Pernah ada satu masa dimana musik mengalami kejayaan. Abad pertengahan dengan ditemukannya mesin uap, mulailah timbul industrialisasi. Industrialisasi ini membuat kelas baru dalam strata masyarakat di Eropa. Yakni kelas menengah dan boss-boss industri. Kelas menengah dan boss boss industri ini bisa lah ada uang. Di samping itu, industrialisasi merambah juga dunia musik. Alat musik yang tadinya diproduksi sebagai seni kerajinan tangan, saat itu mulai diproduksi secara pabrikan. Dalam skala industri. Sudah tentu harganya menjadi lebih terjangkau. Kelas menengah dan boss boss yang timbul secara kagetan, mampu beli. Akibatmya, musik bisa hadir di rumah rumah rakyat. Tidak melulu kaum bangsawan. Musik berjaya. Karena dinikmati dan dimainkan langsung oleh sangat banyak orang. Lahan musik luas membentang menghijau segar subur.
Industrialisasi tidak mandeg hanya sampai pabrikasi alat musik. Namun mulai merambah pada produksi dari reproduksi material musik. Mulailah industri rekaman. Sampai pada titik ini, ada cara baru menikmati musik. Yang tadinya musik dimainkan langsung di rumah rumah, dengan adanya industri rekaman, orang beralih mendengarkan musik repro nya saja. Jelas lebih bagus. Karena repro ini direkam dengan teknologi dan disajikan oleh artis rekaman. Jelas lebih profesional daibanding mendengarkan anak anak main piano, gitar, biolin rumahan. Apalagi dibanding permainan musik para ibu rumah tangga kala itu yang so la la la karena tetap harus sibuk dengan urusan tata laksana rumah tangga. Industrialisasi reproduksi musik kemudian melahirkan satu golongan tersendiri. Artis. Pemusik. Dan sehubungan dengan pola dan gaya hidupnya, menjadi selebriti.
Khusus untuk musik klasik, industrialisasi rekaman dipelopori oleh perusahaan rekaman dari Jerman yaitu DEUTSCHE GRAMMOPHON. Satu artisnya yang sangat terkenal adalah Dirigen Maha luar biasa, Bapak Herbert Von Karajan. Sama seperti artis musik pop, Karajan hidup bergelimang kemewahan. Punya mobil sport super mewah. Kapal pesiar super mewah. Pesawat jet pribadi. Makan pagi di Swiss. Makan malam sudah di Austria. Dan bukan hanya Karajan, gitaris klasik pun menikmati jaman keemasan industri musik rekaman. Andres Segovia, bini nya muda, cantik, pintar. Rumahnya berupa villa nan megah, besar, asri di tebing tepi laut. Gitaris Julian Bream juga demikian. Rumahnya adalah Castil mewah. Gitar gitar nya berupa koleksi dengan mutu yahud. Lahan musik makin hijau menggiurkan. Dan banyak orang bercita-cita untuk berladang dengan tanaman berupa karya musik. Hmmmmm.
Di Indonesia pun musik mengalami jaman keemasan. Tahun 70an wahhhh banyak orang mimpi bercita cita jadi pemisik. Penyanyi. Perusahaan rekaman wahhhhh malang melontang petentang petentang seperti malaikat yang menentukan karir seseorang. Di Jakarta, daerah GLODOK, JAMAN ITU persis seperti Tin Pan Alley, sebuah gang di USA. Banyak pengarang lagu nongkrong di depan perusahaan rekaman. Sekedar supaya lagunya mau dibeli. Meskipun nanyinya dirilis bukan dengan namanya sebagai pengarang lagu. Gakpapa. Asal bisa magang di latarnya perusahaan rekaman dah gembira. Gaya hidup artis jaman itu pun seperti artis Eropa. Kalau ke Night Club, jaman itu yang terkenal adalah COPACABANA DI DAERAH ANCOL. wuihhh glamour. Pesan cocktail bergelas-gelas aneka rupa. Bir nya krat kratan karena mentraktir banyak handqi taulan. Wangi. Baju keren. Samapi ketiaknya pun wangi. Tak heran, banyak anak muda di kampung kampung bercita-cita bercocok tanam karya musik di lahan industri musik yang luas membentang. Segala cara dari yang halal prosedural, setengah halal iming iming, sampai haram tipu tipu. Musik menjadi sesuatu yang sangat menjanjikan.
