Tuesday 1 October 2019

BEBAS, by: Michael Gunadi | Staccato, October 2019

"BEBAS”
by: Michael Gunadi
(Staccato, October 2019)


KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT
Banyak, bahkan terlalu banyak orang yang senantiasa merindukan, mengupayakan dan tak hentinya menyuarakan apa yang dikenal sebagai BEBAS. BEBAS itu sendiri termasuk adjective atau kata sifat. Bentuk noun atau kata benda nya adalah KEBEBASAN. 

Yang paling banyak dibicarakan dan diperjuangkan dalam berbagai upaya adalah KEBEBASAN BERPIKIR DAN KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT. Kebebasan mengemukakan pendapat, termasuk di dalamnya adalah kebebasan berekspresi, kebebasan mengungkap rasa. Dengan demikian, SENI, dengan segala wujud material, mazhab dan apapun teorema serta praksisnya, termasuk dalam ranah kebebasan MENGEMUKAKAN PENDAPAT. 

Sudah sejak dahulu, kebebasan mengemukakan pendapat, termasuk kebebasan berekspresi dalam RANAH SENI, menjadi topik diskusi yang tak kunjung selesai. Para filsuf mulai dari Aristoteles sampai Kierkegaard, Susanne K. Langer, membuat pemikiran permenungan cemerlang tentang kebebasan semacam ini. Dalam praksis, banyak upaya sudah digelar. Dari mulai Festival, unjuk rasa jalanan, diskusi yang berpolemik tak berujung, sampai pada perlawanan ekstrem. Pokok masalahnya sebetulnya selalu sama; APA DAN BAGAIMANA SEBETULNYA KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT DALAM RANAH SENI.



Artikel ini tentu saja bukanlah sebuah permenungan filsafat. Artikel ini hanya mengajak Anda semua untuk sejenak berhenti. Merenung dan mempermenungkan permasalahan tersebut. Untuk apa? Agar kita, sebagai manusia, menjadi semakin paham akan hakikat kemanusiaan kita. Dan tidak terjebak oleh ketololan dan bahkan kekoplokan yang mengatas namakan kebebasan seni.



MAKNA KATA BEBAS
Kita akan lihat terlebih dahulu, apa sebetulnya makna kata BEBAS. Menurut Kamus istilah MIRIAM WEBSTER, yang paling banyak dijadikan rujukan ilmiah maupun popular, BEBAS adalah sebuah kata sifat, yang makna utamanya adalah: tidak dibawah kendali atau kuasa dari pihak lain. Kemampuan untuk melakukan kehendak pribadi. Dari definisi tersebut kita akan mencoba menelisik lebih dalam. Bahan telisik kita tentu saja adalah SENI MUSIK.

PLAY BY THE RULES
Dahulu kala, Seni Musik tumbuh dan berkembang dengan aturan dan norma yang sangat ketat. Luigi Palestrina membuat MISA ORANG ORANGAN MAINAN, sepenuhnya mematuhi hukum dan norma harmoni serta komposisi yang berlaku saat itu. Komposer musik, akan mendapat sangsi sosial sangat parah jika berani melakukan penyimpangan norma atas nama kebebasan. Kenapa? Karena waktu itu, dunia dan peradaban sangat kental diwarnai adagium. Bahwa manusia memperoleh kemanusian hanyalah jika ia mengabdi sepenuhnya pada hukum Sang Khaliq.

NORMA DALAM MUSIK
Yang menjadi persoalan adalah: Apakah wujud dari Hukum Sang Khaliq bisa disederhanakan dalam sebuah tatanan hukum, aturan, norma komposisi musik? Hal ini sebetulnya sangat lucu dan menggelikan. Johann Sebastian Bach, menyadari kelucuan dan kekonyolan adagium tersebut. Bach membuat terobosan. Bahkan GEBRAKAN. Dengan cara sangat jenius, Bach menyelipkan KEBEBASAN DALAM KETATNYA HUKUM, ATURAN, DAN NORMA. Hasilnya adalah FUGA. Karya Fuga Bach sangat luar biasa. Abadi. Salah satunya adalah karena Bach berhasil menyelipkan kehendak pribadinya dalam tata norma yang ketat.



KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM MUSIK
Pada era Romantik, bentuk kebebasan ekspresi seni musik dan musik seni mengalami perkembangan yang cukup berarti. Beethoven melakukan pendobrakan BENTUK SONATA. Sonata Haydn menjadi kuno, jadoel, tak menarik, dan sama sekali tak ada rasa bebas jika dibanding seri Sonata karya Beethoven. Kemudian ada si jenius Mozart. Mozart memporak-porandakan segala ketaatan kaku akan hukum, aturan, dan norma musik. Bagi Mozart, musik benar-benar adalah mainan kreatif. Semua ide kreatif nya dia mainkan dan permainkan dalam karya dan ketrampilan bermusik. Termasuk ungkapan fantasi seksual nya yang aneh, liar, dan membingungkan.

Beethoven dan Mozart tentu tidak sendiri. Ada Chopin. Chopin ini aneh dan sangat lucu. Ia diam tapi bertenaga. Hening, namun kesurupan. Musiknya sangat pianistik. Bagi Chopin, Bebas adalah Puisi Roman dalam bilah piano. Selain Chopin, jangan pernah lupa, ada Franz Liszt. Liszt memaknai kebebasan bermusik dengan membawa musik serius pada ranah hiburan seni yang mampu membangkitkan keliaran bahkan histeria penonton. 

Nicolo Paganini

Di sudut yang lain, yang hitam gelap dan dipenuhi aura magis, berdiri dengan menyeramkan, NICOLO PAGANINI. Bagi Paganini, kebebasan seni adalah virtuositas yang luar biasa. Sedemikian hebat teknik main biolin dari Paganini ini, sampai banyak isu dan rumor bahwa Paganini adalah jelmaan Lucifer. Ingat, Lucifer atau Sang Malaikat Setan, adalah pemusik terbaik yang pernah diciptakan Sang Maha Kuasa.

Upaya Bach, Beethoven, Mozart, Chopin, Liszt, Paganini dan para koleganya, rupanya masih belum cukup bagi peradaban manusia. Setelah Era Romantik, muncul geralak L’Art pour l’artAtau Seni untuk SeniSebuah gerakan yang menghendaki adanya kebebasan seni secara ekstrem. Sebetulnya, gerakan ini pada awalnya adalah gerakan dalam ranah seni lukis dan seni rupa. Namun seni musik terkena imbasnya juga. 

Gerakan ini menganggap bahwa Seni hendaknya dipandang, dimaknai, ditafsir dalam kerangka seni. Seni tidak boleh dikooptasi atau terkooptasi oleh apapun. Termasuk moral. Hasilnya adalah produk kesenian yang luar biasa liar. Ketelanjangan diekspose secara terang-terangan. Persetubuhan menjadi obyek seni. Perilaku seks menyimpang menjadi performansi pertunjukan. Sampai di sini sebetulnya pengaruhnya tidak begitu banyak terhadap Seni Musik.

SERIALISM

MUSIK ABAD KE-20
Pada abad ke-20, musik memperoleh kebebasan baru. Arnold Schoenberg memperkenalkan konsep DUODEKATONIK. Tangganada 12 nada. Hal ini memporak-porandakan konsep tangganada diatonik yang seketika terasa seperti obyek yang harus dipandang dengan kernyitan dahi. Kemudian Olivier Messiaen mengemukakan teori SERIALISME. Musik adalah aturan numerik. Dilengkapi juga dengan konsep Harmoni berkelir. 

Pierre Boulez memperbaharui konsep ini, meski ia sempat mengejek konsep Messiaen yang dikatakannya sebagai akan segera uzur termakan jaman. Ianis Xenakis dengan musik keteraturan semesta. Karl Heinz Stockhausen dengan musik berbunyi dari sumber listrik. Ada Musique Concrete dari bunyi alam secara nyata. Hal hal yang tentu belukm pernah dipikirkan bahwkan oleh seorang jenius seperti Bach dan Beethoven.



Saat invasi Amerika ke Vietnam, kebebasan mengemukakan pendapat, mendapat makna baru. Banyak orang kemudian merenung dan mempermenungkan kebebasan. Yang saat itu seperti terkurung dan tercabik oleh WAJIB MILITER atas nama invasi yang juntrungannya kian tidak jelas. Rasa gundah gulana tersebut kemudian terakumulasi. Dalam sebuah festival yang sangat terkenal dan legendaris. THE WOODSTOCK FESTIVAL. 

