by: Michael Gunadi
(Staccato, June 2019)
Sebagai sebuah bentuk seni, musik, sebagaimana seni sastra, acapkali mengalami pembungkaman. Musik dibungkam. Dengan sebab musabab yang jelas, dengan prasangka, maupun dengan sebab dan musabab yang sama sekali tak jelas dan tak masuk akal. Pembungkaman tersebut, pada kenyataannya tak pernah dapat memupuskan musik. Keindahan musik tetap indah dan tetap mengalir meski dibungkam. Dibungkam pun bukan berarti komposernya hilang lenyap punah. Malahan, musibah dibungkam dapat melambungkan popularitas dan bahkan “membangkitkan kembali“ sosok komposer yang sudah tiada. Bagaimana fenomena sedemikian bisa terjadi?
LATAR BELAKANG PERANG DUNIA II
Kita akan awali kisah dibungkam ini dengan berkelana pada jaman PERANG DUNIA II. Adolf Hitler. Dengan partai Nazional Socialismus atau NAZI. Hitler memicu perang dunia dengan propaganda. Propaganda bahwa ras Aria yang adalah ras asli Jerman, tercemari oleh anasir-anasir laknat dan durjana. Dimulailah proses purifikasi Ras Aria. Semua yang berbau dan bernuansa serta bercita rasa Jerman, dikedepankan. Dan dicarilah kambing hitam untuk si anasir najis yang laknat dan durjana, yakni Bangsa Yahudi.
Jadi ada dua entitas dialogisme sebetulnya. PURIFIKASI DAN KAMBING HITAM. Musik, tak luput dalam kegiatan propaganda. Menteri propaganda Josef Gobel, dengan seijin dan konsep dari Adolf Hitler, membuat maklumat. Bahwa hanya ada tiga komposer yang benar-benar Jerman, yakni: BACH, BEETHOVEN, dan RICHARD WAGNER.
Karya ketiga komposer ini diagungkan, dijunjung teramat sangat tinggi dan dijadikan bahan propaganda purifikasi yang sungguh sangat ampuh. Namun dalam perjalanannya, propaganda terhadap karya musik dari Bach, menemui hambatan serius. Ternyata, orang yang mempopulerkan karya Bach adalah Felix Mendelssohn Bartholdy yang adalah YAHUDI.
Dan memang benar. Tanpa jasa dari Felix Mendelssohn, dunia, termasuk kita, tidak akan pernah mengenal Johann Sebastian Bach dengan karya musiknya yang sungguh hebat tak terperikan dan tak terkatakan serta tak terlukiskan. Tidak seperti Beethoven, Mozart dan umumnya komposer yang miskin melarat kere dan berkelainan jiwa.
LATAR BELAKANG MENDELSSOHN
Mendelssohn adalah orang kaya. Keluarganya adalah Bankir tajir melintir. Pendidikannya sangat baik. Sopan santun, adab dan pembawaan social nya pun berkelas bangsawan. Meski sejatinya Mendelssohn adalah sosok yang juga mendambakan kebebasan sosial. Dengan kekayaannya, dengan uang nya yang berjibun, Mendelssohn mengumoulkan catatan karya Bach yang berceceran. Ia sunting, ia kompilasi. Ia bukukan. Ia edit. Ia baharui. Dan ia terbitkan. Tanpa jasa Mendelssohn dunia musik mungkin akan tetap primitif. Tidak hanya urusan dokumentasi karya Bach. Mendelssohn juga melakukan upaya besar terhadap karya Bach. Berikut nukilan dari Majalah Newsweek pada kolom budaya.
PAGELARAN BACH’S ST. MATTHEW PASSION
Saat usianya baru 20 tahun, Mendelssohn mengadakan pagelaran di Berlin. Tahun 1829. Karya yang dipentaskan adalah Bach’s St. Matthew Passion atau Kisah sengsara Yesus menurut Injil Matius, karya Bach. Pagelaran tersebut dihadiri oleh Hegel, yang saat itu adalah seorang filsuf masyhur. Heinrich Heine, sastrawan terkemuka. Hadir juga Kaisar Prusia.
Saat itulah sebetulnya, muncul sebuah ikon nasionalisme. Sebuah karya musik, dalam hal ini karya Johann Sebastian Bach, dipagelarkan dengan mengusung spirit nasionalisme dan identitas Jerman yang begitu kental. Gaung peristiwa ini sampai ke masa propaganda jaman Hitler. Belakangan, barulah Hitler dan para pemimpin Nazi mengetahui, orang yang melakukan peristiwa fenomenal tersebut adalah Mendelssohn, dan ia adalah Yahudi.