Musik berjaya oleh perkembangqn industrialisasi. Dan juga teknologi. Mirisnya, industrialisasi dan teknologi juga yang membuat musik menjadi LADANG TERKEREMUS. Biang keroknya ya jelas internet. Internet melahirkan cara menikmati musik yang sangat berbeda. Tidak lagi mendengarkan anak istri main piano. Tidak lagi membeli kaset, CD, tapi cukup streaming. Dan ini yang penting, internet bergandengan tangan dengan teknologi Digital. Semua harus digital, supaya bisa main di streaming. Nah, digital ini sudah tidak perlu lagi studio rekaman berupa gedung mewah luas akbar megah. Cukup kamar tidur sempit bau pesing. Sudah bisa menghasilkan rekaman professional. Kalo sukaes, hmmm, gampang, hubungi platform konten untuk spreadingnya. Pada keadaan ini, makin nyata dan tak terbantahkan lagi adanya LADANG TERKEREMUS DI BLANTIKA MUSIK. Akibat dari ladang terkeremus ini sangat signifikan bagi keadaan dan perkembangan musik di jaman kita saat ini.
1. Cara pandang orang terhadap cara bermusik, mengkonsumsi musik dan menikmati musik sudah sangat berbeda. Dulu rumah tangga terasa asri adhem ayem tentrem berderajat ningrat jika ada anggota keluarganya yang bisa main misik. Sekarang, les musik hanya untuk enrichment saja. Yaaaa ada satu dua insan yang ingin sekolah musik sampai ke konservatori dan/atau meniti karir sebagai pemusik professional. Tapi itu sudah sangat langka. Konservatori di Jerman, sampai membuka pintu lebar lebar bagi yang berminat dari kawasan Asia dan Timur Tengah. Satu keterbukaan yang luar biasa.
Saking sepinya orang belajar musik. Guru guru musik bertambah pusing sejuta keliling. Mereka tak lagi dihormati seperti Maestro Andre Segovia yang saat mengajar, terutama Masterclass, bagai raja yang tak terbantahkan, agung, ningrat, elit, berkuasa bentak bentak dan bahkan mengusir siswa.
Guru musik sekarang..... hahahaa..... hmmmm. Maaf ini 1/8 nya adalah pemuas hasrat anak majikan. Siswa sekarang...... hmmmm... rewel. Banyak maunya. Gak disiplin. Bisa bilang GAK MAU DIMINTA GURUNYA LATIHAN. Mengapa? Ya karena cara pandang terhadap musik sudah beda. Musik bukan lagi sesuatu yang adi luhung untuk dipelajari. Tapi, ada fuluzz dapat musik. Kalo perlu, ada hajatan, bukan anaknya yang main, tapi si guru yang diiming-imingi diminta main. Mimpi menjadi artis musik menjadi pudar. Gara gara ladang terkeremus.
Yang alumnus konservatori luar negeri kalah top dengan yang modal rekaman pake hp di kamar sempit bau pesing. Mau konser? Haha. Siapa yang mau mensponsori? Ok lah. Hari ini main di hall bergengsi, 7 tahun lagi belum tentu bisa main di tempat bergengsi. Trus ada yang bilang. Oh itu si ani, si itu, si ini, si cahem ke luar negeri konser kok. Gini ya. Ya itu mereka manusia hokki. Parentsnya atau saudaranya kaya. Bisa ngongkosin. Tambahan juga, main di luar negerinya di mana. Kalo di yang gratisan ya, maaf ini, pokok ada omgkos sedikit, main gak salah salah ya bisa lah manggung konser. Tapi untuk sebagai profesi? Hmmmm. Ladang terkeremus.
