Saturday, 31 July 2021

MENANTANG - Duel Dalam Musik Klasik | by: Michael Gunadi | Staccato, August 2021

“MENANTANG”
DUEL DALAM MUSIK KLASIK
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, August 2021


Zaman sekarang ini, dimana pandemi COVID-19 masih maharajalela, entah bagaimana dengan peta persaingan para pemusik. Saya rasa, persaingan tetap ada. Hanya saja, karena sudah sama-sama loyo, sama-sama cemas dan takut, pasarnya juga sepi, jadi persaingannya tak lagi frontal. Apalagi dalam masa pandemi, dipergunakan daring yang jelas berpeluang lebih kecil untuk konfrontasi persaingan secara frontal. Padahal, entah dari segi moral, konfrontasi persaingan yang terbuka sudah menjadi bagian dari napak tilas sejarah musik.


Kita tidak bisa mengatakan: “Oh, itu bagian dari sejarah Musik Klasik....” Tidak bisa. Karena saat konfrontasi terbuka itu terjadi, tak ada pengkotak-kotakan ini Musik Klasik, ini Musik Pop, ini Musik anu, ini Musik itu. Jadi ya konfrontasi terbuka dalam bentuk MENANTANG, dari sisi historis adalah bagian tak terpisahkan dari aroma dan napas perjalanan musik itu sendiri.

 

Dunia mencatat, bahwa “menantang”, tantang-tantangan di antara para pemusik (klasik), dapat dikatakan sudah sampai taraf yang mengerikan. Bahkan sudah mulai mempertaruhkan nyawa, berujung penjara, dan menimbulkan spekulasi serta skeptisisme di kalangan yang bahkan mengklaim dirinya sangat cinta musik. Hal yang mendasari “konfrontasi menantang” ada beberapa. Semuanya bisa bersifat subyektif ataupun juga ada nilai obyektifnya.


Hal yang paling sering mendasari tantang menantang adalah persaingan. Who is The Best? Juga kompor-komporan dari para promotor dan penerbit buku. Sarana mencari sensasi dan/atau ada dendam kesumat dalam pergaulan sosial. Dan ada satu mata rantai yang aneh. Duel atau tantang-menantang ini, SUDAH ADA atau SUDAH TERJADI sebelum adanya piano/keyboard competition. Jadi rupanya, kompetisi piano itu dibuat sebagai tempat penampungan hasrat kompetitif yang sangat tinggi di kalangan para pemusik. Daripada duel bersenjata tajam atau dor dor bisa mati, lebih baik kasih panggung adu di panggung. 

 

Berikut beberapa duel tantang menantang yang paling terkenal dan dunia mencatatnya.



Louis Marchand versus Johann Sebastian Bach

Ini gara-gara dikomporin oleh Raja Prusia, Rafa Frederick II. Waktu itu reputasi Bach sudah sangat terkenal di seluruh Eropa. Nah, Frederick ini kemudian memanfaatkan situasi itu untuk keuntungan citra politik, yakni citra adijaya antara Jerman dan Perancis. Duel terjadi 1717. Gimana akhirnya? Ya gakda akhirnya lha memang badut-badutan politik semata. Pemusik dikerjain dan direndahkan oleh Raja atas nama politisasi.

 


Mozart vs Muzzio Clementi

Ini juga hasil kompor-komporan Kaisar Franz Joseph. Sengaja Mozart diundang duel lawan Clementi. Hasilnya: Draw. Seri. Materi duel nya dari mulai Fuga dadakan sampai Improvisasi. Dan duel ini sungguh sangat elegan. Karena bukan duel barbar fisik, melainkan lebih kepada kedalaman keterampilan seni main keyboard. Meskipun yaaaaa tetap saja seperti beruang sirkus. Namun baik Mozart maupun Clementi menampakkan kedewasaan dan kematangan sikap sebagai seniman professional.



Daniel Stiebelt vs Beethoven

Kalau yang ini memang si Daniel Stiebelt yang bikin gara-gara. Ceritanya, di era 1800-an itu Stiebelt adalah pianis yanng ngetop. Sangat ngetop. Nah dia kemudian sombong, belagu, banyak bacot dan mencocot. Akhirnya, banyak bangsawan yang sakit hati dan panas kuping. Mereka kemudian meminta Beethoven untuk “memberi pelajaran” pada Stiebelt.


Pangeran Lichnowsky dan Pangeran Lobkowitz yang mensponsori duel ini. Dalam duel, Beethoven menang telak dan mutlak. Semua gaya (style) komposisi Stiebelt berhasil ditiru untuk olok-olok oleh Beethoven. Stiebelt malu besar, buru-buru ngluyur sambil menangis dan bersumpah takkan pernah menginjakkan kaki lagi di Vienna selagi Beethoven masih hidup.

 


Franz Liszt vs Sigmond Thalberg

Maret 1837. Duel ini tak sengaja. Hanya eksibisi semata. Bercanda. Adu trampil. Dan luar biasa. Penonton histeris. Dua duanya kemudian tanpa dendam ngluyur main konser masing-masing.



