Thursday 2 March 2023

PUTUS ASA | by: Michael Gunadi | Staccato, March 2023

PUTUS ASA
By: Michael Gunadi
Staccato, March 2023


Banyak orang yang sudah tahu. Sudah maklum. Sudah pula mahfum. Bahwa kehidupan pemusik itu, termasuk pemain Musik Klasik, hanya gemerlap moncer berkilau di panggung saja. Setelah lampu panggung padam, hidupnya akan yaaa biasa-biasa saja. Bahkan berkekurangan secara finansial, kalau tidak mau dikatakan miskin. Yang dimaksud adalah pemusik murni ya. BUKAN SELEBRITI. Ada pemusik yang menjadi selebriti dan kaya raya luar biasa. Tapi itu bukan dari musik nya. Banyak hal lain. Seperti misalnya kelihaian promosi, tampang fisik yang menjual, sensasi sensasi kawin cerai prank prink prunk prenk prank dan sebagainya.

 

Membaca paragraf di atas, akan banyak orang mengatakan. Ahhh mosok sih pak. Tuh Pak Anu guru piano kaya raya pak. Kalo bukan dari keturunan, hmmm gak mungkin ya. Perkara punya rumah punya mobil itu sih pedagang asongan juga bisa. Dulu memang, zaman industri musik, termasuk Musik Klasik masih berkilau, banyak pemusik klasik yang kaya raya.



Herbert Von Karajan, sang Maestro Dirigen, punya kapal pesiar, pesawat pribadi, mobil balap mahal. Andres Segovia, sang Maestro ghithar klaziek juga punya villa di Spain yang megah mewah luar biasa dengan panorama lautan yang indah. Julian Bream juga main ghithar klaziek bisa punya kastil, hidup mewah bagai bangsawan. Ya tapi itu duluuu. Dahulu. Duluuu kala. Sekarang zaman sudah sangat berbeda.


Sebetulnya, napak tilas perjalanan musik, khususnya Musik Klasik, diwarnai oleh perbedaan zaman. Kontrasnya persis seperti yang kita alami di zaman sekarang. Bahwa ada masa surut di era kegemilangan. Dan ini membuat beberapa atau bahkan banyak pelaku musik yang mengalami PUTUS ASA. Apa sih sebetulnya PUTUS ASA itu? Putus Asa berasal dari dua kata yakni PUTUS dan ASA. Asa itu artinya harapan. Jadi putus asa adalah satu keadaan dimana harapan seseorang menjadi putus. Putus ini bisa karena diputus, dia sendiri yang memutus, terputus atau putus secara alamiah yang terjadi begitu saja.

 

Jika kita cermati, banyak pelaku musik yang pindah living space. Dari satu kota ke kota lain. Misalnya, dari Jakarta ke Denpasar. Dari satu sisi, ok lah, bisa saja ia ingin mencari New Hope in The New World. Tapi jujur saja, mereka ini sesungguhnya putus asa. Tak bisa lagi hidup di jakarta sebagai pemusik. Saingannya terlalu banyak. Banting bantingan harga. Konsumen menjadi penguasa raja di raja. Permintaannya aneh aneh dan daya apresiasinya makin berkurang, nyaris hilang. Pemusik tak lagi dipandang sebagai representasi kesenian melainkan jasa penghibur semata. Keadaan seperti ini membuat orang putus asa. Moving untuk move on ke tempat baru. Apakah di tempat baru asa nya akan pulih? Belum tentu. Tidak tentu. Tapi yaaaaa, namanya juga usaha.

 

Ada lagi pelaku musik yang sampai pindah ke luar negeri. Karena di tanah air... ya itu tadi. Saingan banyak. Banting bantingan harga, frekuensi pertunjukan tak sebanding dengan jumlah pelaku musik. Apakah di luar negeri lebih baik? Tentu tidak. Tapi itu adalah jalan yang dipilih saat putus asa. Diharapkan asa nya akan terajut kembali di negara yang lebih free. Lebih bersahaja dengan tata norma ini itu yang membuat pertunjukan musik menghadapi banyak “kendala” untuk dipagelarkan. Hasilnya? Sekali lagi, katarsis putus asa adalah change. Changing. Berubah. Meski dengan konsekuensi dan resiko malahan asa nya akan hancur tergerus berantakan luluh lantak porak poranda berkeping kepingan kecil-kecil.

 

Mereka yang melakukan migrasi, sebetulnya kadar putus asa nya jauh lebih baik. Dibandingkan dengan mereka yang tak lagi jadi pemusik dan pindah ke pekerjaan lain. Pemain Ghithar listrik aliran Rock metal besi pindah kerjaan menjadi full time online driver. Pemain biola orkes simfoni berubah menjadi penjual celana dalam online. Penyanyi Dangdut ganti usaha buka warung ayam geprek. Sah sah saja dan baik serta bagus saja. Namun itu adalah bayang-bayang yang selalu menyertai para pelaku musik, yakni putus asa.