3. Orang, terutama pengusaha yang punya sarana untuk music performance, sekarang lebih tergiur Instagram daripada mempekerjakan pemusik berijazah luar negeri atau konservatori dalam negeri. Karena cara pandang terhadap musik memang sudah beda. Dianggapnya kalo Instagramnya cihuyyy ya ini orang menjual. Pusing. Asli pusing.
4. Ada lagi yang sok pintar. Bilang begini: ya sekarang jaman digital ya loe pasarin skill dan karya musik loe di dunia digital dooong. Hahahahaha. Ngakak guling guling. Nih ya, platform digital tuh ribet. Syaratnya banyak. Dan intinya, semakin banyak follower, subscriber, kemungkinan dqpat rejeki makin banyak. Yang seperti Spotify juga prinsipnya begitu. PERSOALANNYA: begitu anda memasuki platform digital, waduuuuuh ampun emak......... saingannya berjibun banyaaaaaakkkk bangetz dari seluruh pelosok. Trus dibilang lagi, yaaaaaa jangan nyerah, namanya rejeki kan ada aja jalannya. Hahahahahaha ngakak lagi deh.
Sampai titik ini, akan banyak yang bilang. Kok pesimis gitu sich?! Begini. Sebetulnya, orang hanya bisa tidak pesimis alias optimis, jika ia TAHU BENAR BENAR TAHU PERSOALAN yang dihadapi. Setelah tahu benar akar persoalan, barulah ia bisa mengais solusi sehingga tetap optimis. Sebab optimisme itu dibangun atas dasar analisa logis. Bukan instingtif mengikuti rasa. Jadi untuk optimis, tidak cukup berteriak OHHHH YA KITA BISA UNGGUL DONG DI MUSIK KLASIK. ya yang treak begitu gak pernah tahu keadaan akar rumput. Main pakai piano keren, kesana kemari batikan jual tampang. Dia tidak pernah tahu bahwa sudah semakin banyak guru musik yang tak ubahnya seperti pelengkap penderita saja.
SOLUSI
Barangkali, akan lebih beraroma optimis jika ada usulan usulan tentang bagaimana jika diberikan solusi solusi yang solutip namun tentu tidak isolatip. Sebetulnya ada dua hal yang bisa dijadikan pijakan. Pertama, membiarkan saja lahan terkeremus sampai suatu saat ia akan menjadi lahan subur kembali. Hal ini dipertimbangkan karena musik dalam esensinya adalah sebuah kultur. Yang perkembangannya tentu saja sangat bergantung pada jalannya peradaban manusia.
Jika semua persoalan mulai terurai dan sedikit cahaya mulai nampak, maka, secara kodrati dan alamiah lahan musik tak lagi terkeremus. Namun persoalannya, langkah ini akan menghadapi resiko yakni berupa ketidakpastian arah perkembangan musik itu sendiri. Hal yang paling mengkeremus tentu akan dialami oleh seni musik tradisi. Karena, pembiaran dan menyerahkan sepenuhnya pada pergerakan peradaban, sangat mungkin membuat seni musik tradisi malahan semakin terkeremus dan akhirnya akan punah.
Kedua, dilakukan langkah-langkah yang setidaknya mampu menahan agar lahan terkeremus tidak semakin menjadi jadi. Langkah semacam ini butuh dukungan banyak pihak. Saat ini, meski dalam lingkup “industri” sebetulnya sudah ada lorong terang. Kebijakan MENPAREKRAF dalam mendorong ekonomi kreatif patut diacungi jempol. Mestinya, bersama sama dengan pemerintah harus dibuat langkah agar lorong terang segera menjadi koridor gemerlap bagi perkembangan musik. Yang sederhana saja adalah, masyarakat semestinya terus menerus “diingatkan” bahwa ada entitas seni budaya yang bernama musik. Yang butuh apresiasi. Bukan sekedar pelengkap penderita karena keberadaannya sudah terakumulasi via digitalisasi yang bagai rimba belantara kejam dengan seleksi alami yang sangat tidak jelas dan tidak masuk akal.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.