Georg Frideric Handel vs Johann Matheson

Ini sadis. Hampir saja terjadi pembunuhan. Akibat persaingan siapa yang akan meng-conduct opera. Handel dan Matheson duel pake pedang. Handel ditusuk. Tapi selamat dan tak luka. Kok bisa ya? Ada beberapa catatan yang mengatakan Handel terlindung tumpukan partitur opera yang tergenggam.

 

Menantang, Ditantang kemudian tertantang, pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari napak tilas musik. Meski musik adalah entitas budaya, perjalanan sejarahnya tak luput dari torehan perseteruan yang membahayakan. Jadi rupanya, kendali tetap ada di perangai kita sebagai manusia pelaku seni budaya itu sendiri.

 

Agaknya menjadi agak menarik jika kita melakukan penelusuran sambil juga menelisik. Apakah masih ada “hasrat” Menantang dan tantang tantangan di era pandemi COVID-19 seperti sekarang ini? Tentu saja, bentuk duel seperti yang tercatat dalam napak tilas sejarah musik, sudah tidak ada lagi. Karena tentu sangat konyol dan pasti akan dengan mudah tercyiduk aparat penegak hukum jika masih ada pemusik yang nekad duel duelan secara fisik. Di zaman modern, saling tantang menantang tak lagi duel fisik, melainkan lebih tersembunyi. Lebih terselubung. Lebih halus? Oh tidak. Lebih licik malahan dan ini yang rupanya masih tetap sama, kompor-komporan masih tetap marak.

 

Contoh yang paling sederhana adalah sesama guru musik. Tidak bisa dipungkiri bahwa sesama guru musik senantiasa ada “medan” duel yang sebetulnya sangat terbuka. Bahkan sengaja dibuka untuk menjadi konsumsi publik. Dalam sebuah lembaga kursus, tak jarang seorang guru mengiming-imingi siswanya. Agar saudara, sepupu, atau handai taulannya, mengambil lesson pada dirinya dan bukan dengan guru lain. Dengan alibi bahwa jika les pada dirinya, nilai exam nya jauh lebih bagus dibanding binaan koleganya. 

 

Tidak ada yang salah dengan perilaku semacam ini. Yaaaa, namanya juga usaha. Sejauh itu faktual, tidak ada yang salah. Namun apapun itu, perangai semacam itu sebetulnya adalah medan terbuka. Upaya “menantang” dari seorang guru pada koleganya. Keadaan ini akan menjadi atraksi pertunjukan yang makin seru dan menarik, manakala ada pihak pihak institusi yang campur tangan. Misalnya, pengelola atau manajemen kursus dan/atau manajemen sekolah musik. Mereka ini ikut “mengucik-uciki? Dan punya andil besar dalam membuat medan terbuka arena duel.

 

Jika dalam era napak tilas musik, duel sebagai kulminasi perangai menantang, dilakukan dengan cukup fairness, di era modern, perangai menantang dilakukan dengan sistematis, terstruktur dan masif. Hmmm. Yang pernah terjadi di Jawa Tengah itu begini: Seorang yang berpengaruh dalam sebuah lembaga sertifikasi musik, datang ke kota kecil. Dalam rangka sosialisasi program sertifikasi musik. Datanglah ia ke sebuah tempat kursusan musik. Omong punya omong, dia nanya: Berapa muridnya. Rata-rata dari golongan tingkat ekonomi apakah parentsnya? Berapa biaya kursusnyaBagaimana tingkat laju pembayarannya? Setelah semua data itu terkorek, dia bilang pada manajemen kursus. Agar di arrange pertemuan dengan semua parents siswa. Alasannya agar sosialisasi program sertifikasi musiknya bisa lebih tepat sasaran dan jika ada pertanyaan, sudah ready source nya. Wahhhhh sangat mulia. Eeeee... ternyata ada udang di balik bakwan.

 

Dalam parents meeting, mulailah sebuah aksi perangai menantang. Tiap parents diminta nomor whatsapp dan telpon nya. Selesai meeting, para parents itu dihubungi. Dengan iming-iming, rayuan maut dan teknik ucik-ucik. Bahwa anaknya sungguh berbakat, punya masa depan cerah dan seterusnya dan seterusnya. Bahwa kalo belajar dengan guru kampung, hasilnya... yaaaaa bisa sih. Tapi tidak optimal. Nahhhh karena yang menyampaikan adalah tokoh dalam sebuah lembaga sertifikasi yang bereputasi, para parents ini percaya. Kebetulan juga jaman covid, jadi semua online. Les musik bisa dengan guru di Jakarta via online. Berduyun-duyun mereka pindah ke guru Jakarta. Puluhan siswa. Yang di kota kecil.... hahahaha....(dengan getir) nangis bombay cing. Guru gurunya di PHK karena muridnya sudah menyusut drastis. Apakah hal begini itu bermoral? Yaaaaaa kan ini seberapa banyak juga dagang mas... Ooooo dagang ya... ok ok.

 

Sejarah mencatat fenomena tantang menantang dalam napak tilas musik. Ternyata di jaman sekarang, fenomena tersebut masih berlangsung dan bahkan dengan jauh lebih licik. Lalu kita harus bagaimana? Ahhh.... genjreng saja gitarmu. Tang ting tung lah dengan pianomu. Meraunglah dengan gitar listikmu. Dan tetap saja bermimpi dalam sepoi angin surga.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.