyanyikan lagu ceria dan penuh rasa bangga. Lebih jauh daripada itu, seorang instrumentalis bisa saja membawakan sajian musik secara baik dan benar, namun hadirin penikmat sama sekali tak merasakan apapun malahan berharap agar sajian musiknya cepat selesai.
DEFINISI KOMUNIKASI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Komunikasi memiliki arti: Pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Mari kita tinjau sejenak bagaimana batasan leksikal ini dialami oleh pertunjukan musik.
- Komunikasi musik adalah Pengiriman. Dengan demikian, dapatlah diberi pemahaman bahwa penyaji musik, siapapun dan apapun musik nya serta sebagaimanapun teknik bermusiknya, adalah kurir. Penyaji musik adalah pengirim. Ia adalah ekspeditur pesan seni.
- Komunikasi musik adalah Penerimaan. Hadiri Penikmat adalah penerima. Sebagaimana layaknya penerima ekspeditur, reaksi penerima bisa sangat beragam. Bisa teramat sangat puas, bisa biasa saja ataupun bisa kecewa, sangat kecewa dan bahkan malahan bisa menjadi marah sampai murka. Hadirin pada konser Diva dan/atau megastar bisa teramat sangat puas. Hadirin dalam sebuah konser siswa yang tak terorganized dengan layak dapat saja tak merasakan apapun. Hadirin dalam sebuah konser maestro yang sudah uzur, berpenyakitan dan main salah salah sampai berhenti, bisa merasa sangat kecewa. Hadirin juga bisa merasa sangat kesal dan marah manakala musik yang biasanya hadir dengan begini, saat itu hadir dengan BEGITU. Antara begini dan begitu bisa menimbulkan gesekan estetis yang muaranya adalah kemarahan.
- Pesan antara dua orang atau lebih. Jadi sebagaimana layaknya dalam ranah verbal, komunikasi musik dapat bersifat sangat privat. Hanya antar dua orang. Penyaji dan penikmat. Bisa juga berupa pesan yang disampaikan kepada khalayak. Tentu dua hal ini membutuhkan persiapan, teknik, cara pendekatan, dan keberuntungan yang berbeda.
- Pesan yang dimaksud dapat dipahami. Musik adalah bahasa simbolik. Tak mungkin dan bahkan memang tak perlu untuk memahami musik seperti dalam bahwa surat kabar atau situs berita. Pemahaman musik berupa rasa yang dicecap, baik oleh hadirin penikmat maupun rasa yang dialami oleh si penyajinya. Tidak pernah ada pengharapan akan adanya kesamaan persepsi tafsir pesan lewat musik. Esensinya terletak pada rasa yang dikehendaki dan mampu dicecap. Tentu sangat subyektif bahkan musykil. Namun memang seperti itulah jika komunikasi ditarik dalam ranah berkesenian.
CARA MENGKOMUNIKASIKAN MUSIK
Ada banyak cara untuk mengkomunikasikan musik. Jika penyajinya memiliki teknik bermusik dan penguasaan kejiwaan khalayak, ia bisa langsung main tanpa harus berbasi-basi. Jika ia kurang percaya diri, ia bisa saja mengawali penyajian musiknya dengan sedikit memberi pengantar dengan berkata-kata. Hal seperti ini sudah sangat banyak dilakukan. Dan banyak pula yang ngelantur kehilangan arah, sehingga ocehannya malahan jauh lebih lama dibanding sajian musiknya.
1. BUKU PROGRAM
Untuk Musik Kontemporer, biasanya dilengkapi dengan buku program atau leaflet yang bisa dibaca sebelum pertunjukan dimulai. Hal ini sehubungan dengan ide musikal yang baru. Karena baru menjadi asing. Karena asing jadi tak dimengerti. Karena tak dimengerti jadi jelas tak dipahami. Beberapa pemusik melakukan tambahan slide, penari, pemain pantomim, atau bahkan sosok yang sekedar hadir di panggung, sebagai pendukung untuk penekanan pesan musiknya.
2. PHRASE & MOTIF
Sudah sejak lama, di pengajaran dan pendidikan musik, selalu ada analogi bahwa musik identik dengan bahasa verbal. Musik dipadankan dengan kalimat verbal. Itulah mengapa dalam musik dikenal adanya Phrase atau frasa. Dan frasa ini terdiri dari motif-motif yang dipadankan dengan unit terkecil dalam kalimat, yakni kata.
Orang diberi pelajaran agar tidak terputus-putus dalam memainkan frase musik. Karena jika terputus-putus, maka komunikasi makna akan juga terputus-putus. Orang juga diberi pengenalan tentang bagaimana motif disusun dan berinteraksi, agar dapat memahami keseluruhan struktur dan arah frase. Sebagaimana dalam bahasa verbal atau bahasa tutur, orang perlu memahami susunan dan rangkaian kata agar kalimatnya hadir dengan mulus dan tak berlepotan.