Terjadilah keanehan. Patung Mendelssohn dirusak. Meski sempat di kemudian waktu, di restorasi kembali. Semua karya musik Mendelssohn DIBUNGKAM dan bahkan dibrangus. Jasa Mendelssohn dinafikan. Anehnya, Bach tetap digembar-gemborkan sebagai komposer ikon identitas Jerman.
MENDELSSOHN SEBAGAI KOMPOSER
Mendelssohn memang tidak setenar Bach, Beethoven, Mozart. Dikalangan pianis pun, Mendelssohn tidak setenar Chopin. Namun ada beberapa hal yang membuat Mendelssohn sebetulnya layak dijadikan panutan. Hal yang paling utama tentu saja adalah bahwa Mendelssohn termasuk komposer yang langka. Karena dia kaya. Berasal dari keluarga kaya raya dan berpendidikan sangat baik serta dari strata terpandang.
Beda dengan Bach yang pas pasan. Beethoven yang miskin. Mozart yang seringkali jadi biang kerok. Chopin yang stress dalam kesendiriannya. Bagi Mendelssohn, berkarya dalam bidang musik adalah semata dan hanya semata karena itu passionnya. Tak ada desakan ekonomi maupun hal hal non musikal.
A MIDSUMMER NIGHT’S DREAM
Karya paling terkemuka dari Mendelssohn adalah A MIDSUMMER NIGHT’S DREAM Shakespeare. Menurut seorang kritikus Belanda, Hendrik Andriessen, meski misalnya, Mendelssohn Cuma membuat musik ini doang, ia sudah pantas diharumkan nama dan karyanya. Musik tersebut adalah musikalisasi karya sastra William Shakespeare. Mendelssohn membuatnya saat berusia 17 tahun. Meskipun masih sangat remaja, karya tersebut benar-benar matang dan sangat dewasa. Perjalanan jaman pun seolah mengesahkan pendapat ini. Terbukti bahwa Dibungkam pun, Mendelssohn malahan menjadi lebih diagungkan.
A Midsummer night’s dream adalah sebuah overtura. Dan kejeniusan Mendelssohn nampak, karena karya ini seolah tak dipengaruhi oleh siapapun dan trend apapun yang berlaku saat itu. Overture ini, sebetulnya adalah penggambaran dongeng dari Drama karya Shakespeare. Mendelssohn menggambarkan nuansa dongeng dengan caranya sendiri. Kita tengok sejenak sekelumit ilustrasi musiknya:
Gambar adalah bagian pembukaan. Diawali hanya dua nada. E dan G#. Dua nada ini seolah menyodorkan teka-teki. Karena nada E dan G# bisa memiliki ambiguitas sebagaimana tafsir dongeng. Bisa E mayor maupun C# minor. Kemudian disusul akor Dominant yang jelas. Dan tiba tiba muncul akor A minor. Lompatan ini sangat tidak lazim pada tata harmoni baku di jaman Mendelssohn. Hal demikian seolah ingin menegaskan keberadaan sebuah dongeng. Yang tentu saja bisa sangat leluasa menembus segala tata kewajaran dan kebiasaan.
MENGAPA TERJADI PEMBUNGKAMAN?
Orang barangkali penasaran. Dan ingin membandingkan karya Mendelssohn dengan komposer lainnya. Dengan Beethoven misalnya. Jelas. Musik Beethoven tak pernah dibungkam. Karya Beethoven selalu dipengaruhi oleh weltschmerz atau keriuhan-keriuhan. Mendelssohn terbebas dari keriuhan semacam itu. Bagi Mendelssohn, musik adalah passion pribadinya dan persetan dengan keriuhan dan hiruk pikuk. Lalu bagaimana jika misalnya kita sandingkan musik Mendelssohn dengan musik Brahms. Brahms adalah komposer yang musiknya juga seringkali dibungkam. Bukan oleh pihak lain. Melainkan rasa minder dan selalu tidak puas akan hasil komposisinya sendiri.
Lalu pertanyaan yang menggelitik adalah begini. Jika Mendelssohn memiliki ketulusan dan kepiawaian serta sumbangsih yang sangat besar, mengapa ia tak setenar para komposer akbar. Mendelssohn ini, mungkin karena kemapanan strata ekonomi dan sosialnya, sangat aneh dalam mengkomposisi musik.
Suatu saat ia dapat menghasilkan karya fenomenal. Saat lain, ia berkarya dengan lied atau nyanyian gaya salon yang cengeng. Brahms sebenarnya hampir terjebak dalam hal yang sama. Namun Brahms sepertinya lebih mampu mengendalikan jebakannya. Apapun sebabnya, Mendelssohn mengajarkan pada kita satu hal penting. Dibungkam bukan lenyap. Dibungkam hanya ketenaran tertunda. Musik akan terus membunyikan dan membahasakan dirinya meski dibungkam.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.