 

Putus asa di kalangan pemusik tak hanya soal finansial. Ada putus asa yang modelnya begini. Seorang pelaku seni, yaaa musik juga lah. Kesluitan cari venue buat pementasan. Para pemilik venue rewel, belagu, syarat ini itu, mahal, perhitungan banget. Karena putus asa dan kesal, juga kebetulan dia tajir melintir, dia buka sendiri gedung pertunjukan. Diswain dengan harga terjangkau. Fasilitas wow. Tidak ribet pakai aturan ini itu anu onu. Sipapun boleh main. Tidak perlu ada studi kelayakan dari pengurus venue yang sok ngerti musik tapi main piano Menuet in G saja kencing di celana.

 

Sejarah musik mencatat berbagai perwujudan putus asa dari para pelaku musik, terutama musik klasik. Berikut paparannya.



1. LUDWIG VAN BEETHOVEN

Beethoven adalah sosok yang sangat putus asa. Hidupnya sangat berantakan, dan bau dari penginapannya juga tidak sedap, karena nampan makanan yang tidak dimakan menumpuk di sudut, tepat di sebelah kertas catatan komposisinya. Tidak mengherankan, dia selalu berselisih dengan tuan pemilik apartemennya, meskipun, dari sudut pandang si empunya apartemen, gaya hidup Beethoven yang jorok mungkin hanya merupakan kesalahannya yang paling kecil.Lho?! Hmmm.

 

Orang-orang sering mengeluh bahwa Beethoven membuat kegiatan pada jam-jam tak lazim dan memainkan piano terlalu keras, dan, yang terburuk, dia memiliki kebiasaan meneriaki para pelayannya karena mencuri darinya - Rondo a capriccio tahun 1795 kemudian mendapat julukan Rage Over A Lost Pennykarena pada pada malam Beethoven menulisnya, ia yakin seorang pelayan telah mencuri koin emasnya dan dia membalikkan seluruh perabotan apartemennya untuk mencarinya.

 


2. KARLHEINZ STOCKHAUSEN

Para pemain musik abad ke-20, musik elektronik, musik eksperimental, musik “garda depan” tentu tak asing dengan komposer yang satu ini. Beliau pelopor musik “baru” yang “kurang lazim”. Stockhausen mengalami utus asa mengejar satu ruang yang menjembatani masa depan ide kreatifnya dan masa lulau yang sangat mengerikan. Untuk semua penemuan musiknya dan pernyataan yang seringkali kontroversial, seperti misalnya pada tahun 2001 dia terpaksa meminta maaf karena menyebut serangan World Trade Center sebagai “karya seni terbesar yang mungkin ada di seluruh kosmos”. 

 

Karya musiknya mulai dari atonalitas konvensional  hingga sandiwara Licht, membawa pengaruh pada diri Stockhausen yang berlebihan saat berusaha membuktikan keyakinannya bahwa “panggilan tertinggi umat manusia, hanya bisa  dengan menjadi seorang musisi dalam arti yang paling mendalam; yakni untuk memahami dan membentuk dunia secara musikal”. Ini adalah sesuatu yang dia pelajari dari bacaannya di masa perang tentang The Glass Bead Game karya Herman Hesse saat remaja, sebuah buku yang menghadirkan masa depan di mana musik yang paling mendalam lahir dari kombinasi permainan, ritual, matematika, dan filsafat. 

 

Sebetulnya, perjalanan dan prinsip serta filosofi Stockhausen adalah sublimasi terselubung dari putus asa. Yang mana Stockhausen akan menghabiskan seumur hidupnya untuk terus dan terus berusaha untuk mencapai masa depan,yakni  tempat kreatif  {menurut visinya} sejauh mungkin terlepas dari kengerian masa lalunya.

 

Dengan beberapa ilustrasi dan paparan, hal yang nampaknya perlu kita renungkan dan permenungkan adalah: Apakah putus asa ini hal yang perlu dihindari? Ataukah juga memberi andil positif bagi ranah musik itu sendiri.