3. GAYA BAHASA
Komunikasi musik juga mengenal Gramatika atau tata bahasa. Mengenal idiom atau ungkapan. Dan juga retorika atau gaya penyampaian. Menikmati Musik Bach selalu berpegang pada tiga elemen tersebut. Bach memiliki retorika yang sangat khas. Gaya bahwa Musik Bach ini sudah paten dan menjadi ciri utamanya. Juga gramatik dan caranya menyajikan makna dengan ungkapan yang juga khas.
Orang selalu bersitegang, bagaimana memainkan musik Bach. Boleh gak pake pedal. Boleh gak ada dinamika meletup letup. Boleh gak dibuat seperti Chopin. Dalam komunikasi musikal, semua itu menjadi kurang penting. Bach adalah Idiom, Gramatik, dan Retoric. Sejauh tiga elemen tersebut sudah tersaji, anda berhak main Bach bahkan dengan memalu tuts piano.
Jacqueline du Pré & Daniel Barenboim
4. DINAMIKA
Sebagaimana komunikasi dalam bahasa verbal, musik juga mengenal dinamika. Orang marah umumnya bersuara keras. Sedih terisak nyaris tak terdengar.Musik pun demikian. MESKI TAK SELALU. Crescendo adalah gradasi klimaks. Decrescendo adalah penurunan klimaks. Transient dibangun sebagai ungkapan atensi khusus. Legato yang mengalun sebagai pertanda buaian dan alun kemesraan. Accacciatura dan appoggiatura sebagai lambang kegenitan dan kelincahan, meski juga bisa sebagai penanda konflik.
5. HARMONI
Tak cukup hanya berdinamika. Harmoni juga disusun sebagai sarana komunikasi dalam menyampaikan kesan dari pesan. Kluster dalam wilayah diskan mengisyaratkan kengerian dan rasa miris. Bass dalam interval kromatis mengisyaratkan penantian misterius dan bahkan aroma horor. Komposer seperti Olivier Messiaen malahan memberi warna pada harmoni. Warna yang betul-betul warna. Akor demikian dikatakannya BIRU, yang itu adalah MERAH. Sangat subyektif memang. Namun itu adalah satu upaya estetis yang luar biasa dalam menghadirkan sebuah bentuk wujud komunikasi.
Pada contoh dapat dilihat salah satu karya Olivier Messiaen yang menggunakan harmoni warna. Pada bar ke-1 adalah harmoni warna violet. Di bar ke-2 ada petunjuk bahwa harmoninya menjadi lebih violet dan kemudian menjadi oranye. Yang dilakukan Messiaen adalah sebuah konsep visualisasi harmoni. Sebuah material bunyi, yakni harmoni musik, di komunikasikan secara visual.
6. DRAMATURGI
Komunikasi seni musik memang sangat bergantung pada jenis sajian dan genre nya. Untuk penyanyi, karena musiknya sudah bersyair dengan kata, agak relatif lebih ringan bebannya dibanding dengan instrumentalis. Meski demikian, seorang singer mutlak perlu berteater. Membangun suasana dengan raut wajah dan gesture tubuh. Dalam musik tradisi seperti gamelan, komunikasi bisa menjadi lebih rumit dan kompleks. Untuk dapat menyampaikan rasa kepada penikmatnya, satu orkestra gamelan wajib mampu menyampaikan WIRASA atau TAKSU. Ranah musik budaya barat kurang menaruh perhatian pada hal-hal yang bersifat komunikasi spiritual dalam seni musik.
Daniel Barenboim & Martha Argerich
PENIKMAT AWAM
Hal yang agaknya menarik adalah bagaimana komunikasi musikal jika dilakukan terhadap penikmat yang sama sekali awam dalam seni musik. Seorang pianis jempolan yang pada suatu kesempatan harus main di perayaan ultah seorang pengusaha dengan relasi yang cuma modal tajir semata. Atau seorang musisi Jazz yang karena alasan persahabatan main di khalayak fans dangdut. Pada keadaan semacam ini, banyak hal yang kemudian dipertanyakan. Benarkah musik memang bersifat universal dalam arti bagi semua orang?
Misal si pianis tadi tetap nekad main Prokoviev. Yang terjadi pasti hadirin bertepuk tangan. Pasti itu. Tapi apa yang mereka cecap? Apa yang mereka cerna? Jangan jangan hanya decak kagum karena ada orang yang jari jemarinya bisa lincah dan cepat menekan bilah hitam putih. Ataupun seandainya si penyanyi Jazz nekat melantunkan Blusette. Para penggemar dangdut jelas akan bertepuk tangan. Tapi bisa jadi mereka bertepuk tangan karena heran kok ada orang bisa meliuk-liuk vokalnya secara gak karuan juntrungannya dan naik panggung selama lima menit lebih. Tak ada yang perlu terhina dengan keadaan semacam itu. Semaunya sah dan alami semata. Yang menjadi persoalan adalah, bahwa sampai di titik tersebut, komunikasi musik menjadi dipertanyakan.
Jadi tali simpulnya agaknya bahwa komunikasi seni musik sama rumitnya atau bahkan bisa lebih rumit dari komunikasi verbal. Tapi apapun itu, komunikasi musik adalah bentuk esensial dari karsa dan karya manusia dalam menapaki peradabannya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.