Festival Woodstock ini sekaligus juga merupakan tonggak baru makna ungkapan kebebasan melalui seni musik. Bermunculan banyak megastar seperti Dewa Gitar Jimmi Hendrix. Muncul aliran dan gaya hidup yang kemudian dikenal sebagai KAUM HIPPIES. Slogan slogan bermunculan. Diantaranya adalah FREDOM TO BE FREE alias BEBAS SEBEBAS-BEBASNYA. Bahkan festival Woodstock memunculkan sebuah generasi baru. Yakni GENERASI BUNGA atau Flower Generation. Dalam ranah Musik Jazz, Miles Davis dan kawan-kawan mengemukakan konsep baru. Yakni Free Jazz. Dalam Free Jazz, bentuk musik, progresi harmoni, pendekatan musikal, elemen elemen musikal, semuanya Keluar dari pakem Jazz yang baku.



Dari rangkaian kisah panjang tersebut, ada beberapa simpul benang merah yang bisa kita jadikan pemaknaan dan pemahaman makna BEBAS dalam batasan ranah kebebasan mengemukakan pendapat melalui Seni Musik.
  • Aneh. Musik seringkali dijadikan wahana, sarana, media mengungkap kebebasan. Namun sebetulnya, musik itu sendiri tak pernah bebas sepenuhnya. Dalam Free Jazz, orang masih menggunakan kaidah tonalitas. Musik Avant Garde bahkan Musik Kontemporer paling ekstrem sekalipun, masih memiliki batasan kebebasan. Yakni dalam esensinya tidak bisa terlepas dari BUNYI sebagai materi musik. Sebuah ironi yang konyol, lucu, namun menarik.
  • Membingungkan. Berbagai genre musik bermunculan demi mengatas namakan kebebasan. Dalam beberapa saat genre ini benar-benar bisa bebas mandiri. Namun tidak lama. Karena akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, genre musik akan didikte dan terdikte oleh kemauan pihak pihak yang berkompeten mementaskannya sebagai sebuah pertunjukan. Tanpa campur tangan pihak-pihak tersebut, ide dan idealisme kebebasan dan ungkapan rasa bebas akan menjadi tergerus dan terkubur dengan sendirinya.
Dari dua stressing point tersebut, sebetulnya, yang menjadi persoalan klasik adalah, BATASAN KEBEBASAN MENGUNGKAP PENDAPAT MELALUI MUSIK. Jelas bahwa kebebasan memiliki batas. Tak ada kebebasan mutlak. Apa batasnya? Karena masalah batas atau boundaries inilah yang bisa bikin kisruh dan perpecahan yang bisa kian rumit seperti benang kusut.Untuk itu, ada baiknya selintas kita tengok paparan fakta berikut ini.



Amerika Serikat sudah lama menjadi IKON KEBEBASAN. Ada yang namanya FIRST AMANDMENT. Isinya: Freedom of speech. Meski menggunakan istilah speech mohon tidak diartikan sebagai kebebasan BICARA. Namun kebebasan mengemukakan pendapat. TERMASUK DALAM HAL SENI.

Belakangan First Amandment melalui jajak pendapat, mengalami perubahan. Saya beri contoh.Industri pornografi diberi aturan ketat sehingga akhirnya bangkrut dan tutup. Orang menunjukkan konten pornografi pada orang/kalangan yang gak suka, bisa didenda dan dipenjara dengan berat. Pertunjukan kesenian yang mengekspos ketelanjangan, bisa dihentikan dan pelakunya didenda dan dipenjara, jika ada laporan gangguan dari lingkungan.

Apa artinya? 
BAHWA SEBETULNYA BAHKAN DI USA PUN SUDAH TIDAK ADA LAGI KEBEBASAN SENI. Tidak ada lagi L’art pour l’art. Tidak ada lagi Freedom to be Free. Kebebasan seni MASIH ADA, namun BERBATAS. Jadi Persoalannya: Dengan berkaca pada USA sebagai ikon kebebasan, yang kita perlukan adalah MENCARI RUMUSAN BATAS KEBEBASAN.

Opsinya hanya dua:
1. Batasannya adalah kebebasan another person. 
Syarat untuk ini adalah bahwa HUKUM HARUS PASTI DAN TIDAK PANDANG BULU.

2. Diserahkan pada ranah normatif religius. 
Yang ini resikonya BESAR dan ongkosnya bakalan mahal banget. Karena hal sedemikian bisa sampai pada batas IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA yang dipertaruhkan.

Lalu, jika kita seniman, khususnya pemusik, apa yang bisa kita lakukan? 
Nyaris TIDAK ADA. Kita hanya bisa meningkatkan keahlian seni kita, supaya kreatifitas kita itu TERSAMPAIKAN MISINYA TANPA MENGGANGGU kebebasan orang lain.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.