 

Hal pertama yang sangat menarik adalah bahwa musik sebetulnya sudah mengajarkan pada kita. Bahwa pepatah yang mengatakan jangan pernah putus asa.. teruslah berusaha, perlu untuk ditinjau kembali. Bagaimana tidak putus asa, lahan nya sudah tidak ada. Kesempatannya juga sudah hilang pupus. Masa depannya tentu juga sudah tidak ada lagi. Contoh seperti kawan kawan pemusik yang moving, pindah ke daerah lain dan bahkan negara lain, sebetulnya baik saja. Mereka mengadu nasib. Mengadu keberuntungan Putus asa nya diterima dan dilawan dengan cara membuka lembaran baru. Ini lebih baik daripada menuruti pepatah nan lebay dan berdiam berusaha di satu tempat yang sudah habis dan habis-habisan.

 

Dalam putus asa model Beethoven, memang sikap kasar, temperamen dan kejorokan gaya hidupnya, patut dihindari. Namun putus asa model Beethoven sedikit banyak merangsang, memacu, memicu satu jenis produktifitas. Beethoven tetap terus berkarya. Meski mungkin boleh jadi karena kepepet dan tidak punya pilihan. Namun itu adalah sublimasi yang baik dari putus asa. Putus asa dihadapi bukan dengan terus berusaha, melainkan dengan perlawanan. Kegigihan. Meski tentu motivasi utamanya adalah kebutuhan untuk bertahan hidup.

 

Bercermin dari orang yang membuat venue sendiri karena putus asa karena sulitnya mendapat venue untuk menggelar karyanya, juga patut kita apresiasi. Putus asa bukan dihadapi dengan usaha terus menerus mencari venue yang mau dan affordable untuk pagelarannya, melainkan dia hadapi dengan perubahan. Dia bangun sendiri venue untuk kegiatan berkesiannya.

 

Dalam hal tertentu, kita ini terlalu banyak disuguhi mitos-mitos dunia musik. Bahwa musik adalah seni  yang berperasaan, bisa bikin pintar ini itu, bisa bikin manusia menjadi manusiawi. Ya betul Tapi jangan lupa, tanpa musik sekalipun, dunia akan tetap baik-baik saja. Apalagi zaman sekarang dimana semuanya diukur dengan materi. Tanpa musik, asal orang memiliki banyak materi, banyak uang, orang bisa memanusiakan dirinya sendiri. Kita terlalu serig disuguhi hal yang indah-indah tentang musik. Sisi kelam musik sangat langka untuk disajikan. Padahal, generasi orang muda perlu dan bahkan sangat perlu untuk diberi penjelasan dan bahkan pemahaman tentang sisi paling kelam dari musik.



Ada contoh bagus yakni iming-iming yang membuat orang akhirnya putus asa. Disuguhkan bahwa yutup kalo subscribernya banyak bisa kaya. Spotify fy fy fy fy yang lain juga menjanjikan duit gede jualan musik via online. Faktanya ? Hahahahaha... ketiak bau kampret masih lebih harum dari harapan semua itu. Contoh spotify dah. Spotify itu esensinya free fight. Siapa saja boleh ikutan jualan musik di situ. Tukang kerak telor, tukang martabak gerobakan, kiosan sampai martabak resto. Mantan germo, mantan preman sampai anak pejabat. Semua punya kans yang sama. Dan, itu berlaku untuk seluruh dunia. Dalam keadaan free fight begitu, yang paling unggul ya yang punya kapital. Punya modal. 



Jika anda hanya mengandalkan pintar main piano, bernyanyi bagus, membuat lagu, tampang keren mewangi tapi bokek, dah lah. Jangan pernah mimpi. Banyak banyak saja BERDOA. Karena lawan anda adalah perusahaan raksasa seperti SONY, WARNER. Belum lagi perusahaan rekaman Asia. Kans anda hampir 0. Mengejar mimpi boleh saja. Tapi mimpinya jangan ketinggian. Nanti anda akan tertidur selamanya dan gak bangun lagi.

 

Dalam esensinya, putus asa sering dipersepsikan sebagai upaya menyerah. Depressi dan give up surrender pasrah bongkokan semata. Dalam batas tertentu, ok dan sah saja yang berpendapat demikian. Namun di sisi lain, musik mengajarkan bahwa putus asa sebetulnya adalah trigger sekaligus katarsis dari mitos-mitos yang selama ini mewangi mengharu biru tentang musik. Putus asa sebetulnya adalah satu kulminasi. Titik pencapaian. 

 

Setelah itu, terserah si pelaku musik akan bagaimana membawa hidup dan karirnya. Apakah tetap terbuai bahwa Indonesia harus unggul di Musik Klasiknya, ataukah berusaha untuk tetap fight secara realistik. Satu hal yang pasti. Jika anda bergumul dengan musik, pastikan tak hanya perasaan saja yang menuntun anda. Intuisi dan rasa juga merupakan kompas anda dalam menghadapi hidup ini. Dan... putus asa bukan selalu berarti berhenti main musik.

 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.